Jumat, 13 Desember 2013

SECRETLY (cerpen)


SECRETLY
Title                 : SECRETLY
Author             : Valleria Russel
Starcast           : Carra Montgomery, Carren Montgomery, and Edmund Vallace.
Genre              : Romance, Drama.
Length             : Oneshoot
Rated              : Teens-13
WARNING   : TYPO(s), ABAL, ANEH BIN AJAIB, GK NYAMBUNG DAN BLA BLA BLA. Cuma mau bilang untuk tidak mengcopy apa pun dari cerita saya. Ini asli ide saya dan jadilah seseorang yang kreatif dengan gaya serta ide Anda sendiri, okay!! Don’t banyak cingcong(?) HAPPY READING ALL!!



Aku berdiri di atas kasurku dengan perasaan teraneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tidak, aku merasa begitu aneh, ini sejenis perasaan yang disebut dengan bahagia, tapi dalam artian yang lebih kompleks. Aku hanya merasa semuanya bercampur menjadi satu dalam hatiku dan itu membuatku tak bisa berhenti tersenyum sepanjang hari ini.
Sebenarnya, ini karena satu kalimat yang diucapkan oleh seseorang, seseorang yang selama ini menjadi satu-satunya teman priaku. Apa kau mengerti? Tentu saja, kau harus mengerti karena aku sedang sangat bahagia sekarang. Ouh, bagaimana aku harus menjelaskannya? Rasanya seperti tak ada satu pun kata yang pas bagiku untuk mengungkapnya dengan sempurna.
Carra, aku ingin mengajakmu pergi keluar malam ini. Apa kau mau?
Wajahku memanas saat aku kembali mengingat perkataannya tadi siang. Dia. Edmund Vallace. Pria tampan yang dengan maunya berteman dengan gadis aneh sepertiku. Aku memang aneh karena semua teman-temanku yang lain berkata seperti itu dan setelah kupikir lagi mereka ada benarnya juga. Aku memang aneh dan aku tak tahu aku aneh dalam hal apa. Oh sudahlah, lupakan yang itu.

Aku mengambil iPhone-ku yang tergeletak di atas meja belajarku setelah aku menyelesaikan aksi lompat-lompatku di atas kasur. Aku menekan speed dial nomor 3 dan lantas menekan tombol hijau. Aku akan membagi kebahagiaanku hari ini dengan seseorang yang begitu berarti untukku setelah orangtuaku. Aku, Carra Montgomery anak bungsu dari Mr dan Mrs Montgomery dan itu adalah tanda jika aku memiliki kakak. Aku memang memilikki seorang kakak. Lebih tepatnya lagi, aku memiliki seorang kakak kembar, namanya Carren Montgemery. Dia ada di Swiss bersama ibuku, dia bersekolah di sana. Ya, aku memang anak dari keluarga broken home dan itu tak lagi menjadi masalah bagiku meski pun terkadang aku sering sekali merindukan ibuku di sana dan juga saudara kembarku.
“Halo.”
“Hai, Candypop, aku merindukanmu.” Aku mendengar kikikkan suaranya diujung sana. “Hai, Teddypop, aku juga merindukanmu. Kau jangan khawatir, aku akan tiba di London besok pagi dan itu artinya kita tak perlu lagi bertelpon seperti ini. Aku terkadang kesal jika harus seperti ini. Akan menjadi menyenangkan jika aku melihat langsung mimik wajahmu ketika kau sedang jatuh cinta,” ujarnya panjang lebar dan itu membuatku memutar bola mataku.
“Dan jangan memutar bola matamu, aku tahu kau melakukan itu.” Dia memang selalu tahu. Sejak kami kecil Carren memang selalu lebih peka dibandingkan dengan aku. Aku juga tak mengerti mengapa seperti itu. Dia selalu tahu apa yang ingin  kukatakan atau kuungkapkan padanya setiap aku menelponnya lebih dulu. “Bagaimana kau bisa selalu tahu apa yang kulakukan dan apa yang kurasakan, Candypop? Dan tadi kau bilang aku sedang jatuh cinta? Apa iya aku sedang jatuh cinta?”
“Dasar bodoh! Teddypop-ku sayang, seharusnya, diumurmu yang sebentar lagi akan menginjak delapan belas itu kau sudah mengerti atau paling tidak tahu tentang cinta dan perasaan. Bagaimana kau ini?”
Aku terkekeh di sini dan merasa jika dia sedang kesal dan memutar bola matanya. “Entahlah, aku juga tak mengerti ini perasaan apa, aku juga tak yakin apa aku sedang jatuh cinta atau tidak. Aku menghubungimu saat ini hanya ingin menanyakan bagaimana caranya bersikap yang baik ketika kita sedang berkencan dengan seorang pria?”
Aku mengendus kesal saat mendengar ledakkan tawa Carren diujung sana. Dia selalu menertawakanku. Memangnya apa yang lucu? Aku kan hanya ingin bertanya agar nanti aku tak berbuat sesuatu hal yang memalukan. “Kau memang aneh. Aku terkadang merasa jika kita ini sama sekali tak seperti pasangan kembar lainnya kau tahu karena mereka terlihat harmonis dan serasi, sedangkan kita begitu terlihat berbeda,” ujarnya. “Sekarang, sebelum aku menjawab pertanyaanmu yang konyol itu, aku ingin kau terlebih dulu menjawab pertanyaanku. Bagaimana?”
Aku menghela nafas kesal. “Baiklah, katakan!”
“Apakah dia pria yang sama dengan pria yang sering kau ceritakan padaku selama ini?”
Pertanyaannya membuatku terdiam. Well, memang selama ini aku sering bercerita tentang Edmund pada Carren hanya saja aku tak menyebutkan namanya. “Ya,” ujarku pelan.
“Baiklah, terima kasih untuk jawaban super singkatmu itu. Dan sekarang aku akan menjawab pertanyaanmu. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri karena jika dia menyukaimu maka dia akan selalu melihatmu sebagai dirimu dan bukan sebagai orang lain. Jadilah dirimu dan bersikaplah seperti apa adanya dirimu, Teddypop. Kurasa sekarang sudah larut dan aku tak ingin ketinggalan pesawatku yang akan berangkat satu jam lagi. Semoga sukses dengan priamu, Teddypop. Bye.” Sambungan itu terputus begitu saja. Dan aku kembali meletakkan iPhone-ku di atas meja belajarku.
Aku tersenyum lebar, Carren benar, aku harus menjadi diriku seperti apa adanya dan tak perlu menjadi orang ain hanya untuk seseorang pria yang belum tentu menyukaiku. Dengan bersemangat Aku membuka wardrobe-ku dan mulai memilah dress mana yang akan kupakai untuk malam yang begitu istimewa ini. Aku kembali tersenyum dalam diamku.

“Nona, teman Anda sudah menunggu di bawah.” Aku menolehkan wajahku dan mendapati salah satu nanny di rumahku berdiri di ambang pintu. Aku mengangguk padanya dan dia meninggalkan kamarku.
Untuk yang terakhir kalinya, aku mematut penampilanku pada cermin besar yang tertempel di dinding kamarku sebelum akhirnya memakai high heels kesayanganku dan berjalan cepat ke bawah untuk menemuinya. Untunglah, ayahku sedang tak berada di rumah, jika dia tahu ada pria yang datang ke rumah untuk mengajakku berkencan maka sampai subuh datang pun kami tak akan pergi berkencan dan duduk di hadapannya untuk mendengarkan ceramahnya. Kurasa ini memang hari keberuntunganku. Benakku tersenyum berseri-seri.
Edmund berdiri dari sofa ketika aku berhasil menuruni semua anak tangga rumahku. Dia tersenyum manis dan aku merasakan wajahku memanas, jujur saja dia belum pernah tersenyum semanis itu padaku selama kami berteman.
“Hai, maaf membuatmu menunggu,” kataku pelan, demi bola pimpong, aku benar-benar gugup saat ini. “Tidak juga, aku baru saja datang. Apa kita bisa pergi sekarang?”
Aku menjawabnya dengan anggukan kepalaku dan menerima uluran tangannya. Aliran darahku berdesir begitu kulit kami bersentuhan. Apa ini?

Edmund membawaku ke Russel Square yang selalu tampak indah di malam hari. Aku menyambut uluran tangannya dan kami berjalan bersama melintasi keramaian di tempat ini. Banyak sekali remaja seumuranku yang tengah bergandengan dengan pasangannya. Benakku tersenyum menggodaku. Sialan. Aku lupa kalau sekarang Edmund  sedang menggandeng tanganku. Wajahku kembali memanas. “Aku sudah menyiapkan makan malam untuk kita. Aku harap kau suka,” bisiknya di telingaku. Aku menatap kagum lampu-lampu kecil yang mengelilingi kami dengan meja makan yang telah tertata dengan rapi juga wine. Ouh. Aku meringis pelan dalam hati. Apa yang akan dikatakannya jika dia tahu aku belum pernah minum wine? Hey, lagipula aku masih ilegal untuk minum itu, aku bahkan belum delapan belas.
Aku tahu dia akan memesan roast meats karena kami suka daging, aku dan Edmund memiliki banyak kesamaan lainnya. Dan hidangan penutupnya yang paling kusuka pie. Aku tersenyum menatapnya. “Aku selalu suka melihatmu makan dan sekarang, makanlah.” Aku mengambil garpu dan pisau lalu menyantap makan malamku.

Aku menatap ragu pada segelas wine yang kini berada dalam tanganku. Yang benar saja, aku belum pernah meminumnya, bagaimana rasanya? “Cobalah, hanya satu gelas tak akan memuatmu mabuk.” Aku menatap Edmund dan dia tersenyum padaku lalu menyeruput kembali wine-nya. Baiklah, akan kucoba. Aku menegak minuman dengan warna kemerahan ini. Awalnya, rasa panas menyengat di tenggorokkanku, tapi lama-lama semuanya berubah dan kurasa ini tak terlalu buruk. “Bagaimana?”
“Lumayan.” Edmund terkikik melihat ekspresi wajahku. Malam itu berlalu bersama hujan deras yang mendadak turun dan akhirnya aku tak bisa menghabiskan pie-ku. Edmund memakaikan blazernya padaku dan menggandeng tanganku untuk berlari bersamanya. Kami tertawa bersama sambil terus berlari menuju mobilnya yang ia parkir cukup jauh dari tempat indah itu.


~~
Aku terlonjak dari tempat tidurku saat merasakan bau busuk yang begitu menyengat dan mataku nyaris keluar melihat kaus kaki ku yang belum kucuci selama satu bulan kini berada tepat di depan wajahku. Aku menepis benda itu dan melotot pada seorang gadis yang selama ini menjadi kakakku dan saudaraku satu-satunya. Dia tertawa lepas sambil memegangi perutnya dan itu membuat mood-ku bertambah buruk di pagi hari ini. Kepalaku sedikit pusing, mungkin ini efek dari kejadian tadi malam.
Well, selamat pagi, Teddypop.”
Aku memutar bola mataku. “Apa yang kau lakukan di kamarku pagi-pagi buta seperti ini?”
Dia kembali terkikik. “Hanya mencoba untuk membangunkan adik pemalasku ini. Sekarang, bersihkan tubuhmu lalu sarapan. Aku dan mom akan menunggu di bawah.”
Aku hanya berdeham dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Aku bisa merasakan dia sedang menggelengkan kepalanya dan aku tak perduli.

Sebenarnya, aku terkejut ketika melihat Carren ada di sini, maksudku aku senang dia sudah ada di sini, tapi aku hanya belum siap untuk memberitahukan padanya tentang siapa pria yang sering kuceritakan padanya. Aku takut, entahlah aku juga tak mengerti bagaimana bisa perasaan seperti ini muncul padaku, Carren adalah saudara kembarku, dan aku tak tahu mengapa aku merasa takut untuk bercerita padanya tentang Edmund.
Aku tersenyum lebar saat melihat sosok perempuan paruh baya yang begitu kurindukan kini sedang terduduk di meja makan bersama dengan ayah dan Carren. Ya ampun, aku sangat merindukan keluargaku yang utuh seperti saat ini.
“Aku sengaja mengantar Carren kemari karena dia sudah sangat merindukan adiknya, nanti siang aku akan pulang ke Swiss, ada banyak pekerjaan yang sudah menungguku,” oceh ibuku. Dia selalu begitu, cerewet dan terkadang itu adalah satu hal yang kurindukan terjadi di ruang makan setiap hari. “Tidak bisakah, kau berada di sini lebih lama lagi? Carra juga membutuhkanmu sebagai ibunya,” kali ini ayahku menyahut.
“Maafkan aku, Aku benar-benar sedang tak punya banyak waktu luang dan lain kali jika aku cuti panjang, aku akan berkunjung kemari dan menjalankan tugasku sebagai ibu juga untuk Carra,” balas ibuku dan duduk di meja makan lalu mulai memakan sarapannya. Aku menghela nafas dalam hati, itu tak terlalu buruk harusnya, aku masih bisa menghabiskan waktu akhir pekanku ini bersama Carren, itu takkan menjadi masalah yang serius.

“Jadi, apa kau akan mengenalkanku pada teman kencanmu?”
Aku menoleh menatap Carren yang tengah menaik turunkan alisnya, oh demi Tuhan itu konyol sekali, apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan?
“Tidak, aku tak akan mengatakan apa pun mengenai itu, lagi pula kurasa aku juga memiliki privasiku sendiri,” kataku tegas. Dia terkekeh geli. Dia benar-benar sudah gila.
“Baiklah, aku tak akan memaksamu. Jadi, apa sekarang aku boleh bercerita?”
Alisku terangkat keatas menatapnya heran, tak biasanya dia memancingku seperti ini hanya untuk bercerita. Well, kami sedang berada di salah satu café kesukaan kami. Setelah mengantar ibuku ke bandara, kami langsung pergi untuk jalan-jalan.
“Aku bertemu dengan seorang pria ketika aku ke toilet tadi, dan dia sangat tampan, kau tak akan percaya jika kau melihatnya sendiri, selama aku di Swiss, aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini hanya dengan bersitatap cukup lama dengan seorang pria yang tampan, biasanya aku akan cuek saja, tapi dia terlihat berbeda, matanya berwarna cokelat muda jernih, senyuman di wajahnya terlihat begitu tulus, dan dia sangat tampan,” ucapnya panjang lebar. Aku memutar bola mataku malas, jadi dia sedang menyukai seseorang atau lebih tepatnya dia sedang mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Baiklah, baik, sekarang aku mengerti. Kau sedang jatuh cinta, bukankah begitu?” Aku menatapnya menggoda dengan menaik turunkan alisku. Sungguh sebenarnya selama ini Carren adalah tipekal yang cukup tertutup, dan dia jarang sekali bercerita tentang pria yang disukainya padaku. Selama ini, akulah yang lebih banyak bercerita. Aku merasa senang karena dia mau terbuka padaku. “Entahlah, kurasa begitu, aku sangat berharap bisa bertemu dengannya lagi.”
Aku tertkekeh, dia benar-benar konyol. Setelah aku sadar jika aku mencintai Edmund, aku tak pernah merasa merindukannya, maksudku kebanyakkan orang akan saling merindukan satu sama lain, tapi aku tak seperti itu. Mungkin karena aku bertemu dengannya setiap hari di sekolah.
Lusa, aku akan menghadapi ujian sedangkah, Carren, dia sudah mendapatkan liburnya sekarang dan aku tak sabar untuk terbebas dari rutinitas sebagai siswi tingkat akhir. “Hey, kau tak mendengarku ya?”
Aku terseret keluar dari lamunanku dan menatap Carren yang tengah melotot padaku. “Apa yang kau pikirkan? Hah, jadi dari tadi aku bercerita sendirian seperti orang gila rupanya,” ocehnya. Aku memutar lagi bola mataku, berlebihan sekali. “Kurasa, aku ingin pulang sekarang, aku ingin istirahat dan belajar untuk ujianku,” kataku yang disambut dengan tawa gelinya.
“Oh, aku senang, akhirnya kau mau belajar juga.” Apa-apaan!
“Sialan kau.”

~~
Hari ini adalah hari terakhir ujian dan itu sangat menyenangkan. Aku akan terbebas setelah hari ini. Selama satu minggu ini, aku merasa ada yang aneh pada Carren, dia sering pulang terlambat ke rumah dan dia juga sering melamun lalu terkadang tersenyum sendiri seperti orang gila. Aku jadi heran padanya, apa mungkin ini bersangkutan dengan pria yang dia temui di toilet waktu itu? Aku menggelengkan kepalaku untuk menghilangkan pikiran-pikiran itu dari kepala cantikku.
“Edmund.” Aku melambaikan tanganku padanya, dan lantas berlari kecil menghampirinya. “Kau mau kemana? Terburu-buru sekali,” ujarku penuh selidik. Itu sudah biasa terjadi antara kami, karena kami bersahabat baik, sangat baik malah.
“Ya, aku sedang ada janji dengan seseorang dan aku yakin dia sedang menunguku. Maafkan aku, akhir-akhir ini kita jarang bersama-sama, lain kali jika aku ada waktu, kita akan pergi berdua. Oke?” Aku hanya tersenyum mengangguk padanya. Dia memelukku dan mengecup pelan dahiku. Aku menatap punggung lebarnya yang berjalan cepat menjauh dariku tanpa menoleh sedikit pun.
Tubuhku terjatuh di atas kursi halaman belakang sekolah. Tanganku terangkat meremas kemeja yang kupakai, rasanya sesak. Sudah satu minggu ini, untuk yang pertama kalinya dia terasa begitu jauh dariku. Dan, aku merasakah perasaan yang begitu aneh, seperti kehilangannya. Ya, aku merasa jika aku sudah kehilangannya sekarang. Mungkin, aku telah merasakan bagaimana rasanya merindukan seseorang. Itu sangat tidak enak, rasanya kecewa, sakit, dan perih. Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Apa dia sudah bosan menjadi temanku? Mungkinkah seperti itu?
Cairan hangat mengalir membasahi pipiku, membentuk aliran sungai kecil pada wajahku. Entahlah, kurasa aku sudah cukup menahan perasaan sakit yang mendadak menyerangku selama satu minggu ini. Untuk hari saja, aku akan mengizinkan diriku untuk menangis lagi pula terkadang satu-satunya yang kita butuhkan adalah menangis.

Aku mendesah malas dan terus menggonta-ganti cennel tv di hadapanku. Err, membosankan sekali. Kemana sih Carren pergi? Harusnya dia tidak pergi dan meninggalkan aku bersama dengan kebosanan yang mengerubuniku.
Aku bangkit dari sofa santai yang sejak dua jam kududukki tanpa melakukan apa pun selain menghabiskan cemilan yang ku beli setelah aku puas menangis di halaman belakang sekolah. Aku sangat yakin jika aku membutuhkannya.
Senyuman lebar di wajahku luntur begitu melihat siapa yang saat ini berdiri di hadapanku. Sekarang, aku merasa seperti jatuh ke dalam jurang yang curam dan gelap. Aku merasakan sakit yang begitu luar biasa di jantungku, seolah hatiku sedang di tikam oleh benda tajam. Air mata mendadak menggenang di pelupuk mataku. Di hadapanku berdiri Carren dan seorang pria yang begitu kukenal, Edmund Vallace, tengah bergandengan tangan. Wajahnya mereka tampak berseri-seri dan aku melihatnya dengan jelas jejak-jejak kebahagiaan itu di wajah Carren. Aku memaksa diriku untuk menarik sebuah senyuman di wajahku.
“Kau pasti terkejut, aku akan ceritakan semuanya padamu nanti, sekarang, apa aku boleh masuk? Kami kehujanan tadi,” jelas Carren. Aku tersentak dan merasa begitu bodoh sekarang. Aku seperti baru saja ditampar dengan begitu keras, menggeser tubuhku dan mmeberi ruang untuk mereka masuk lantas kembali menutup pintunya. Aku berjalan meninggalkan mereka menuju kamarku. Air mata itu jatuh tanpa komando. Aku mengunci pintu kamarku dan menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur.
— “Kau pasti terkejut . . .”
Ya, aku sangat-sangat dan sangat terkejut, Carren. Ya tuhan, inikah akhir dari kisah percintaanku? Bahuku naik turu seiring dengan isakkan tangis yang keluar dari mulutku tanpa bisa kucegah lagi. Mengapa rasanya sesakit ini? Ini sakit sekali. Sesak itu hadir kembali, membuat kusulit untuk bernafas dengan baik. aku memukul-mukul dadaku berharap rasa sesak dan sakitnya akan berkurang.
—“Ya, aku sedang ada janji dengan seseorang dan aku yakin dia sedang menunguku…”
Jadi, selama satu minggu ini mereka kencan, dan tak pernah mengatakannya padaku? Jadi, pria yang ditemui Carren waktu itu adalah Edmund? Kenapa jadi seperti ini?
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku melepaskan Edmund? Ya ampun, harusnya aku sadar jika dia hanya menganggapku sebagai sahabatnya saja, harusnya aku tak memiliki harapan jika dia akan menyukaiku seperti aku menyukainya. Harusnya aku tahu, jika Carren memang jauh lebih baik dari pada aku. Dia pintar dalam segala hal sedangkan aku, hanya bisa membuat onar di mana-mana.
Bodoh, dia saudara kembarmu harusnya kau bisa mengalah padanya, lagi pula apa kau lupa, dia sudah bertarung nyawa demi menyalamatkanmu dulu? Lalu, apa salahnya jika kau membalas budi baiknya padamu yang begitu menyayangimu, Carra? Cinta bukanlah satu-satunya hal yang penting di sini, pikirkan perasaan Carren jika dia tahu Edmund adalah pria yang selama ini kau cintai? Dia akan hancur, apa kau bisa bayangkan jika itu terjadi? Kau menyayanginya kan? Kau harus berkorban untuknya dengan merelakan cinta pertamamu bersama saudara kembarmu. Kau harus merelakannya, Carra.
Benakku berkecamuk ria, terus memberiku saran tentang apa yang harus kulakukan untuk menghadapi hal seperti ini. Akhirnya, aku mengangguk pada diriku sendiri. Aku akan merelakan Edmund bersama dengan Carren, tapi aku akan pergi menjauh dari mereka. Mungkin, aku akan menerima tawaran dari kepala sekolahku tadi, untuk mengambil beasiswa ke Melbourne. Aku akan berangkat lusa setelah menerima rapot akhirku yang memang akan di selesaikan terlebih dulu jika aku menerima tawaran itu. Ya, ini adalah satu-satunya jalan terbaik. Jika aku tetap bertahan di sini, aku tak yakin bisa menghadapi semuanya dengan baik. Tapi dengan aku berada jauh dari mereka aku akan baik-baik saja dan dengan perlahan aku akan melupakan rasa cintaku pada Edmund, lalu bisa tersenyum seperti biasa saat melihat mereka bersama-sama.

Aku sudah meminta izin pada ayahku dan sudah menelpon ibuku dan mereka telah setuju dengan pilihanku. Hanya saja, Carren tak menegurku setelah dia tahu aku akan pergi. Aku tak ingin memperdulikannya saat ini, aku sedang mencoba untuk memperbaikki hatiku yang hancur. Aku juga sudah mengatakan pada Edmund untuk menjaga kakakku dan dia juga marah padaku karena aku pergi tanpa memberitahunya kabar apa pun. Dia merasa tak pernah dianggap sebagai seorang sahabat olehku.
Seandainya mereka tahu jika aku pergi untuk melupakan rasa cintaku dan mencoba merelakan kebersamaan mereka. Tapi hal itu akan kusimpan sendiri. Biarkan aku yang menyimpannya. Aku hanya ingin melihat kakakku bahagia. Aku sangat menyayanginya, dan tak ingin melihatnya bersedih karena kenyataannya kami mencintai pria yang sama.
Aku mendesah pelan saat mendengar pengumuman pesawat yang akan kunaikki telah terdengar. Aku berdiri dari tempat dudukku dan lantas memeluk ayahku sesaat. Air mataku mengalir saat dia melepaskan pelukkan eratnya padaku.
“Aku yakin kau sudah dewasa dan mampu menjaga dirimu sendiri, belajarlah dan jangan kecewakan aku,” ujarnya. Aku mengangguk cepat dan kembali memeluknya. “Aku berjanji tak akan mengecewakanmu, Dad.”
Aku beralih memeluk ibuku. Dia sudah menangis tersedu sejak tadi. “Kumohon, kau harus terus mengabariku setiap hari. Kau tahu bukan jika aku sangat menyayangimu hmm,” lirihnya. Aku mengangguk pelan dan menghapus air mata yang membuatku merasa semakin berat untuk pergi. “Aku berjanji, Mom.”
Aku menatap Carren dengan lembut, berusaha menyembunyikan kenyataan padanya. “Aku tak tahu harus mengatakan apa, tapi cepatlah kembali dan jaga dirimu baik-baik.” Aku tersenyum dan memeluknya sesaat. “Ya, tentu saja.”
Yang terakhir adalah Edmund. Aku menatap matanya yang memancarkan kesedihan luar biasa itu. Jika ini berat untuknya, lalu ungkapan apa yang pantas untuk keadaanku sendiri?
“Jaga dirimu, Carra,” lirihnya. Aku mengangguk dan menjabat tangannya. Tidak, aku tak ingin memeluknya. Itu akan menambah rasa sakitku. “Ya,” balasku.
Aku berbalik setelah melambaikan tanganku pada mereka. Aku tak akan kembali ke mari selama tiga setengah tahun, aku sudah mengatakan pada ayah dan ibuku untuk tidak pernah mengatakan apa pun mengenai di mana aku tinggal di Melbourne. Aku benar-benar ingin memulai hidup baruku di sana dan melupakan Edmund.
Selamat tinggal, cinta pertama~



TAMAT