Senin, 06 Juli 2015

INTO HIS WORLD BAB 1


WARNING : Masih pemula, masih amatiran, masih dalam proses belajar, butuh saran dan komentar yang membangun juga. Jadilah pembaca yang baik! Jangan mengkopi apapun tanpa izin! Maaf buat typos yang bertebaran disana-sini. Happy Reading!


BAB 1


Yang akan selalu kurindukan dari kota ini adalah musim panasnya, udara segar khas pesisir pantai akan mampu menenangkan hati juga pikiran yang sedang kacau. Aku juga akan selalu merindukan pantai yang ramai dan jangan lupakan tentang pria-pria tampan dengan papan seluncur juga tubuh seksi. Kue pai buatan Jessica juga akan selalu kurindukan. Jika aku memikirkan hal-hal yang membuatku akan sangat merindukan tempat ini, kurasa itu akan menjadi daftar yang sangat panjang.
Kata orang tempat ini bukanlah tempat di mana seharusnya aku berada, tapi sejak kecil aku memang hanya mengenal kota ini. Miami. Tempat yang memiliki pantai paling indah yang pernah kutahu karena memang aku belum pernah mengunjungi pantai lain yang berada di luar kota ini. Aku pernah ke New York beberapa kali untuk melihat-lihat eh bisa dikatakan seperti menghabiskan waktu, konyol memang tapi kata Jessica jika kita tidak konyol maka kita akan kehilangan hidup yang sesungguhnya. Ah dan beberapa kali untuk acara-acara perusahaan pamanku.
Jessy selalu bilang, jadilah seseorang yang konyol, nikmati hidup dengan kekonyolan dan selalu bersikap santai karena jika kau menjalani hidup ini dengan serius maka ketika masalah bertubi-tubi datang menghampirimu kau akan gila dan selanjutnya kau akan berakhir di rumah sakit jiwa, tapi jika kau menjalani hidup dengan konyol dan santai ketika masalah bertubi-tubi datang kau akan memiliki pengendalian diri.
Oh, aku lupa mengenalkan siapa Jessica, dia adalah satu-satunya keluarga yang kupunya, dia adalah kakak sepupuku, dia anak dari kakak laki-laki ibuku. Jessica Fletcher. Kami lahir dan besar di kota ini, tapi aku selalu menjadi perhatian setiap orang tiap kali aku berada di tengah keramaian. Mereka akan melihatku seolah-olah aku ini adalah elien. Sekarang aku mengerti mengapa hal itu terjadi karena memang perawakanku berbeda dengan mereka yang tinggal di sini. Kulit kecoklatan, rambut pirang atau cokelat gelombang, dan tubuh seksi. Aku tidak punya semuanya, bahkan Jessica memiliki semuanya. Hanya aku yang berbeda. Kulitku putih pucat, rambut hitam dan tubuhku biasa saja.
Kata paman, ayahku tidak berasal dari sini. Paman bilang, ayahku berasal dari Asia, dia berasal dari Korea Selatan. Dan kesanalah aku akan pergi. Sudah cukup tujuh belas tahun aku menumpang hidup dengan pamanku. Ya, ibuku meninggal ketika dia melahirkanku. Nama ibuku adalah Evelyn Fletcher. Entah kenapa dia tak pernah mengubah namanya karena ketika seorang wanita menikah dia pasti akan mendapatkan nama suaminya. Terkadang aku bertanya-tanya, mengapa ibuku tak pernah mengubah namanya. Tapi dia sudah tak ada bersamaku bahkan aku tak pernah mengenalnya di sepanjang hidupku. Aku tahu wajahnya, dia cantik, sangat cantik. Seharusnya aku mirip dengan ibuku, tapi kata paman dan Jessica keseluruhan dari perawakanku ini tak sama sekali mirip dengannya, kecuali mataku. Sisanya aku menurut pada ayahku. Kulit putih pucat, rambut hitam dan nama. Aku memakai marga Kim.
Kata paman, ayahku bermarga Kim. Aku tak tahu ada berapa banyak orang dengan marga Kim di dunia ini, tapi aku sudah bertekad akan mencarinya. Aku akan membawa foto ibuku bersamaku dan akan menunjukkannya pada seseorang yang dikatakan paman akan bisa membantuku menemukan ayahku.
Aku mengambil penerbangan terakhir hari ini menuju Seoul. Mungkin ini bukan yang pertama aku menaiki pesawat, tapi ini adalah yang pertama aku keluar dari Amerika. Aku harap pesawat yang akan kunaiki nanti berhasil mengantarkanku ke Seoul dengan selamat. Tentu saja, tempat itu berada sangat jauh dari Miami. Aku pasti akan merasa asing di sana. Tapi tak ada yang bisa kulakukan, aku harus menemukan ayahku dan bertanya padanya mengapa dia tak pernah mencariku, mengapa dia meniggalkan istrinya, mengapa dia tak pernah peduli, dan ada begitu banyak hal yang ingin kutanyakan ketika aku bertemu dengannya nanti.
“Sampai kapan kau akan duduk di sini? Semua barangmu sudah selesai di packing dan nanti malam kau tinggal berangkat saja. Oh iya, ayahku sudah membelikan apartemen untukmu di sana. Ya, kau tahu Seoul itu kota berkelas, hanya orang-orang dengan perusahaan besar saja yang memiliki rumah pribadi, kebanyakan masyarakatnya akan tinggal di apartemen, mulai dari yang sederhana hingga yang mahal semuanya ada. Dan ayahku sudah memesan tempat yang layak untuk keponakan yang paling dia sayangi. Seandainya saja aku tidak melaksanakan ujian semesterku, aku akan ikut terbang bersamamu dan menemanimu sampai kau bisa benar-benar menjaga dirimu dengan baik. Kau tahu, di sana banyak orang asing, aku takut kau akan kenapa-napa,”
“Tenanglah, Jessy. Aku akan baik-baik saja. Apa kau lupa, kita sudah dilatih bela diri nyaris sepanjang kebersamaan kita dan aku mampu melindungi diriku sendiri. Lagipula, aku yakin tak ada hal yang menarik dari diriku hingga mampu membuat seseorang ingin mencelakaiku. Jadi, kau tenang saja, aku berjanji padamu, sampai kau menyusulku nanti dan bertemu denganku, aku akan baik-baik saja. Kau hanya perlu menyelesaikan ujianmu selama satu minggu dan lalu kau akan mendapatkan liburanmu. Baru setelah itu kau bisa menyusulku kesana.” Gadis itu memutar bola matanya dan menghela napas pasrah. Dia adalah tipekal gadis yang susah diam, dia cerewet sekali.
Memang yang kulakukan hari ini hanyalah duduk di pinggir pantai, menikmati acara melamun panjang yang entah kapan bisa kudapatkan lagi. Sementara orang-orang sibuk mempersiapkan kebutuhanku dan mengemasi barang-barangku. “Apa kau yakin dengan semua ini? Maksudku, pergi kesana dan mencari ayahmu? Mengapa kau tidak tinggal di sini bersama kami. Bukankah selama ini ayahku sudah seperti ayahmu juga?”
“Tidak, tentu saja, aku selalu menganggap paman adalah ayahku karena dia satu-satunya sosok orangtua yang kukenal dan juga bibi Joan. Tapi aku tidak bisa tetap berada di sini, Jess. Kumohon cobalah untuk mengerti. Ada sesuatu tentang aku yang tak pernah aku tahu. Aku lahir ke dunia ini dan orang yang melahirkanku meninggalkanku tanpa pernah memberitahu asal-usulku. Aku harus menemukan orang itu. Orang yang telah membuangku begitu saja, orang yang tak pernah peduli padaku. Dan mencari tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.”
“Aku mencoba untuk mengerti dengan sangat keras, Yoora. Tapi tetap saja, seumur hidupku, sepanjang kebersamaan kita, aku selalu memilikimu sebagai adikku. Lalu bagaimana bisa aku membiarkanmu mengelana sendiri, di tempat asing yang letaknya sangat jauh dari sini? Aku menyayangimu lebih dari apapun. Kau satu-satunya saudaraku, adikku yang sangat aku sayangi. Seandainya ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan niatmu untuk pergi,” ujarnya tertunduk lesu disampingku.
“Kau tak harus melakukan apapun, Jess. Dan aku juga sangat menyayangimu. Kau tak perlu mengkhawatirkanku, aku berjanji padamu kalau aku akan tetap baik-baik saja. Aku sudah dewasa dan mampu untuk menghadapi semuanya. Lagipula kau bisa menelponku kapan pun kau mau.” Aku memeluknya erat. Ini adalah perpisahan paling menyakitkan yang pernah kurasakan. Lebih sakit dari pada perpisahanku dengan pacar pertamaku. Mungkin karena aku tak pernah benar-benar menyayanginya.
“Baiklah, aku menyerah. Lebih baik, kita masuk sekarang. Kau harus mandi dan bersiap untuk pesta perpisahan sebelum kami mengantarmu ke bandara nanti.”
Aku bangkit mengikutinya dan berjalan dengan kaki telanjang kembali menuju Resort milik pamanku. Kami memang sengaja menghabiskan waktu di sini untuk membuat pesta perpisahanku juga. Kami sekeluarga tinggal di pusat kota Miami dengan rumah yang luar biasa, dirancang langsung oleh orang Perancis. Meski kami adalah keluarga sosialita terpandang, paman dan bibi selalu mengajarkan kami untuk menjadi seorang yang sederhana dan apa adanya, aku dan Jessy memang mengenakan barang-barang branded, tapi sesungguhnya yang orang lain tak pernah tau adalah semua barang-barang itu adalah belian bibi Joan, bukan aku atau Jessy yang membelinya, kami hanya tinggal pakai saja.
 Pamanku itu seorang pengusaha tambang, dia kaya tapi selalu hidup dengan sederhana. Aku dan Jessica dibiasakan sejak kecil untuk hidup apa adanya meski kita memiliki lebih banyak rezeki dari orang lain. Itu adalah cara terbaik agar seseorang dapat memahami nilai dari sesuatu hal dibanding hidup berpoya-poya.

Begitu sampai di Resort. Semua orang sudah berkumpul di ruang santai. Semua orang, ada paman, bibi, nenek, dan kakek, oh kami berdua jangan lupa. Semuanya terlihat sama, seperti biasa, hangat dan penuh dengan cinta. Disinilah aku belajar untuk membangun hubungan yang baik. Meski aku tak pernah mengenal orangtuaku, tapi aku selalu memiliki mereka semua, sebagai keluargaku dan tempat di mana aku membagi semua hal.
“Yoora, Aku sudah membelikanmu apartemen di sana dan aku juga sudah menghubungi temanku untuk mendaftarkanmu di sekolah barumu. Kau harus melanjutkan sekolahmu, lagipula kau sudah tingkat tiga, sayang jika kau tak menyelesaikannya.”
“Terima kasih, Uncle. Aku akan menyelesaikan sekolah dengan baik dan akan menemukan ayahku.” Semua orang tersenyum sendu padaku. Aku benci dikasihani, aku tak suka siapapun mengasihaniku. Aku baik-baik saja selama ini tanpa orangtuaku. Dan aku akan tetap baik-baik saja.
Kami memulai makan malam dan karoke bersama di ruang santai, tertawa dan saling melempar lelucon. Aku akan sangat merindukan tempat ini dan juga rumah. Entah kapan aku akan kembali, aku juga tak tahu apakah aku akan kembali atau tidak.

“Oke, semuanya sudah siap dan sekarang waktunya kau untuk berangkat.”
Aku memeluk satu per satu anggota keluargaku dan terakhir memeluk Jessica. Dia menangis sesegukan. “Kenapa kau ingin pergi? Tak bisakah kau melupakan siapa orangtuamu dan menganggap orangtuaku adalah orangtuamu? Tak bisakah kau melupakan masalalumu dan menguburnya lalu menjalani kehidupan baru di sini saja? Atau mungkin kita bisa pergi ke New York dan menetap di sana. Tolonglah, jangan pergi, Yoora,” isaknya di bahuku.
“Kita sudah membahas ini berkali-kali, Jess. Dan aku juga sudah memohon padamu untuk mengerti keadaanku. Kita tak akan berpisah selamanya, kau bisa menyusulku ketika kau mendapatkan liburanmu.”
“Oke, maafkan aku, aku hanya sulit untuk mengerti. Berhati-hatilah dan jaga dirimu.”
Aku melambai pada mereka dan masuk ke ruang tunggu untuk menunggu giliran boarding untuk pesawat yang kunaiki. Tanganku meraih saku jaket tebalku dan mengeluarkan selembar foto. Foto seorang wanita, dia berbalutkan gaun keemasan yang terlihat sangat indah di tubuhnya. Tersenyum kearah kamera, tampak begitu muda dan bahagia.
Mom, sekali pun aku tak pernah mengenalmu, aku yakin kau adalah wanita yang baik. Hanya saja waktu tak mengizinkanku untuk benar-benar mengenalmu. Seseorang duduk di sampingku ketika aku kembali memasukan foto ibuku ke dalam saku jaket tebalku.
Aku melirik dari sudut mataku, orang itu mengenakan pakaian tertutup lengkap dengan masker, hingga yang terlihat hanyalah matanya saja. Seorang pria dengan kulit putih pucat sama sepertiku. Aneh, apa yang membuatnya memakai pakaian super tertutup seperti itu. Seandainya saja dia Justin Bieber, mungkin aku akan memeluknya dan tak pernah melepasnya. Aku suka Justin tentu saja, nyaris semua gadis remaja sepertiku dari berbagai penjuru dunia ini menyukai dan tergila-gila padanya. Aku memang salah satu dari mereka.
Orang asing itu menoleh padaku, mungkin dia merasa diperhatikan. Aku melihat warna mata hitam pekatnya menatapku dengan dingin. Aku mengalihkan pandanganku karena merasakan sesuatu yang aneh pada matanya. Dia terlihat begitu mengintimidasi hanya dengan tatapan mata saja. Ya ampun, darimana datangnya perasaan gugup ini.
Aku menghela napas lega ketika jam boarding pesawatku tiba dan itu artinya aku akan berada jauh dari orang asing yang dingin ini. Aku hanya takut jika dia adalah seorang psikopat. Siapa yang tahu, lagipula saat ini orang baik di dunia sudah jarang ditemui.
Aku meninggalkan orang asing itu yang tampak santai dengan iPod di genggamannya. Semoga aku tak pernah bertemu dengannya lagi.
                                                 
Aku memasang earbud-ku dan menekan tombol on pada iPod-ku lalu memandang keluar jendela. Beruntung sekali, aku dapat tempat duduk paling pinggir dekat jendela, jadi aku tak akan mati kebosanan karena ini bukanlah penerbangan yang singkat tentu saja.
Aku kembali menoleh ketika merasakan pergerakan di sampingku. Mataku melotot saat melihat orang asing yang tadi, kini sudah terduduk di sampingku. Apa yang dilakukannya di sini? Dasar bodoh, tentu saja inikan bukan pesawat pribadiku hingga aku harus bingung melihat orang-orang yang tak kukenal masuk.
Aku juga melihat keterkejutan di wajahnya meski wajahnya itu tertutup masker. Sok sekali sih dia, sampai harus menutup wajah seperti itu. Ah aku tahu dia pasti memiliki wajah yang jelek dan karena dia malu dilihat oleh orang lain jadi dia menutupi wajahnya dengan masker. Aku menghapus wajah terkejutku dan memasang wajah tak acuh lantas mengalihkan pandanganku kembali ke luar. Pesawatnya sudah berangkat dan aku benar-benar meninggalkan Miami. Aku akan merindukan tempat itu dan semua kenangan yang kumiliki di sana. Selamat datang hidup baru!

“Hei, bangunlah, sampai kapan kau akan tidur di sini? Kita harus transit sekarang!”
Aku mengerjapkan mataku saat merasakan sesuatu yang lembut menepuk-nepuk pipiku. Tubuhku tersentak dan refleks tanganku melayang mengenai wajah pria asing yang duduk di sampingku hingga tubuhnya terpental kearah berlawanan.
“Apa yang mau kau lakukan padaku? Kau pasti berniat jahat padakukan? Kau harus tahu aku bisa mematahkan tanganmu dengan sekali gerakan jika kau berani macam-macam.” Aku berteriak padanya.
“Gadis gila! Berani sekali kau memukulku! Aku hanya ingin membangunkanmu karena sekarang kita harus berganti pesawat. Dasar sial! Harusnya aku biarkan saja kau tertidur di sini dan kau akan sampai ke tempat lain bukannya ke Seoul. Aku benar-benar menyesal karena sudah menolongmu.”
Setelah memakiku dia pergi meninggalkanku. Ya Tuhan, apa aku sudah salah karena memukulnya? Tidak, tentu saja tidak, siapa suruh dia berada dalam jarak yang begitu dekat dengan wajahku. Apa aku harus meminta maaf? Ya ampun, aku bahkan belum sampai di Seoul dan sudah mendapatkan masalah seperti ini.
Aku berlari mengejar pria asing itu, dia belum pergi terlalu jauh, kurasa aku harus meminta maaf padanya dan meminta tolong juga karena aku tak tahu sekarang ada di mana.
“Hei, tunggu!”
Dia tetap berjalan tanpa memerdulikanku. Aku mengendus kesal. Sombong sekali dia.
Heiiiiiiiiiiiiiii…
Aku berteriak dan berhasil menggapai tangannya. Ia berhenti melangkah dan menatapku dengan dingin. Dasar pria es! Menyebalkan, mimpi apa aku bisa bertemu dengan makhluk dari planet Pluto macam dia.
“Apa lagi? Apa yang kau inginkan?”
“Aku.. aku ingin meminta maaf padamu karena sikapku tadi, aku hanya berpikir kau berniat jahat padaku jadi aku memukulmu, lagipula tadi itu wajahmu terlalu dekat denganku. Aku merasa risih. Maafkan aku, aku janji aku tak akan melakukan itu lagi. Oke? Apa kau mau memaafkanku?”
Pria asing itu memutar bola matanya tampak jengah padaku. Ya ampun, padahal aku sudah memasang wajah paling imut yang kumiliki. Bagaimana bisa itu tidak mempan padanya sih.
“Baiklah, kau boleh meminta apa pun padaku dan aku akan berusaha untuk memenuhinya hanya tiga permintaan. Tapi kau harus membantuku hingga aku sampai di Seoul dan sampai di apartemenku. Bagaimana?”
Aku melihatnya menggelengkan kepala tampak tak habis pikir dengan ucapanku. Apanya yang salah?
“Kau memang benar-benar sudah gila. Aku adalah satu-satunya orang yang berhak membuat penawaran dan memutuskan karena kau yang bersalah di sini. Bisa-bisanya kau membuat penawaran seperti itu padaku.” Aku melotot padanya. Pria es, keras kepala, egois, menyebalkan. Oh aku sudah mendapatkan daftar sifat buruknya.
“Mana bisa seperti itu, di sini kau juga bersalah karena kau sudah membangunkan dengan cara yang tidak sopan seperti tadi. Aku berhak membuat penawaran, terserah kau mau setuju atau tidak yang jelas aku akan mengikutimu sampai aku tiba di Seoul.”
“Sebenarnya kau ini orang korea atau bukan? Mengapa kau tak memakai bahasa korea saja?”
Aku terdiam sesaat mendengar pertanyaannya. Apa benar perawakanku seperti orang-orang korea? Aku pernah melihat orang korea di televisi dan mereka memang terlihat sepertiku. Tapi aku tak bisa bahasa korea sedikitpun.
“Aku.. apa aku terlihat seperti orang korea?”
“Tentu saja, kalau tidak aku tak akan bertanya seperti tadi padamu. Dasar bodoh.” Aku memutar bola mataku padanya. Dia lebih bodoh dariku.
“Aku sebenarnya, lahir di Miami. Aku besar di sana dan aku ingin mencari ayahku di Seoul. Kata pamanku, dia adalah orang korea. Mungkin itulah kenapa aku terlihat seperti orang korea. Tapi aku tak bisa bicara dalam bahasa korea.” Aku meringis ketika dia mengendus kesal.
“Untunglah kau bertemu dengan orang baik sepertiku. Karena aku kasihan padamu aku akan menemanimu hingga kau tiba di tempat tinggalmu nanti. Baik, aku menerima penawaranmu. Tiga permintaan. Dan siapa namamu?”
“Yoora, Kim Yoora.”
“Baik, kau bisa memanggilku Jung,” katanya dengan nada sedingin es di kutub utara.
“Sekarang, kita akan kemana? Dan kenapa kau memakai masker itu? Apa wajahmu habis terkena siraman air yang mendidih, lalu wajahmu melepuh hingga kau harus menutupi wajahmu seperti itu?”
“Lebih baik kau tutup mulutmu itu dan ikuti aku.” Aku sudah bersiap untuk memakinya ketika dia menarik tanganku dan memaksaku berjalan mengikutinya. Ya Tuhan, bagaimana dia bisa bertindak seperti itu pada seorang gadis sepertiku? Apa dia tak pernah diajarkan sopan santun oleh orangtuanya?
Kakiku melangkah dengan tersaruk, bayangkan saja langkah kakinya dua kali langkah kakiku. Dia benar-benar sudah tidak waras. Ya Tuhan, aku berharap aku bisa cepat sampai di apartemenku dan berpisah dari orang yang mengenalkan dirinya sebagai Jung ini, aku juga akan berharap kami tak pernah bertemu lagi.
Oke, itu bagus jika dia memakai maskernya, itu akan membuatku tak bisa mengenali wajahnya dan itu berarti aku tak akan bisa mengenalinya ketika dia tak memakai maskernya, aku tak harus melihat wajahnya dan mengingatnya dalam ingatanku.
Tubuhku membeku saat tangan Jung telah hilang dari pergelangan tanganku dan kini sudah melingkar di bahuku. Aku mendengarnya dan tak bisa menahan perasaan terkejutku saat pacu jantungku mendadak menjadi lebih cepat. Ah, tidak-tidak, jangan pikirkan kemungkinan apapun, ayolah, Yoora, kau bahkan tak tahu bagaimana bentuk wajahnya.
“Mengapa kau merangkulku? Kau tahu, ini terlalu dekat,” bisikku yang mendadak kehilangan tenaga untuk bicara. Entahlah, aku tak tahu kemana hilangnya kekuatan dan energiku untuk berteriak atau mungkin untuk memakinya.
“Aku sedang melindungimu, banyak orang yang akan tahu tentangmu jika sampai wajahmu terlihat oleh mereka.” Dahiku berkerut seketika saat mendengar perkataannya dan tak bisa mengerti maksudnya.
“Jangan bertanya apapun hingga kita sampai di café nanti, pesawatnya delay satu jam.” Aku kembali mengurungkan niatku untuk bertanya padanya.
Kami sampai di Starbucks dan dia memesankanku coffe, sama sepertinya. Lalu kami duduk di salah satu sofa di café ini. Dia duduk di hadapanku dan aku duduk memunggungi jendela. Entah apa ini perasaanku saja atau memang sedari tadi ada yang mengikuti kami dan aku juga melihat blits kamera yang mungkin tertuju pada kami.
Aku mengalihkan pandanganku menatap ke sekeliling tempat ini dan semuanya terlihat normal. Ya, mungkin itu cuma perasaanku saja.
“Apa yang sedang mengganggu pikiranmu itu?”
“Tidak, aku hanya merasa jika sedari tadi seperti ada yang mengawasi kita dari jauh, tapi sudahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja.” Aku tersenyum kecil padanya.
“Ah, itu, itu adalah senyuman pertama yang kau berikan untukku. Ternyata kau terlihat lebih cantik saat sedang cemberut. Senyumanmu itu adalah senyuman paling buruk yang pernah kulihat.” Aku menganga menatap tak percaya pada apa yang baru saja kudengar.
“Hei, apa kau baru saja menghina senyumanku? Asal kau tahu saja, aku memiliki senyuman terbaik di semua anggota keluargaku dan aku yakin senyumanku bahkan lebih bagus dibandingkan denganmu, kau bahkan malu untuk menunjukkan wajahmu padaku kan.”
“Kau akan kehilangan napasmu ketika kau melihat wajahku dan akan kupastikan kau akan sama seperti gadis-gadis lain di luar sana,” katanya. Lalu kami terdiam cukup lama. Aku memikirkan ucapannya barusan, apa-apaan itu. Ini untuk yang pertama kalinya aku bertemu dengan seorang pria yang memiliki kepercayaan diri yang terlalu tinggi.
“Hah, kau terlalu percaya diri, reaksi seperti itu hanya akan kutunjukan jika aku bertemu dengan artis idolaku. Memangnya kau siapa, artis bukan tapi kau berlagak seolah-olah kau adalah pria paling tampan di dunia,” cibirku. Aku melihat keterkejutan samar di matanya.
“Memangnya siapa artis idolamu itu? Aku yakin kalau aku jauh lebih tampan darinya. Sudahlah, ocehanmu itu membuatku pusing, lebih baik kita ke ruang tunggu sekarang.” Dia bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkanku. Oh benar-benar. Dasar pria gila.
Dia saja malu untuk menunjukkan wajahnya padaku, bagaimana bisa dia berkata jika dia akan lebih tampan dari Robert Pattinson. “Hei, tunggu aku.” Aku berteriak saat sadar jika Jung sudah berjalan keluar dari café.

Aku dan Jung sudah berada di dalam pesawat yang kali ini akan benar-benar membawa kami ke Seoul. Lagi-lagi kursinya berada di sampingku. Ya ampun, setidaknya aku harus berterima kasih padanya karena dia mau menemaniku nanti hingga aku sampai di rumah baruku. Ya Tuhan, aku tidak punya siapapun di kota itu, tidak ada keluarga dan aku bahkan tak tahu jalan.
“Apa yang sedang ada di kepala batumu itu?” Aku meninju lengannya dan dia meringis kesakitan. “Apa itu yang selalu kau lakukan pada orang yang bertanya baik-baik padamu? Meninjunya? Dasar tidak tahu sopan santun.”
“Salahmu, kau yang tidak tahu sopan santun. Bagaimana kau bisa memanggil seorang gadis dengan sebutan seperti itu? Dasar pria es.”
“Apa? Apa katamu? Pria es? Kau bahkan lebih tidak sopan dariku, sudah meninjuku, bukannya minta maaf kau malah mengataiku.”
“Untuk apa meminta maaf? Apa kau meminta maaf padaku karena telah menyebutku kepala batu? Kepalamu bahkan lebih keras dari batu.”
“Hei,”
“Apa? Kau mau bilang apa? Jika kau berani mengataiku lagi, aku akan menendang kakimu itu hingga memar.”
“Bagaimana bisa ada seorang gadis yang begitu menyeramkan sepertimu? Asal kau tahu, jika kau terus bersikap kasar dan tidak sopan seperti ini, kau bisa-bisa tak akan mendapatkan teman di sana dan yan lebih parah lagi kau tidak akan mendapatkan pacar. Lagipula mana ada pria yang mau dengan gadis sepertimu, kau berpenampilan seorang gadis tapi tingkahmu sama dengan preman. Kasar dan tidak tahu aturan.”
“Aku akan benar-benar menendang kakimu dan membungkam mulutmu jika kau tidak berhenti berbicara. Aku pasti akan menemukan seorang pria di sana, atau aku akan menemukan seorang pria Amerika yang tampan dan baik hati, tidak menyebalkan dan tidak sedingin es. Kau yang seharusnya berpikir, tidak ada seorang gadis pun yang mau dengan pria yang selalu menutup wajahnya. Seorang gadis pasti ingin memamerkan pada teman-temannya dan semua orang jika dia sudah menemukan pangerannya dan kau, kau bukanlah seorang pangeran, kau adalah penyihir jahat. Setidaknya aku bersikap seperti apa adanya diriku, jadi terserah kau mau bilang apa.”
“Dasar bodoh, berhentilah bermimpi dan hadapi kenyataan hidupmu. Di dunia ini tidak ada yang namanya pangeran. Itu hanya ada di dunia khayal. Dan sebenarnya berapa sih umurmu? Sulit dipercaya jika masih ada seseorang yang memimpikan seorang pangeran seperti dirimu,” ujarnya dengan dingin super menyebalkan.
“Terserah apa katamu. Katakanlah dan berbicaralah sendiri. Kurasa aku tak akan menang berdebat dengan orang sepertimu. Kau bahkan lebih cerewet dari Jessica. Aku ingin tidur. Nanti ketika sampai kau harus membangunkanku dan ingat dengan cara yang sopan dan lembut.” Aku mendengarnya mengendus, tapi dia tak menjawabku lagi. Aku memejamkan mataku ketika kantuk itu benar-benar berhasil melingkupiku. Kepalaku pusing sekali, kuharap aku tak terkena jet lag.

Kembali sesuatu yang lembut terasa menyentuh pipiku. Ah ya ampun, siapa yang berani menganggu tidur nyenyakku. Kepalaku pusing sekali, apa dia tidak tahu.
“Apa kau terkena jet lag? Hei, badanmu panas sekali. Apa kau bisa bangun?”
Mataku yang tadinya terpejam kini terbuka perlahan, pandanganku berbayang-bayang, kabur, wajah Jung ada dua.
“Hei, kenapa wajahmu ada dua?”
“Kau terkena jet lag ternyata, bangunlah, aku akan mengantarmu pulang sampai di rumahmu, teman-temanku sudah menjemput, sekarang mereka pasti sedang menungguku.”
“Apa kita sudah sampai di Seoul? Ah, ini, ini adalah alamat rumah baruku. Apa kau bisa mengantarku kesana? Aku akan menepati janjiku tentang tiga permintaan itu, kau tenang saja, aku bukan seorang yang suka ingkar janji.” Aku memberikan secarik kertas padanya.
“Bahkan ketika sakit seperti ini pun kau masih mampu untuk berbicara sepanjang itu.” Aku mendengarnya menggerutu sebelum aku merasakan tubuhku melayang. Ya Tuhan, mungkin aku benar-benar harus berterima kasih padanya dan pada-Mu karena telah mempertemukanku dengan pria baik sepertinya. Tentu saja, jika dia tidak baik, dia tak mungkin mau repot-repot menggendongku dan bersedia untuk mengantarku pulang.
“Terima kasih,” bisikku di dekat telinganya.
“Nanti saja berterima kasihnya, kau masih memiliki hutang denganku, dan hutang itu akan menjadi dua kali lipat karena kau sudah merepotkanku dengan sakit seperti ini.”
“Hei, berhentilah menggerutu. Lagipula, aku tak pernah berdoa meminta agar aku sakit, tapi memang ini adalah pertama kalinya aku pergi keluar negeri. Jadi, kau tak bisa menyalahkanku untuk situasi seperti ini.” Aku mendengarnya menghela nafas dan selanjutnya hanya keheningan yang terjadi.

“Siapa gadis itu? Apa yang sudah kau lakukan padanya?”
“Aku tidak mengenalnya, kami bertemu di bandara, satu pesawat, satu tujuan, dan tempat duduk bersampingan. Dia orang korea juga, hanya saja dia tak pernah datang kesini, jadi dia benar-benar sendirian di sini. Sekarang, dia sedang sakit, biasa, jet lag. Kita mungkin bisa membawanya ke tempat kita dulu?”
“Apa? Apa kau sudah gila? Kita tak mungkin bisa membawanya. Jika ada tim yang tahu, maka habislah kita. Lebih baik kau bawa dia masuk ke mobil dan kita akan mendiskusikannya sambil jalan.”
Aku mendengar suara-suara asing yang kembali mengganggu tidurku. Ya Tuhan, jika begini terus bagaimana sakit di kepalaku ini bisa hilang.
“Apa kau tertidur?”
“Aku terbangun karena kau berisik. Kita akan ke tempat baruku kan? Kau akan mengantarku kesanakan?”
“Berhentilah bicara dan tidurlah lagi, nanti jika sudah sampai aku akan membangunkanmu.”
Aku mengangguk dan kembali hanyut dengan dunia mimpi yang begitu indah.

“Kumohon, gadis ini sedang sakit dan dia sendirian, aku tak mungkin membiarkannya sendiri di apartemennya. Harus ada seseorang yang merawatnya, lagipula kurasa dia tak mengenal kita, kurasa dia tak pernah mendengar tentang kita, dia bahkan tak sedikitpun mengenal suaraku sejak kami bertemu, biasanya jika seseorang mengenal kita dia pasti akan tahu jika ini adalah suaraku, Hyung.”
“Gila, kau benar-benar sudah gila, kembali dari liburanmu bukannya kau membuat kami senang, tapi kau malah membuat masalah untuk kita semua.”
“Mengertilah, apa kalian tega membiarkan gadis seperti dia sendirian.”
“Hyung, aku setuju dengan Kookie, kita tak mungkin meninggalkan dia sendirian, dia sedang sakit dan kita bertanggung jawab untuk merawatnya.”
“Apa? Mengapa itu menjadi tanggung jawab kita? Kita bahkan tak mengenal dia. Bisa saja dia adalah penggemar gila yang sedang berpura-pura tak kenal kita. Siapa yang tahu.”
“Tidak, aku yakin jika dia memang tidak mengenal kita, dia bahkan tak bisa bicara dalam bahasa korea dan aku yakin dia tak suka musik korea.”
“Ya ampun, mengapa dunia seakan berputar 360° sekarang, hanya karena seorang gadis sepertinya kalian sampai rela mengorbankan diri untuk menghadapi masalah jika kita sampai ketahuan.”
“Itu akan terjadi jika kita ketahuan, tapi aku yakin semua akan baik-baik saja, Hyung.”
“Baiklah, baik, dua lawan satu kalian menang dan jangan bawa aku jika kalian sampai mendapat masalah.”
“Tidak, dia hanya akan tinggal satu malam di tempat kita lalu besok aku akan mengantarnya ke apartemennya.”
Suara-suara asing itu kembali mengusik ketenanganku. Aku berusaha untuk membuka mataku untuk melihat ada siapa saja di mobil ini selain aku dan Jung.
Pandanganku yang buram perlahan-lahan kembali normal saat aku mengedip beberapa kali. Wajah seorang pria yang duduk di samping kemudi adalah yang pertama kali tertangkap oleh mataku, dia tampan dan manis. Aku yakin sekali jika dia bukanlah Jung karena rambutnya berbeda. Siapa dia?
“Hai, aku Taehyung, panggil aku Oppa.” Pria itu mengulurkan tangannya padaku dengan senyuman lebar di wajahnya. Ya ampun, dia manis sekali. Jantungku berdetak dengan cepat, seolah-olah aku sedang memacu kuda sekarang. Tidak, aku tidak boleh menyukai siapapun dulu saat ini. Jagalah matamu itu, Kim Yoora!
“Hei, apa kau mendengarku.” Aku tersentak dari lamunanku dan menghapus wajah konyolku.
“Aku Yoora, dan namamu Taehyung lalu kenapa kau minta dipanggil Oppa? Aku tak menemukan kata Oppa dalam namamu?”
Entah apa yang lucu dari pertanyaanku, tapi semua orang yang ada di mobil ini tertawa. Aku mengedarkan pandanganku dan sekarang aku ada dalam rangkulan Jung yang masih setia memakai masker serta kupluk hitamnya. Lalu ada pria yang bernama Taehyung tapi minta dipanggil Oppa, dan ada pria yang membawa mobil ini, dia terlihat lebih tua, dibanding dengan Jung dan Taehyung. Mungkinkah mereka kakak beradik?
“Kau benar-benar tak tahu apa itu Oppa?”
Dengan pelan aku menggelengkan kepalaku, dia tersenyum ramah padaku.
“Panggilan itu berarti kakak dalam bahasa korea. Apa kau sama sekali tak bisa berbahasa korea?”
“Ini adalah pertama kalinya aku datang kesini dan aku tak mengenal bahasa lain selain inggris dan perancis,” jawabku. “Jadi, aku harus memanggilmu Oppa?”
Mereka kembali tertawa mendengar perkataanku. Hah, ya ampun, apa aku begitu lucu di mata mereka sampai setiap kali aku bertanya mereka akan meresponnya dengan tertawa lebih dulu.
“Ya, kau harus memanggil kami dengan sebutan itu.” Kali ini bukan Taehyung yang menjawab pertanyaanku, tapi Jung.
“Baiklah, Oppa.”
“Itu terdengar lebih baik. Kau jadi terlihat seperti gadis yang manis.” Aku melotot padanya.
“Apa maksudmu dengan terlihat seperti gadis yang manis?”
“Ya, sejak kita bertemu, aku melihatmu seperti gadis liar yang mengerikan.”
“Sial, beraninya kau,” perkataanku terputus ketika mendadak kepalaku berdenyut-denyut. Ya Tuhan, aku meringis cukup keras untuk membuat tiga pria yang bersamaku saat ini tersentak khawatir.
“Apa? Apa kau baik-baik saja?” Jung menyentuh kepalaku dan memijatnya pelan.
“Harusnya kau tak membuatnya kesal seperti itu, dia sedang sakit. Harusnya aku saja yang duduk dibelakang untuk menjaganya,” ucap Taehyung dengan nada kesal, kurasa.
“Aku hanya mengatakan kenyataannya, harusnya dia tak marah seperti itu padaku.”
“Hey, jika kalian berdua berdebat seperti itu, kepala gadis itu akan semakin sakit.” Ah, untuk yang pertama kalinya, pria yang menyetir mobil ini mengeluarkan suaranya. Aku cukup beruntung karena mereka semua bisa berbahasa inggris, jadi aku tak perlu bersusah payah untuk mengerti bahasa mereka.
“Jadi, siapa namamu?” Aku bertanya padanya.
“Seo Jin dan panggil aku Oppa.”
“Oh, tentu saja, aku akan memanggilkan kalian semua dengan panggilan Oppa. Oh ya, aku ingin berterima kasih pada kalian karena sudah mau membantuku. Kurasa, ini seperti keberuntungan untukku karena aku dipertemukan dengan orang-orang baik seperti kalian. Tadinya sebelum aku berangkat, aku berpikir akan menjadi elien yang asing dan kesepian di sini. Tapi aku salah, kalian terlihat seperti aku dan aku senang bisa bertemu dengan kalian, Oppa.”
“Aku juga senang bisa bertemu denganmu, kau gadis yang aneh. Kuharap kita bisa berteman dengan baik.” Aku tersenyum lebar pada Taehyung. Dia adalah yang paling baik meskipun sekarang tangan Jung masih memijat kepalaku.
“Ngomong-ngomong, apa ini benar jalan menuju apartemenku?”
“Tidak, kau tak akan ke apartemenmu hari ini, kau akan tinggal di tempat kami malam ini dan ketika keadaanmu membaik besok aku yang akan mengantarmu pulang ke apartemenmu.” Aku mendongak menatap Jung tak percaya. Bagaimana bisa dia begitu baik padaku? Kami bahkan baru saling kenal kurang dari duapuluh empat jam dan dia bisa begitu baik padaku.
“Apa kau yakin jika itu tak akan merepotkan kalian?” Hening menyelimuti mobil ini, kurasa mereka sedang memikirkan sesuatu untuk menjawab pertanyaanku. Apa pertanyaanku itu sangat sulit sampai mereka berpikir sedemikian rupa untuk menjawabnya?
“Kau bahkan sudah merepotkanku sejak awal, jadi berhentilah bicara dan kembalilah istirahat. Suaramu itu membuat telingaku sakit.”
Sial, kembalilah dia menjadi pria es yang menyebalkan. Aku tak akan betah berada di dekatnya lama-lama. Kurasa aku lebih tertarik untuk mengenal Taehyung dibandingkan dengan Jung. []



Kim Yoora

Jessica

Tidak ada komentar:

Posting Komentar