Jumat, 13 Desember 2013

SECRETLY (cerpen)


SECRETLY
Title                 : SECRETLY
Author             : Valleria Russel
Starcast           : Carra Montgomery, Carren Montgomery, and Edmund Vallace.
Genre              : Romance, Drama.
Length             : Oneshoot
Rated              : Teens-13
WARNING   : TYPO(s), ABAL, ANEH BIN AJAIB, GK NYAMBUNG DAN BLA BLA BLA. Cuma mau bilang untuk tidak mengcopy apa pun dari cerita saya. Ini asli ide saya dan jadilah seseorang yang kreatif dengan gaya serta ide Anda sendiri, okay!! Don’t banyak cingcong(?) HAPPY READING ALL!!



Aku berdiri di atas kasurku dengan perasaan teraneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tidak, aku merasa begitu aneh, ini sejenis perasaan yang disebut dengan bahagia, tapi dalam artian yang lebih kompleks. Aku hanya merasa semuanya bercampur menjadi satu dalam hatiku dan itu membuatku tak bisa berhenti tersenyum sepanjang hari ini.
Sebenarnya, ini karena satu kalimat yang diucapkan oleh seseorang, seseorang yang selama ini menjadi satu-satunya teman priaku. Apa kau mengerti? Tentu saja, kau harus mengerti karena aku sedang sangat bahagia sekarang. Ouh, bagaimana aku harus menjelaskannya? Rasanya seperti tak ada satu pun kata yang pas bagiku untuk mengungkapnya dengan sempurna.
Carra, aku ingin mengajakmu pergi keluar malam ini. Apa kau mau?
Wajahku memanas saat aku kembali mengingat perkataannya tadi siang. Dia. Edmund Vallace. Pria tampan yang dengan maunya berteman dengan gadis aneh sepertiku. Aku memang aneh karena semua teman-temanku yang lain berkata seperti itu dan setelah kupikir lagi mereka ada benarnya juga. Aku memang aneh dan aku tak tahu aku aneh dalam hal apa. Oh sudahlah, lupakan yang itu.

Aku mengambil iPhone-ku yang tergeletak di atas meja belajarku setelah aku menyelesaikan aksi lompat-lompatku di atas kasur. Aku menekan speed dial nomor 3 dan lantas menekan tombol hijau. Aku akan membagi kebahagiaanku hari ini dengan seseorang yang begitu berarti untukku setelah orangtuaku. Aku, Carra Montgomery anak bungsu dari Mr dan Mrs Montgomery dan itu adalah tanda jika aku memiliki kakak. Aku memang memilikki seorang kakak. Lebih tepatnya lagi, aku memiliki seorang kakak kembar, namanya Carren Montgemery. Dia ada di Swiss bersama ibuku, dia bersekolah di sana. Ya, aku memang anak dari keluarga broken home dan itu tak lagi menjadi masalah bagiku meski pun terkadang aku sering sekali merindukan ibuku di sana dan juga saudara kembarku.
“Halo.”
“Hai, Candypop, aku merindukanmu.” Aku mendengar kikikkan suaranya diujung sana. “Hai, Teddypop, aku juga merindukanmu. Kau jangan khawatir, aku akan tiba di London besok pagi dan itu artinya kita tak perlu lagi bertelpon seperti ini. Aku terkadang kesal jika harus seperti ini. Akan menjadi menyenangkan jika aku melihat langsung mimik wajahmu ketika kau sedang jatuh cinta,” ujarnya panjang lebar dan itu membuatku memutar bola mataku.
“Dan jangan memutar bola matamu, aku tahu kau melakukan itu.” Dia memang selalu tahu. Sejak kami kecil Carren memang selalu lebih peka dibandingkan dengan aku. Aku juga tak mengerti mengapa seperti itu. Dia selalu tahu apa yang ingin  kukatakan atau kuungkapkan padanya setiap aku menelponnya lebih dulu. “Bagaimana kau bisa selalu tahu apa yang kulakukan dan apa yang kurasakan, Candypop? Dan tadi kau bilang aku sedang jatuh cinta? Apa iya aku sedang jatuh cinta?”
“Dasar bodoh! Teddypop-ku sayang, seharusnya, diumurmu yang sebentar lagi akan menginjak delapan belas itu kau sudah mengerti atau paling tidak tahu tentang cinta dan perasaan. Bagaimana kau ini?”
Aku terkekeh di sini dan merasa jika dia sedang kesal dan memutar bola matanya. “Entahlah, aku juga tak mengerti ini perasaan apa, aku juga tak yakin apa aku sedang jatuh cinta atau tidak. Aku menghubungimu saat ini hanya ingin menanyakan bagaimana caranya bersikap yang baik ketika kita sedang berkencan dengan seorang pria?”
Aku mengendus kesal saat mendengar ledakkan tawa Carren diujung sana. Dia selalu menertawakanku. Memangnya apa yang lucu? Aku kan hanya ingin bertanya agar nanti aku tak berbuat sesuatu hal yang memalukan. “Kau memang aneh. Aku terkadang merasa jika kita ini sama sekali tak seperti pasangan kembar lainnya kau tahu karena mereka terlihat harmonis dan serasi, sedangkan kita begitu terlihat berbeda,” ujarnya. “Sekarang, sebelum aku menjawab pertanyaanmu yang konyol itu, aku ingin kau terlebih dulu menjawab pertanyaanku. Bagaimana?”
Aku menghela nafas kesal. “Baiklah, katakan!”
“Apakah dia pria yang sama dengan pria yang sering kau ceritakan padaku selama ini?”
Pertanyaannya membuatku terdiam. Well, memang selama ini aku sering bercerita tentang Edmund pada Carren hanya saja aku tak menyebutkan namanya. “Ya,” ujarku pelan.
“Baiklah, terima kasih untuk jawaban super singkatmu itu. Dan sekarang aku akan menjawab pertanyaanmu. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri karena jika dia menyukaimu maka dia akan selalu melihatmu sebagai dirimu dan bukan sebagai orang lain. Jadilah dirimu dan bersikaplah seperti apa adanya dirimu, Teddypop. Kurasa sekarang sudah larut dan aku tak ingin ketinggalan pesawatku yang akan berangkat satu jam lagi. Semoga sukses dengan priamu, Teddypop. Bye.” Sambungan itu terputus begitu saja. Dan aku kembali meletakkan iPhone-ku di atas meja belajarku.
Aku tersenyum lebar, Carren benar, aku harus menjadi diriku seperti apa adanya dan tak perlu menjadi orang ain hanya untuk seseorang pria yang belum tentu menyukaiku. Dengan bersemangat Aku membuka wardrobe-ku dan mulai memilah dress mana yang akan kupakai untuk malam yang begitu istimewa ini. Aku kembali tersenyum dalam diamku.

“Nona, teman Anda sudah menunggu di bawah.” Aku menolehkan wajahku dan mendapati salah satu nanny di rumahku berdiri di ambang pintu. Aku mengangguk padanya dan dia meninggalkan kamarku.
Untuk yang terakhir kalinya, aku mematut penampilanku pada cermin besar yang tertempel di dinding kamarku sebelum akhirnya memakai high heels kesayanganku dan berjalan cepat ke bawah untuk menemuinya. Untunglah, ayahku sedang tak berada di rumah, jika dia tahu ada pria yang datang ke rumah untuk mengajakku berkencan maka sampai subuh datang pun kami tak akan pergi berkencan dan duduk di hadapannya untuk mendengarkan ceramahnya. Kurasa ini memang hari keberuntunganku. Benakku tersenyum berseri-seri.
Edmund berdiri dari sofa ketika aku berhasil menuruni semua anak tangga rumahku. Dia tersenyum manis dan aku merasakan wajahku memanas, jujur saja dia belum pernah tersenyum semanis itu padaku selama kami berteman.
“Hai, maaf membuatmu menunggu,” kataku pelan, demi bola pimpong, aku benar-benar gugup saat ini. “Tidak juga, aku baru saja datang. Apa kita bisa pergi sekarang?”
Aku menjawabnya dengan anggukan kepalaku dan menerima uluran tangannya. Aliran darahku berdesir begitu kulit kami bersentuhan. Apa ini?

Edmund membawaku ke Russel Square yang selalu tampak indah di malam hari. Aku menyambut uluran tangannya dan kami berjalan bersama melintasi keramaian di tempat ini. Banyak sekali remaja seumuranku yang tengah bergandengan dengan pasangannya. Benakku tersenyum menggodaku. Sialan. Aku lupa kalau sekarang Edmund  sedang menggandeng tanganku. Wajahku kembali memanas. “Aku sudah menyiapkan makan malam untuk kita. Aku harap kau suka,” bisiknya di telingaku. Aku menatap kagum lampu-lampu kecil yang mengelilingi kami dengan meja makan yang telah tertata dengan rapi juga wine. Ouh. Aku meringis pelan dalam hati. Apa yang akan dikatakannya jika dia tahu aku belum pernah minum wine? Hey, lagipula aku masih ilegal untuk minum itu, aku bahkan belum delapan belas.
Aku tahu dia akan memesan roast meats karena kami suka daging, aku dan Edmund memiliki banyak kesamaan lainnya. Dan hidangan penutupnya yang paling kusuka pie. Aku tersenyum menatapnya. “Aku selalu suka melihatmu makan dan sekarang, makanlah.” Aku mengambil garpu dan pisau lalu menyantap makan malamku.

Aku menatap ragu pada segelas wine yang kini berada dalam tanganku. Yang benar saja, aku belum pernah meminumnya, bagaimana rasanya? “Cobalah, hanya satu gelas tak akan memuatmu mabuk.” Aku menatap Edmund dan dia tersenyum padaku lalu menyeruput kembali wine-nya. Baiklah, akan kucoba. Aku menegak minuman dengan warna kemerahan ini. Awalnya, rasa panas menyengat di tenggorokkanku, tapi lama-lama semuanya berubah dan kurasa ini tak terlalu buruk. “Bagaimana?”
“Lumayan.” Edmund terkikik melihat ekspresi wajahku. Malam itu berlalu bersama hujan deras yang mendadak turun dan akhirnya aku tak bisa menghabiskan pie-ku. Edmund memakaikan blazernya padaku dan menggandeng tanganku untuk berlari bersamanya. Kami tertawa bersama sambil terus berlari menuju mobilnya yang ia parkir cukup jauh dari tempat indah itu.


~~
Aku terlonjak dari tempat tidurku saat merasakan bau busuk yang begitu menyengat dan mataku nyaris keluar melihat kaus kaki ku yang belum kucuci selama satu bulan kini berada tepat di depan wajahku. Aku menepis benda itu dan melotot pada seorang gadis yang selama ini menjadi kakakku dan saudaraku satu-satunya. Dia tertawa lepas sambil memegangi perutnya dan itu membuat mood-ku bertambah buruk di pagi hari ini. Kepalaku sedikit pusing, mungkin ini efek dari kejadian tadi malam.
Well, selamat pagi, Teddypop.”
Aku memutar bola mataku. “Apa yang kau lakukan di kamarku pagi-pagi buta seperti ini?”
Dia kembali terkikik. “Hanya mencoba untuk membangunkan adik pemalasku ini. Sekarang, bersihkan tubuhmu lalu sarapan. Aku dan mom akan menunggu di bawah.”
Aku hanya berdeham dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Aku bisa merasakan dia sedang menggelengkan kepalanya dan aku tak perduli.

Sebenarnya, aku terkejut ketika melihat Carren ada di sini, maksudku aku senang dia sudah ada di sini, tapi aku hanya belum siap untuk memberitahukan padanya tentang siapa pria yang sering kuceritakan padanya. Aku takut, entahlah aku juga tak mengerti bagaimana bisa perasaan seperti ini muncul padaku, Carren adalah saudara kembarku, dan aku tak tahu mengapa aku merasa takut untuk bercerita padanya tentang Edmund.
Aku tersenyum lebar saat melihat sosok perempuan paruh baya yang begitu kurindukan kini sedang terduduk di meja makan bersama dengan ayah dan Carren. Ya ampun, aku sangat merindukan keluargaku yang utuh seperti saat ini.
“Aku sengaja mengantar Carren kemari karena dia sudah sangat merindukan adiknya, nanti siang aku akan pulang ke Swiss, ada banyak pekerjaan yang sudah menungguku,” oceh ibuku. Dia selalu begitu, cerewet dan terkadang itu adalah satu hal yang kurindukan terjadi di ruang makan setiap hari. “Tidak bisakah, kau berada di sini lebih lama lagi? Carra juga membutuhkanmu sebagai ibunya,” kali ini ayahku menyahut.
“Maafkan aku, Aku benar-benar sedang tak punya banyak waktu luang dan lain kali jika aku cuti panjang, aku akan berkunjung kemari dan menjalankan tugasku sebagai ibu juga untuk Carra,” balas ibuku dan duduk di meja makan lalu mulai memakan sarapannya. Aku menghela nafas dalam hati, itu tak terlalu buruk harusnya, aku masih bisa menghabiskan waktu akhir pekanku ini bersama Carren, itu takkan menjadi masalah yang serius.

“Jadi, apa kau akan mengenalkanku pada teman kencanmu?”
Aku menoleh menatap Carren yang tengah menaik turunkan alisnya, oh demi Tuhan itu konyol sekali, apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan?
“Tidak, aku tak akan mengatakan apa pun mengenai itu, lagi pula kurasa aku juga memiliki privasiku sendiri,” kataku tegas. Dia terkekeh geli. Dia benar-benar sudah gila.
“Baiklah, aku tak akan memaksamu. Jadi, apa sekarang aku boleh bercerita?”
Alisku terangkat keatas menatapnya heran, tak biasanya dia memancingku seperti ini hanya untuk bercerita. Well, kami sedang berada di salah satu café kesukaan kami. Setelah mengantar ibuku ke bandara, kami langsung pergi untuk jalan-jalan.
“Aku bertemu dengan seorang pria ketika aku ke toilet tadi, dan dia sangat tampan, kau tak akan percaya jika kau melihatnya sendiri, selama aku di Swiss, aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini hanya dengan bersitatap cukup lama dengan seorang pria yang tampan, biasanya aku akan cuek saja, tapi dia terlihat berbeda, matanya berwarna cokelat muda jernih, senyuman di wajahnya terlihat begitu tulus, dan dia sangat tampan,” ucapnya panjang lebar. Aku memutar bola mataku malas, jadi dia sedang menyukai seseorang atau lebih tepatnya dia sedang mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Baiklah, baik, sekarang aku mengerti. Kau sedang jatuh cinta, bukankah begitu?” Aku menatapnya menggoda dengan menaik turunkan alisku. Sungguh sebenarnya selama ini Carren adalah tipekal yang cukup tertutup, dan dia jarang sekali bercerita tentang pria yang disukainya padaku. Selama ini, akulah yang lebih banyak bercerita. Aku merasa senang karena dia mau terbuka padaku. “Entahlah, kurasa begitu, aku sangat berharap bisa bertemu dengannya lagi.”
Aku tertkekeh, dia benar-benar konyol. Setelah aku sadar jika aku mencintai Edmund, aku tak pernah merasa merindukannya, maksudku kebanyakkan orang akan saling merindukan satu sama lain, tapi aku tak seperti itu. Mungkin karena aku bertemu dengannya setiap hari di sekolah.
Lusa, aku akan menghadapi ujian sedangkah, Carren, dia sudah mendapatkan liburnya sekarang dan aku tak sabar untuk terbebas dari rutinitas sebagai siswi tingkat akhir. “Hey, kau tak mendengarku ya?”
Aku terseret keluar dari lamunanku dan menatap Carren yang tengah melotot padaku. “Apa yang kau pikirkan? Hah, jadi dari tadi aku bercerita sendirian seperti orang gila rupanya,” ocehnya. Aku memutar lagi bola mataku, berlebihan sekali. “Kurasa, aku ingin pulang sekarang, aku ingin istirahat dan belajar untuk ujianku,” kataku yang disambut dengan tawa gelinya.
“Oh, aku senang, akhirnya kau mau belajar juga.” Apa-apaan!
“Sialan kau.”

~~
Hari ini adalah hari terakhir ujian dan itu sangat menyenangkan. Aku akan terbebas setelah hari ini. Selama satu minggu ini, aku merasa ada yang aneh pada Carren, dia sering pulang terlambat ke rumah dan dia juga sering melamun lalu terkadang tersenyum sendiri seperti orang gila. Aku jadi heran padanya, apa mungkin ini bersangkutan dengan pria yang dia temui di toilet waktu itu? Aku menggelengkan kepalaku untuk menghilangkan pikiran-pikiran itu dari kepala cantikku.
“Edmund.” Aku melambaikan tanganku padanya, dan lantas berlari kecil menghampirinya. “Kau mau kemana? Terburu-buru sekali,” ujarku penuh selidik. Itu sudah biasa terjadi antara kami, karena kami bersahabat baik, sangat baik malah.
“Ya, aku sedang ada janji dengan seseorang dan aku yakin dia sedang menunguku. Maafkan aku, akhir-akhir ini kita jarang bersama-sama, lain kali jika aku ada waktu, kita akan pergi berdua. Oke?” Aku hanya tersenyum mengangguk padanya. Dia memelukku dan mengecup pelan dahiku. Aku menatap punggung lebarnya yang berjalan cepat menjauh dariku tanpa menoleh sedikit pun.
Tubuhku terjatuh di atas kursi halaman belakang sekolah. Tanganku terangkat meremas kemeja yang kupakai, rasanya sesak. Sudah satu minggu ini, untuk yang pertama kalinya dia terasa begitu jauh dariku. Dan, aku merasakah perasaan yang begitu aneh, seperti kehilangannya. Ya, aku merasa jika aku sudah kehilangannya sekarang. Mungkin, aku telah merasakan bagaimana rasanya merindukan seseorang. Itu sangat tidak enak, rasanya kecewa, sakit, dan perih. Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Apa dia sudah bosan menjadi temanku? Mungkinkah seperti itu?
Cairan hangat mengalir membasahi pipiku, membentuk aliran sungai kecil pada wajahku. Entahlah, kurasa aku sudah cukup menahan perasaan sakit yang mendadak menyerangku selama satu minggu ini. Untuk hari saja, aku akan mengizinkan diriku untuk menangis lagi pula terkadang satu-satunya yang kita butuhkan adalah menangis.

Aku mendesah malas dan terus menggonta-ganti cennel tv di hadapanku. Err, membosankan sekali. Kemana sih Carren pergi? Harusnya dia tidak pergi dan meninggalkan aku bersama dengan kebosanan yang mengerubuniku.
Aku bangkit dari sofa santai yang sejak dua jam kududukki tanpa melakukan apa pun selain menghabiskan cemilan yang ku beli setelah aku puas menangis di halaman belakang sekolah. Aku sangat yakin jika aku membutuhkannya.
Senyuman lebar di wajahku luntur begitu melihat siapa yang saat ini berdiri di hadapanku. Sekarang, aku merasa seperti jatuh ke dalam jurang yang curam dan gelap. Aku merasakan sakit yang begitu luar biasa di jantungku, seolah hatiku sedang di tikam oleh benda tajam. Air mata mendadak menggenang di pelupuk mataku. Di hadapanku berdiri Carren dan seorang pria yang begitu kukenal, Edmund Vallace, tengah bergandengan tangan. Wajahnya mereka tampak berseri-seri dan aku melihatnya dengan jelas jejak-jejak kebahagiaan itu di wajah Carren. Aku memaksa diriku untuk menarik sebuah senyuman di wajahku.
“Kau pasti terkejut, aku akan ceritakan semuanya padamu nanti, sekarang, apa aku boleh masuk? Kami kehujanan tadi,” jelas Carren. Aku tersentak dan merasa begitu bodoh sekarang. Aku seperti baru saja ditampar dengan begitu keras, menggeser tubuhku dan mmeberi ruang untuk mereka masuk lantas kembali menutup pintunya. Aku berjalan meninggalkan mereka menuju kamarku. Air mata itu jatuh tanpa komando. Aku mengunci pintu kamarku dan menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur.
— “Kau pasti terkejut . . .”
Ya, aku sangat-sangat dan sangat terkejut, Carren. Ya tuhan, inikah akhir dari kisah percintaanku? Bahuku naik turu seiring dengan isakkan tangis yang keluar dari mulutku tanpa bisa kucegah lagi. Mengapa rasanya sesakit ini? Ini sakit sekali. Sesak itu hadir kembali, membuat kusulit untuk bernafas dengan baik. aku memukul-mukul dadaku berharap rasa sesak dan sakitnya akan berkurang.
—“Ya, aku sedang ada janji dengan seseorang dan aku yakin dia sedang menunguku…”
Jadi, selama satu minggu ini mereka kencan, dan tak pernah mengatakannya padaku? Jadi, pria yang ditemui Carren waktu itu adalah Edmund? Kenapa jadi seperti ini?
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku melepaskan Edmund? Ya ampun, harusnya aku sadar jika dia hanya menganggapku sebagai sahabatnya saja, harusnya aku tak memiliki harapan jika dia akan menyukaiku seperti aku menyukainya. Harusnya aku tahu, jika Carren memang jauh lebih baik dari pada aku. Dia pintar dalam segala hal sedangkan aku, hanya bisa membuat onar di mana-mana.
Bodoh, dia saudara kembarmu harusnya kau bisa mengalah padanya, lagi pula apa kau lupa, dia sudah bertarung nyawa demi menyalamatkanmu dulu? Lalu, apa salahnya jika kau membalas budi baiknya padamu yang begitu menyayangimu, Carra? Cinta bukanlah satu-satunya hal yang penting di sini, pikirkan perasaan Carren jika dia tahu Edmund adalah pria yang selama ini kau cintai? Dia akan hancur, apa kau bisa bayangkan jika itu terjadi? Kau menyayanginya kan? Kau harus berkorban untuknya dengan merelakan cinta pertamamu bersama saudara kembarmu. Kau harus merelakannya, Carra.
Benakku berkecamuk ria, terus memberiku saran tentang apa yang harus kulakukan untuk menghadapi hal seperti ini. Akhirnya, aku mengangguk pada diriku sendiri. Aku akan merelakan Edmund bersama dengan Carren, tapi aku akan pergi menjauh dari mereka. Mungkin, aku akan menerima tawaran dari kepala sekolahku tadi, untuk mengambil beasiswa ke Melbourne. Aku akan berangkat lusa setelah menerima rapot akhirku yang memang akan di selesaikan terlebih dulu jika aku menerima tawaran itu. Ya, ini adalah satu-satunya jalan terbaik. Jika aku tetap bertahan di sini, aku tak yakin bisa menghadapi semuanya dengan baik. Tapi dengan aku berada jauh dari mereka aku akan baik-baik saja dan dengan perlahan aku akan melupakan rasa cintaku pada Edmund, lalu bisa tersenyum seperti biasa saat melihat mereka bersama-sama.

Aku sudah meminta izin pada ayahku dan sudah menelpon ibuku dan mereka telah setuju dengan pilihanku. Hanya saja, Carren tak menegurku setelah dia tahu aku akan pergi. Aku tak ingin memperdulikannya saat ini, aku sedang mencoba untuk memperbaikki hatiku yang hancur. Aku juga sudah mengatakan pada Edmund untuk menjaga kakakku dan dia juga marah padaku karena aku pergi tanpa memberitahunya kabar apa pun. Dia merasa tak pernah dianggap sebagai seorang sahabat olehku.
Seandainya mereka tahu jika aku pergi untuk melupakan rasa cintaku dan mencoba merelakan kebersamaan mereka. Tapi hal itu akan kusimpan sendiri. Biarkan aku yang menyimpannya. Aku hanya ingin melihat kakakku bahagia. Aku sangat menyayanginya, dan tak ingin melihatnya bersedih karena kenyataannya kami mencintai pria yang sama.
Aku mendesah pelan saat mendengar pengumuman pesawat yang akan kunaikki telah terdengar. Aku berdiri dari tempat dudukku dan lantas memeluk ayahku sesaat. Air mataku mengalir saat dia melepaskan pelukkan eratnya padaku.
“Aku yakin kau sudah dewasa dan mampu menjaga dirimu sendiri, belajarlah dan jangan kecewakan aku,” ujarnya. Aku mengangguk cepat dan kembali memeluknya. “Aku berjanji tak akan mengecewakanmu, Dad.”
Aku beralih memeluk ibuku. Dia sudah menangis tersedu sejak tadi. “Kumohon, kau harus terus mengabariku setiap hari. Kau tahu bukan jika aku sangat menyayangimu hmm,” lirihnya. Aku mengangguk pelan dan menghapus air mata yang membuatku merasa semakin berat untuk pergi. “Aku berjanji, Mom.”
Aku menatap Carren dengan lembut, berusaha menyembunyikan kenyataan padanya. “Aku tak tahu harus mengatakan apa, tapi cepatlah kembali dan jaga dirimu baik-baik.” Aku tersenyum dan memeluknya sesaat. “Ya, tentu saja.”
Yang terakhir adalah Edmund. Aku menatap matanya yang memancarkan kesedihan luar biasa itu. Jika ini berat untuknya, lalu ungkapan apa yang pantas untuk keadaanku sendiri?
“Jaga dirimu, Carra,” lirihnya. Aku mengangguk dan menjabat tangannya. Tidak, aku tak ingin memeluknya. Itu akan menambah rasa sakitku. “Ya,” balasku.
Aku berbalik setelah melambaikan tanganku pada mereka. Aku tak akan kembali ke mari selama tiga setengah tahun, aku sudah mengatakan pada ayah dan ibuku untuk tidak pernah mengatakan apa pun mengenai di mana aku tinggal di Melbourne. Aku benar-benar ingin memulai hidup baruku di sana dan melupakan Edmund.
Selamat tinggal, cinta pertama~



TAMAT

Sabtu, 30 November 2013

BACK TO YOUR MIRACLE (cerpen islami)



Title : Back to Your Miracle
Author     : Valleria Russel
Genre       : Historical Fiction, Low Fantasy, dan Romance
Cast : Delisa Malik dan Muhammad Bilal
Leght       : Oneshoot
Rated      : 13-Teens
Twitter    :valleria russel








Delisa Malik menyudahi wiridnya malam itu saat mendengar suara seorang pria yang sudah tak asing lagi meneriakkan namanya. Gadis itu melepas mukenahnya dan lantas berjalan keluar dari ruang pribadinya sebagai seorang perempuan. Mata hijau cantiknya bersinar menatap seorang pria yang sudah ia kenal sejak beberapa tahun lalu lebih tepatnya tahun 2002. Mereka seolah ditakdirkan untuk bertemu dan menjalani apa yang harus mereka jalani, sebuah scenario yang telah di tulis oleh Sang Pencipta.
“Delisa, kita harus segera meninggalkan tempat ini, bangsa terkutuk itu sudah berhasil melacak keberadaan kita, jika kita terlambat maka kita tak akan bisa bernafas dengan baik.” Gadis itu mendesah pelan. Sebenarnya dia sudah terbiasa jika harus berlari kesana kemari untuk mempertahankan hidupnya dan memegang teguh janjinya untuk selalu berada dalam lingkup agama Allah SWT. “Kita akan pergi, tapi aku harus membereskan beberapa hal, kau bisa menunggu.”
Delisa membuka tas berukuran sedang yang ia miliki dan lantas memasukkan beberapa jilbab serta kerudungnya bersama dengan mukenah, sajadah, dan yang paling penting Al-Qur’an. Dia kembali keluar dan menemui Bilal yang sudah siap dengan ranselnya. Entahlah, gadis itu sudah lupa berapa kali mereka melarikan diri dari kejaran orang-orang tak punya akal itu. Di negara seperti ini harusnya mereka berdua bebas menikmati dan memilih apa yang mereka inginkan namun nyatanya, setelah kejadian tragis di bulan september tahun 2001 lalu telah mengubah semua kehidupan muslim di sini. Kabar yang mereka dengar adalah semua umat muslim harus berpindah agama jika masih ingin hidup atau akan mendapat hukuman gantung.
Itu mengerikan. Delisa kembali menghela nafasnya dan menaikki mobil temannya tersebut, dia berharap masih ada kesempatan untuknya melakukan shalat malam nanti malam. “Maafkan aku, sebenarnya aku juga lelah jika kita harus terus bersembunyi seperti ini, tapi kita tak mungkin menyerahkan diri. Kita adalah satu-satunya yang tersisa dan aku ingin kita tetap bisa memperjuangkan apa yang menjadi janji kita, Delisa. Kita akan melangkah bersama-sama untuk menghadapi bangsa terkutuk yang begitu di benci oleh Allah itu.” Pria bernama Muhammad Bilal itu menatap sekilas kearah gadis di sampingnya yang nampak memejamkan matanya. Dalam hati, pria itu merasa bersalah tak mampu melindungi gadis itu semaksimal mungkin, tapi apa pun yang terjadi mereka akan tetap bertahan sampai akhir nanti. Mereka tak akan membiarkan orang-orang itu menang dengan mudah.

Sebenarnya, Delisa dan Bilal tak sama sekali paham mengapa semua orang menyalahkan Islam atas tragedi itu dan mengharuskan semua umat Islam di Amerika berpindah agama. Dalam Islam itu sama dengan murtad yang dosanya tak akan terampuni.
Meledaknya gedung World Trade Center itu menyebabkan semua yang tadinya tenang menjadi hancur berantakan, orang-orang kristiani kini mengira jika agama Islam adalah agama teroris. Bagi yang tak berilmu, mereka tentu saja akan dengan mudah mempercayai itu, tapi bagi yang berilmu mereka akan dengan mudah menebak hal tersebut tak mungkin terjadi dengan mudah. Sesuatu yang terorganisir dengan baik berada di balik kejadian itu, sesuatu yang berniat menguasai semua isi dunia ini dan melenyapkan adanya agama selain agama mereka.

Mobil lama yang dikendarai Bilal menepi di sebuah motel kecil di pinggir jalan kota Pentagon. Bilal melepas sorbannya dan keluar dari mobil, dia melangkah dengan santai menuju meja resepsionis lalu menanyakan apakah masih ada kamar kosong. Tapi, bukan nasip baiknya motel itu tak menyisakan satu pun kamar kosong untuk mereka.
Dia kembali melangkah memasukki mobilnya dan melihat Delisa terusik dari tidur nyenyaknya. Mata mereka bertemu tatap sekilas. “Maaf, apa kita tak bisa mencari tempat untuk shalat?”
Bilal mengangguk pelan, dia memang belum shalat isya’ dan dia tak bisa menjalankan shalat malamnya. Belum sempat mobil itu berjalan, mereka dikejutkan dengan kehadiran tiba-tiba sebuah mobil yang menghalangi jalan mereka. Hati Delisa mendadak gelisah dan dia berpikir jika tiga mobil yang sedang menghalangi jalan mereka adalah mobil dari orang-orang yang akan menangkap dan lantas menghukum mereka.
“Ya Allah, siapa mereka?”
“Aku tak tahu, kurasa kita harus melarikan diri dari sini tanpa harus membuat mereka curiga. Delisa, pindahlah ke belakang dan bersembunyilah agar mereka tak dapat melihat keberadaanmu,” ujarnya dengan tegas. Gadis itu tak banyak bicara selain menuruti perintah temannya itu.
Delisa melompat ke kursi belakang dan lantas bersembunyi di balik kegelapan. Dalam hati gadis itu terus mengucapkan do’a berharap tak terjadi apa pun pada mereka dan semuanya akan tetap baik-baik saja. Gadis itu menutup matanya saat sayup-sayup ia mendengar percakapan antara Bilal dan orang asing yang ia yakini salah satu orang dari dalam ke tiga mobil hitam yang menghalangi jalan mereka.
“Maaf, ada yang bisa kami bantu?”
“Tidak, terima kasih, aku hanya sedang mencari penginapan, tapi ternyata tak ada kamar kosong di motel ini.”
“Baiklah, semoga perjalanan Anda menyenangkan. Selamat malam.”
Delisa membuka matanya saat merasakan kepergian orang asing itu dan lantas mobil Bilal mulai bergerak meninggalkan motel kecil itu. Dia menghembuskan nafas lega saat mereka tak sama sekali di curigai, tentu saja jika orang-orang itu tahu dan melihatnya tadi sudah pasti mereka akan mendapat masalah karena identitas seorang muslimah tak dapat di tutup-tutupi begitu saja.
“Apa aku sudah boleh kembali duduk di depan?”
Oh, tentu saja, untung saja orang-orang itu tak curiga.”
Delisa kembali melompat ke kursi depan di samping teman satu-satunya. Bilal adalah satu-satunya yang ia kenal saat ini. Semua keluarga gadis itu sudah berpindah agama dan memutuskan untuk meninggalkannya sendirian. Dalam hatinya, dia selalu bersyukur bisa bertemu dengan pemuda yang satu agama dengannya itu, dia beruntung Allah mempertemukannya dengan pemuda sebaik Bilal.
“Jadi, kemana kita akan pergi?”
Bilal melirik Delisa sekilas dan mengangkat bahunya tanda tak tahu. Dia juga masih memikirkan kemana mereka akan sembunyi.
“Kurasa akan lebih baik jika kita mencari masjid,” lirih Delisa. Dia merasa tak yakin dapat menemukan rumah Allah setelah orang-orang yang terkutuk itu membasmi nyaris semua umat muslim di negara ini. Ya Allah. Delisa mendesah dalam hatinya merasa semua yang mereka lakukan akan sia-sia saja. Mereka tak bisa selamanya bersembunyi kan.
“Aku tak yakin kita bisa menemukannya, Del.” Bilal menggeleng lemah.
Bagaimana mungkin semua ini terjadi pada mereka? Mereka lelah jika harus berlari dan bersembunyi seperti ini terus. Persediaan uang yang mereka miliki sudah semakin menipis. Sial. Ini bukan nasip baik.

Malam itu berlalu begitu saja, pagi membangunkan Delisa dari tidur sesaatnya yang jauh dari kata nyenyak. Mereka menepikan mobil dan bersembunyi dibalik rerumputan tinggi di pinggiran kota Pentagon. Mata hijau daun indah gadis itu melirik seorang pria yang selama ini menemaninya dalam semua keadaan selama beberapa tahun ini, dalam hati gadis itu terkagum tak dapat memungkiri jika Bilal adalah seorang pria yang tampan. Subhana Allah. Delisa mendesis dalam hatinya. Gadis itu menggelengkan pelan kepalanya, dia tak boleh melakukan itu. Mereka berteman dan akan selamanya seperti itu.
Delisa melangkahkan kakinya keluar dari mobil teman prianya dan lantas sebuah senyuman merekah di wajah putih berserinya. Entahlah, dia sudah lupa kapan terakhir kali dia bisa menghirup udara segar di pagi hari dengan tenang. Semua hal berat dan berbagai macam rintangan yang telah terjadi di hidupnya membuatnya sulit untuk melakukan apa pun. Tak seperti dulu, saat dia masih memiliki hidup dan kebahagiaannya.
Tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan dalam hatinya. ‘Siapa yang sebenarnya ada dibalik semua ini? Apa benar orang-orang kristiani? Atau mungkin ada kelompok lain yang sengaja ingin mengacaukan ketentraman agama Islam, dan lagi apa benar orang-orang yang selama ini mengejarnya dan Bilal adalah orang kristiani?’
Delisa mendesah perlahan. Mendadak dia merasa pusing karena semua yang ia tanyakan dalam pikirannya tak kunjung mendapatkan jawaban yang pasti.
“Akhirnya kami menemukan keberadaan kalian. Aku tak habis pikir, jika kalian umat muslim yang lemah hanya bisa berlari dan terus bersembunyi. Kapan kalian akan menghadapi kenyataan jika sebentar lagi tak akan ada satu pun agama yang hidup di bumi ini selain agama kami?”
Tubuh gadisk itu menegang dan dengan cepat ia menutup wajahnya dan hanya membiarkan matanya yang terlihat lalu berbalik saat mendengar suara asing yang tertangkap pendengarannya. Delisa menatap tak percaya pada beberapa orang yang kini berdiri di hadapannya. Ya Allah, baru beberapa menit yang lalu aku bisa bisa merasakan lagi menghirup udara segar dengan tenang, tapi sekarang berubah dengan begitu cepat.  
“Siapa kalian?”
“Delisa Malik. Itu namamu kan? Nama yang cantik seperti orangnya, meski pun aku belum pernah melihat wajahmu dan sekarang juga kau menutupinya dengan cadar. Well, aku sudah lelah untuk berbasa-basi. Jadi sekarang, aku akan membawa kau dan juga kekasihmu itu untuk menjemput kematian kalian. Bawa mereka.”
Delisa terdiam saat dua orang bertubuh besar itu mencengkram kedua sisi lengannya. Dan ada dua lagi yang berjalan kearah mobil lalu menarik Bilal keluar dari tidurnya nyenyaknya secara paksa. Mata hijau Delisa menatap Bilal sesaat sebelum akhirnya orang-orang berpakaian hitam itu membawa mereka berdua entah kemana.
Ya Allah, inikah akhir dari semuanya?. Delisa berucap lirih dalam hatinya. Ya Allah, jika memang ini akan menjadi akhir, hamba ikhlas. Bilal memejamkan matanya dan memasrahkan apa pun yang akan terjadi pada mereka nanti.

Delisa menatap bingung kearah sekelilingnya. Dalam hati dia bertanya-tanya, ada dimana dia sekarang. Dia melirik kearah Bilal yang tampak menunjukkan ekspresi yang sama dengannya. Yang mereka ingat, mereka telah di tangkap dan lantas semuanya menjadi gelap. Apa ini tempat di mana mereka disekap? Tidak. Tidak mungkin jika mereka di sekap di tempat seindah ini. Delisa berdecak kagum dari balik cadarnya, ini tak pernah terlihat ada di dunia tempatnya tinggal.
“Aku senang, akhirnya aku bisa bertemu dengan kalian.” Tubuh Delisa dan Bilal sontak berbalik saat mendengar suara yang asing yang ditujukan untuk mereka.
“Baiklah, aku sudah menunggu hari ini sejak lama, untuk memberitahukan kepada kalian mengenai apa yang sebenarnya sudah terjadi di bumi, dan siapa yang ada di balik semua yang telah terjadi saat ini,” ujar seorang pria paruh baya yang tampak bersinar dan tak nyata. Dahi keduanya berkerut seketika, merasa tak sama sekali mengerti maksud perkataan orang asing itu.
“Sebelum kau katakan hal-hal itu, ada baiknya jika kau memberitahu kami, dimana sebenarnya ini?”
Delisa melirik Bilal melalui mata hijaunya. “Itu bukanlah sesuatu yang penting untuk dibicarakan saat ini. Aku diberi perintah untuk menyampaikan dan membantu kalian menjawab semua pertanyaan yang kalian tanyakan dalam hati kalian namun tak kunjung mendapatkan jawabannya.” Orang asing itu melangkah maju mendekati Bilal. Bahkan dari caranya berjalan siapa pun bisa melihat jika dia bukanlah seorang yang sering disebut dengan sebutan manusia biasa. “Meledaknya gedung kembar itu memiliki suatu alasan yang sangat jelas, tentu saja penyebabnya bukanlah karena gedung itu di tabrak oleh pesawat. Tapi, ada hal lain yang lebih terorganisir dan mereka merupakan suatu bentuk kelompok yang sudah sejak lama menyebar kesemua penjuru dunia. Kelompok besar yang memiliki pergerakkan begitu rapi hingga terkadang dianggap sepeleh oleh kaum manusia. Mereka adalah satu-satunya alasan mengapa gedung kembar itu meledak dan menyebarkan berita jika kelompok Al-Qaeda adalah organisasi yang ada di balik semua ini.”
“Tunggu, apa maksudmu mereka adalah orang-orang yang menangkap kami?” Kini Delisa berhasil menemukan suaranya yang sempat hilang. “Ya, mereka yang sering disebut sebagai golongan penganut satan, illuminati, zionis, freemason, kabbalah, dan lain-lain dengan lambang paling terkenal milik mereka, lambang mata satu.” Hati Delisa dan Bilal tersentak saat mendengar jawaban dari orang asing yang kini mereka yakin adalah salah satu wali Islam. Tentu, Delisa maupun Bilal tahu apa yang sedang menunggu mereka saat ini.
“Mereka sengaja memasang bom di berbagai tempat dalam gedung itu dan lantas pesawat hanyalah bukti nyata agar mereka tak sama sekali terlihat dan dengan mudahnya menyebarkan berita bahwa orang-orang dari Al-Qaeda adalah pelakunya. Mereka ingin mengacaukan agama Allah SWT. Mereka ingin menghapus agama apa pun yang ada di bumi ini dan membuat hanya ada satu agama saja, yaitu agama mereka. Dan agama Allah adalah yang pertama, sebentar lagi, agama lain akan menyusul, jika kalian tak dengan cepat menyelesaikan ini, maka kemaksiatan dan kesesatan akan merajai bumi ini. Muhammad Bilal dan Delisa Malik, kalian adalah manusia yang diberi tugas untuk mencegah kesesatan itu berlangsung dengan sangat mudah untuk mereka. Mereka harus tahu jika mereka tak akan pernah menang dari kebenaran yang sesungguhnya. Hentikan mereka! Selamat bekerja!”
Dua pasang mata itu terbuka seketika dan terkejut saat melihat mereka terkurung di sebuah ruang kosong yang hampa. Ruang kedap suara.
“Kurasa itu tadi adalah sebuah petunjuk untuk segera bebas dari sini,” ujar Bilal dan dibalas anggukan pasti dari Delisa. Mereka bergerak bersama, aliran aneh menyatu dengan darah Delisa saat tangan hangat Bilal menggenggam tangannya, mencoba untuk melindunginya. Dalam diam dia tersenyum sebelum kembali waspada pada apa yang tengah mereka hadapi saat ini.
Dengan mudah mereka bisa keluar dari ruangan itu karena siapa pun yang bodoh itu tak mengunci pintunya. Bilal berada di depan Delisa menutupi tubuh kecil gadis itu dan mencoba menebak apa yang harus mereka lakukan. Apa yang harus mereka hentikan?
“Delisa?”
Tubuh gadis itu kaku dan langkah kakinya terhenti saat mendengar suara seseorang yang familiar di telinganya. Itu Zeany Malik, kakak perempuannya, dengan pakaian hitam-hitam tampak sama persis seperti orang-orang yang tadi menangkapnya, sudah tak ada lagi kerudung yang menutupi kepalanya, rambut indahnya tergulung dengan rapi. Jadi, selama ini golongan penganut satanisme adalah apa yang ada di balik semua yang terjadi. Ya Allah, ini sungguh sulit untuk dipercaya. Delisa mendesah dalam hatinya.
“Maafkan aku. Aku sudah melanggar dua syahadat-ku dan sekarang tolong izinkah aku membantu kalian untuk menghentikan ritual pemanggilan yang akan dilakukan lima menit lagi,” ujar kakaknya. Itu dia! Bilal dan Delisa berpandangan dan mengangguk setuju. Mereka menemukan apa yang harus mereka hentikan saat ini.
Dengan langkah seribu Delisa, Bilal dan Zeany melangkah menuju sebuah ruangan untuk mengambil beberapa bom untuk meledakkan ruangan yang berisikan orang-orang bodoh yang ada dalam golongan satanisme. “Ini, ini bom yang sama, seperti yang mereka gunakan untuk meledakkan gedung kembar itu. Pasang ini di sudut belakang kanan ruangan lalu segeralah tinggalkan tempat ini, kalian tak seharusnya ada di sini. Ayo!” Delisa menggenggam dua bom kecil yang ia yakini jika meledak bom itu tak akan sama sekali menunjukkan jejaknya. Satu tangannya lagi digenggam oleh Bilal. Mereka kembali melangkah menuju ruangan ritual kelompok satan itu.
Seperti yang diberitahukan kakaknya, Delisa memasang bom itu di balik karpet hitam di sudut paling belakang sebelah kanan. Dia tersenyum pada Bilal dan lantas mereka dengan cepat meninggalkan ruangan mengerikan itu. Jelas sekali jika mereka sedang berhadapan dengan orang-orang yang nama organisasinya selama ini hanya mereka baca di internet. Zeany tersenyum saat melihat adik kesayangannya telah keluar dari ruangan itu. “Tinggalkan tempat ini, Delisa. Dan Kau, jaga adikku bersamamu. Aku percayakan dia padamu. Selamat jalan.”
Delisa menggelengkan kepalanya. “Tidak, kau akan ikut dengan kami.” Zeany menggelengkan kepalanya. “Aku tetap di sini, cepat pergi, Delisa. Sekarang.”
Delisa tak sempat berkata saat Bilal menarik tangannya untuk berlari dengannya. Mereka menemukan jalan keluar dengan mudah dan lantas berlari meninggalkan rumah besar bergaya Victoria itu. Tiga menit kemudian, mereka menyaksikan rumah itu meledak dan hangus terbakar. Dalam hati Delisa menangis, itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Zeany. Dan bahkan dia tak sempat bertemu dengan ibu atau ayahnya. “Ini sudah selesai, Delisa.” Bilal merangkul gadis yang ia sayangi itu dan lantas mereka berjalan bersama meninggalkan tempat itu. []  
 



TAMAT~