WARNING : Masih pemula, masih amatiran, masih dalam
proses belajar, butuh saran dan komentar yang membangun juga. Jadilah pembaca
yang baik! Jangan mengkopi apapun tanpa izin! Maaf buat typos yang bertebaran
disana-sini. Happy Reading!
(DENGERIN LAGU JIN - GONE :) YA )
BAB 17
Lima
belas menit berikutnya, mobil ini berhenti di depan sebuah rumah mewah bergaya
klasik. Tampak sepi dan tak berpenghuni namun sangat terawat. Pembuatan taman
pekarangan yang sangat cerdas dan jika pagi menyingsing, taman ini akan pas
untuk dijadikan tempat berkumpul bersama dan melakukan sarapan.
Ini
adalah rumah milik keluarga Jimin. Dia pernah membawaku kesini dua kali. Ketika
pertama dia membawaku ke sini bulan lalu, dia bercerita tentang hidupnya
padaku. Bahwa dia adalah anak bungsu di keluarga Park. Orangtuanya adalah
tipekal orangtua yang diktator. Sejak kecil dia dan kakak laki-lakinya di didik
dengan keras untuk dapat meneruskan usaha bisnis keluarganya yang bergerak di
bidang telekomunikasi. Hatiku berdenyut saat mengingat jika Jimin pernah
berkata, dia dan kakaknya telah kehilangan masa kanak-kanak dan juga masa
remaja mereka karena ulah orangtuanya.
Sekarang,
kakak laki-lakinya menduduki posisi direktur di perusahaan cabang yang ada di
Singapura dan orangtuanya sejak dulu selalu menginginkan Jimin untuk menjadi
penerus mereka. Sedang Jimin tak pernah ingin terikat dengan segala hal yang
berhubungan dengan perusahaan. Kakak Jimin adalah orang yang paling tepat untuk
menangani urusan perusahaan keluarga Park, tapi orangtuanya tidak pernah ingin
mendengarkan keinginannya.
Kami
melangkah mendekati rumah itu dan berhenti saat ada mobil lain yang ikut
memasuki gerbang. Begitu berbalik, itu adalah Taehyung, Hye Ni, Yoon Gi dan Ho
Seok. Mereka sama saja, terlihat cemas dan kuyu serta shock.
“Yoora,
aku tahu kau sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja setelah kepergiaan
Kookie, kami semua tahu tentang keadaanmu. Aku tahu tidak seharusnya kami
memintamu untuk berbicara pada orangtua Jimin mengenai ini, tapi selama dua
bulan ini kau sudah menjadi orang yang penting baginya, Yoora. Dia pernah
bilang padaku ketika kami latihan jika dia sudah menganggapmu seperti adiknya
sendiri, dia sangat menyayangimu. Kami sudah kehilangan Kookie, kami tidak bisa
jika harus kehilangan Jimin juga. Bangtan akan berakhir, Yoora.”
Aku
berlari kecil menghampiri Ho Seok dan lantas memeluknya dengan erat. Aku bisa
merasakannya saat dia menangis tanpa suara. Ya Tuhan, bagaimana bisa semua ini
terjadi.
“Tidak,
Oppa. Tidak, aku tidak akan
membiarkan itu terjadi. Aku akan melakukan apapun untuk kalian semua. Kalian
sudah melakukan begitu banyak hal untukku dan sekarang adalah saatnya untukku
membalas kebaikan kalian selama ini. Kumohon, jangan menangis, kita akan hadapi
ini bersama-sama. Kita tidak akan kehilangan Jimin Oppa. Tidak akan,” lirihku.
Suara
keramik yang pecah dari dalam rumah itu, menyentak kami semua. Dengan cepat aku
berlari masuk ke dalam rumah itu, tanpa mengetuk pintu lagi, Yoon Gi dan
Taehyung mendobrak pintunya.
Hal
pertama yang kami lihat adalah seorang pria paruh baya dengan jas hitam mahalnya
menatap marah pada kami semua, matanya penuh dengan api. Aku melihat ada darah
di tangannya.
Pandanganku
beralih pada Jimin yang tersungkur di lantai. Wajahnya memar, ada darah di
sudut bibirnya. Kemeja putinya yang rapi telah berubah lusuh, dia terlihat
sangat kacau. Pecahan keramik memenuhi ruangan ini, bahkan kaca-kaca hias di
dinding juga hancur, rumah ini sudah seperti kapal Titanic yang
terombang-ambing sebelum tenggelam.
“Berani-beraninya
kalian semua datang kemari!”
Aku
menatap takut pada pria itu. Dia adalah ayah Jimin. Bagaimana bisa pria sebaik Oppa-ku itu memiliki orangtua
sepertinya?
“Kau
tidak bisa memperlakukan teman kami seperti itu,” ujar Yoon Gi dengan nada
beku. Untuk yang pertama kalinya aku mendengar dia berbicara seperti itu.
Aku
yakin semua orang terpukul melihat keadaan Jimin. Ya Tuhan, aku tidak percaya
jika saat ini masih ada tipe orangtua yang mendidik anak-anaknya dengan cara
kekerasan seperti ini.
“Dia
adalah anakku dan aku berhak melakukan apapun yang kuinginkan! Aku sudah
menekankan padanya untuk berhenti bermain-main dengan nyanyian dan tarian bodoh
itu dan mulailah untuk serius. Dia adalah calon penerus perusahaan keluarga
Park, Jimin adalah pria terhormat yang tidak selevel bergaul dengan orang-orang
rendahan macam kalian. Apalagi, dia berteman dengan seorang gadis yang
merupakan anak haram dari mantan orang nomor satu di Korea. Sungguh memalukan
sekali!”
“Jaga
bicara Anda, Tuan Park! Jika Anda tidak ingin terjadi keributan di sini!”
Aku
menahan Taehyung yang akan menerjang ke depan.
“Lihatlah!
Apa yang kukatakan adalah sebuah fakta tentang kalian semua. Aku tidak pernah
mendidik anakku untuk melawan perkataan orangtuanya. Sekarang, aku tahu
darimana dia bisa membangkang perintahku. Kalian semua benar-benar membawa pengaruh
yang buruk untuk putraku!”
“Sial!
Kau benar-benar…”
Aku
kembali berusaha menahan Yoon Gi. Hye Ni memegang erat tangan Taehyung agar
mereka berdua tidak menerjang ke depan. Jika itu terjadi, masalah akan
bertambah rumit.
Aku
menatap nanar pada Jimin yang tampak telah kehabisan tenaga untuk melawan atau
bahkan berbicara, dia menatapku sendu. Aku tak bisa menahan air mataku.
“Apa
Anda tidak merasa malu pada diri Anda sendiri, Mr Park? Anda mengaku sebagai
orangtuanya kan? Lalu, apa pernah Anda menanyakan keadaannya? Apa pernah Anda
menanyakan tentang keinginan yang ingin dia capai dalam hidupnya? Apa pernah
Anda mencurahkan kasih sayang Anda walau setetes padanya? Apa yang Anda tahu
tentang dia? Makanan kesukaannya, hobinya, mimpinya? Apa yang Anda tahu tentang
dia, Mr Park?”
Aku
menghapus air mataku, melangkah mendekati pria kejam itu dan berdiri tepat di
hadapannya.
“Anda
tidak tahu apa-apa tentang dia kan, Mr Park? Lalu, sekarang apa Anda masih
ingin menyebut jika Anda adalah orangtuanya dan berhak melakukan apapun
padanya? Berpikirlah, Mr Park! Dia adalah putramu, dia putramu bukan robot yang
bisa Anda program untuk mengikuti semua keinginanmu. Dia memiliki hidupnya
sendiri, keinginannya sendiri. Lalu mengapa Anda tidak pernah mencoba untuk
mengerti? Dia putramu, Mr Park. Lihatlah, kearahnya! Lihatlah keadaannya saat
ini karena ulah Anda! Apa hati Anda tak terenyuh walau sedikit saja?”
Aku
menatapnya penuh air mata, dia tampak terdiam. “Selama ini yang aku tahu, tidak
ada orangtua yang mampu melihat anak mereka terluka. Mereka akan melindungi
anak mereka kalau perlu biarkan mereka saja yang tersakiti, jangan anak mereka.
Tapi saat ini, untuk yang pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat orangtua
yang tega menyiksa anaknya agar anaknya mau menuruti keinginannya, tanpa pernah
tahu apa yang diinginkan oleh anaknya. Mr Park, aku mungkin memang dari
kalangan rendah, tapi sejak aku kecil paman dan bibiku mendidikku dengan baik
dan sekarang aku merasa jika pendidikan dan derajat Anda sudah berada jauh dibawahku.
Bukankah benar begitu, Mr Park?”
“Kurang
ajar!”
Aku
memejamkan mataku saat melihat tangannya melayang, hingga beberapa detik aku
tidak merasakan apapun yang terjadi. Ketika aku membuka mataku lagi, tangan
seseorang menghalangi tangan Mr Park untuk menyentuh wajahku. Aku melihat
kesampingku dan Seo Jin adalah orang yang melindungiku.
“Berani
menyentuhnya. Besok kau akan melihat nasip perusahaan keluargamu hancur, Tuan
Park!”
Suara
dingin Seo Jin menggema memenuhi ruangan ini. “Publik akan mengetahui
tindakanmu ini dan bisa kau bayangkan apa yang selanjutnya akan terjadi?
Orang-orang akan menarik saham mereka dari perusahaanmu dan segera setelah itu,
kau akan menyaksikan sendiri kehancuran perusahaanmu.”
“Apa
kau baru saja mengancamku, Anak muda? Wow, hebat sekali! Kau pikir aku takut
dengan ancamanmu? Jangan lupakan jika perusahaan itu milik Jimin juga, jika kau
menghancurkannya itu sama saja dengan kau menghancurkan asset milik temanmu
sendiri.”
“Omong
kosong!” Nam Joon berteriak dan menerjang maju tanpa bisa kutahan dia menendang
Tuan Park hingga pria itu memuntahkan darah dari mulutnya.
Aku
menutup mulutku tak percaya. Tidak! Gawat. Ini benar-benar gawat!
“Aku
diam saat kau mengatakan jika kami adalah orang-orang rendahan, aku juga diam
saat kau menghina Yoora. Tapi setelah mendengarkan segala yang gadis ini
katakan padamu, kau masih tetap berkeras hati! Aku tidak akan diam lagi. Aku
akan membunuhmu,” teriak Nam Joon berapi-api.
Aku
menahan tubuhnya ketika dia hendak maju lagi. “Jangan Oppa! Jangan, kumohon tenanglah! Kumohon, jika kau memukulnya lagi
kita akan mendapat masalah besar. Jangan memukulnya lagi. Tenangkan dirimu,”
ujarku.
“Kau
memintaku untuk tenang hah? Bagaimana mungkin aku bisa tenang menghadapi
manusia dengan hati batu seperti dia, Yoora? Tolong tunjukkan caranya padaku!”
Aku menutup mataku ketika Nam Joon berteriak.
Aku
benci menghadapi situasi seperti ini. “Walau bagaimanapun juga dia adalah ayah
dari Jimin Oppa. Dia adalah orangtua
dari sahabatku, dari sahabatmu juga kan Oppa?
Itu adalah sebuah kenyataan. Dan jika kita menyakiti orangtuanya, itu sama saja
dengan kita menyakitinya juga. Akan lebih baik jika kita pergi dari sini, bawa
Jimin Oppa bersama kita. Ayo!”
Aku
menjauh dari Nam Joon dan lantas mendekati Jimin, membantunya berdiri dan
lantas kami semua melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Mr Park masih
tergeletak di atas lantai. Aku yakin dia masih sadar.
Disepanjang
perjalanan kembali ke rumah Bangtan, Jimin berbaring di pangkuanku. Aku sudah
membersihkan darah di bibirnya. Dan ketika sampai rumah nanti aku akan
mengompres memarnya. Dia terlihat sangat menyedihkan sekarang. Matanya terpejam
dengan tenang. Aku tak percaya jika dia harus menghadapi saat-saat seperti ini
di hidupnya.
Harusnya
Mr Park dapat memahami jika menjadi seorang Idol tidaklah seburuk seperti yang
dia pikirkan. Itu adalah salah satu dari mimpi anaknya, harusnya dia bisa
mengabulkan hal itu dan membiarkan putra sulungnya yang memimpin perusahan. Dia
memiliki dua orang putra yang luar biasa, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya
mendidik dengan baik.
Begitu
tiba di rumah, Seo Jin dan Nam Joon membawa Jimin ke kamarnya. Aku dan Hye Ni
menyiapkan kompres dan handuk untuk membersihkan lukanya, juga advil dan tea
herbal agar dia tidak pusing ketika bangun besok pagi.
“Pulanglah,
Yoora. Biar aku tinggal di sini malam ini. Aku akan merawat Jimin Oppa. Kau tenang saja. Besok kau bisa
datang lagi kemari.”
“Tidak,
aku yang akan menjaganya. Kau sebaiknya pulang atau kau bisa melihat keadaan
Taehyung Oppa dan yang lainnya,
mereka pasti sedang sangat kalut sekarang.”
Aku
membawa mangkuk berisi air es serta handuk kecil, tea herbal dan advil
bersamaku meninggalkan Hye Ni di dapur.
Tidak,
aku tidak bisa meninggalkannya di saat seperti ini. Jimin tidak pernah meninggalkanku
saat aku membutuhkan Jung, dia adalah pengganti Jung sebagai orang yang bisa
kupercayai. Dia juga telah menepati janjinya pada Jung untuk menjagaku selagi
pria itu ada di Paris.
Tubuhnya
terbaring dengan tenang di atas tempat tidur nyaman miliknya. Dia tertidur. Aku
melangkah mendekatinya, duduk di sampingnya dan mulai mengompres wajahnya yang
memar.
“Terima
kasih.”
Jimin
membuka matanya dan dia tersenyum sendu padaku. “Untuk apa? Tidak ada terima
kasih dalam persahabatan, Oppa.” Aku
tersenyum padanya dan melanjutkan tugasku lagi.
“Aku
tidak akan keluar dari Bangtan, Yoora. Aku akan menghubungi kakakku dan
memberitahunya tentang semua yang terjadi. Dia bisa menangani segalanya.”
“Tentu,
aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kau sampai keluar dari Bangtan. Setelah
kehilangan Kookie, entah apa yang akan terjadi jika Bangtan harus kehilanganmu
juga.”
Jimin
meringis saat handuk dengan air es itu menyentuh sudut bibirnya yang terluka. “Tidak,
Bangtan adalah mimpiku, Yoora. Aku tidak akan meninggalkan mimpiku meski pria
itu menentangnya mati-matian. Dia tidak pernah memposisikan dirinya sebagai
sosok orangtua untukku dan kakakku. Dia tidak pernah memperhatikan kami, sejak
kami kecil yang dilakukannya adalah menyiksa kami, hanya itu. Maafkan aku,
harus melibatkanmu dalam situasi seperti ini.”
“Jangan
meminta maaf. Kita semua bersahabat, aku selalu ingin ada di saat
sahabat-sahabatku membutuhkanku, Oppa.
Hanya itu.” Aku meletakkan handuk basah itu ke dalam mangkuk dan meraih gelas
berisi tea herbal, memberikannya pada Jimin.
“Ini,
kau harus minum advil agar besok tidak pusing.” Dia meminum obatnya dan kembali
berbaring.
“Kau
bisa tidur di kamar Kookie malam ini. Aku tahu, meski kau berusaha untuk
terlihat kuat dihadapan orang lain, tapi sebenarnya, kau sangat merindukan dia.
Pria bodoh itu, harusnya tidak menerima begitu banyak cinta darimu, Yoora.
Mungkin kau harus mulai berpikir untuk melanjutkan hidupmu dan menerima Kyung
Soo.”
Aku
terdiam begitu mendengar perkataan Jimin. Menghapus air mataku, aku tersenyum lebar
padanya. “Sudahlah, Oppa. Semua
tentangku sekarang sudah tidak penting lagi. Kita harus fokus pada masalahmu
dulu. Aku baik-baik saja, aku juga sudah memikirkan tentang mencari pacar
baru.”
Dia
tersenyum padaku. “Tetaplah kuat, Yoora. Tunjukkan pada semua orang, jika kau
adalah sosok yang tetap berdiri di atas semua luka dan tetap melanjutkan hidup
layaknya tak terjadi apapun.”
Aku
menangguk padanya. “Siap, Kapten! Sekarang, istirahatlah, panggil namaku tiga
kali jika kau membutuhkan sesuatu. Selamat malam, Oppa.”
Aku
melimbai meninggalkan kamarnya. Begitu berhasil keluar kamarnya dan pintu
tertutup di belakangku, saat itu air mataku mengalir dengan sendirinya. Aku
tidak pernah menangis lagi didepan siapapun setelah pesawat itu membawa Jung
pergi dari Seoul. Aku menangis dibelakang mereka semua dan esok harinya aku
akan bertingkah seolah-olah tak ada yang terjadi, seolah-olah semuanya
baik-baik saja dan aku terlihat tidak sedih sedikitpun setelah kepergian Jung.
Itulah yang media bicarakan dan semua orang lihat dariku.
Tentu
saja, semua orang bisa mengatakan apa saja yang ingin mereka katakan, tidak ada
yang melarangnya. Toh mereka hanya melihat lalu mengomentari bukan mendengar
langsung dariku. Apalagi melihatku bersama Kyung Soo ketika sidang ayahku. Media
dan masyarakat langsung menyimpulkan jika aku telah mendapat pengganti Jung.
Padahal sampai saat ini, aku masih merasa jika hatiku tetap ingin menunggunya
meski logikaku memintaku untuk menerima Kyung Soo.
Sulit
rasanya untuk tetap baik-baik saja saat seseorang yang kita cintai pergi
meninggalkan kita, tanpa pernah mengabari kita lagi. Itu sakit sekali, tapi aku
tidak bisa melakukan apapun. Itu sudah jadi pilihan dan keputusannya. Jauh di
dalam lubuk hatiku aku masih ingin menunggunya. Ya Tuhan, aku harus apa.
Tanganku
mendorong pintu kamar Jung terbuka, kamar ini rapi, sangat rapi. Seorang
pelayan akan membersihkannya rutin dua hari sekali karena kamar ini tak
berpenghuni. BigHit belum mengambil keputusan apapun tentang apakah mereka
ingin menambahkan member baru untuk Bangtan ataukah Bangtan akan tetap berenam
dan mengubah formasinya saja.
Jantungku
berdenyut ngilu. Semakin dalam aku masuk ke kamar ini, semakin banyak kenangan
yang terpatri dihadapanku, mengelilingku, berputar layaknya film layar lebar.
Air mataku jatuh lagi, ini adalah tempat Jung menghabiskan malam-malamnya dan
aku merasakan kehadirannya di sini. Aku bisa merasakannya di sini. Sesegukan
mulai terdengar dari mulutku.
—“Gadis gila! Berani sekali kau
memukulku! Aku hanya ingin membangunkanmu karena sekarang kita harus berganti
pesawat. Dasar sial! Harusnya aku biarkan saja kau tertidur di sini dan kau
akan sampai ke tempat lain bukannya ke Seoul. Aku benar-benar menyesal karena
sudah menolongmu.”
—“Sebenarnya kau ini orang korea
atau bukan? Mengapa kau tak memakai bahasa korea saja?”
—“Ah, itu, itu adalah senyuman
pertama yang kau berikan untukku. Ternyata kau terlihat lebih cantik saat
sedang cemberut. Senyumanmu itu adalah senyuman paling buruk yang pernah
kulihat.”
—“Kau akan kehilangan napasmu
ketika kau melihat wajahku dan akan kupastikan kau akan sama seperti
gadis-gadis lain di luar sana,”
—“Apa itu yang selalu kau lakukan pada orang
yang bertanya baik-baik padamu? Meninjunya? Dasar tidak tahu sopan santun.”
—“Aku ingin meminta maaf padamu.
Aku tahu aku salah. Aku seharusnya tidak berkata seperti itu padamu. Bisakah
aku mendapatkan kesempatan kedua? Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk
memperbaiki segalanya.”
—“Yang terpenting adalah kau tidak
terjatuh. Ingatlah! Selama aku berada di sampingmu, takkan ada apapun di dunia
ini yang akan menyakitimu.”
—‘Terbang, biarkan angin membawa
jiwamu pergi, mengelana menuju ketenangan, melepas segala keluh kesah, melepas
segala kesedihan, melepas segala beban, mengosongkan jiwamu. Biarkan angin mengisinya
dengan kesejukan…’. ‘…biarkan angin menuntunmu menemukannya, menemukan dia yang
jaraknya tak terhingga namun tetap terasa dekat, menemukan seseorang yang
letaknya begitu dekat di hatimu. Terbang, kedamaian ini biarkan menjadi milik
kita, walau sejenak, tapi begitu berarti.’
—“Wajar saja, jika aku merasa
begitu nyaman ada di dekatmu, ternyata kau memiliki sihir. Aku tak percaya jika
di dunia benar-benar ada sihir.”
—“Kumohon diamlah, Yoora. Aku sudah
berjanji akan berjalan bersamamu dan aku bersungguh-sungguh dengan janjiku itu.
Aku tidak peduli kau anak siapa, yang jelas aku mencintaimu. Aku tidak akan
membiarkan siapapun menyakitimu. Kita akan memberi pelajaran pada pria itu
bagaimana caranya menjadi pria sejati dan seorang ayah yang baik. Tapi kau harus
siap disorot oleh publik. Kau harus siap untuk mengungkap identitasmu yang
sebenarnya dengan bantuan Euna dan Jin Hwa, kita akan menghancurkan semua yang
pria itu miliki saat ini. Aku tidak akan membiarkannya hidup bersenang-senang
setelah apa yang telah ia lakukan pada Yoora-ku.”
—“Semuanya akan diluar kendali,
tapi kita pasti akan melewati ini dan semuanya akan tetap baik-baik saja.
Persiapkan dirimu, ingat, aku selalu ada di sampingmu, genggam tanganku.”
— “Tentu, aku percaya padamu. Akan
kupastikan kau tidak akan pernah mencintai pria lain selain aku.”
—“…. Tunggu aku pulang, aku
mencintaimu.”
—“Karena aku tidak tahu kapan aku
akan kembali. Kumohon, tunggu aku pulang…”
Aku
memukul dadaku, tempat di mana rasa sesak itu muncul. Mengapa rasanya sakit sekali,
Tuhan. Aku mencintainya. Aku mencintainya, Tuhan. Aku mencintainya.
Tubuhku
merosot jatuh menyentuh permukaan lantai yang dingin. Tubuhku berguncang hebat.
Aku menutup mulutku rapat-rapat agar tidak ada siapapun yang dapat mendengar
jeritanku. Dengan lemas tubuhku bersandar di samping tempat tidurnya. Menatap
figura yang terletak di atas lemari kecil di samping tempat tidurnya. Wajahnya
selalu terlihat dingin, terlihat tak acuh pada apapun. Tapi dia tidak seperti
itu, dia adalah pria yang baik dan aku menyayanginya. Dia memiliki hati yang
lembut. Dia memiliki lautan air hangat yang sering kuselami di dalam matanya. Dia
memiliki pelukan yang nyaman, pelukannya adalah rumah untukku. Dan aku sudah
menemukan jika perasaannya adalah rumah untuk hatiku.
Betapa
semuanya menjadi sulit setelah dia pergi. Betapa aku merasa jika waktu terus
menyiksaku dengan kenyataan jika dia sudah tidak ada lagi di kota ini. Bahkan
setelah mengucapkan perpisahan dan memintaku untuk menunggunya kembali, dia tidak
pernah lagi mengabariku. Menghilang begitu saja.
Dasar pria es bodoh! Menyebalkan!
Aku membencimu, Jung. Aku membencimu! Aku membencimu.[]
YOORA :*
MEREKA :*
JIMINNIE :*
OPPARS LOVELY :*
HYE NI :)
Jiminie~ xD
BalasHapusWeheheheheh.. bakal fokus ke jiminnie duyuuu..😚😚
Hapus