WARNING : Masih pemula, masih amatiran, masih dalam
proses belajar, butuh saran dan komentar yang membangun juga. Jadilah pembaca
yang baik! Jangan mengkopi apapun tanpa izin! Maaf buat typos yang bertebaran
disana-sini. Happy Reading!
BAB 1
Yang
akan selalu kurindukan dari kota ini adalah musim panasnya, udara segar khas
pesisir pantai akan mampu menenangkan hati juga pikiran yang sedang kacau. Aku
juga akan selalu merindukan pantai yang ramai dan jangan lupakan tentang
pria-pria tampan dengan papan seluncur juga tubuh seksi. Kue pai buatan Jessica
juga akan selalu kurindukan. Jika aku memikirkan hal-hal yang membuatku akan
sangat merindukan tempat ini, kurasa itu akan menjadi daftar yang sangat
panjang.
Kata
orang tempat ini bukanlah tempat di mana seharusnya aku berada, tapi sejak
kecil aku memang hanya mengenal kota ini. Miami. Tempat yang memiliki pantai
paling indah yang pernah kutahu karena memang aku belum pernah mengunjungi
pantai lain yang berada di luar kota ini. Aku pernah ke New York beberapa kali
untuk melihat-lihat eh bisa dikatakan
seperti menghabiskan waktu, konyol memang tapi kata Jessica jika kita tidak
konyol maka kita akan kehilangan hidup yang sesungguhnya. Ah dan beberapa kali
untuk acara-acara perusahaan pamanku.
Jessy
selalu bilang, jadilah seseorang yang konyol, nikmati hidup dengan kekonyolan
dan selalu bersikap santai karena jika kau menjalani hidup ini dengan serius
maka ketika masalah bertubi-tubi datang menghampirimu kau akan gila dan
selanjutnya kau akan berakhir di rumah sakit jiwa, tapi jika kau menjalani
hidup dengan konyol dan santai ketika masalah bertubi-tubi datang kau akan
memiliki pengendalian diri.
Oh,
aku lupa mengenalkan siapa Jessica, dia adalah satu-satunya keluarga yang
kupunya, dia adalah kakak sepupuku, dia anak dari kakak laki-laki ibuku.
Jessica Fletcher. Kami lahir dan besar di kota ini, tapi aku selalu menjadi
perhatian setiap orang tiap kali aku berada di tengah keramaian. Mereka akan
melihatku seolah-olah aku ini adalah elien. Sekarang aku mengerti mengapa hal
itu terjadi karena memang perawakanku berbeda dengan mereka yang tinggal di
sini. Kulit kecoklatan, rambut pirang atau cokelat gelombang, dan tubuh seksi.
Aku tidak punya semuanya, bahkan Jessica memiliki semuanya. Hanya aku yang
berbeda. Kulitku putih pucat, rambut hitam dan tubuhku biasa saja.
Kata
paman, ayahku tidak berasal dari sini. Paman bilang, ayahku berasal dari Asia,
dia berasal dari Korea Selatan. Dan kesanalah aku akan pergi. Sudah cukup tujuh
belas tahun aku menumpang hidup dengan pamanku. Ya, ibuku meninggal ketika dia
melahirkanku. Nama ibuku adalah Evelyn Fletcher. Entah kenapa dia tak pernah
mengubah namanya karena ketika seorang wanita menikah dia pasti akan
mendapatkan nama suaminya. Terkadang aku bertanya-tanya, mengapa ibuku tak
pernah mengubah namanya. Tapi dia sudah tak ada bersamaku bahkan aku tak pernah
mengenalnya di sepanjang hidupku. Aku tahu wajahnya, dia cantik, sangat cantik.
Seharusnya aku mirip dengan ibuku, tapi kata paman dan Jessica keseluruhan dari
perawakanku ini tak sama sekali mirip dengannya, kecuali mataku. Sisanya aku
menurut pada ayahku. Kulit putih pucat, rambut hitam dan nama. Aku memakai
marga Kim.
Kata
paman, ayahku bermarga Kim. Aku tak tahu ada berapa banyak orang dengan marga Kim
di dunia ini, tapi aku sudah bertekad akan mencarinya. Aku akan membawa foto
ibuku bersamaku dan akan menunjukkannya pada seseorang yang dikatakan paman
akan bisa membantuku menemukan ayahku.
Aku
mengambil penerbangan terakhir hari ini menuju Seoul. Mungkin ini bukan yang
pertama aku menaiki pesawat, tapi ini adalah yang pertama aku keluar dari
Amerika. Aku harap pesawat yang akan kunaiki nanti berhasil mengantarkanku ke
Seoul dengan selamat. Tentu saja, tempat itu berada sangat jauh dari Miami. Aku
pasti akan merasa asing di sana. Tapi tak ada yang bisa kulakukan, aku harus
menemukan ayahku dan bertanya padanya mengapa dia tak pernah mencariku, mengapa
dia meniggalkan istrinya, mengapa dia tak pernah peduli, dan ada begitu banyak
hal yang ingin kutanyakan ketika aku bertemu dengannya nanti.
“Sampai
kapan kau akan duduk di sini? Semua barangmu sudah selesai di packing dan nanti malam kau tinggal
berangkat saja. Oh iya, ayahku sudah membelikan apartemen untukmu di sana. Ya,
kau tahu Seoul itu kota berkelas, hanya orang-orang dengan perusahaan besar
saja yang memiliki rumah pribadi, kebanyakan masyarakatnya akan tinggal di
apartemen, mulai dari yang sederhana hingga yang mahal semuanya ada. Dan ayahku
sudah memesan tempat yang layak untuk keponakan yang paling dia sayangi.
Seandainya saja aku tidak melaksanakan ujian semesterku, aku akan ikut terbang
bersamamu dan menemanimu sampai kau bisa benar-benar menjaga dirimu dengan
baik. Kau tahu, di sana banyak orang asing, aku takut kau akan kenapa-napa,”
“Tenanglah,
Jessy. Aku akan baik-baik saja. Apa kau lupa, kita sudah dilatih bela diri
nyaris sepanjang kebersamaan kita dan aku mampu melindungi diriku sendiri.
Lagipula, aku yakin tak ada hal yang menarik dari diriku hingga mampu membuat
seseorang ingin mencelakaiku. Jadi, kau tenang saja, aku berjanji padamu,
sampai kau menyusulku nanti dan bertemu denganku, aku akan baik-baik saja. Kau
hanya perlu menyelesaikan ujianmu selama satu minggu dan lalu kau akan
mendapatkan liburanmu. Baru setelah itu kau bisa menyusulku kesana.” Gadis itu
memutar bola matanya dan menghela napas pasrah. Dia adalah tipekal gadis yang
susah diam, dia cerewet sekali.
Memang
yang kulakukan hari ini hanyalah duduk di pinggir pantai, menikmati acara
melamun panjang yang entah kapan bisa kudapatkan lagi. Sementara orang-orang
sibuk mempersiapkan kebutuhanku dan mengemasi barang-barangku. “Apa kau yakin
dengan semua ini? Maksudku, pergi kesana dan mencari ayahmu? Mengapa kau tidak
tinggal di sini bersama kami. Bukankah selama ini ayahku sudah seperti ayahmu
juga?”
“Tidak,
tentu saja, aku selalu menganggap paman adalah ayahku karena dia satu-satunya
sosok orangtua yang kukenal dan juga bibi Joan. Tapi aku tidak bisa tetap
berada di sini, Jess. Kumohon cobalah untuk mengerti. Ada sesuatu tentang aku
yang tak pernah aku tahu. Aku lahir ke dunia ini dan orang yang melahirkanku
meninggalkanku tanpa pernah memberitahu asal-usulku. Aku harus menemukan orang
itu. Orang yang telah membuangku begitu saja, orang yang tak pernah peduli
padaku. Dan mencari tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.”
“Aku
mencoba untuk mengerti dengan sangat keras, Yoora. Tapi tetap saja, seumur
hidupku, sepanjang kebersamaan kita, aku selalu memilikimu sebagai adikku. Lalu
bagaimana bisa aku membiarkanmu mengelana sendiri, di tempat asing yang
letaknya sangat jauh dari sini? Aku menyayangimu lebih dari apapun. Kau
satu-satunya saudaraku, adikku yang sangat aku sayangi. Seandainya ada yang
bisa kulakukan untuk menghentikan niatmu untuk pergi,” ujarnya tertunduk lesu
disampingku.
“Kau
tak harus melakukan apapun, Jess. Dan aku juga sangat menyayangimu. Kau tak
perlu mengkhawatirkanku, aku berjanji padamu kalau aku akan tetap baik-baik
saja. Aku sudah dewasa dan mampu untuk menghadapi semuanya. Lagipula kau bisa
menelponku kapan pun kau mau.” Aku memeluknya erat. Ini adalah perpisahan
paling menyakitkan yang pernah kurasakan. Lebih sakit dari pada perpisahanku
dengan pacar pertamaku. Mungkin karena aku tak pernah benar-benar
menyayanginya.
“Baiklah,
aku menyerah. Lebih baik, kita masuk sekarang. Kau harus mandi dan bersiap
untuk pesta perpisahan sebelum kami mengantarmu ke bandara nanti.”
Aku
bangkit mengikutinya dan berjalan dengan kaki telanjang kembali menuju Resort
milik pamanku. Kami memang sengaja menghabiskan waktu di sini untuk membuat
pesta perpisahanku juga. Kami sekeluarga tinggal di pusat kota Miami dengan
rumah yang luar biasa, dirancang langsung oleh orang Perancis. Meski kami
adalah keluarga sosialita terpandang, paman dan bibi selalu mengajarkan kami
untuk menjadi seorang yang sederhana dan apa adanya, aku dan Jessy memang
mengenakan barang-barang branded, tapi sesungguhnya yang orang lain tak pernah
tau adalah semua barang-barang itu adalah belian bibi Joan, bukan aku atau
Jessy yang membelinya, kami hanya tinggal pakai saja.
Pamanku itu seorang pengusaha tambang, dia
kaya tapi selalu hidup dengan sederhana. Aku dan Jessica dibiasakan sejak kecil
untuk hidup apa adanya meski kita memiliki lebih banyak rezeki dari orang lain.
Itu adalah cara terbaik agar seseorang dapat memahami nilai dari sesuatu hal
dibanding hidup berpoya-poya.
Begitu
sampai di Resort. Semua orang sudah berkumpul di ruang santai. Semua orang, ada
paman, bibi, nenek, dan kakek, oh kami berdua jangan lupa. Semuanya terlihat
sama, seperti biasa, hangat dan penuh dengan cinta. Disinilah aku belajar untuk
membangun hubungan yang baik. Meski aku tak pernah mengenal orangtuaku, tapi
aku selalu memiliki mereka semua, sebagai keluargaku dan tempat di mana aku
membagi semua hal.
“Yoora,
Aku sudah membelikanmu apartemen di sana dan aku juga sudah menghubungi temanku
untuk mendaftarkanmu di sekolah barumu. Kau harus melanjutkan sekolahmu,
lagipula kau sudah tingkat tiga, sayang jika kau tak menyelesaikannya.”
“Terima
kasih, Uncle. Aku akan menyelesaikan sekolah dengan baik dan akan menemukan
ayahku.” Semua orang tersenyum sendu padaku. Aku benci dikasihani, aku tak suka
siapapun mengasihaniku. Aku baik-baik saja selama ini tanpa orangtuaku. Dan aku
akan tetap baik-baik saja.
Kami
memulai makan malam dan karoke bersama di ruang santai, tertawa dan saling
melempar lelucon. Aku akan sangat merindukan tempat ini dan juga rumah. Entah
kapan aku akan kembali, aku juga tak tahu apakah aku akan kembali atau tidak.
“Oke,
semuanya sudah siap dan sekarang waktunya kau untuk berangkat.”
Aku
memeluk satu per satu anggota keluargaku dan terakhir memeluk Jessica. Dia
menangis sesegukan. “Kenapa kau ingin pergi? Tak bisakah kau melupakan siapa
orangtuamu dan menganggap orangtuaku adalah orangtuamu? Tak bisakah kau
melupakan masalalumu dan menguburnya lalu menjalani kehidupan baru di sini
saja? Atau mungkin kita bisa pergi ke New York dan menetap di sana. Tolonglah,
jangan pergi, Yoora,” isaknya di bahuku.
“Kita
sudah membahas ini berkali-kali, Jess. Dan aku juga sudah memohon padamu untuk
mengerti keadaanku. Kita tak akan berpisah selamanya, kau bisa menyusulku
ketika kau mendapatkan liburanmu.”
“Oke,
maafkan aku, aku hanya sulit untuk mengerti. Berhati-hatilah dan jaga dirimu.”
Aku
melambai pada mereka dan masuk ke ruang tunggu untuk menunggu giliran boarding
untuk pesawat yang kunaiki. Tanganku meraih saku jaket tebalku dan mengeluarkan
selembar foto. Foto seorang wanita, dia berbalutkan gaun keemasan yang terlihat
sangat indah di tubuhnya. Tersenyum kearah kamera, tampak begitu muda dan
bahagia.
Mom, sekali pun aku tak pernah
mengenalmu, aku yakin kau adalah wanita yang baik. Hanya saja waktu tak
mengizinkanku untuk benar-benar mengenalmu. Seseorang duduk
di sampingku ketika aku kembali memasukan foto ibuku ke dalam saku jaket
tebalku.
Aku
melirik dari sudut mataku, orang itu mengenakan pakaian tertutup lengkap dengan
masker, hingga yang terlihat hanyalah matanya saja. Seorang pria dengan kulit
putih pucat sama sepertiku. Aneh, apa yang membuatnya memakai pakaian super
tertutup seperti itu. Seandainya saja dia Justin Bieber, mungkin aku akan
memeluknya dan tak pernah melepasnya. Aku suka Justin tentu saja, nyaris semua
gadis remaja sepertiku dari berbagai penjuru dunia ini menyukai dan
tergila-gila padanya. Aku memang salah satu dari mereka.
Orang
asing itu menoleh padaku, mungkin dia merasa diperhatikan. Aku melihat warna
mata hitam pekatnya menatapku dengan dingin. Aku mengalihkan pandanganku karena
merasakan sesuatu yang aneh pada matanya. Dia terlihat begitu mengintimidasi hanya
dengan tatapan mata saja. Ya ampun, darimana datangnya perasaan gugup ini.
Aku
menghela napas lega ketika jam boarding pesawatku tiba dan itu artinya aku akan
berada jauh dari orang asing yang dingin ini. Aku hanya takut jika dia adalah
seorang psikopat. Siapa yang tahu, lagipula saat ini orang baik di dunia sudah
jarang ditemui.
Aku
meninggalkan orang asing itu yang tampak santai dengan iPod di genggamannya. Semoga aku tak pernah bertemu dengannya lagi.
Aku
memasang earbud-ku dan menekan tombol
on pada iPod-ku lalu memandang keluar
jendela. Beruntung sekali, aku dapat tempat duduk paling pinggir dekat jendela,
jadi aku tak akan mati kebosanan karena ini bukanlah penerbangan yang singkat
tentu saja.
Aku
kembali menoleh ketika merasakan pergerakan di sampingku. Mataku melotot saat
melihat orang asing yang tadi, kini sudah terduduk di sampingku. Apa yang
dilakukannya di sini? Dasar bodoh, tentu saja inikan bukan pesawat pribadiku
hingga aku harus bingung melihat orang-orang yang tak kukenal masuk.
Aku
juga melihat keterkejutan di wajahnya meski wajahnya itu tertutup masker. Sok
sekali sih dia, sampai harus menutup wajah seperti itu. Ah aku tahu dia pasti memiliki
wajah yang jelek dan karena dia malu dilihat oleh orang lain jadi dia menutupi
wajahnya dengan masker. Aku menghapus wajah terkejutku dan memasang wajah tak
acuh lantas mengalihkan pandanganku kembali ke luar. Pesawatnya sudah berangkat
dan aku benar-benar meninggalkan Miami. Aku akan merindukan tempat itu dan
semua kenangan yang kumiliki di sana. Selamat datang hidup baru!
“Hei,
bangunlah, sampai kapan kau akan tidur di sini? Kita harus transit sekarang!”
Aku
mengerjapkan mataku saat merasakan sesuatu yang lembut menepuk-nepuk pipiku.
Tubuhku tersentak dan refleks tanganku melayang mengenai wajah pria asing yang
duduk di sampingku hingga tubuhnya terpental kearah berlawanan.
“Apa
yang mau kau lakukan padaku? Kau pasti berniat jahat padakukan? Kau harus tahu
aku bisa mematahkan tanganmu dengan sekali gerakan jika kau berani
macam-macam.” Aku berteriak padanya.
“Gadis
gila! Berani sekali kau memukulku! Aku hanya ingin membangunkanmu karena
sekarang kita harus berganti pesawat. Dasar sial! Harusnya aku biarkan saja kau
tertidur di sini dan kau akan sampai ke tempat lain bukannya ke Seoul. Aku benar-benar
menyesal karena sudah menolongmu.”
Setelah
memakiku dia pergi meninggalkanku. Ya Tuhan, apa aku sudah salah karena
memukulnya? Tidak, tentu saja tidak, siapa suruh dia berada dalam jarak yang
begitu dekat dengan wajahku. Apa aku harus meminta maaf? Ya ampun, aku bahkan
belum sampai di Seoul dan sudah mendapatkan masalah seperti ini.
Aku
berlari mengejar pria asing itu, dia belum pergi terlalu jauh, kurasa aku harus
meminta maaf padanya dan meminta tolong juga karena aku tak tahu sekarang ada
di mana.
“Hei,
tunggu!”
Dia
tetap berjalan tanpa memerdulikanku. Aku mengendus kesal. Sombong sekali dia.
“Heiiiiiiiiiiiiiii…”
Aku
berteriak dan berhasil menggapai tangannya. Ia berhenti melangkah dan menatapku
dengan dingin. Dasar pria es! Menyebalkan, mimpi apa aku bisa bertemu dengan
makhluk dari planet Pluto macam dia.
“Apa
lagi? Apa yang kau inginkan?”
“Aku..
aku ingin meminta maaf padamu karena sikapku tadi, aku hanya berpikir kau
berniat jahat padaku jadi aku memukulmu, lagipula tadi itu wajahmu terlalu
dekat denganku. Aku merasa risih. Maafkan aku, aku janji aku tak akan melakukan
itu lagi. Oke? Apa kau mau memaafkanku?”
Pria
asing itu memutar bola matanya tampak jengah padaku. Ya ampun, padahal aku
sudah memasang wajah paling imut yang kumiliki. Bagaimana bisa itu tidak mempan
padanya sih.
“Baiklah,
kau boleh meminta apa pun padaku dan aku akan berusaha untuk memenuhinya hanya
tiga permintaan. Tapi kau harus membantuku hingga aku sampai di Seoul dan
sampai di apartemenku. Bagaimana?”
Aku
melihatnya menggelengkan kepala tampak tak habis pikir dengan ucapanku. Apanya
yang salah?
“Kau
memang benar-benar sudah gila. Aku adalah satu-satunya orang yang berhak
membuat penawaran dan memutuskan karena kau yang bersalah di sini. Bisa-bisanya
kau membuat penawaran seperti itu padaku.” Aku melotot padanya. Pria es, keras
kepala, egois, menyebalkan. Oh aku sudah mendapatkan daftar sifat buruknya.
“Mana
bisa seperti itu, di sini kau juga bersalah karena kau sudah membangunkan
dengan cara yang tidak sopan seperti tadi. Aku berhak membuat penawaran,
terserah kau mau setuju atau tidak yang jelas aku akan mengikutimu sampai aku
tiba di Seoul.”
“Sebenarnya
kau ini orang korea atau bukan? Mengapa kau tak memakai bahasa korea saja?”
Aku
terdiam sesaat mendengar pertanyaannya. Apa benar perawakanku seperti
orang-orang korea? Aku pernah melihat orang korea di televisi dan mereka memang
terlihat sepertiku. Tapi aku tak bisa bahasa korea sedikitpun.
“Aku..
apa aku terlihat seperti orang korea?”
“Tentu
saja, kalau tidak aku tak akan bertanya seperti tadi padamu. Dasar bodoh.” Aku
memutar bola mataku padanya. Dia lebih bodoh dariku.
“Aku
sebenarnya, lahir di Miami. Aku besar di sana dan aku ingin mencari ayahku di
Seoul. Kata pamanku, dia adalah orang korea. Mungkin itulah kenapa aku terlihat
seperti orang korea. Tapi aku tak bisa bicara dalam bahasa korea.” Aku meringis
ketika dia mengendus kesal.
“Untunglah
kau bertemu dengan orang baik sepertiku. Karena aku kasihan padamu aku akan
menemanimu hingga kau tiba di tempat tinggalmu nanti. Baik, aku menerima
penawaranmu. Tiga permintaan. Dan siapa namamu?”
“Yoora,
Kim Yoora.”
“Baik,
kau bisa memanggilku Jung,” katanya dengan nada sedingin es di kutub utara.
“Sekarang,
kita akan kemana? Dan kenapa kau memakai masker itu? Apa wajahmu habis terkena
siraman air yang mendidih, lalu wajahmu melepuh hingga kau harus menutupi
wajahmu seperti itu?”
“Lebih
baik kau tutup mulutmu itu dan ikuti aku.” Aku sudah bersiap untuk memakinya
ketika dia menarik tanganku dan memaksaku berjalan mengikutinya. Ya Tuhan,
bagaimana dia bisa bertindak seperti itu pada seorang gadis sepertiku? Apa dia
tak pernah diajarkan sopan santun oleh orangtuanya?
Kakiku
melangkah dengan tersaruk, bayangkan saja langkah kakinya dua kali langkah
kakiku. Dia benar-benar sudah tidak waras. Ya Tuhan, aku berharap aku bisa
cepat sampai di apartemenku dan berpisah dari orang yang mengenalkan dirinya
sebagai Jung ini, aku juga akan berharap kami tak pernah bertemu lagi.
Oke,
itu bagus jika dia memakai maskernya, itu akan membuatku tak bisa mengenali
wajahnya dan itu berarti aku tak akan bisa mengenalinya ketika dia tak memakai
maskernya, aku tak harus melihat wajahnya dan mengingatnya dalam ingatanku.
Tubuhku
membeku saat tangan Jung telah hilang dari pergelangan tanganku dan kini sudah
melingkar di bahuku. Aku mendengarnya dan tak bisa menahan perasaan terkejutku
saat pacu jantungku mendadak menjadi lebih cepat. Ah, tidak-tidak, jangan
pikirkan kemungkinan apapun, ayolah, Yoora, kau bahkan tak tahu bagaimana
bentuk wajahnya.
“Mengapa
kau merangkulku? Kau tahu, ini terlalu dekat,” bisikku yang mendadak kehilangan
tenaga untuk bicara. Entahlah, aku tak tahu kemana hilangnya kekuatan dan
energiku untuk berteriak atau mungkin untuk memakinya.
“Aku
sedang melindungimu, banyak orang yang akan tahu tentangmu jika sampai wajahmu
terlihat oleh mereka.” Dahiku berkerut seketika saat mendengar perkataannya dan
tak bisa mengerti maksudnya.
“Jangan
bertanya apapun hingga kita sampai di café nanti, pesawatnya delay satu jam.” Aku kembali mengurungkan
niatku untuk bertanya padanya.
Kami
sampai di Starbucks dan dia memesankanku coffe, sama sepertinya. Lalu kami
duduk di salah satu sofa di café ini. Dia duduk di hadapanku dan aku duduk
memunggungi jendela. Entah apa ini perasaanku saja atau memang sedari tadi ada
yang mengikuti kami dan aku juga melihat blits kamera yang mungkin tertuju pada
kami.
Aku
mengalihkan pandanganku menatap ke sekeliling tempat ini dan semuanya terlihat
normal. Ya, mungkin itu cuma perasaanku saja.
“Apa
yang sedang mengganggu pikiranmu itu?”
“Tidak,
aku hanya merasa jika sedari tadi seperti ada yang mengawasi kita dari jauh,
tapi sudahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja.” Aku tersenyum kecil padanya.
“Ah,
itu, itu adalah senyuman pertama yang kau berikan untukku. Ternyata kau
terlihat lebih cantik saat sedang cemberut. Senyumanmu itu adalah senyuman
paling buruk yang pernah kulihat.” Aku menganga menatap tak percaya pada apa
yang baru saja kudengar.
“Hei,
apa kau baru saja menghina senyumanku? Asal kau tahu saja, aku memiliki
senyuman terbaik di semua anggota keluargaku dan aku yakin senyumanku bahkan
lebih bagus dibandingkan denganmu, kau bahkan malu untuk menunjukkan wajahmu
padaku kan.”
“Kau
akan kehilangan napasmu ketika kau melihat wajahku dan akan kupastikan kau akan
sama seperti gadis-gadis lain di luar sana,” katanya. Lalu kami terdiam cukup
lama. Aku memikirkan ucapannya barusan, apa-apaan itu. Ini untuk yang pertama
kalinya aku bertemu dengan seorang pria yang memiliki kepercayaan diri yang
terlalu tinggi.
“Hah,
kau terlalu percaya diri, reaksi seperti itu hanya akan kutunjukan jika aku
bertemu dengan artis idolaku. Memangnya kau siapa, artis bukan tapi kau
berlagak seolah-olah kau adalah pria paling tampan di dunia,” cibirku. Aku
melihat keterkejutan samar di matanya.
“Memangnya
siapa artis idolamu itu? Aku yakin kalau aku jauh lebih tampan darinya.
Sudahlah, ocehanmu itu membuatku pusing, lebih baik kita ke ruang tunggu
sekarang.” Dia bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkanku. Oh
benar-benar. Dasar pria gila.
Dia
saja malu untuk menunjukkan wajahnya padaku, bagaimana bisa dia berkata jika
dia akan lebih tampan dari Robert Pattinson. “Hei, tunggu aku.” Aku berteriak
saat sadar jika Jung sudah berjalan keluar dari café.
Aku
dan Jung sudah berada di dalam pesawat yang kali ini akan benar-benar membawa
kami ke Seoul. Lagi-lagi kursinya berada di sampingku. Ya ampun, setidaknya aku
harus berterima kasih padanya karena dia mau menemaniku nanti hingga aku sampai
di rumah baruku. Ya Tuhan, aku tidak punya siapapun di kota itu, tidak ada
keluarga dan aku bahkan tak tahu jalan.
“Apa
yang sedang ada di kepala batumu itu?” Aku meninju lengannya dan dia meringis kesakitan.
“Apa itu yang selalu kau lakukan pada orang yang bertanya baik-baik padamu?
Meninjunya? Dasar tidak tahu sopan santun.”
“Salahmu,
kau yang tidak tahu sopan santun. Bagaimana kau bisa memanggil seorang gadis
dengan sebutan seperti itu? Dasar pria es.”
“Apa?
Apa katamu? Pria es? Kau bahkan lebih tidak sopan dariku, sudah meninjuku,
bukannya minta maaf kau malah mengataiku.”
“Untuk
apa meminta maaf? Apa kau meminta maaf padaku karena telah menyebutku kepala
batu? Kepalamu bahkan lebih keras dari batu.”
“Hei,”
“Apa?
Kau mau bilang apa? Jika kau berani mengataiku lagi, aku akan menendang kakimu
itu hingga memar.”
“Bagaimana
bisa ada seorang gadis yang begitu menyeramkan sepertimu? Asal kau tahu, jika
kau terus bersikap kasar dan tidak sopan seperti ini, kau bisa-bisa tak akan
mendapatkan teman di sana dan yan lebih parah lagi kau tidak akan mendapatkan
pacar. Lagipula mana ada pria yang mau dengan gadis sepertimu, kau
berpenampilan seorang gadis tapi tingkahmu sama dengan preman. Kasar dan tidak
tahu aturan.”
“Aku
akan benar-benar menendang kakimu dan membungkam mulutmu jika kau tidak
berhenti berbicara. Aku pasti akan menemukan seorang pria di sana, atau aku
akan menemukan seorang pria Amerika yang tampan dan baik hati, tidak
menyebalkan dan tidak sedingin es. Kau yang seharusnya berpikir, tidak ada
seorang gadis pun yang mau dengan pria yang selalu menutup wajahnya. Seorang
gadis pasti ingin memamerkan pada teman-temannya dan semua orang jika dia sudah
menemukan pangerannya dan kau, kau bukanlah seorang pangeran, kau adalah
penyihir jahat. Setidaknya aku bersikap seperti apa adanya diriku, jadi
terserah kau mau bilang apa.”
“Dasar
bodoh, berhentilah bermimpi dan hadapi kenyataan hidupmu. Di dunia ini tidak
ada yang namanya pangeran. Itu hanya ada di dunia khayal. Dan sebenarnya berapa
sih umurmu? Sulit dipercaya jika masih ada seseorang yang memimpikan seorang pangeran
seperti dirimu,” ujarnya dengan dingin super menyebalkan.
“Terserah
apa katamu. Katakanlah dan berbicaralah sendiri. Kurasa aku tak akan menang
berdebat dengan orang sepertimu. Kau bahkan lebih cerewet dari Jessica. Aku
ingin tidur. Nanti ketika sampai kau harus membangunkanku dan ingat dengan cara
yang sopan dan lembut.” Aku mendengarnya mengendus, tapi dia tak menjawabku
lagi. Aku memejamkan mataku ketika kantuk itu benar-benar berhasil
melingkupiku. Kepalaku pusing sekali, kuharap aku tak terkena jet lag.
Kembali
sesuatu yang lembut terasa menyentuh pipiku. Ah ya ampun, siapa yang berani
menganggu tidur nyenyakku. Kepalaku pusing sekali, apa dia tidak tahu.
“Apa
kau terkena jet lag? Hei, badanmu
panas sekali. Apa kau bisa bangun?”
Mataku
yang tadinya terpejam kini terbuka perlahan, pandanganku berbayang-bayang,
kabur, wajah Jung ada dua.
“Hei,
kenapa wajahmu ada dua?”
“Kau
terkena jet lag ternyata, bangunlah,
aku akan mengantarmu pulang sampai di rumahmu, teman-temanku sudah menjemput,
sekarang mereka pasti sedang menungguku.”
“Apa
kita sudah sampai di Seoul? Ah, ini, ini adalah alamat rumah baruku. Apa kau
bisa mengantarku kesana? Aku akan menepati janjiku tentang tiga permintaan itu,
kau tenang saja, aku bukan seorang yang suka ingkar janji.” Aku memberikan
secarik kertas padanya.
“Bahkan
ketika sakit seperti ini pun kau masih mampu untuk berbicara sepanjang itu.”
Aku mendengarnya menggerutu sebelum aku merasakan tubuhku melayang. Ya Tuhan,
mungkin aku benar-benar harus berterima kasih padanya dan pada-Mu karena telah
mempertemukanku dengan pria baik sepertinya. Tentu saja, jika dia tidak baik,
dia tak mungkin mau repot-repot menggendongku dan bersedia untuk mengantarku
pulang.
“Terima
kasih,” bisikku di dekat telinganya.
“Nanti
saja berterima kasihnya, kau masih memiliki hutang denganku, dan hutang itu
akan menjadi dua kali lipat karena kau sudah merepotkanku dengan sakit seperti
ini.”
“Hei,
berhentilah menggerutu. Lagipula, aku tak pernah berdoa meminta agar aku sakit,
tapi memang ini adalah pertama kalinya aku pergi keluar negeri. Jadi, kau tak
bisa menyalahkanku untuk situasi seperti ini.” Aku mendengarnya menghela nafas
dan selanjutnya hanya keheningan yang terjadi.
“Siapa
gadis itu? Apa yang sudah kau lakukan padanya?”
“Aku
tidak mengenalnya, kami bertemu di bandara, satu pesawat, satu tujuan, dan
tempat duduk bersampingan. Dia orang korea juga, hanya saja dia tak pernah
datang kesini, jadi dia benar-benar sendirian di sini. Sekarang, dia sedang
sakit, biasa, jet lag. Kita mungkin
bisa membawanya ke tempat kita dulu?”
“Apa?
Apa kau sudah gila? Kita tak mungkin bisa membawanya. Jika ada tim yang tahu,
maka habislah kita. Lebih baik kau bawa dia masuk ke mobil dan kita akan
mendiskusikannya sambil jalan.”
Aku
mendengar suara-suara asing yang kembali mengganggu tidurku. Ya Tuhan, jika
begini terus bagaimana sakit di kepalaku ini bisa hilang.
“Apa
kau tertidur?”
“Aku
terbangun karena kau berisik. Kita akan ke tempat baruku kan? Kau akan
mengantarku kesanakan?”
“Berhentilah
bicara dan tidurlah lagi, nanti jika sudah sampai aku akan membangunkanmu.”
Aku
mengangguk dan kembali hanyut dengan dunia mimpi yang begitu indah.
“Kumohon,
gadis ini sedang sakit dan dia sendirian, aku tak mungkin membiarkannya sendiri
di apartemennya. Harus ada seseorang yang merawatnya, lagipula kurasa dia tak
mengenal kita, kurasa dia tak pernah mendengar tentang kita, dia bahkan tak
sedikitpun mengenal suaraku sejak kami bertemu, biasanya jika seseorang
mengenal kita dia pasti akan tahu jika ini adalah suaraku, Hyung.”
“Gila,
kau benar-benar sudah gila, kembali dari liburanmu bukannya kau membuat kami
senang, tapi kau malah membuat masalah untuk kita semua.”
“Mengertilah,
apa kalian tega membiarkan gadis seperti dia sendirian.”
“Hyung,
aku setuju dengan Kookie, kita tak mungkin meninggalkan dia sendirian, dia
sedang sakit dan kita bertanggung jawab untuk merawatnya.”
“Apa?
Mengapa itu menjadi tanggung jawab kita? Kita bahkan tak mengenal dia. Bisa
saja dia adalah penggemar gila yang sedang berpura-pura tak kenal kita. Siapa
yang tahu.”
“Tidak,
aku yakin jika dia memang tidak mengenal kita, dia bahkan tak bisa bicara dalam
bahasa korea dan aku yakin dia tak suka musik korea.”
“Ya
ampun, mengapa dunia seakan berputar 360° sekarang, hanya karena seorang gadis
sepertinya kalian sampai rela mengorbankan diri untuk menghadapi masalah jika
kita sampai ketahuan.”
“Itu
akan terjadi jika kita ketahuan, tapi aku yakin semua akan baik-baik saja,
Hyung.”
“Baiklah,
baik, dua lawan satu kalian menang dan jangan bawa aku jika kalian sampai mendapat
masalah.”
“Tidak,
dia hanya akan tinggal satu malam di tempat kita lalu besok aku akan
mengantarnya ke apartemennya.”
Suara-suara
asing itu kembali mengusik ketenanganku. Aku berusaha untuk membuka mataku
untuk melihat ada siapa saja di mobil ini selain aku dan Jung.
Pandanganku
yang buram perlahan-lahan kembali normal saat aku mengedip beberapa kali. Wajah
seorang pria yang duduk di samping kemudi adalah yang pertama kali tertangkap
oleh mataku, dia tampan dan manis. Aku yakin sekali jika dia bukanlah Jung
karena rambutnya berbeda. Siapa dia?
“Hai,
aku Taehyung, panggil aku Oppa.” Pria itu mengulurkan tangannya padaku dengan
senyuman lebar di wajahnya. Ya ampun, dia manis sekali. Jantungku berdetak
dengan cepat, seolah-olah aku sedang memacu kuda sekarang. Tidak, aku tidak
boleh menyukai siapapun dulu saat ini. Jagalah matamu itu, Kim Yoora!
“Hei,
apa kau mendengarku.” Aku tersentak dari lamunanku dan menghapus wajah
konyolku.
“Aku
Yoora, dan namamu Taehyung lalu kenapa kau minta dipanggil Oppa? Aku tak
menemukan kata Oppa dalam namamu?”
Entah
apa yang lucu dari pertanyaanku, tapi semua orang yang ada di mobil ini
tertawa. Aku mengedarkan pandanganku dan sekarang aku ada dalam rangkulan Jung
yang masih setia memakai masker serta kupluk hitamnya. Lalu ada pria yang
bernama Taehyung tapi minta dipanggil Oppa, dan ada pria yang membawa mobil
ini, dia terlihat lebih tua, dibanding dengan Jung dan Taehyung. Mungkinkah
mereka kakak beradik?
“Kau
benar-benar tak tahu apa itu Oppa?”
Dengan
pelan aku menggelengkan kepalaku, dia tersenyum ramah padaku.
“Panggilan
itu berarti kakak dalam bahasa korea. Apa kau sama sekali tak bisa berbahasa
korea?”
“Ini
adalah pertama kalinya aku datang kesini dan aku tak mengenal bahasa lain
selain inggris dan perancis,” jawabku. “Jadi, aku harus memanggilmu Oppa?”
Mereka
kembali tertawa mendengar perkataanku. Hah, ya ampun, apa aku begitu lucu di
mata mereka sampai setiap kali aku bertanya mereka akan meresponnya dengan
tertawa lebih dulu.
“Ya,
kau harus memanggil kami dengan sebutan itu.” Kali ini bukan Taehyung yang
menjawab pertanyaanku, tapi Jung.
“Baiklah,
Oppa.”
“Itu
terdengar lebih baik. Kau jadi terlihat seperti gadis yang manis.” Aku melotot
padanya.
“Apa
maksudmu dengan terlihat seperti gadis yang manis?”
“Ya,
sejak kita bertemu, aku melihatmu seperti gadis liar yang mengerikan.”
“Sial,
beraninya kau,” perkataanku terputus ketika mendadak kepalaku berdenyut-denyut.
Ya Tuhan, aku meringis cukup keras untuk membuat tiga pria yang bersamaku saat
ini tersentak khawatir.
“Apa?
Apa kau baik-baik saja?” Jung menyentuh kepalaku dan memijatnya pelan.
“Harusnya
kau tak membuatnya kesal seperti itu, dia sedang sakit. Harusnya aku saja yang
duduk dibelakang untuk menjaganya,” ucap Taehyung dengan nada kesal, kurasa.
“Aku
hanya mengatakan kenyataannya, harusnya dia tak marah seperti itu padaku.”
“Hey,
jika kalian berdua berdebat seperti itu, kepala gadis itu akan semakin sakit.”
Ah, untuk yang pertama kalinya, pria yang menyetir mobil ini mengeluarkan
suaranya. Aku cukup beruntung karena mereka semua bisa berbahasa inggris, jadi
aku tak perlu bersusah payah untuk mengerti bahasa mereka.
“Jadi,
siapa namamu?” Aku bertanya padanya.
“Seo
Jin dan panggil aku Oppa.”
“Oh,
tentu saja, aku akan memanggilkan kalian semua dengan panggilan Oppa. Oh ya,
aku ingin berterima kasih pada kalian karena sudah mau membantuku. Kurasa, ini
seperti keberuntungan untukku karena aku dipertemukan dengan orang-orang baik
seperti kalian. Tadinya sebelum aku berangkat, aku berpikir akan menjadi elien
yang asing dan kesepian di sini. Tapi aku salah, kalian terlihat seperti aku
dan aku senang bisa bertemu dengan kalian, Oppa.”
“Aku
juga senang bisa bertemu denganmu, kau gadis yang aneh. Kuharap kita bisa
berteman dengan baik.” Aku tersenyum lebar pada Taehyung. Dia adalah yang
paling baik meskipun sekarang tangan Jung masih memijat kepalaku.
“Ngomong-ngomong,
apa ini benar jalan menuju apartemenku?”
“Tidak,
kau tak akan ke apartemenmu hari ini, kau akan tinggal di tempat kami malam ini
dan ketika keadaanmu membaik besok aku yang akan mengantarmu pulang ke
apartemenmu.” Aku mendongak menatap Jung tak percaya. Bagaimana bisa dia begitu
baik padaku? Kami bahkan baru saling kenal kurang dari duapuluh empat jam dan
dia bisa begitu baik padaku.
“Apa
kau yakin jika itu tak akan merepotkan kalian?” Hening menyelimuti mobil ini,
kurasa mereka sedang memikirkan sesuatu untuk menjawab pertanyaanku. Apa
pertanyaanku itu sangat sulit sampai mereka berpikir sedemikian rupa untuk
menjawabnya?
“Kau
bahkan sudah merepotkanku sejak awal, jadi berhentilah bicara dan kembalilah
istirahat. Suaramu itu membuat telingaku sakit.”
Sial,
kembalilah dia menjadi pria es yang menyebalkan. Aku tak akan betah berada di
dekatnya lama-lama. Kurasa aku lebih tertarik untuk mengenal Taehyung
dibandingkan dengan Jung. []
Kim Yoora
Jessica
Tidak ada komentar:
Posting Komentar