WARNING : Masih pemula, masih amatiran, masih dalam
proses belajar, butuh saran dan komentar yang membangun juga. Jadilah pembaca
yang baik! Jangan mengkopi apapun tanpa izin! Maaf buat typos yang bertebaran
disana-sini. Happy Reading!
BAB 4
Benar.
Seperti yang dikatakan oleh Taehyung semalam. Aku memang memikirkan segalanya
sampai aku sulit menemukan di mana rasa kantukku berada. Aku memikirkan tentang
Jung. Apa benar yang dikatakan Taehyung? Tapi untuk apa dia berbohong, dia
pasti mengakatakan yang sebenarnya, lagipula merekakan sudah saling mengenal
sejak lama. Bahkan sampai pagi inipun aku masih memikirkannya. Sulit dipercaya
jika aku harus kembali memaklumi perkataan buruk tentang diriku karena orang
itu lagi-lagi memiliki keluarga yang kacau. Apa semua orang yang memiliki
hubungan keluarga yang buruk akan selalu seperti itu?
Aku
menghabiskan tea herbalku dan sarapanku pagi ini. Aku harus mencari orang
bernama Choi Dong Sun itu lalu memintanya untuk membantuku menemukan siapa
ayahku. Paman sudah mengirimkan email padaku semalam dan aku memiliki alamat
perusahaan milik Mr. Choi, kurasa aku akan memakai supir pribadiku mulai hari
ini.
Seorang
pria dengan pakaian rapi membungkuk padaku. Kurasa itu memang cara memberi
hormat di sini. Aku mengangguk padanya.
“Apa
kau supir yang sudah dibayar oleh pamanku?”
“Iya,
Nona. Anda tinggal menelpon ke lantai bawah dan orang di sini akan
memanggilku,” jawabnya. Aku mengagguk dan mengikutinya menuju mobil yang
disediakan dari apartemen ini.
“Silakan
Nona.”
“Aku
ingin kau mengantarku ke perusahaan Livid.”
“Baiklah,
Nona.”
Mobil
ini berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit dan aku tak bisa
memperkirakan berapa ratus lantai yang dimilikinya.
“Nona,
nanti Anda ingin dijemput atau saya harus menunggu di sini?”
“Tidak,
kau tidak usah menunggu. Nanti setelah jam makan siang, kau bisa menjemputku di
sini.”
Aku
berjalan memasukki gedung perusahaan Livid ini. Perusahaan ini memiliki kerja
sama dengan perusahaan pamanku di Amerika. Mereka telah berkerja sama selama
bertahun-tahun, itulah mengapa pamanku sangat mengenal Mr. Choi.
Aku
memakai dress formal selutut, heels
setinggi dua belas cm dan membawa tas kecil di tanganku, mungkin aku
terlihat seperti orang penting jadi begitu aku masuk ke gedung semua orang yang
berlalu lalang berhenti sejenak untuk membungkuk memberi hormat padaku.
Jujur
saja, aku merasa sedikit risih dengan perlakuan orang-orang di sini. Kakiku
melangkah menuju meja resepsionis, seorang wanita dengan seragam biru tuanya
tersenyum menyambutku.
“Ada
yang bisa saya bantu, Nona?” Aku menggigit bibirku, dia bicara dalam bahasa
korea dan aku tak tahu apa artinya, biasanya jika kita datang ke meja
resepsionis, mereka pasti akan berkata, ada yang bisa dibantu. Ah dia pasti
mengatakan itu tadi.
“Maaf,
saya ingin bertemu dengan Mr. Choi. Aku keponakan Mr. Fletcher, bisakah Anda
mengantarku padanya.”
“Ah,
Anda Ms. Fletcher. Mr. Choi sudah menunggu Anda di ruangannya. Mari saya
antar,” ucapnya membungkuk hormat. Ya Tuhan, haruskah aku memutar bola mataku
melihat semua orang membungkuk padaku seperti aku ini pejabat negeri saja.
Aku
mengikuti langkah wanita ini, tadi aku melihat name tagnya, Hye Ri. Tiba di
escalator, beberapa orang bersetelan formal keluar dan kembali membungkuk
padaku. Apa yang harus kulakukan? Agar mereka berhenti melakukan itu.
“Apa
Mr. Choi sedang tidak sibuk?”
“Beliau
telah menitipkan pesan pada semua petugas yang bekerja hari ini jika akan ada
anak dari salah satu klien paling pentingnya yang akan datang mengunjungi
perusahaan. Itulah mengapa semua yang bekerja di sini telah mengetahui tentang
Anda, Nona.”
“Jadi,
mereka sudah tahu aku datang, lalu bagaimana mereka bisa mengenali wajahku? Kau
bahkan tak tahu jika aku tak mengenalkan namaku kan?”
“Wajah
Anda sudah diperlihatkan pada karyawan, manejer, kepala staff, dan orang-orang
penting lainnya karena Anda adalah tamu kehormatan kami. Kemarin, saya sakit
dan tidak sempat mengikuti rapat untuk mendengarkan pengumuman secara langsung dan
melihat foto Anda. Jadi, saya minta maaf karena tadi saya tidak mengenali Anda,
Nona.”
“Tidak,
itu bukan masalah.” Kami terdiam hingga escalator berhenti di lantai 103. Aku
kembali melangkah mengikutinya, menyusuri lorong-lorong di lantai ini. Well, ini memang perusahaan besar dan
aku sudah tak terkejut lagi karena perusahaan pamanku di Miami bahkan lebih
besar lagi dari ini.
“Ini
ruangan Mr. Choi, beliau sudah menunggu Anda di dalam, Nona.” Dia membukakan
pintu untukku. Aku melangkah masuk ke dalam dan seorang pria paruh baya berdiri
dari duduknya begitu melihatku masuk.
“Ah,
kau bahkan terlihat lebih cantik dari yang ada difoto, Yoora. Aku senang akhirnya
kita bisa bertemu.” Pria yang kuyakini Mr. Choi ini menyapaku dengan senyuman
hangat.
Aku
membungkuk dan tersenyum padanya. “Aku Kim Yoora, keponakan Mark Fletcher.”
“Tidak
perlu seformal itu padaku, Nak. Kau bisa menganggapku pamanmu juga. Aku sudah
mengenal keluarga kalian begitu lama. Aku bahkan mengenal ibumu dan
kehidupannya dulu.” Aku terpaku mendengar perkataan Mr. Choi. Dia mengenal
ibuku.
“Anda
mengenal ibuku?”
“Ya,
aku mengenalnya, kami berteman dengan baik. Dulu, kami sama-sama hidup mandiri
dan mencari jatidiri kami masing-masing. Aku lebih dulu mengenal ibumu sebelum
mengenal pamanmu itu. Dia adalah wanita pekerja keras. Dan kau terlihat
memiliki itu darinya.” Aku tersenyum sendu. Hatiku sesak dengan perasaan yang
selalu kusembunyikan dari semua orang sejak dulu. Hatiku begitu rapuh itulah
mengapa aku membangun dinding baja untuk melindunginya, tapi hari ini mendengar
tentang ibuku, dinding itu runtuh begitu saja hingga perasaan seperti ini
membuatku ingin menangis, hatiku bergetar dengan rasa sakit.
“Duduklah,
aku akan membicarakan tentang semua yang kutahu padamu terlebih dulu. Nanti
barulah kita akan membahas tentang ayahmu. Aku juga sedang menunggu putraku.
Dia akan menemanimu nanti.”
Aku
mengangguk dan memandang sekeliling ruangan CEO ini. Well, ini ruangan yang indah, didominasi oleh kaca, ada beberapa
foto keluarga dan sebuah foto yang mendadak menarik perhatianku. Aku beranjak
menghampiri sisi dinding pembatas ruangan sejajar dengan pintu masuk yang di
tempeli beberapa bingkai foto. Foto paling pojok di sudut ruangan itu,
berisikan tiga orang. Satu orang wanita dan dua orang pria.
Aku
memperhatikan baik-baik wajah demi wajah yang ada di foto itu, tentu saja ini
adalah foto lama, gambarnya sudah buram, tapi aku yakin jika aku mengenal
wanita itu. Dia seperti…
“Dia
wanita yang cantikkan? Dia adalah Evelyn, dia adalah ibumu. Itu foto terakhir
yang kami ambil sebelum aku pindah kemari. Dan ini adalah pamanmu, dia tak
banyak berubah ya.” Suara Mr. Choi menjawab apa yang akan aku gumamkan
dipikiranku.
Ibuku
memakai gaun merah yang kontras dengan warna kulitnya membuatnya terlihat
bersinar. Harusnya aku memiliki kecantikan ibuku, aku yakin banyak pria yang
akan bertekuk lutut.
“Ini,
minumlah kopimu dulu.” Aku kembali duduk di sofa empuk milik Mr. Choi dan
menyeruput kopiku. Aku tak tahu kapan seseorang mengantarkannya kemari.
“Jadi,
bagaimana ibuku dulu? Apa dia terlihat kaku sepertiku?”
Mr.
Choi tertawa mendengar ucapanku. “Tidak, Eve adalah wanita yang kuat, dia
tegar, dewasa, dan baik. Dia tidak kaku, dia selalu mudah bergaul dengan
siapapun. Sifat kakumu itu, kau dapatkan dari ayahmu.” Dia terlihat menerawang
jauh, mengenang kembali kenangannya bersama ibuku.
Benarkan,
apa semua yang ada padaku ini kudapatkan dari ayahku? Selain mataku, apa yang
kumiliki dari ibuku.
“Kau
memiliki keanggunannya, kau memiliki senyumannya, kau memiliki semangatnya, kau
memiliki ketegarannya. Dan kau memiliki hati yang baik sepertinya, Nak. Mungkin
perawakanmu seperti ayahmu, tapi ada banyak Evelyn dalam dirimu.” Bagaimana dia
bisa menjawab pertanyaan dipikiranku itu?
“Jadi,
Paman, apa yang kau ketahui tentang ayahku?”
Keadaan
sunyi menemani kami selama beberapa saat, terlihat dia sedang berpikir tentang
apa yang akan dijawabnya. Suara deheman seseorang mengalihkan perhatian kami,
kepalaku menoleh kearah pintu ruangan yang terbuka, menampakan sosok pria
tinggi dengan wajah yang tidak buruk. Benakku melotot padaku, kau gila, dia
memiliki wajah setampan malaikat. Aku menggelengkan kepalaku untuk mengenyahkan
pikiran itu.
“Ah,
akhirnya kau datang juga, kami sudah menunggumu sejak tadi.” Suara Mr. Choi
membuatku kembali pada kenyataan.
“Maaf,
Ayah. Tadi ada sesuatu yang harus kuselesaikan di sekolah,” ujar pria itu
seraya berjalan menghampiri kami.
“Apa
dia yang bernama Yoora? Gadis korea yang besar di Amerika itu?” Hey, apa-apaan
itu! Nada bicaranya itu seolah-olah dia tidak suka padaku.
“Iya,
dia Yoora yang pernah ayah ceritakan padamu itu, Nak. Besok dia akan masuk ke
sekolah yang sama denganmu dan kau harus menjadi temannya, kau harus
membantunya di minggu pertamanya ini.” Dengan tak acuh pria itu duduk di
sampingku. Lalu menatap ayahnya.
“Tentu,
aku akan membantunya nanti. Ayah tenang saja, biar dia, aku yang urus. Jadi,
bolehkah aku mengajaknya keluar sekarang?” Aku melotot pada pria asing yang duduk
di sampingku ini.
“Tentu,
kalian bisa pergi. Yoora, pembicaraan mengenai ayahmu akan kita sambung nanti.
Sekarang, kau pergilah dengan Jin Hwa dan bersenang-senanglah. Besok, kau akan
sibuk dengan rutinitasmu di sekolah baru.” Mr. Choi tersenyum hangat padaku.
Aku
tak sempat membalas ucapannya karena pria yang kuketahui bernama Jin Hwa ini
menarik tanganku keluar dari ruang kerja ayahnya. Dia tidak sopan sekali.
Harusnya aku membungkuk dulu tadi.
“Siapa
yang mengizinkanmu menarikku seperti ini? Lepas. Lepaskan tanganku!”
“Diamlah,
cerewet. Aku malas berlama-lama ada di sana, jadi aku memutuskan untuk
mengajakmu keluar. Ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu nanti. Asal kau
tahu saja, hidupku jadi sulit sejak kau memutuskan untuk pindah ke sini.” Aku
menghentakkan tanganku dari genggamannya hingga langkah kami terhenti di depan
escalator.
Banyak
orang yang berlalu lalang memperhatikan kami dan berbisik-bisik. Persetan
dengan apa yang mereka pikirkan. Aku berkacak pinggang sambil menatapnya
garang. “Aku bahkan tidak mengenalmu sebelum ini dan kau berani berkata seperti
itu padaku. Kau pikir siapa dirimu itu? Kau pasti tak lebih dari seorang pria
manja yang selalu bergantung pada ayahmu kan.” Aku menuding wajahnya,
membuatnya membuatnya melongo menatapku.
“Kau
benar-benar tak terlihat seperti gadis korea yang anggun dan mempersona. Kau
adalah remaja Amerika yang liar, ternyata kau sama saja seperti gadis-gadis di
luar sana.” Tanganku dengan cepat menariknya dan memelintir kedua tangannya ke
belakang, lalu aku menyikut punggungnya dengan sikuku. Jin Hwa mengerang
kesakitan dan aku melepasnya dengan mendadak, membuatnya terdorong ke depan
nyaris tersungkur.
Semua
orang yang lewat hanya berbisik-bisik aneh dan memperhatikan Jin Hwa dengan
wajah geli. “Apa yang kau lakukan? Berani-beraninya kau!”
“Aku
sedang memberi pelajaran padamu untuk bersikap lebih sopan denganku atau kau
akan banyak mendapatkan memar selama kau bersamaku. Perlu kau tahu, di dunia
ini tak ada satupun gadis yang terima begitu saja disama-samakan dengan yang
lain. Dan ini akan membuatmu berpikir dua kali sebelum berbicara atau
bertindak,” ujarku dingin dan berjalan mendahuluinya, membiarkannya meringis
dan mengumpat di belakangku.
Siapa
suruh menantangku? Dia harus tahu kalau aku bisa menjaga diriku sendiri, aku
memiliki tendangan yang bisa mematahkan tiga gigi orang dalam satu kali tendang
dan jika tendanganku mengenai alat vital pria maka aku jamin mereka tak akan
bisa memiliki keturunan.
Kami
tiba di lantai dasar bersama-sama, dia tak mengatakan apapun padaku sejak tadi.
Masa bodoh jika dia marah. Aku tidak membutuhkan pertolongan apapun darinya. “Hey,
Kim Yoora, kau harus ikut denganku, atau kau akan benar-benar berada dalam
masalah.” Aku berhenti melangkah dan kembali menatapnya. Dia tidak kapok
ternyata.
“Kau
masih berani macam-macam denganku? Apa yang tadi itu kurang?”
“Aku
tidak akan macam-macam. Aku janji dan aku akan bersikap sangat sopan denganmu.
Apa itu cukup untuk membawamu bersamaku?”
“Baik,
aku percaya padamu. Jika kau berbohong padaku, maka tamatlah riwayatmu!” Aku
mendengarnya saat dia mennggumam jika aku adalah gadis yang mengerikan. Biar
saja, aku tak peduli dia akan memandangku seperti apa.
Aku
mengikutinya menuju mobil yang terparkir rapi di pintu masuk perusahaan. Aku
membuka pintuku sendiri karena tentu saja dia tak akan sudi membukakannya
untukku, lagipula mana ada pria yang mau membukakan pintu untuk seorang gadis
yang sudah menyikut punggungnya dengan keras. Kuharap, tadi aku tak membuat
punggungnya memar.
“Jadi,
masalah apa yang kubuat dalam hidupmu bahkan sebelum kita bertemu?”
“Ada
begitu banyak masalah yang kau timbulkan untukku. Aku sudah membuat daftarnya
di kepalaku dan nanti akan kukatakan padamu.”
Aku
memutar bola mataku. Berlebihan sekali
sih dia! Tapi, masalah apa yang sudah kutimbulkan untuknya. Ya ampun,
kami bahkan baru saja bertemu tadi. Belum sampai satu jam.
Aku
mengerutkan dahiku saat melihat ada nomor asing yang menelpon ke ponselku.
“Angkat saja, jika dia berbicara yang aneh-aneh biarkan aku yang
menyelesaikannya.”
Aku
meliriknya sesaat dan memutuskan untuk mengangkat panggilan telepon itu.
“Ha..”
“Aku
ingin mengatakan sesuatu yang penting denganmu. Kau harus ada di apartemenmu
nanti malam dan masaklah sesuatu yang enak, kau akan mendapatkan kunjungan
istimewa.” Sambungan terputus. Suara itu sepertinya aku mengenalnya. Es. Jung.
Itu suara Jung. Darimana dia mendapatkan nomorku? Ah dasar penguntit!
“Hey,
kenapa? Apa yang orang itu katakan padamu?”
“Tidak,
tidak ada. Hanya salah sambung.”
Kami
terdiam hingga mobilnya terparkir rapi di depan sebuah gedung yang terlihat
seperti pusat belanja.
“Turunlah,
aku ingin mengajakmu bersantai. Kau tenang saja, setelah kejadian konyol tadi
aku tak akan berani macam-macam denganmu,” ujarnya dengan senyuman penuh di
wajahnya. Aku membalasnya dengan memutar bola mataku dan membiarkannya
menarikku.
Kami
naik ke lantai paling atas dan aku terkejut saat mendapati jika lantai atas
mall ini adalah sebuah bar. Tidak seperti bar yang ada di amerika yang penuh
sesak dan berisikan orang-orang liar, bar ini cukup mewah. Tidak terlalu ramai
dan tampaknya penghuni bar ini adalah orang-orang dari kalangan atas.
“Lancang
sekali kau! Apa kau tak pernah dengar jika anak dibawah umur dilarang memasuki
tempat seperti ini.” Aku menghentikan langkah kami di depan meja bar.
“Oh
ayolah, ini tidak seburuk yang kau pikirkan. Aku membawamu ke tempat mahal dan
aku jamin kau tak akan mendapat pemandangan apa pun di sini, hanya beberapa
orang atau beberapa pasang kekasih yang menari. Kau juga tak perlu khawatir bar
ini tidak memiliki penari telanjang. Bar ini hanya untuk orang-orang yang
berkantung tebal. Apa kau mengerti?” Dia sedikit berteriak karena suara musik
yang cukup kencang.
“Tetap
saja. Apapun alasanmu, kau sudah dengan lancang membawa gadis yang bahkan belum
genap berusia tujuh belas ke tempat seperti ini. Aku baru akan mendapat angka
tujuh belas itu bulan juli nanti.” Dia mengendus kesal dan tak lagi membalas
ucapanku. Tangannya kembali meraih tanganku dan membantuku untuk duduk di kursi
tinggi bar ini. Kurasa aku tak sependek yang dia kira.
“Kau
ini. Darimana kau mendapatkan energi begitu banyak untuk bicara sebanyak itu,
padahal kau memiliki tubuh kecil seperti ini. Aku bahkan baru menyadarinya, kau
ini kecil sekali.”
“Jaga
bicaramu, Sir atau kau akan segera mendapatkan tangan-tangan lembutku ini
membekas di wajahmu,” desisku kesal. Dia lebih cerewet dari aku.
“Maaf.
Aku mengajakmu kesini karena bagiku ini adalah tempat paling nyaman untuk
berdiskusi tentang kita.”
“Apa?
Apa maksudmu ‘tentang kita’? Awas saja jika kau sampai berani berpikir untuk
membuatku mabuk dan mengambil kesempatan.”
“Kau
berpikir terlalu jauh, Nona Yoora. Aku ini pria baik-baik, asal kau tahu saja.
Aku adalah anak dari CEO besar Choi Dong Sun dan aku otomatis akan menjadi
pewaris dari semua usaha milik keluargaku itu. Mana mungkin aku mau mencoreng
nama baik keluargaku dengan membuat skandal bersama gadis seperti dirimu.” Pria
sialan. Mulutnya benar-benar harus disumpal dengan kulit nanas.
“Berhenti
membuang-buang waktu dan cepat bicarakan apa yang mau kau katakan padaku hingga
kau harus repot-repot membawaku ke tempat mahal ini.” Aku menekan kata mahal.
“Aku
mendengar kabar jika keponakan dari Mr. Fletcher akan pindah kemari dua minggu
yang lalu. Pamanmu menelpon ayahku dan meminta ayahku untuk mengurus semuanya.
Aku mendaftarkanmu di sekolahku dan membuat semua jadwal kita sama, jadi kita
akan berada di satu kelas yang sama hingga lulus nanti. Lagipula itu bukan
waktu yang lamakan, hanya enam bulan. Sebenarnya, kita pernah bertemu satu kali
di New York. Tapi waktu itu, kau tampak tak memperhatikan sekelilingmu hingga
kau tak melihatku. Aku mengingat wajahmu sampai sekarang, hanya saja, tinggimu
sedikit bertambah dari yang terakhir kali kuingat. Aku mendapat masalah karena
ayahku berniat menjodohkanmu denganku. Katanya, hubungan ini sudah lama
terjalin dengan ikatan persahabatan dan sekarang apa salahnya jika kita perkuat
menjadi keluarga. Itulah yang membuatku merasa jika kau adalah pemicu masalah dalam
hidupku. Wajahmu dan wajahku muncul di salah satu majalah ternama korea lima
hari yang lalu dan aku tak tahu darimana niatan konyol ayahku itu tersebar.”
“Wajahku
ada di majalah? Bagaimana itu bisa terjadi?”
“Aku
tidak tahu. Sebenarnya aku masih kesal dengan ayahku. Aku yakin dia adalah
orang yang ada di balik semua ini. Gosip-gosip tentang kita terus saja
bermunculan dan aku tak tahan karena kemanapun aku pergi maka akan ada banyak
reporter yang mengikutiku.”
Aku
menatapnya tak percaya, aku pernah muncul beberapa kali di majalah sebagai
gadis dengan gaun terbaik bersama Jessy. Tapi diikuti reporter? Aku tak pernah.
Jangan-jangan..
“Jangan
bilang jika sekarang ada reporter yang sedang mengikuti kita?” Aku menudingnya
lagi dengan gelasku. Well, aku bukan penyuka
alkohol.
“Bisa saja, aku tidak manghapal satu demi satu
wajah reporter di kota ini,” ucapnya. Aku terdiam begitu saja. Gila! Aku tak
bisa bayangkan jika aku dilibatkan dengan gosip bodoh bersama dengan pria
cerewet sepertinya.
“Awas
saja jika sampai aku melihat ada artikel tentang diriku di majalah atau di
internet besok. Mati kau!” Jin Hwa memutar bola matanya.
“Aku
tak menjamin keamanan saat kita di luar, tapi percayalah tempat ini memiliki
tingkat keamanan yang tak akan membuatmu kecewa.”
Aku
menghela napas lega, entah kenapa saraf-sarafku tegang mendengar ucapannya yang
sewaktu-waktu bisa meledakkanku.
Ini
sudah sore, aku harus memasak untuk kunjungan istimewa yang dikatakan oleh Jung
ditelepon tadi. Aku memang sudah tidak terlalu kesal lagi dengannya, mungkin
aku memang harus memaklumi perkataannya waktu itu. Taehyung benar, aku tak
mengenalnya, itulah yang membuatku berpikir jika Jung adalah pria dengan attitude yang buruk. Mungkin aku bisa
memberinya kesempatan kedua.
“Apa
kita sudah selesai? Aku harus pulang sekarang.” Aku memutar kursiku
menghadapnya. Jin Hwa melihat jam tangan yang melingkar di tangannya.
“Ini
bahkan belum jam enam dan kau sudah mau pulang? Kau payah sekali.” Aku mencibir
padanya.
“Aku
memiliki urusan yang lebih penting daripada duduk-duduk di sini bersama dengan
makhluk dari antah berantah seperti dirimu. Aku harus pulang, jika kau tak mau
mengantarku, aku akan menghubungi supir pribadiku sekarang.”
Jin
Hwa menarik ponselku bahkan sebelum aku bisa menekan nomor untuk menghubungi
supirku itu. “Baik.. baik.. kau ini! Kau suka sekali mengancam orang untuk
menuruti kemauanmu ya.” Aku tersenyum lebar padanya dan dalam sedetik senyuman
itu menghilang dari wajahku.
“Terserah
apa katamu dan cepat antar aku pulang.” Aku turun dari kursi tinggi bar ini dan
berjalan keluar, Jin Hwa mengikutiku dari belakang.
Kami
tiba di apartemenku setengah jam kemudian. Jin Hwa memaksa untuk ikut denganku,
katanya dia penasaran dengan apa yang akan kulakukan hingga harus buru-buru
kembali ke rumah. Aku tak percaya jika pria tampan sepertinya bisa bertingkah
seperti itu, maksudku dia berisik sekali.
“Kau
akan terkejut saat kau tahu siapa saja yang menjadi tetanggamu di gedung dan
kawasan ini. Semuanya adalah orang-orang yang memiliki popularitas besar dan
kantong yang tebal. Aku yakin kau pasti tak menyukai musik korea kan?” Aku
menggesekkan ID card apartemenku,
membuka pintu dan masuk ke dalam. Aku melempar tas kecilku ke sofa ruang tamu,
lalu berbalik menghadap Jin Hwa.
“Siapa
bilang aku tak suka musik korea? Aku suka, aku tahu satu grup yang sangat bagus
menurutku. Super Junior. Ya kalau tak salah itu nama grupnya.”
“Payah,
kau hanya tahu satu? Kau benar-benar bukan orang sini.”
“Aku
memang bukan orang sini! Sekarang, kau puas? Masih untung aku tahu yang satu
itu. Aku bahkan lebih suka musik-musik dari negara asalku di mana aku
dibesarkan meski sebenarnya aku tidak terlalu menggemari dunia musik.”
“Mengapa
kau ini cepat sekali marah? Akukan tidak serius. Jika semua hal kau buat
serius, bisa-bisa nanti kau akan stress dan berakhir di rumah sakit jiwa. Kau
mau seperti itu? Lagipula menurutku kau itu terlalu cantik untuk masuk rumah
sakit jiwa.” Dia melempar tubuhnya ke sofa-ku.
Aku
tertegun sejenak mendengar kalimat yang baru saja ia ucapkan. Kalimat itu
terdengar sangat familiar. Tunggu, aku yakin jika aku pernah mendengar yang
seperti itu sebelumnya. Ah, Jessica. Tentu saja, itu adalah perkataan Jessy,
nyaris sama, mirip sekali. Bagaimana dia bisa mengatakan hal yang sama dengan
yang Jessy katakan.
“Heh,
yang tadi, perkataanmu barusan itu, kau menjiplak dari mana?”
“Apa
maksudmu? Itu adalah semboyan kebanggaanku sejak dulu. Aku tak suka suasana
yang terlalu serius, kecuali jika sedang meeting dengan klient perusahaan. Aku
ini adalah tipekal pria idaman semua wanita di seluruh negeri ini, aku tampan,
kaya, pintar, dan humoris. Semua gadis suka dengan pria yang humoris sepertiku
kan? Apalagi didukung dengan wajahku dan kantongku juga.” Jawabannya panjang
sekali, aku sampai terbosan-bosan mendengarnya.
“Maaf,
aku tak bermaksud untuk menyinggungmu. Aku hanya, Jessica pernah mengatakan hal
seperti itu, bukan pernah lagi, dia bahkan sering mengatakannya. Aku hanya
bingung, bagaimana kalian bisa memiliki pemikiran yang sama seperti itu?”
“Apa
Jessica adalah gadis yang bersamamu di pesta amal itu? Dia memiliki rambut
cokelat gelombang, kaki yang indah, senyum yang manis dan dia tinggi.” Jin Hwa
menekan kata ‘tinggi’. Kurang ajar! Dia meledekku lagi.
“Iya,
meski aku tak ingat kapan kita bertemu, tapi setiap acara di New York aku
memang selalu bersamanya. Dan dia memang tinggi.” Aku juga menggunakan nada
yang sama dengannya pada kata ‘tinggi’. Jin Hwa tertawa mendengar balasanku.
“Dia
adalah gadis yang menganggumkan kan? Dia cantik dan dia adalah orang yang akan
meneruskan perusahaan ayahnya nanti. Harusnya, ayahku menjodohkanku dengannya
saja, bukannya dengan gadis sepertimu yang bisa mematahkan tulang rusukku.” Aku
terkekeh saat mendengar gumamannya.
“Kau
tidak tahu saja, jika aku adalah seorang gadis dengan tendangan terbaik di
keluarga Fletcher, maka Jessy adalah gadis dengan pukulan terbaik. Kau harus
dengar cerita mengenaskan yang terjadi pada Daniel, mantan kekasihku yang
terakhir dua bulan yang lalu.”
Tubuh
Jin Hwa menegap tiba-tiba, wajahnya menjadi serius. “Benarkah? Apa? Apa yang
terjadi pada pria itu? Kalian membunuhnya atau…”
“Tidak,
tidak sampai seperti itu, ingat, kami adalah gadis terhormat, mana mungkin kami
membunuh orang. Gunakan otakmu itu! Jessica meninju hidung pria itu dengan
pukulan andalannya. Aku yakin sekali jika hidung pria itu patah. Kalau saja aku
tidak sedang dalam keadaan yang buruk. Aku akan menendang alat vitalnya dan
membuatnya mandul.”
“Ya
Tuhan, aku tak percaya jika species
dari gadis-gadis seperti kalian masih ada dan bernapas di muka bumi ini.
Mengerikan sekali!”
“Jangan
terlalu berlebihan. Itu malah baguskan. Pria manapun akan berpikir
berulang-ulang kali sebelum berani macam-macam dengan gadis-gadis dari keluarga
Fletcher,” ujarku padanya. Aku melangkah meninggalkannya yang tampak termenung
menuju dapur.
Well,
sebaiknya aku mulai memasak sekarang karena aku harus menyiapkan makanan untuk
banyak orang. Aku yakin kunjungan istimewa yang dimaksudkan oleh Jung adalah
mereka bertujuh akan datang kemari, tapi Seo Jin mungkin tidak ikut karena feeling-ku mengatakan jika dia tak terlalu
suka denganku.
“Apa
yang sedang kau lakukan?”
Aku
mengeluarkan daging yang kemarin kubeli bersama Teahyung dari freezer dan meletakkannya di atas counter.
“Aku
sedang memancing di sini! Apa kau buta? Apa lagi yang dilakukan seorang gadis
di dapur hah? Dasar bodoh!”
“Maaf,
kau ini. Berhentilah menjadi gadis yang ketus seperti itu, nanti kau bisa tidak
laku.” Aku memutar bola mataku.
“Aku
hanya bersikap ketus padamu, aku tidak begitu dengan yang lain.”
Aku
tak mendengar lagi jawabannya. Aku melihatnya, dia sedang memperhatikanku. Apa
yang menarik? Aku hanya sedang memotong-motong daging ini. Aku akan membuat steak untuk makan malam. Aku belum
belajar memasak masakan korea. Sebenarnya, steak
buatan Jessica lebih baik dari buatanku ketika kami sama-sama membuatnya dulu,
tapi bibi Joan bilang milik kami berdua adalah yang terbaik.
“Apa
yang akan kau lakukan dengan daging itu?”
“Aku
akan membuat steak. Diamlah, jika kau
ingin melihat, lihat saja dan jangan berkomentar apa-apa.” Dia diam lagi. Nah,
begini lebih baik. Aku tidak suka jika ada orang yang mengganggu aktivitas
memasakku.
“Baiklah,
kalau begitu nimkatilah waktu memasakmu, Nona. Aku akan ke ruang santai dan
menonton. Atau mungkin aku bisa mengacak-acak apartemenmu ini.”
“Jika
kau berani melakukannya, pisau ini akan melayang tepat ke jantungmu.”
Aku
mendengar tawanya yang menghilang di balik dinding pembatas dapur dengan ruang
makan. Sebenarnya, aku harus mengakui jika pria itu memang menyenangkan. Dia
punya begitu banyak hal untuk dikatakan.
Saat
memasak, satu-satunya hal yang paling aku benci adalah memotong bawang merah.
Sekarang, aku harus memotong dua belas bawang bawang merah, kuharap mataku tak
berair. Aku melirik daging yang sudah kurendam di air garam, daun peterseli dan
lada sejak lima belas menit yang lalu sambil mengupas kulit bawang dan langsung
memotong-motongnya. Ada lima belas menit lagi, selesai dengan bawang, aku
menyiapkan pen baruku untuk mencairkan mentega. Aku selalu suka jika memasak
dan mentega adalah bagian dari bahannya karena mentega akan membuat masakan
terasa lebih enak. Sudah tiga puluh menit, tanganku meraih mangkuk bening
berisikan daging yang sudah kurendam dan lantas meletakkannya di atas pen.
Aku
menyiapkan wajan lain, menghangatkan minyak dan menumis bawang merahnya. Aku
berlari ke lemari es dan mengeluarkan saus sambal dan saus tomat, lalu tepung
terigu, dan air kaldu. Memasukkannya ke dalam wajan lalu ditambah lada juga
sedikit garam dan menumisnya.
Kedua
tanganku berkerja, lima menit sekali aku membalik dagingnya dan tangan yang
satu lagi menumis saus untuk dagingnya. Aku tersenyum lebar saat aroma
masakanku sudah memenuhi dapur ini.
Ini
adalah momen pertamaku memasak di sini dan rasanya sangat luar biasa, biasanya,
akan ada Jessica yang bersaing memasak denganku, tapi ini hanya aku sendirian
untuk diriku sendiri dan tanpa persaingan.
Aku
mematikan api kompor, menyiapkan steak
ala Kim Yoora di tiga piring ukuran besar. Menumpahkan saus yang telah kubuat
ke atasnya dan meletakkan beberapa sayuran di pinggiran piring. Aku mencicipi
rasa saus yang kubuat di wajan dan rasanya lebih baik dari yang terakhir
kubuat.
Setelah
memasak, aku akan merasa lebih bahagia. Tapi aku tak mungkin hanya menyiapkan steak sajakan. Kurasa aku bisa membuat
Tortilla isi ayam. Kemarin Taehyung bilang kalau orang korea juga memakan nasi
dan aku juga akan memasak nasi. Kami sudah membelinya kemarin.
Dua
jam, aku sudah menyelesaikan semua masakanku dan aku juga membuat ayam crispy.
“Jin.. Jin Hwa..” Aku berteriak
memanggilnya dari dapur, beberapa detik kemudian dia sudah ada di sampingku.
“Wah, apa benar ini semua kau yang
memasak?” Dia berdecak kagum dan aku bisa sedikit menyombongkan diriku.
“Tentu
saja, kau pikir siapa lagi yang membuatnya. Sekarang bantu aku untuk meletakkan
semua ini di meja makan, susunlah yang rapi. Aku akan mandi dan bersiap-siap
sebelum tamuku datang. Oke? Ingat jika kau mengacau, aku akan membuatmu pingsan
malam ini.” Jin Hwa memutar bola matanya dan aku meninggalkannya berlari ke
kamarku. Aku tak punya banyak waktu untuk membersihkan diri, karena merka pasti
akan datang sebentar lagi.
Aku
mematut diriku sekali lagi di depan cermin dan berlari keluar saat mendengar
suara bel. Itu pasti mereka. Saat aku tiba di depan pintu kamarku, Jin Hwa
sudah lebih dulu membuka pintunya. Semua orang terdiam seolah-olah waktu
berhenti saat ini. Aku menutup pintu kamarku dan menghampiri mereka.
Mereka
menatapku dengan tanda tanya di atas kepala mereka. “Mengapa kalian diam
seperti itu? Silakan masuk,” ucapku dengan kikuk.
“Apa
kau sudah gila? Bagaimana bisa seorang gadis sepertimu mengundang tujuh pria
sekaligus eh tidak delapan pria
sekaligus dalam semalam?” bisik Jin Hwa di sampingku. Aku menyikut perutnya.
“Jangan
asal bicara kau. Diamlah. Perlu dikoreksi, aku tidak mengundangmu, kau yang
memaksa untuk ikut, jadi kau tak masuk dalam hitungan,” ujarku.
“Yoora,
tapi bagaimana kau bisa mengenal mereka? Mereka itukan…”
“Hai
Ms. Amerika, senang rasanya bertemu denganmu lagi. Apa kau sudah menyiapkan
masakan yang enak untuk kami semua. Aku atas nama teman-temanku ini meminta
maaf padamu karena sudah merepotkanmu,” ucap Jimin dengan cengiran lebarnya.
“Tidak
Oppa, aku sama sekali tidak merasa
direpotkan. Aku senang kalian sudah mau berkunjung kemari.”
“Kurasa
kita bisa mengadakan acara syukuran untuk rumah barumu ini. Aku senang
design-nya sangat cantik dan cocok sekali denganmu.” Dia Nam Joon. Aku
tersenyum padanya.
“Terima
kasih, Oppa,” ucapku sambil
membungkuk.
“Wah,
kurasa kau sudah belajar cara membungkuk dengan baik.” Semua orang tertawa saat
mendengar ucapan Ho Seok.
“Aku
setuju jika malam ini kita mengadakan syukuran untuk rumah baru Yoora. Ini
adalah awal pertemanan kita.” Aku tersenyum makin lebar pada Yoon Gi.
“Siapa
pria itu? Apa dia kekasihmu? Hebat sekali. Dalam waktu tiga hari kau sudah
memiliki seorang kekasih di sini, wow.
Kurasa aku harus memberimu tepuk tangan!” Tubuhku kaku begitu mendengar sindiran
keras dari Seo Jin. Sudah kuduga dia pasti tidak menyukaiku. Tapi apa salahku?
“Dia
Choi Jin Hwa. Temanku, teman satu sekolahku dan anak dari sahabat pamanku.”
“Hey
Jin, Jaga bicaramu jika kau tidak mau mendapat masalah. Kau terlihat sangat
terpaksa datang kesini, harusnya kau tidak usah ikut. Sial.” Aku melotot pada
Jin Hwa, dia tidak sopan sekali.
“Sudahlah.
Maafkan dia, dia sedang kedatangan tamu jadi terlihat begitu sensitive.” Taehyung melerai suasana.
Apartemenku tampak penuh dengan kehadiran delapan orang pria ini. Aku senang
suasana ramai seperti ini.
“Aku
sudah memasak untuk makan malam dan aku juga sudah membuatkan kopi untuk
kalian. Ada tea herbal juga dan ada jus apel.”
“Jika
rasa kopimu berbeda dengan yang kemarin awas saja.” Aku terkekeh mendengar
ucapan Taehyung. Perhatianku mendadak berhenti pada Jung. Dia terlihat bingung,
aku tahu jika sejak tadi dia memperhatikanku. Aku tak tahu harus bagaimana.
Mungkin nanti kami akan bicara empat mata.
Aku
senang semua orang menikmati masakanku. Jimin dan Ho Seok terlihat tak
malu-malu dan terus memuji masakanku. Aku sampai harus memegangi perutku karena
kekocakan mereka.
“Ternyata
rasa kopi buatanmu tetap sama. Aku suka sekali, mulai sekarang ini akan menjadi
kopi kesukaanku. Kalau aku ingin minum kopi aku akan datang kemari.”
Aku
tersenyum pada Taehyung. Dia masih jadi pria yang paling kusukai sampai detik
ini. Jin Hwa tidak banyak bicara sejak tadi dan Jung bahkan belum juga mengeluarkan
suaranya. Nam Joon sibuk mengobrol dengan Yoon Gi dan Seo Jin.
“Kami
akan ke ruang tengah lebih dulu. Eh, Yoora bolehkah kami keluar? Ke balkon
maksudku?” Aku mengangguk menjawab pertanyaan Nam Joon. Dia melangkah pergi
bersama Yoon Gi dan Seo Jin.
“Aku
dan Ho Seok akan menikmati snack di
ruang santai. Aku senang sekali kau memiliki playstation, kami akan sangat betah di sini,” seru Jimin. Aku
tertawa mendengar lelucon mereka.
“Jangan
malu-malu, Oppa. Kalian bisa
menganggap ini sebagai rumah kalian juga.”
“Tentu,
tentu saja. Kau bahkan sudah resmi diterima di rumah kami, Ms. Amerika.” Itu Ho
Seok. Mereka beranjak meninggalkan ruang makan.
“Jin
Hwa, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Ikutlah!” Aku menatap bingung pada
Taehyung dan Jin Hwa yang menyusul pergi dari ruang makan.
Hingga
akhirnya aku sadar kalau, dia sengaja meninggalkanku berdua saja dengan Jung.
Ya Tuhan, kuharap emosiku tidak meledak-ledak dan aku bisa bicara baik-baik
dengannya. Akan lebih baik jika kami berteman dibanding harus bermusuhan kan.
Aku
beranjak dari tempat dudukku dan membereskan piring-piring bekas mereka semua.
Tenang, aku sudah biasa melakukan ini. Aku tidak terlalu mempedulikan Jung yang
ikut membantuku membereskan meja makan dan membantuku mencuci piring juga.
“Apa
maksudmu? Kenapa kau mengajak mereka semua kemari? Bukankah, aku sudah bilang
aku tidak ingin bertemu denganmu lagi,” ujarku dingin.
“Aku
ingin meminta maaf padamu. Aku tahu aku salah. Aku seharusnya tak berkata
seperti itu padamu. Bisakah aku mendapatkan kesempatan kedua? Aku akan berusaha
sebaik mungkin untuk memperbaiki segalanya.” Aku tertegun pada ucapannya.
“Kau
tahu, kau sudah melewati batasanmu kemarin. Apa menurutmu aku harus
memaafkanmu?”
“Tentu
saja, bukankah setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua? Lagi pula, kau
menjanjikan tiga hal yang kuinginkan dan akan kau penuhi.” Tubuhku tersentak
seketika. Ya Tuhan, aku lupa! Aku lupa tentang tiga hal itu. Ya ampun. Dasar
bodoh!
Aku
menatapnya dan menghela napas. “Setelah semua yang dikatakan oleh Taehyung Oppa kemarin malam, aku jadi berpikir
kembali tentang semuanya. Aku sudah memutuskan untuk memaafkanmu dan memberimu
kesempatan kedua, asalkan kau menerima satu persyaratan dariku.”
Jung
tampak ingin protes, tapi dia mengurungkannya. “Baiklah!”
“Aku
ingin kau menceritakannya padaku, apa yang terjadi padamu, pada keluargamu
karena Taehyung Oppa bilang kalau kau
memiliki keluarga yang kacau dan aku ingin mengerti, agar aku bisa
memaafkanmu.”
Dia
menatapku dalam kebekuan matanya. “Aku akan menceritakannya padamu. Tapi nanti,
saat kita sedang berdua. Tidak di sini, tidak sekarang.”
“Baik.
Itu akan aku anggap hutang. Aku akan menagihnya nanti.”
“Bagaimana
kau bisa mengenal Jin Hwa?”
“Bukankah
tadi aku sudah mengatakannya pada kalian semua?”
“Jadi,
kau akan ada di sekolah yang sama denganku juga.” Aku menatapnya melotot.
“Apa?
Maksudmu kau juga ada di sekolah yang sama dengan Jin Hwa?” Ya Tuhan, itu
artinya, aku juga akan satu sekolah dengan dia. Bencana apa lagi ini!
“Ya,
secara otomatis kau juga akan satu sekolah denganku. Besok kau akan
menginjakkan kakimu di sekolah itu dan kau harus berhati-hati, Jin Hwa bisa
mendatangkan masalah untukmu,” ujarnya.
“Kurasa,
kau adalah satu-satunya orang yang harus kukhawatirkan mendatangkan masalah
untukku.” Dia mengangkat bahu tak acuh dan pergi dari dapur, meninggalkanku
termenung sendirian.[]
Yoora
Choi Jin Hwa
Jungkookie
Oppars :)
Wow! Mereka (red: Bts dan Jin hwa) saling kenal? Ciye Kuki,yang sadar berbuat salah... Ciye,yang minta maaf... Tapi,kok Seok Jin gitu amat sih? =,= Terus kenapa Jin hwa bisa di sebut pembuat masalah? Keliatannya dia baik tuh...
BalasHapusMakasih reviewnyaaaaaaaaa chinguuuuuu😚 tunggu kelanjutannya yaaaa😚😚
Hapus