WARNING : Masih pemula, masih amatiran, masih dalam
proses belajar, butuh saran dan komentar yang membangun juga. Jadilah pembaca
yang baik! Jangan mengkopi apapun tanpa izin! Maaf buat typos yang bertebaran
disana-sini. Happy Reading!
(dengerin lagu ini deh pas baca bab ini JIN - GONE) :)
BAB 15
Subuh itu dingin, langit masih gelap ketika
aku terbangun dengan keadaan yang bisa dikatakan kacau. Mata sembab dan wajah
pucat. Kenapa mataku sembab? Jangan tanyakan dan jangan ingatkan lagi aku
dengan alasannya. Aku benci harus ingat itu lagi, apalagi ketika aku terbangun,
membuka mataku dan sadar jika tidak ada siapapun di sampingku. Wajah malaikat
itu tidak menemaniku malam ini. Dia dengan segala keegoisan dan kekonyolannya
marah padaku dan dia benar-benar tidak kembali semalam. Entahlah, mungkin dia
tidur di rumahnya bersama teman-temannya.
Diam-diam
ada sesuatu yang merasuk ke hatiku, sejenis perasaan kecewa yang berbeda dengan
semalam. Ini lebih kompleks dari itu. Dia tidak kembali bahkan untuk
memperbaikki keadaan atau hanya sekedar untuk berbaring disampingku walaupun
dia tidak berniat untuk bicara. Hal itulah yang membuatku menangis, kenapa dia
bertingkah seperti itu? Apa yang salah dariku? Aku sama sekali tidak berteriak
ketika melihat seorang pria yang lebih tampan darinya. Aku sama sekali tidak
merasa pria-pria itu lebih baik dari Jung di mataku, meski mungkin di mata
gadis lain mereka lebih baik daripada Jung-ku.
Karena
sebenarnya ketika seseorang jatuh cinta sungguhan dia akan buta untuk melihat
yang lain, baginya semua keburukan yang dimiliki oleh orang yang dicintainya
itu seolah tak kasat mata, seolah itu hanyalah sesuatu yang semu dan tidak
penting, tidak perlu diperhatikan sedemikian rupa seolah-olah itu akan
menganggu. Dan aku mungkin saja sudah jatuh cinta sungguhan padanya dan mungkin
saja dia tidak jatuh cinta sungguhan padaku. Dia mungkin tidak mencintaiku
seperti aku mencintainya. Ya Tuhan, mengapa hal sepele seperti itu bisa menjadi
begitu besar?
Di
dalam sebuah percintaan, kedua belah pihak bertanggung jawab atas semua
masalah, entah dia ataupun pasangannya yang berbuat salah, tapi masing-masing
diantara mereka memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya. Aku sudah
pernah mengatakan padanya untuk tidak khawatir dan sekarang hal seperti ini
terulang lagi. Ketika aku ingin menjadi egois dan membiarkannya yang berinisiatif,
tapi yang sekarang terjadi adalah dia menjadi lebih egois daripada aku.
Jung, kau benar-benar…
Dua
puluh menit sebelum bel sekolah berdering supir pribadiku menghentikan mobil
tepat di pelataran depan sekolah yang ramai di penuhi oleh siswa-siswa yang
nampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, pihak sekolah sudah
menyiapkan keamanan untukku, jadi tidak akan ada satupun wartawan yang akan
mengejar-ngejarku seperti aku ini adalah santapan lezat yang sangat sayang
untuk dilewatkan.
Semua
mata menatapku begitu aku keluar dari mobilku dan berusaha sekuat yang kubisa
untuk terlihat biasa saja, padahal sekarang aku benar-benar butuh seseorang
untuk menggenggam tanganku agar aku mampu melewati berbagai macam jenis tatapan
yang diarahkan padaku.
Menghela
napas pelan, setelah benar-benar merasa lebih baik dan meyakinkan diriku jika
aku akan selamat sampai di kelas pertama hari ini tanpa kekurangan suatu
apapun. Kakiku melangkah anggun memasuki gedung sekolah dan mengabaikan semua
tatapan mata yang seolah-olah akan memakanku bulat-bulat. Kurasa, mereka semua
sudah melihat apa yang terjadi padaku, tentu saja, nyaris semua siaran televise
memberitakan tentang aku dan drama hidupku yang memuakkan.
Seseorang
menggenggam tanganku tiba-tiba, membuatku tersentak dan menatap kesamping
kananku, mendapati Jung-lah orangnya, wajahnya sebeku es, kaku, dan auranya
sangat tidak enak, dia masih marah padaku. Dasar bodoh! Aku juga sedang kesal
padanya. Aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya, tapi dia tidak membiarkan
hal itu terjadi karena semakin aku mencoba dia semakin mempererat genggaman
tangannya padaku. Aku meringis sakit. Genggaman tangannya terlalu keras, aku
meliriknya kesal dan memutuskan untuk menghentikan usahaku melepaskan diri
darinya.
Aku
menatap kosong pada pintu ruang kelas yang seharusnya menjadi kelas pertama
kami hari ini terbuka dengan lebar, menampakkan siswa-siswa di dalamnya yang
sudah duduk di kursi mereka masing-masing. Apa-apaan ini!
“Apa
yang kau lakukan? Sebentar lagi bel masuk, kita harus tiba di kelas sebelum bel
dan kita sudah berjalan jauh meninggalkan kelas pertama. Kau akan membawaku
kemana?”
Aku
berteriak padanya dan berusaha untuk melepaskan kembali tanganku dan hal itu
justru menimbulkan sakit yang lebih lagi di tanganku. Aku kembali meringis,
tapi suaraku seolah tak mempengaruhinya, Jung bergeming terus membawaku ke
ujung gedung dan akhirnya aku tahu kemana dia akan membawaku. Ke atap, tentu
saja.
Kembali
diam-diam, aku meliriknya dari sudut mataku, matanya menatap kaku ke depan,
terlihat fokus, tapi aku tahu, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Menilik dari caranya menarikku saat ini, sesuatu yang
sedang dia sembunyikan tentulah hal yang serius, hingga membuatnya bisa semarah
ini. Dengan berdiri di sampingnya saja aku sudah bisa merasakan jika dia sedang
sangat marah saat ini, hanya saja dia menyembunyikan semuanya dengan baik, tapi
dia tak akan bisa berbohong dariku. Kurasa ini sudah bukan tentang semalam, ada
sesuatu yang lain, yang membuatnya marah sampai seperti ini. Dia bahkan belum
bicara padaku ataupun melirikku sedikit saja sejak tadi.
Angin
kencang menghempas rambutku ke udara. Akhirnya, Jung berhenti melangkah tepat
setelah kami tiba di tepi pembatas atap. Aku masih berusaha untuk menstabilkan
pernapasanku saat tiba-tiba dia memecah keheningan.
“Yoora,
ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu. Tapi sebelum aku menunjukkannya
padamu, kau harus berjanji padaku.”
Nyaris
kurang dari satu detik, Jung membalikkan tubuhku memunggungi pagar pembatas
atap dan kini dia sudah mengunciku diantara lengan-lengannya. Matanya beku, itu
tidak sama dengan yang biasanya. Aku menatapnya, menunggu. Jangankan berjanji,
jika dia memintaku untuk melakukan apa saja, maka aku akan langsung
mengabulkannya. Hanya saja jika dia memintaku untuk pergi aku tidak bisa
mengabulkannya.
“Berjanjilah
padaku, apapun yang akan terjadi nanti, kau tidak akan pernah meninggalkanku.
Berjanjilah untuk tetap bersamaku dan melewati semuanya bersama-sama. Anggaplah
ini sebagai permintaan kedua dari tiga permintaan itu,” bisiknya di depan
wajahku.
“Aku
berjanji, aku berjanji akan tetap bersamamu dan melewati semuanya
bersama-sama,” bisikku.
“Satu
lagi, berjanjilah padaku, kau akan menungguku hingga aku pulang, dari Paris.”
Tubuhku
mematung begitu mendengar perkataannya, saraf-sarafku seolah berhenti berkerja
seperkian detik. Serangkaian kata yang baru saja terlontar dari mulutnya terus
bergema dipikiranku. Aku mendengarnya berulang kali.
“Kau..kau
akan pergi?”
“Semalam,
kakekku menelpon dan dia memintaku untuk menyusulnya ke Paris pagi ini.
Pesawatku akan berangkat satu jam lagi. Aku tidak tahu kapan aku akan pulang ke
Seoul, teman-temanku sudah mengurus semuanya, jika aku tidak kembali lebih dari
seminggu maka mereka akan membuat pengumuman jika aku vakum untuk sementara
sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Yang aku tahu, kakekku tidak
akan menelponku dan memintaku menyusulnya jika itu bukanlah mengenai sesuatu
yang penting. Aku menyempatkan untuk datang kemari menemuimu. Karena aku tidak
tahu kapan aku akan kembali. Kumohon, tunggu aku pulang, aku mencintaimu,
Yoora.”
Aku
mendengar kata demi kata yang ia ungkapkan padaku. Melihat betapa kaku wajah
Jung saat ini dan betapa menyedihkannya wajahku. Air mataku mengalir tanpa
komando. Bagaimana bisa jadi seperti ini?
“Tiga
minggu lagi kita akan ujian? Kau benar-benar harus pergi sekarang?”
“Aku
harus pergi, Yoora. Aku akan tetap mengikuti ujian, melalui pembimbing khusus
yang nanti akan diberangkatkan oleh kakekku. Dan aku akan melanjutkan pelajaran
dengan homeschooling. Aku tahu ini
terlalu mendadak, tapi maafkan aku. Aku benar-benar harus pergi. Ah, ini. Aku
memesan ini untukmu, pakailah. Ketika aku pulang nanti, aku ingin melihat kau
memakai benda itu. Tunggu aku pulang, aku mencintaimu.”
Jung
mengecupku dan tak ada yang kulakukan selain membalasnya. Hatiku seperti
dihujani jarum sekarang. Perih, hingga membuatku lupa akan cara untuk
berteriak. Dia meletakkan kotak beludru berwarna biru donker ke dalam
genggamanku dan berjalan pergi meninggalkanku di tepi atap.
—Karena aku tidak tahu kapan aku
akan kembali. Kumohon, tunggu aku pulang….
—Karena aku tidak tahu kapan aku
akan kembali. Kumohon, tunggu aku pulang….
—Karena aku tidak tahu kapan aku
akan kembali. Kumohon, tunggu aku pulang….
Kalimat
itu terus berputar di kepalaku. Tubuhku merosot jatuh dan tangisku pecah begitu
sadar jika dia tidak akan ada di sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Bodoh!
Harusnya kau tidak ikut marah padanya semalam, harusnya kau bisa memperbaikki
masalah, harusnya kau tidak egois. Ya Tuhan! Bagaimana aku bisa percaya jika
sekarang aku tidak sedang bermimpi?
Tanganku
bergetar ketika aku membuka kotak beludru yang diberikannya dan kembali meraung
saat melihat jika di dalamnya ada sebuah kalung cantik dengan liontin simbol ‘infinity’.
Ada berlian-berlian kecil di liontinnya. Simbol ini adalah simbol yang di buat
seseorang untuk mengikat orang yang dia cintai untuk tetap bersama dengannya,
mengungkapkan kepemilikan, seperti klaim.
“Kau
boleh menangis, tapi bisakah itu dilakukan nanti saja? Kita masih memiliki waktu
untuk sampai di bandara tepat waktu untuk bertemu dengannya atau mungkin
melihat pesawatnya.”
Aku
mendongak menatap tubuh tinggi menjulang milik Jimin yang kini tengah tersenyum
sendu padaku. Aku meraih tangannya yang terulur dan mengikuti langkah lebarnya.
Aku harus bertemu dengannya, aku harus mengatakan jika aku akan menunggunya
pulang, aku berjanji akan menunggunya.
“Berapa
banyak waktu yang kita punya?”
“Kupastikan
kita akan sampai lebih dulu darinya karena aku membawa motor. Semoga dewi
fortuna berpihak pada kita, atau mungkin berpihak padamu dan juga cintamu.”
Jimin
menggas motornya melaju meninggalkan pelataran sekolah dalam waktu satu detik. Jung, kumohon, kumohon, biarkan aku
melihatmu sebentar saja.
Entah
sudah berapa menit waktu berlalu ketika akhirnya, Jimin menghentikan laju
motornya di pelataran belakang bandara. Tak ada satupun kendaraan yang berlalu
lalang di sini. Aku turun dari motor Jimin dan memandang kearah langit, itu
sebuah kenyataan. Kami terlambat, dan Jung sudah terbang ke Paris. Ya Tuhan,
letak Paris sangat jauh dari sini.
Tangisku
pecah lagi, saat menyadari aku bahkan belum membalas pengungkapannya untuk
menunggunya dan dia mencintaiku. Aku juga mencintainya, bahkan mungkin
perasaanku jauh lebih dalam dibandingkan dengan perasaannya. Seandainya, aku
tidak bodoh dengan marah padanya kemarin. Ya Tuhan, kupikir, dia marah padaku
karena Kyung Soo. Harusnya aku tidak egois kemarin.
Tubuhku
hampir menyentuh tanah jika saja Jimin tidak cepat menangkapku ke pelukkannya.
“Dia pergi, Oppa. Dia pergi.” Aku
terisak dipelukkannya.
“Semalam,
ketika dia sampai di rumah, dia memberitahu pada kami semua jika kakeknya
menelpon dan memintanya untuk menyusul ke Paris. Dia bilang, dia tidak tahu
apakah dia akan pulang ke Seoul ataukah tidak. Setahu kami, terjadi kerusakan
di gedung utama perusahaan yang ada di Seoul, maka dari itu, kakeknya akan
memindahkan gedung utama ke Paris, masalah ini membuat perusahaan ada dalam
guncangan. Kakeknya membutuhkan dia untuk membantunya mengatasi hal ini. Dan
menilik dari seberapa serius masalah ini, kurasa dia tak akan pulang dalam
waktu dekat ini, Yoora.”
Aku
semakin terisak saat mendengar penjelasan Jimin. “Dia berpesan padaku, jika aku
harus menjagamu. Serius Yoora, bukan hanya kau saja yang terkejut. Kami bahkan
benar-benar kebingungan harus bagaimana saat mendengar dia akan pergi. Yang
harus kita lakukan adalah membiarkan dia pergi dan jika dia memintamu untuk
menunggu maka itu berarti dia pasti akan kembali ke sini, Yoora. Selama dia
pergi, aku akan memenuhi permintaanya untuk menjagamu.”
Aku
terdiam dalam pelukan Jimin. Mencoba untuk menemukan sesuatu yang tiba-tiba
hilang dariku, sebagian dari jiwaku seakan ditarik paksa begitu melihat jika
pesawatnya sudah terbang tinggi. Dia
pergi. Dia pergi. Dia pergi. Dua kata itu terus berputar di kepalaku.
Ya
Tuhan, apa ini mimpi? Bangunkan aku, kumohon. Aku butuh untuk disadarkan. Jika
ini bukanlah mimpi, aku akan membuat janjinya sekarang juga. Aku berjanji akan menunggunya pulang, aku
berjanji. Aku akan menguatkan hatiku dan diriku sendiri, dia memintaku
untuk menunggunya, maka aku akan menunggunya. Ya, aku akan menunggmu pulang, Jung. Cepat kembali. Aku akan
merindukanmu.[]
YOORA :*
JIMINNIE :*
JUNGKOOKIE :*
Kuk,jangan pergi lama-lama ya~ hoho.
BalasHapusSay goodbye buat kookieğŸ˜
Hapus