Senin, 27 Juli 2015

INTO HIS WORLD BAB 17

WARNING : Masih pemula, masih amatiran, masih dalam proses belajar, butuh saran dan komentar yang membangun juga. Jadilah pembaca yang baik! Jangan mengkopi apapun tanpa izin! Maaf buat typos yang bertebaran disana-sini. Happy Reading!

(DENGERIN LAGU JIN - GONE :) YA )




BAB 17
Lima belas menit berikutnya, mobil ini berhenti di depan sebuah rumah mewah bergaya klasik. Tampak sepi dan tak berpenghuni namun sangat terawat. Pembuatan taman pekarangan yang sangat cerdas dan jika pagi menyingsing, taman ini akan pas untuk dijadikan tempat berkumpul bersama dan melakukan sarapan.
Ini adalah rumah milik keluarga Jimin. Dia pernah membawaku kesini dua kali. Ketika pertama dia membawaku ke sini bulan lalu, dia bercerita tentang hidupnya padaku. Bahwa dia adalah anak bungsu di keluarga Park. Orangtuanya adalah tipekal orangtua yang diktator. Sejak kecil dia dan kakak laki-lakinya di didik dengan keras untuk dapat meneruskan usaha bisnis keluarganya yang bergerak di bidang telekomunikasi. Hatiku berdenyut saat mengingat jika Jimin pernah berkata, dia dan kakaknya telah kehilangan masa kanak-kanak dan juga masa remaja mereka karena ulah orangtuanya.
Sekarang, kakak laki-lakinya menduduki posisi direktur di perusahaan cabang yang ada di Singapura dan orangtuanya sejak dulu selalu menginginkan Jimin untuk menjadi penerus mereka. Sedang Jimin tak pernah ingin terikat dengan segala hal yang berhubungan dengan perusahaan. Kakak Jimin adalah orang yang paling tepat untuk menangani urusan perusahaan keluarga Park, tapi orangtuanya tidak pernah ingin mendengarkan keinginannya.
Kami melangkah mendekati rumah itu dan berhenti saat ada mobil lain yang ikut memasuki gerbang. Begitu berbalik, itu adalah Taehyung, Hye Ni, Yoon Gi dan Ho Seok. Mereka sama saja, terlihat cemas dan kuyu serta shock.
“Yoora, aku tahu kau sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja setelah kepergiaan Kookie, kami semua tahu tentang keadaanmu. Aku tahu tidak seharusnya kami memintamu untuk berbicara pada orangtua Jimin mengenai ini, tapi selama dua bulan ini kau sudah menjadi orang yang penting baginya, Yoora. Dia pernah bilang padaku ketika kami latihan jika dia sudah menganggapmu seperti adiknya sendiri, dia sangat menyayangimu. Kami sudah kehilangan Kookie, kami tidak bisa jika harus kehilangan Jimin juga. Bangtan akan berakhir, Yoora.”
Aku berlari kecil menghampiri Ho Seok dan lantas memeluknya dengan erat. Aku bisa merasakannya saat dia menangis tanpa suara. Ya Tuhan, bagaimana bisa semua ini terjadi.
“Tidak, Oppa. Tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan melakukan apapun untuk kalian semua. Kalian sudah melakukan begitu banyak hal untukku dan sekarang adalah saatnya untukku membalas kebaikan kalian selama ini. Kumohon, jangan menangis, kita akan hadapi ini bersama-sama. Kita tidak akan kehilangan Jimin Oppa. Tidak akan,” lirihku.
Suara keramik yang pecah dari dalam rumah itu, menyentak kami semua. Dengan cepat aku berlari masuk ke dalam rumah itu, tanpa mengetuk pintu lagi, Yoon Gi dan Taehyung mendobrak pintunya.
Hal pertama yang kami lihat adalah seorang pria paruh baya dengan jas hitam mahalnya menatap marah pada kami semua, matanya penuh dengan api. Aku melihat ada darah di tangannya.
Pandanganku beralih pada Jimin yang tersungkur di lantai. Wajahnya memar, ada darah di sudut bibirnya. Kemeja putinya yang rapi telah berubah lusuh, dia terlihat sangat kacau. Pecahan keramik memenuhi ruangan ini, bahkan kaca-kaca hias di dinding juga hancur, rumah ini sudah seperti kapal Titanic yang terombang-ambing sebelum tenggelam.
“Berani-beraninya kalian semua datang kemari!”
Aku menatap takut pada pria itu. Dia adalah ayah Jimin. Bagaimana bisa pria sebaik Oppa-ku itu memiliki orangtua sepertinya?
“Kau tidak bisa memperlakukan teman kami seperti itu,” ujar Yoon Gi dengan nada beku. Untuk yang pertama kalinya aku mendengar dia berbicara seperti itu.
Aku yakin semua orang terpukul melihat keadaan Jimin. Ya Tuhan, aku tidak percaya jika saat ini masih ada tipe orangtua yang mendidik anak-anaknya dengan cara kekerasan seperti ini.
“Dia adalah anakku dan aku berhak melakukan apapun yang kuinginkan! Aku sudah menekankan padanya untuk berhenti bermain-main dengan nyanyian dan tarian bodoh itu dan mulailah untuk serius. Dia adalah calon penerus perusahaan keluarga Park, Jimin adalah pria terhormat yang tidak selevel bergaul dengan orang-orang rendahan macam kalian. Apalagi, dia berteman dengan seorang gadis yang merupakan anak haram dari mantan orang nomor satu di Korea. Sungguh memalukan sekali!”
“Jaga bicara Anda, Tuan Park! Jika Anda tidak ingin terjadi keributan di sini!”
Aku menahan Taehyung yang akan menerjang ke depan.
“Lihatlah! Apa yang kukatakan adalah sebuah fakta tentang kalian semua. Aku tidak pernah mendidik anakku untuk melawan perkataan orangtuanya. Sekarang, aku tahu darimana dia bisa membangkang perintahku. Kalian semua benar-benar membawa pengaruh yang buruk untuk putraku!”
“Sial! Kau benar-benar…”
Aku kembali berusaha menahan Yoon Gi. Hye Ni memegang erat tangan Taehyung agar mereka berdua tidak menerjang ke depan. Jika itu terjadi, masalah akan bertambah rumit.
Aku menatap nanar pada Jimin yang tampak telah kehabisan tenaga untuk melawan atau bahkan berbicara, dia menatapku sendu. Aku tak bisa menahan air mataku.
“Apa Anda tidak merasa malu pada diri Anda sendiri, Mr Park? Anda mengaku sebagai orangtuanya kan? Lalu, apa pernah Anda menanyakan keadaannya? Apa pernah Anda menanyakan tentang keinginan yang ingin dia capai dalam hidupnya? Apa pernah Anda mencurahkan kasih sayang Anda walau setetes padanya? Apa yang Anda tahu tentang dia? Makanan kesukaannya, hobinya, mimpinya? Apa yang Anda tahu tentang dia, Mr Park?”
Aku menghapus air mataku, melangkah mendekati pria kejam itu dan berdiri tepat di hadapannya.
“Anda tidak tahu apa-apa tentang dia kan, Mr Park? Lalu, sekarang apa Anda masih ingin menyebut jika Anda adalah orangtuanya dan berhak melakukan apapun padanya? Berpikirlah, Mr Park! Dia adalah putramu, dia putramu bukan robot yang bisa Anda program untuk mengikuti semua keinginanmu. Dia memiliki hidupnya sendiri, keinginannya sendiri. Lalu mengapa Anda tidak pernah mencoba untuk mengerti? Dia putramu, Mr Park. Lihatlah, kearahnya! Lihatlah keadaannya saat ini karena ulah Anda! Apa hati Anda tak terenyuh walau sedikit saja?”
Aku menatapnya penuh air mata, dia tampak terdiam. “Selama ini yang aku tahu, tidak ada orangtua yang mampu melihat anak mereka terluka. Mereka akan melindungi anak mereka kalau perlu biarkan mereka saja yang tersakiti, jangan anak mereka. Tapi saat ini, untuk yang pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat orangtua yang tega menyiksa anaknya agar anaknya mau menuruti keinginannya, tanpa pernah tahu apa yang diinginkan oleh anaknya. Mr Park, aku mungkin memang dari kalangan rendah, tapi sejak aku kecil paman dan bibiku mendidikku dengan baik dan sekarang aku merasa jika pendidikan dan derajat Anda sudah berada jauh dibawahku. Bukankah benar begitu, Mr Park?”
“Kurang ajar!”
Aku memejamkan mataku saat melihat tangannya melayang, hingga beberapa detik aku tidak merasakan apapun yang terjadi. Ketika aku membuka mataku lagi, tangan seseorang menghalangi tangan Mr Park untuk menyentuh wajahku. Aku melihat kesampingku dan Seo Jin adalah orang yang melindungiku.
“Berani menyentuhnya. Besok kau akan melihat nasip perusahaan keluargamu hancur, Tuan Park!”
Suara dingin Seo Jin menggema memenuhi ruangan ini. “Publik akan mengetahui tindakanmu ini dan bisa kau bayangkan apa yang selanjutnya akan terjadi? Orang-orang akan menarik saham mereka dari perusahaanmu dan segera setelah itu, kau akan menyaksikan sendiri kehancuran perusahaanmu.”
“Apa kau baru saja mengancamku, Anak muda? Wow, hebat sekali! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu? Jangan lupakan jika perusahaan itu milik Jimin juga, jika kau menghancurkannya itu sama saja dengan kau menghancurkan asset milik temanmu sendiri.”
“Omong kosong!” Nam Joon berteriak dan menerjang maju tanpa bisa kutahan dia menendang Tuan Park hingga pria itu memuntahkan darah dari mulutnya.
Aku menutup mulutku tak percaya. Tidak! Gawat. Ini benar-benar gawat!
“Aku diam saat kau mengatakan jika kami adalah orang-orang rendahan, aku juga diam saat kau menghina Yoora. Tapi setelah mendengarkan segala yang gadis ini katakan padamu, kau masih tetap berkeras hati! Aku tidak akan diam lagi. Aku akan membunuhmu,” teriak Nam Joon berapi-api.
Aku menahan tubuhnya ketika dia hendak maju lagi. “Jangan Oppa! Jangan, kumohon tenanglah! Kumohon, jika kau memukulnya lagi kita akan mendapat masalah besar. Jangan memukulnya lagi. Tenangkan dirimu,” ujarku.
“Kau memintaku untuk tenang hah? Bagaimana mungkin aku bisa tenang menghadapi manusia dengan hati batu seperti dia, Yoora? Tolong tunjukkan caranya padaku!” Aku menutup mataku ketika Nam Joon berteriak.
Aku benci menghadapi situasi seperti ini. “Walau bagaimanapun juga dia adalah ayah dari Jimin Oppa. Dia adalah orangtua dari sahabatku, dari sahabatmu juga kan Oppa? Itu adalah sebuah kenyataan. Dan jika kita menyakiti orangtuanya, itu sama saja dengan kita menyakitinya juga. Akan lebih baik jika kita pergi dari sini, bawa Jimin Oppa bersama kita. Ayo!”
Aku menjauh dari Nam Joon dan lantas mendekati Jimin, membantunya berdiri dan lantas kami semua melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Mr Park masih tergeletak di atas lantai. Aku yakin dia masih sadar.

Disepanjang perjalanan kembali ke rumah Bangtan, Jimin berbaring di pangkuanku. Aku sudah membersihkan darah di bibirnya. Dan ketika sampai rumah nanti aku akan mengompres memarnya. Dia terlihat sangat menyedihkan sekarang. Matanya terpejam dengan tenang. Aku tak percaya jika dia harus menghadapi saat-saat seperti ini di hidupnya.
Harusnya Mr Park dapat memahami jika menjadi seorang Idol tidaklah seburuk seperti yang dia pikirkan. Itu adalah salah satu dari mimpi anaknya, harusnya dia bisa mengabulkan hal itu dan membiarkan putra sulungnya yang memimpin perusahan. Dia memiliki dua orang putra yang luar biasa, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya mendidik dengan baik.
Begitu tiba di rumah, Seo Jin dan Nam Joon membawa Jimin ke kamarnya. Aku dan Hye Ni menyiapkan kompres dan handuk untuk membersihkan lukanya, juga advil dan tea herbal agar dia tidak pusing ketika bangun besok pagi.
“Pulanglah, Yoora. Biar aku tinggal di sini malam ini. Aku akan merawat Jimin Oppa. Kau tenang saja. Besok kau bisa datang lagi kemari.”
“Tidak, aku yang akan menjaganya. Kau sebaiknya pulang atau kau bisa melihat keadaan Taehyung Oppa dan yang lainnya, mereka pasti sedang sangat kalut sekarang.”
Aku membawa mangkuk berisi air es serta handuk kecil, tea herbal dan advil bersamaku meninggalkan Hye Ni di dapur.
Tidak, aku tidak bisa meninggalkannya di saat seperti ini. Jimin tidak pernah meninggalkanku saat aku membutuhkan Jung, dia adalah pengganti Jung sebagai orang yang bisa kupercayai. Dia juga telah menepati janjinya pada Jung untuk menjagaku selagi pria itu ada di Paris.
Tubuhnya terbaring dengan tenang di atas tempat tidur nyaman miliknya. Dia tertidur. Aku melangkah mendekatinya, duduk di sampingnya dan mulai mengompres wajahnya yang memar.
“Terima kasih.”
Jimin membuka matanya dan dia tersenyum sendu padaku. “Untuk apa? Tidak ada terima kasih dalam persahabatan, Oppa.” Aku tersenyum padanya dan melanjutkan tugasku lagi.
“Aku tidak akan keluar dari Bangtan, Yoora. Aku akan menghubungi kakakku dan memberitahunya tentang semua yang terjadi. Dia bisa menangani segalanya.”
“Tentu, aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kau sampai keluar dari Bangtan. Setelah kehilangan Kookie, entah apa yang akan terjadi jika Bangtan harus kehilanganmu juga.”
Jimin meringis saat handuk dengan air es itu menyentuh sudut bibirnya yang terluka. “Tidak, Bangtan adalah mimpiku, Yoora. Aku tidak akan meninggalkan mimpiku meski pria itu menentangnya mati-matian. Dia tidak pernah memposisikan dirinya sebagai sosok orangtua untukku dan kakakku. Dia tidak pernah memperhatikan kami, sejak kami kecil yang dilakukannya adalah menyiksa kami, hanya itu. Maafkan aku, harus melibatkanmu dalam situasi seperti ini.”
“Jangan meminta maaf. Kita semua bersahabat, aku selalu ingin ada di saat sahabat-sahabatku membutuhkanku, Oppa. Hanya itu.” Aku meletakkan handuk basah itu ke dalam mangkuk dan meraih gelas berisi tea herbal, memberikannya pada Jimin.
“Ini, kau harus minum advil agar besok tidak pusing.” Dia meminum obatnya dan kembali berbaring.
“Kau bisa tidur di kamar Kookie malam ini. Aku tahu, meski kau berusaha untuk terlihat kuat dihadapan orang lain, tapi sebenarnya, kau sangat merindukan dia. Pria bodoh itu, harusnya tidak menerima begitu banyak cinta darimu, Yoora. Mungkin kau harus mulai berpikir untuk melanjutkan hidupmu dan menerima Kyung Soo.”
Aku terdiam begitu mendengar perkataan Jimin. Menghapus air mataku, aku tersenyum lebar padanya. “Sudahlah, Oppa. Semua tentangku sekarang sudah tidak penting lagi. Kita harus fokus pada masalahmu dulu. Aku baik-baik saja, aku juga sudah memikirkan tentang mencari pacar baru.”
Dia tersenyum padaku. “Tetaplah kuat, Yoora. Tunjukkan pada semua orang, jika kau adalah sosok yang tetap berdiri di atas semua luka dan tetap melanjutkan hidup layaknya tak terjadi apapun.”
Aku menangguk padanya. “Siap, Kapten! Sekarang, istirahatlah, panggil namaku tiga kali jika kau membutuhkan sesuatu. Selamat malam, Oppa.”
Aku melimbai meninggalkan kamarnya. Begitu berhasil keluar kamarnya dan pintu tertutup di belakangku, saat itu air mataku mengalir dengan sendirinya. Aku tidak pernah menangis lagi didepan siapapun setelah pesawat itu membawa Jung pergi dari Seoul. Aku menangis dibelakang mereka semua dan esok harinya aku akan bertingkah seolah-olah tak ada yang terjadi, seolah-olah semuanya baik-baik saja dan aku terlihat tidak sedih sedikitpun setelah kepergian Jung. Itulah yang media bicarakan dan semua orang lihat dariku.
Tentu saja, semua orang bisa mengatakan apa saja yang ingin mereka katakan, tidak ada yang melarangnya. Toh mereka hanya melihat lalu mengomentari bukan mendengar langsung dariku. Apalagi melihatku bersama Kyung Soo ketika sidang ayahku. Media dan masyarakat langsung menyimpulkan jika aku telah mendapat pengganti Jung. Padahal sampai saat ini, aku masih merasa jika hatiku tetap ingin menunggunya meski logikaku memintaku untuk menerima Kyung Soo.
Sulit rasanya untuk tetap baik-baik saja saat seseorang yang kita cintai pergi meninggalkan kita, tanpa pernah mengabari kita lagi. Itu sakit sekali, tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Itu sudah jadi pilihan dan keputusannya. Jauh di dalam lubuk hatiku aku masih ingin menunggunya. Ya Tuhan, aku harus apa.
Tanganku mendorong pintu kamar Jung terbuka, kamar ini rapi, sangat rapi. Seorang pelayan akan membersihkannya rutin dua hari sekali karena kamar ini tak berpenghuni. BigHit belum mengambil keputusan apapun tentang apakah mereka ingin menambahkan member baru untuk Bangtan ataukah Bangtan akan tetap berenam dan mengubah formasinya saja.
Jantungku berdenyut ngilu. Semakin dalam aku masuk ke kamar ini, semakin banyak kenangan yang terpatri dihadapanku, mengelilingku, berputar layaknya film layar lebar. Air mataku jatuh lagi, ini adalah tempat Jung menghabiskan malam-malamnya dan aku merasakan kehadirannya di sini. Aku bisa merasakannya di sini. Sesegukan mulai terdengar dari mulutku.
—“Gadis gila! Berani sekali kau memukulku! Aku hanya ingin membangunkanmu karena sekarang kita harus berganti pesawat. Dasar sial! Harusnya aku biarkan saja kau tertidur di sini dan kau akan sampai ke tempat lain bukannya ke Seoul. Aku benar-benar menyesal karena sudah menolongmu.”
—“Sebenarnya kau ini orang korea atau bukan? Mengapa kau tak memakai bahasa korea saja?”
—“Ah, itu, itu adalah senyuman pertama yang kau berikan untukku. Ternyata kau terlihat lebih cantik saat sedang cemberut. Senyumanmu itu adalah senyuman paling buruk yang pernah kulihat.”
—“Kau akan kehilangan napasmu ketika kau melihat wajahku dan akan kupastikan kau akan sama seperti gadis-gadis lain di luar sana,”
“Apa itu yang selalu kau lakukan pada orang yang bertanya baik-baik padamu? Meninjunya? Dasar tidak tahu sopan santun.”
—“Aku ingin meminta maaf padamu. Aku tahu aku salah. Aku seharusnya tidak berkata seperti itu padamu. Bisakah aku mendapatkan kesempatan kedua? Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki segalanya.”
—“Yang terpenting adalah kau tidak terjatuh. Ingatlah! Selama aku berada di sampingmu, takkan ada apapun di dunia ini yang akan menyakitimu.”
—‘Terbang, biarkan angin membawa jiwamu pergi, mengelana menuju ketenangan, melepas segala keluh kesah, melepas segala kesedihan, melepas segala beban, mengosongkan jiwamu. Biarkan angin mengisinya dengan kesejukan…’. ‘…biarkan angin menuntunmu menemukannya, menemukan dia yang jaraknya tak terhingga namun tetap terasa dekat, menemukan seseorang yang letaknya begitu dekat di hatimu. Terbang, kedamaian ini biarkan menjadi milik kita, walau sejenak, tapi begitu berarti.’
—“Wajar saja, jika aku merasa begitu nyaman ada di dekatmu, ternyata kau memiliki sihir. Aku tak percaya jika di dunia benar-benar ada sihir.”
—“Kumohon diamlah, Yoora. Aku sudah berjanji akan berjalan bersamamu dan aku bersungguh-sungguh dengan janjiku itu. Aku tidak peduli kau anak siapa, yang jelas aku mencintaimu. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu. Kita akan memberi pelajaran pada pria itu bagaimana caranya menjadi pria sejati dan seorang ayah yang baik. Tapi kau harus siap disorot oleh publik. Kau harus siap untuk mengungkap identitasmu yang sebenarnya dengan bantuan Euna dan Jin Hwa, kita akan menghancurkan semua yang pria itu miliki saat ini. Aku tidak akan membiarkannya hidup bersenang-senang setelah apa yang telah ia lakukan pada Yoora-ku.”
—“Semuanya akan diluar kendali, tapi kita pasti akan melewati ini dan semuanya akan tetap baik-baik saja. Persiapkan dirimu, ingat, aku selalu ada di sampingmu, genggam tanganku.”
— “Tentu, aku percaya padamu. Akan kupastikan kau tidak akan pernah mencintai pria lain selain aku.”
—“…. Tunggu aku pulang, aku mencintaimu.”
—“Karena aku tidak tahu kapan aku akan kembali. Kumohon, tunggu aku pulang…”
Aku memukul dadaku, tempat di mana rasa sesak itu muncul. Mengapa rasanya sakit sekali, Tuhan. Aku mencintainya. Aku mencintainya, Tuhan. Aku mencintainya.
Tubuhku merosot jatuh menyentuh permukaan lantai yang dingin. Tubuhku berguncang hebat. Aku menutup mulutku rapat-rapat agar tidak ada siapapun yang dapat mendengar jeritanku. Dengan lemas tubuhku bersandar di samping tempat tidurnya. Menatap figura yang terletak di atas lemari kecil di samping tempat tidurnya. Wajahnya selalu terlihat dingin, terlihat tak acuh pada apapun. Tapi dia tidak seperti itu, dia adalah pria yang baik dan aku menyayanginya. Dia memiliki hati yang lembut. Dia memiliki lautan air hangat yang sering kuselami di dalam matanya. Dia memiliki pelukan yang nyaman, pelukannya adalah rumah untukku. Dan aku sudah menemukan jika perasaannya adalah rumah untuk hatiku.
Betapa semuanya menjadi sulit setelah dia pergi. Betapa aku merasa jika waktu terus menyiksaku dengan kenyataan jika dia sudah tidak ada lagi di kota ini. Bahkan setelah mengucapkan perpisahan dan memintaku untuk menunggunya kembali, dia tidak pernah lagi mengabariku. Menghilang begitu saja.
Dasar pria es bodoh! Menyebalkan! Aku membencimu, Jung. Aku membencimu! Aku membencimu.[]



YOORA :*

MEREKA :*

JIMINNIE :*

OPPARS LOVELY :*

HYE NI :)






2 komentar: