Jumat, 24 Juli 2015

INTO HIS WORLD BAB 15

WARNING : Masih pemula, masih amatiran, masih dalam proses belajar, butuh saran dan komentar yang membangun juga. Jadilah pembaca yang baik! Jangan mengkopi apapun tanpa izin! Maaf buat typos yang bertebaran disana-sini. Happy Reading!

(dengerin lagu ini deh pas baca bab ini JIN - GONE) :)





BAB 15



Subuh itu dingin, langit masih gelap ketika aku terbangun dengan keadaan yang bisa dikatakan kacau. Mata sembab dan wajah pucat. Kenapa mataku sembab? Jangan tanyakan dan jangan ingatkan lagi aku dengan alasannya. Aku benci harus ingat itu lagi, apalagi ketika aku terbangun, membuka mataku dan sadar jika tidak ada siapapun di sampingku. Wajah malaikat itu tidak menemaniku malam ini. Dia dengan segala keegoisan dan kekonyolannya marah padaku dan dia benar-benar tidak kembali semalam. Entahlah, mungkin dia tidur di rumahnya bersama teman-temannya.
Diam-diam ada sesuatu yang merasuk ke hatiku, sejenis perasaan kecewa yang berbeda dengan semalam. Ini lebih kompleks dari itu. Dia tidak kembali bahkan untuk memperbaikki keadaan atau hanya sekedar untuk berbaring disampingku walaupun dia tidak berniat untuk bicara. Hal itulah yang membuatku menangis, kenapa dia bertingkah seperti itu? Apa yang salah dariku? Aku sama sekali tidak berteriak ketika melihat seorang pria yang lebih tampan darinya. Aku sama sekali tidak merasa pria-pria itu lebih baik dari Jung di mataku, meski mungkin di mata gadis lain mereka lebih baik daripada Jung-ku.
Karena sebenarnya ketika seseorang jatuh cinta sungguhan dia akan buta untuk melihat yang lain, baginya semua keburukan yang dimiliki oleh orang yang dicintainya itu seolah tak kasat mata, seolah itu hanyalah sesuatu yang semu dan tidak penting, tidak perlu diperhatikan sedemikian rupa seolah-olah itu akan menganggu. Dan aku mungkin saja sudah jatuh cinta sungguhan padanya dan mungkin saja dia tidak jatuh cinta sungguhan padaku. Dia mungkin tidak mencintaiku seperti aku mencintainya. Ya Tuhan, mengapa hal sepele seperti itu bisa menjadi begitu besar?
Di dalam sebuah percintaan, kedua belah pihak bertanggung jawab atas semua masalah, entah dia ataupun pasangannya yang berbuat salah, tapi masing-masing diantara mereka memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya. Aku sudah pernah mengatakan padanya untuk tidak khawatir dan sekarang hal seperti ini terulang lagi. Ketika aku ingin menjadi egois dan membiarkannya yang berinisiatif, tapi yang sekarang terjadi adalah dia menjadi lebih egois daripada aku.
Jung, kau benar-benar…


Dua puluh menit sebelum bel sekolah berdering supir pribadiku menghentikan mobil tepat di pelataran depan sekolah yang ramai di penuhi oleh siswa-siswa yang nampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, pihak sekolah sudah menyiapkan keamanan untukku, jadi tidak akan ada satupun wartawan yang akan mengejar-ngejarku seperti aku ini adalah santapan lezat yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Semua mata menatapku begitu aku keluar dari mobilku dan berusaha sekuat yang kubisa untuk terlihat biasa saja, padahal sekarang aku benar-benar butuh seseorang untuk menggenggam tanganku agar aku mampu melewati berbagai macam jenis tatapan yang diarahkan padaku.
Menghela napas pelan, setelah benar-benar merasa lebih baik dan meyakinkan diriku jika aku akan selamat sampai di kelas pertama hari ini tanpa kekurangan suatu apapun. Kakiku melangkah anggun memasuki gedung sekolah dan mengabaikan semua tatapan mata yang seolah-olah akan memakanku bulat-bulat. Kurasa, mereka semua sudah melihat apa yang terjadi padaku, tentu saja, nyaris semua siaran televise memberitakan tentang aku dan drama hidupku yang memuakkan.
Seseorang menggenggam tanganku tiba-tiba, membuatku tersentak dan menatap kesamping kananku, mendapati Jung-lah orangnya, wajahnya sebeku es, kaku, dan auranya sangat tidak enak, dia masih marah padaku. Dasar bodoh! Aku juga sedang kesal padanya. Aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya, tapi dia tidak membiarkan hal itu terjadi karena semakin aku mencoba dia semakin mempererat genggaman tangannya padaku. Aku meringis sakit. Genggaman tangannya terlalu keras, aku meliriknya kesal dan memutuskan untuk menghentikan usahaku melepaskan diri darinya.
Aku menatap kosong pada pintu ruang kelas yang seharusnya menjadi kelas pertama kami hari ini terbuka dengan lebar, menampakkan siswa-siswa di dalamnya yang sudah duduk di kursi mereka masing-masing. Apa-apaan ini!
“Apa yang kau lakukan? Sebentar lagi bel masuk, kita harus tiba di kelas sebelum bel dan kita sudah berjalan jauh meninggalkan kelas pertama. Kau akan membawaku kemana?”
Aku berteriak padanya dan berusaha untuk melepaskan kembali tanganku dan hal itu justru menimbulkan sakit yang lebih lagi di tanganku. Aku kembali meringis, tapi suaraku seolah tak mempengaruhinya, Jung bergeming terus membawaku ke ujung gedung dan akhirnya aku tahu kemana dia akan membawaku. Ke atap, tentu saja.
Kembali diam-diam, aku meliriknya dari sudut mataku, matanya menatap kaku ke depan, terlihat fokus, tapi aku tahu, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Menilik dari  caranya menarikku saat ini, sesuatu yang sedang dia sembunyikan tentulah hal yang serius, hingga membuatnya bisa semarah ini. Dengan berdiri di sampingnya saja aku sudah bisa merasakan jika dia sedang sangat marah saat ini, hanya saja dia menyembunyikan semuanya dengan baik, tapi dia tak akan bisa berbohong dariku. Kurasa ini sudah bukan tentang semalam, ada sesuatu yang lain, yang membuatnya marah sampai seperti ini. Dia bahkan belum bicara padaku ataupun melirikku sedikit saja sejak tadi.


Angin kencang menghempas rambutku ke udara. Akhirnya, Jung berhenti melangkah tepat setelah kami tiba di tepi pembatas atap. Aku masih berusaha untuk menstabilkan pernapasanku saat tiba-tiba dia memecah keheningan.
“Yoora, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu. Tapi sebelum aku menunjukkannya padamu, kau harus berjanji padaku.”
Nyaris kurang dari satu detik, Jung membalikkan tubuhku memunggungi pagar pembatas atap dan kini dia sudah mengunciku diantara lengan-lengannya. Matanya beku, itu tidak sama dengan yang biasanya. Aku menatapnya, menunggu. Jangankan berjanji, jika dia memintaku untuk melakukan apa saja, maka aku akan langsung mengabulkannya. Hanya saja jika dia memintaku untuk pergi aku tidak bisa mengabulkannya.
“Berjanjilah padaku, apapun yang akan terjadi nanti, kau tidak akan pernah meninggalkanku. Berjanjilah untuk tetap bersamaku dan melewati semuanya bersama-sama. Anggaplah ini sebagai permintaan kedua dari tiga permintaan itu,” bisiknya di depan wajahku.
“Aku berjanji, aku berjanji akan tetap bersamamu dan melewati semuanya bersama-sama,” bisikku.
“Satu lagi, berjanjilah padaku, kau akan menungguku hingga aku pulang, dari Paris.”
Tubuhku mematung begitu mendengar perkataannya, saraf-sarafku seolah berhenti berkerja seperkian detik. Serangkaian kata yang baru saja terlontar dari mulutnya terus bergema dipikiranku. Aku mendengarnya berulang kali.
“Kau..kau akan pergi?”
“Semalam, kakekku menelpon dan dia memintaku untuk menyusulnya ke Paris pagi ini. Pesawatku akan berangkat satu jam lagi. Aku tidak tahu kapan aku akan pulang ke Seoul, teman-temanku sudah mengurus semuanya, jika aku tidak kembali lebih dari seminggu maka mereka akan membuat pengumuman jika aku vakum untuk sementara sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Yang aku tahu, kakekku tidak akan menelponku dan memintaku menyusulnya jika itu bukanlah mengenai sesuatu yang penting. Aku menyempatkan untuk datang kemari menemuimu. Karena aku tidak tahu kapan aku akan kembali. Kumohon, tunggu aku pulang, aku mencintaimu, Yoora.”
Aku mendengar kata demi kata yang ia ungkapkan padaku. Melihat betapa kaku wajah Jung saat ini dan betapa menyedihkannya wajahku. Air mataku mengalir tanpa komando. Bagaimana bisa jadi seperti ini?
“Tiga minggu lagi kita akan ujian? Kau benar-benar harus pergi sekarang?”
“Aku harus pergi, Yoora. Aku akan tetap mengikuti ujian, melalui pembimbing khusus yang nanti akan diberangkatkan oleh kakekku. Dan aku akan melanjutkan pelajaran dengan homeschooling. Aku tahu ini terlalu mendadak, tapi maafkan aku. Aku benar-benar harus pergi. Ah, ini. Aku memesan ini untukmu, pakailah. Ketika aku pulang nanti, aku ingin melihat kau memakai benda itu. Tunggu aku pulang, aku mencintaimu.”
Jung mengecupku dan tak ada yang kulakukan selain membalasnya. Hatiku seperti dihujani jarum sekarang. Perih, hingga membuatku lupa akan cara untuk berteriak. Dia meletakkan kotak beludru berwarna biru donker ke dalam genggamanku dan berjalan pergi meninggalkanku di tepi atap.
—Karena aku tidak tahu kapan aku akan kembali. Kumohon, tunggu aku pulang….
—Karena aku tidak tahu kapan aku akan kembali. Kumohon, tunggu aku pulang….
—Karena aku tidak tahu kapan aku akan kembali. Kumohon, tunggu aku pulang….
Kalimat itu terus berputar di kepalaku. Tubuhku merosot jatuh dan tangisku pecah begitu sadar jika dia tidak akan ada di sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Bodoh! Harusnya kau tidak ikut marah padanya semalam, harusnya kau bisa memperbaikki masalah, harusnya kau tidak egois. Ya Tuhan! Bagaimana aku bisa percaya jika sekarang aku tidak sedang bermimpi?
Tanganku bergetar ketika aku membuka kotak beludru yang diberikannya dan kembali meraung saat melihat jika di dalamnya ada sebuah kalung cantik dengan liontin simbol ‘infinity’. Ada berlian-berlian kecil di liontinnya. Simbol ini adalah simbol yang di buat seseorang untuk mengikat orang yang dia cintai untuk tetap bersama dengannya, mengungkapkan kepemilikan, seperti klaim.

“Kau boleh menangis, tapi bisakah itu dilakukan nanti saja? Kita masih memiliki waktu untuk sampai di bandara tepat waktu untuk bertemu dengannya atau mungkin melihat pesawatnya.”
Aku mendongak menatap tubuh tinggi menjulang milik Jimin yang kini tengah tersenyum sendu padaku. Aku meraih tangannya yang terulur dan mengikuti langkah lebarnya. Aku harus bertemu dengannya, aku harus mengatakan jika aku akan menunggunya pulang, aku berjanji akan menunggunya.
“Berapa banyak waktu yang kita punya?”
“Kupastikan kita akan sampai lebih dulu darinya karena aku membawa motor. Semoga dewi fortuna berpihak pada kita, atau mungkin berpihak padamu dan juga cintamu.”
Jimin menggas motornya melaju meninggalkan pelataran sekolah dalam waktu satu detik. Jung, kumohon, kumohon, biarkan aku melihatmu sebentar saja.

Entah sudah berapa menit waktu berlalu ketika akhirnya, Jimin menghentikan laju motornya di pelataran belakang bandara. Tak ada satupun kendaraan yang berlalu lalang di sini. Aku turun dari motor Jimin dan memandang kearah langit, itu sebuah kenyataan. Kami terlambat, dan Jung sudah terbang ke Paris. Ya Tuhan, letak Paris sangat jauh dari sini.
Tangisku pecah lagi, saat menyadari aku bahkan belum membalas pengungkapannya untuk menunggunya dan dia mencintaiku. Aku juga mencintainya, bahkan mungkin perasaanku jauh lebih dalam dibandingkan dengan perasaannya. Seandainya, aku tidak bodoh dengan marah padanya kemarin. Ya Tuhan, kupikir, dia marah padaku karena Kyung Soo. Harusnya aku tidak egois kemarin.
Tubuhku hampir menyentuh tanah jika saja Jimin tidak cepat menangkapku ke pelukkannya. “Dia pergi, Oppa. Dia pergi.” Aku terisak dipelukkannya.
“Semalam, ketika dia sampai di rumah, dia memberitahu pada kami semua jika kakeknya menelpon dan memintanya untuk menyusul ke Paris. Dia bilang, dia tidak tahu apakah dia akan pulang ke Seoul ataukah tidak. Setahu kami, terjadi kerusakan di gedung utama perusahaan yang ada di Seoul, maka dari itu, kakeknya akan memindahkan gedung utama ke Paris, masalah ini membuat perusahaan ada dalam guncangan. Kakeknya membutuhkan dia untuk membantunya mengatasi hal ini. Dan menilik dari seberapa serius masalah ini, kurasa dia tak akan pulang dalam waktu dekat ini, Yoora.”
Aku semakin terisak saat mendengar penjelasan Jimin. “Dia berpesan padaku, jika aku harus menjagamu. Serius Yoora, bukan hanya kau saja yang terkejut. Kami bahkan benar-benar kebingungan harus bagaimana saat mendengar dia akan pergi. Yang harus kita lakukan adalah membiarkan dia pergi dan jika dia memintamu untuk menunggu maka itu berarti dia pasti akan kembali ke sini, Yoora. Selama dia pergi, aku akan memenuhi permintaanya untuk menjagamu.”
Aku terdiam dalam pelukan Jimin. Mencoba untuk menemukan sesuatu yang tiba-tiba hilang dariku, sebagian dari jiwaku seakan ditarik paksa begitu melihat jika pesawatnya sudah terbang tinggi. Dia pergi. Dia pergi. Dia pergi. Dua kata itu terus berputar di kepalaku.
Ya Tuhan, apa ini mimpi? Bangunkan aku, kumohon. Aku butuh untuk disadarkan. Jika ini bukanlah mimpi, aku akan membuat janjinya sekarang juga. Aku berjanji akan menunggunya pulang, aku berjanji. Aku akan menguatkan hatiku dan diriku sendiri, dia memintaku untuk menunggunya, maka aku akan menunggunya. Ya, aku akan menunggmu pulang, Jung. Cepat kembali. Aku akan merindukanmu.[]




YOORA :*

JIMINNIE :*

JUNGKOOKIE :*


2 komentar: