SECRETLY
Title :
SECRETLY
Author : Valleria Russel
Starcast : Carra Montgomery, Carren Montgomery, and Edmund Vallace.
Genre : Romance, Drama.
Length :
Oneshoot
Rated : Teens-13
WARNING : TYPO(s), ABAL, ANEH BIN AJAIB, GK NYAMBUNG
DAN BLA BLA BLA. Cuma mau bilang untuk tidak mengcopy apa pun dari cerita saya.
Ini asli ide saya dan jadilah seseorang yang kreatif dengan gaya serta ide Anda
sendiri, okay!! Don’t banyak cingcong(?) HAPPY READING ALL!!
Aku
berdiri di atas kasurku dengan perasaan teraneh yang belum pernah kurasakan
sebelumnya. Tidak, aku merasa begitu aneh, ini sejenis perasaan yang disebut
dengan bahagia, tapi dalam artian yang lebih kompleks. Aku hanya merasa
semuanya bercampur menjadi satu dalam hatiku dan itu membuatku tak bisa
berhenti tersenyum sepanjang hari ini.
Sebenarnya,
ini karena satu kalimat yang diucapkan oleh seseorang, seseorang yang selama
ini menjadi satu-satunya teman priaku. Apa kau mengerti? Tentu saja, kau harus
mengerti karena aku sedang sangat bahagia sekarang. Ouh, bagaimana aku harus menjelaskannya? Rasanya seperti tak ada
satu pun kata yang pas bagiku untuk mengungkapnya dengan sempurna.
“Carra, aku ingin mengajakmu pergi keluar malam
ini. Apa kau mau?”
Wajahku
memanas saat aku kembali mengingat perkataannya tadi siang. Dia. Edmund
Vallace. Pria tampan yang dengan maunya berteman dengan gadis aneh sepertiku.
Aku memang aneh karena semua teman-temanku yang lain berkata seperti itu dan
setelah kupikir lagi mereka ada benarnya juga. Aku memang aneh dan aku tak tahu
aku aneh dalam hal apa. Oh sudahlah,
lupakan yang itu.
Aku
mengambil iPhone-ku yang tergeletak di atas meja belajarku setelah aku
menyelesaikan aksi lompat-lompatku di atas kasur. Aku menekan speed dial nomor 3 dan lantas menekan
tombol hijau. Aku akan membagi kebahagiaanku hari ini dengan seseorang yang
begitu berarti untukku setelah orangtuaku. Aku, Carra Montgomery anak bungsu
dari Mr dan Mrs Montgomery dan itu adalah tanda jika aku memiliki kakak. Aku memang
memilikki seorang kakak. Lebih tepatnya lagi, aku memiliki seorang kakak
kembar, namanya Carren Montgemery. Dia ada di Swiss bersama ibuku, dia
bersekolah di sana. Ya, aku memang anak dari keluarga broken home dan itu tak lagi menjadi masalah bagiku meski pun
terkadang aku sering sekali merindukan ibuku di sana dan juga saudara kembarku.
“Halo.”
“Hai,
Candypop, aku merindukanmu.” Aku mendengar kikikkan suaranya diujung sana.
“Hai, Teddypop, aku juga merindukanmu. Kau jangan khawatir, aku akan tiba di
London besok pagi dan itu artinya kita tak perlu lagi bertelpon seperti ini. Aku
terkadang kesal jika harus seperti ini. Akan menjadi menyenangkan jika aku
melihat langsung mimik wajahmu ketika kau sedang jatuh cinta,” ujarnya panjang
lebar dan itu membuatku memutar bola mataku.
“Dan
jangan memutar bola matamu, aku tahu kau melakukan itu.” Dia memang selalu
tahu. Sejak kami kecil Carren memang selalu lebih peka dibandingkan dengan aku.
Aku juga tak mengerti mengapa seperti itu. Dia selalu tahu apa yang ingin kukatakan atau kuungkapkan padanya setiap aku
menelponnya lebih dulu. “Bagaimana kau bisa selalu tahu apa yang kulakukan dan
apa yang kurasakan, Candypop? Dan tadi kau bilang aku sedang jatuh cinta? Apa
iya aku sedang jatuh cinta?”
“Dasar
bodoh! Teddypop-ku sayang, seharusnya, diumurmu yang sebentar lagi akan
menginjak delapan belas itu kau sudah mengerti atau paling tidak tahu tentang
cinta dan perasaan. Bagaimana kau ini?”
Aku
terkekeh di sini dan merasa jika dia sedang kesal dan memutar bola matanya. “Entahlah,
aku juga tak mengerti ini perasaan apa, aku juga tak yakin apa aku sedang jatuh
cinta atau tidak. Aku menghubungimu saat ini hanya ingin menanyakan bagaimana
caranya bersikap yang baik ketika kita sedang berkencan dengan seorang pria?”
Aku
mengendus kesal saat mendengar ledakkan tawa Carren diujung sana. Dia selalu
menertawakanku. Memangnya apa yang lucu? Aku kan hanya ingin bertanya agar
nanti aku tak berbuat sesuatu hal yang memalukan. “Kau memang aneh. Aku
terkadang merasa jika kita ini sama sekali tak seperti pasangan kembar lainnya
kau tahu karena mereka terlihat harmonis dan serasi, sedangkan kita begitu
terlihat berbeda,” ujarnya. “Sekarang, sebelum aku menjawab pertanyaanmu yang
konyol itu, aku ingin kau terlebih dulu menjawab pertanyaanku. Bagaimana?”
Aku
menghela nafas kesal. “Baiklah, katakan!”
“Apakah
dia pria yang sama dengan pria yang sering kau ceritakan padaku selama ini?”
Pertanyaannya
membuatku terdiam. Well, memang
selama ini aku sering bercerita tentang Edmund pada Carren hanya saja aku tak
menyebutkan namanya. “Ya,” ujarku pelan.
“Baiklah,
terima kasih untuk jawaban super singkatmu itu. Dan sekarang aku akan menjawab
pertanyaanmu. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri karena jika dia menyukaimu
maka dia akan selalu melihatmu sebagai dirimu dan bukan sebagai orang lain.
Jadilah dirimu dan bersikaplah seperti apa adanya dirimu, Teddypop. Kurasa
sekarang sudah larut dan aku tak ingin ketinggalan pesawatku yang akan berangkat
satu jam lagi. Semoga sukses dengan priamu, Teddypop. Bye.” Sambungan itu terputus begitu saja. Dan aku kembali
meletakkan iPhone-ku di atas meja belajarku.
Aku
tersenyum lebar, Carren benar, aku harus menjadi diriku seperti apa adanya dan
tak perlu menjadi orang ain hanya untuk seseorang pria yang belum tentu
menyukaiku. Dengan bersemangat Aku membuka wardrobe-ku
dan mulai memilah dress mana yang akan kupakai untuk malam yang begitu istimewa
ini. Aku kembali tersenyum dalam diamku.
“Nona,
teman Anda sudah menunggu di bawah.” Aku menolehkan wajahku dan mendapati salah
satu nanny di rumahku berdiri di ambang pintu. Aku mengangguk padanya dan dia
meninggalkan kamarku.
Untuk
yang terakhir kalinya, aku mematut penampilanku pada cermin besar yang
tertempel di dinding kamarku sebelum akhirnya memakai high heels kesayanganku
dan berjalan cepat ke bawah untuk menemuinya. Untunglah, ayahku sedang tak
berada di rumah, jika dia tahu ada pria yang datang ke rumah untuk mengajakku
berkencan maka sampai subuh datang pun kami tak akan pergi berkencan dan duduk
di hadapannya untuk mendengarkan ceramahnya. Kurasa ini memang hari
keberuntunganku. Benakku tersenyum berseri-seri.
Edmund
berdiri dari sofa ketika aku berhasil menuruni semua anak tangga rumahku. Dia
tersenyum manis dan aku merasakan wajahku memanas, jujur saja dia belum pernah
tersenyum semanis itu padaku selama kami berteman.
“Hai,
maaf membuatmu menunggu,” kataku pelan, demi bola pimpong, aku benar-benar
gugup saat ini. “Tidak juga, aku baru saja datang. Apa kita bisa pergi
sekarang?”
Aku
menjawabnya dengan anggukan kepalaku dan menerima uluran tangannya. Aliran
darahku berdesir begitu kulit kami bersentuhan. Apa ini?
Edmund
membawaku ke Russel Square yang selalu tampak indah di malam hari. Aku
menyambut uluran tangannya dan kami berjalan bersama melintasi keramaian di
tempat ini. Banyak sekali remaja seumuranku yang tengah bergandengan dengan
pasangannya. Benakku tersenyum menggodaku. Sialan. Aku lupa kalau sekarang
Edmund sedang menggandeng tanganku.
Wajahku kembali memanas. “Aku sudah menyiapkan makan malam untuk kita. Aku
harap kau suka,” bisiknya di telingaku. Aku menatap kagum lampu-lampu kecil
yang mengelilingi kami dengan meja makan yang telah tertata dengan rapi juga wine.
Ouh. Aku meringis pelan dalam hati. Apa
yang akan dikatakannya jika dia tahu aku belum pernah minum wine? Hey, lagipula
aku masih ilegal untuk minum itu, aku bahkan belum delapan belas.
Aku
tahu dia akan memesan roast meats
karena kami suka daging, aku dan Edmund memiliki banyak kesamaan lainnya. Dan
hidangan penutupnya yang paling kusuka pie.
Aku tersenyum menatapnya. “Aku selalu suka melihatmu makan dan sekarang,
makanlah.” Aku mengambil garpu dan pisau lalu menyantap makan malamku.
Aku
menatap ragu pada segelas wine yang kini berada dalam tanganku. Yang benar
saja, aku belum pernah meminumnya, bagaimana rasanya? “Cobalah, hanya satu
gelas tak akan memuatmu mabuk.” Aku menatap Edmund dan dia tersenyum padaku
lalu menyeruput kembali wine-nya. Baiklah, akan kucoba. Aku menegak minuman
dengan warna kemerahan ini. Awalnya, rasa panas menyengat di tenggorokkanku,
tapi lama-lama semuanya berubah dan kurasa ini tak terlalu buruk. “Bagaimana?”
“Lumayan.”
Edmund terkikik melihat ekspresi wajahku. Malam itu berlalu bersama hujan deras
yang mendadak turun dan akhirnya aku tak bisa menghabiskan pie-ku. Edmund memakaikan blazernya padaku dan menggandeng tanganku
untuk berlari bersamanya. Kami tertawa bersama sambil terus berlari menuju
mobilnya yang ia parkir cukup jauh dari tempat indah itu.
~~
Aku
terlonjak dari tempat tidurku saat merasakan bau busuk yang begitu menyengat
dan mataku nyaris keluar melihat kaus kaki ku yang belum kucuci selama satu
bulan kini berada tepat di depan wajahku. Aku menepis benda itu dan melotot
pada seorang gadis yang selama ini menjadi kakakku dan saudaraku satu-satunya.
Dia tertawa lepas sambil memegangi perutnya dan itu membuat mood-ku bertambah
buruk di pagi hari ini. Kepalaku sedikit pusing, mungkin ini efek dari kejadian
tadi malam.
“Well, selamat pagi, Teddypop.”
Aku
memutar bola mataku. “Apa yang kau lakukan di kamarku pagi-pagi buta seperti
ini?”
Dia
kembali terkikik. “Hanya mencoba untuk membangunkan adik pemalasku ini. Sekarang,
bersihkan tubuhmu lalu sarapan. Aku dan mom akan menunggu di bawah.”
Aku
hanya berdeham dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Aku bisa merasakan
dia sedang menggelengkan kepalanya dan aku tak perduli.
Sebenarnya,
aku terkejut ketika melihat Carren ada di sini, maksudku aku senang dia sudah ada
di sini, tapi aku hanya belum siap untuk memberitahukan padanya tentang siapa
pria yang sering kuceritakan padanya. Aku takut, entahlah aku juga tak mengerti
bagaimana bisa perasaan seperti ini muncul padaku, Carren adalah saudara
kembarku, dan aku tak tahu mengapa aku merasa takut untuk bercerita padanya
tentang Edmund.
Aku
tersenyum lebar saat melihat sosok perempuan paruh baya yang begitu kurindukan
kini sedang terduduk di meja makan bersama dengan ayah dan Carren. Ya ampun,
aku sangat merindukan keluargaku yang utuh seperti saat ini.
“Aku
sengaja mengantar Carren kemari karena dia sudah sangat merindukan adiknya,
nanti siang aku akan pulang ke Swiss, ada banyak pekerjaan yang sudah
menungguku,” oceh ibuku. Dia selalu begitu, cerewet dan terkadang itu adalah
satu hal yang kurindukan terjadi di ruang makan setiap hari. “Tidak bisakah,
kau berada di sini lebih lama lagi? Carra juga membutuhkanmu sebagai ibunya,”
kali ini ayahku menyahut.
“Maafkan
aku, Aku benar-benar sedang tak punya banyak waktu luang dan lain kali jika aku
cuti panjang, aku akan berkunjung kemari dan menjalankan tugasku sebagai ibu
juga untuk Carra,” balas ibuku dan duduk di meja makan lalu mulai memakan
sarapannya. Aku menghela nafas dalam hati, itu tak terlalu buruk harusnya, aku masih
bisa menghabiskan waktu akhir pekanku ini bersama Carren, itu takkan menjadi
masalah yang serius.
“Jadi,
apa kau akan mengenalkanku pada teman kencanmu?”
Aku
menoleh menatap Carren yang tengah menaik turunkan alisnya, oh demi Tuhan itu
konyol sekali, apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan?
“Tidak,
aku tak akan mengatakan apa pun mengenai itu, lagi pula kurasa aku juga
memiliki privasiku sendiri,” kataku tegas. Dia terkekeh geli. Dia benar-benar
sudah gila.
“Baiklah,
aku tak akan memaksamu. Jadi, apa sekarang aku boleh bercerita?”
Alisku
terangkat keatas menatapnya heran, tak biasanya dia memancingku seperti ini
hanya untuk bercerita. Well, kami
sedang berada di salah satu café kesukaan kami. Setelah mengantar ibuku ke
bandara, kami langsung pergi untuk jalan-jalan.
“Aku
bertemu dengan seorang pria ketika aku ke toilet tadi, dan dia sangat tampan,
kau tak akan percaya jika kau melihatnya sendiri, selama aku di Swiss, aku
belum pernah merasakan perasaan seperti ini hanya dengan bersitatap cukup lama dengan
seorang pria yang tampan, biasanya aku akan cuek saja, tapi dia terlihat
berbeda, matanya berwarna cokelat muda jernih, senyuman di wajahnya terlihat
begitu tulus, dan dia sangat tampan,” ucapnya panjang lebar. Aku memutar bola
mataku malas, jadi dia sedang menyukai seseorang atau lebih tepatnya dia sedang
mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Baiklah,
baik, sekarang aku mengerti. Kau sedang jatuh cinta, bukankah begitu?” Aku
menatapnya menggoda dengan menaik turunkan alisku. Sungguh sebenarnya selama
ini Carren adalah tipekal yang cukup tertutup, dan dia jarang sekali bercerita
tentang pria yang disukainya padaku. Selama ini, akulah yang lebih banyak
bercerita. Aku merasa senang karena dia mau terbuka padaku. “Entahlah, kurasa
begitu, aku sangat berharap bisa bertemu dengannya lagi.”
Aku
tertkekeh, dia benar-benar konyol. Setelah aku sadar jika aku mencintai Edmund,
aku tak pernah merasa merindukannya, maksudku kebanyakkan orang akan saling
merindukan satu sama lain, tapi aku tak seperti itu. Mungkin karena aku bertemu
dengannya setiap hari di sekolah.
Lusa,
aku akan menghadapi ujian sedangkah, Carren, dia sudah mendapatkan liburnya
sekarang dan aku tak sabar untuk terbebas dari rutinitas sebagai siswi tingkat
akhir. “Hey, kau tak mendengarku ya?”
Aku
terseret keluar dari lamunanku dan menatap Carren yang tengah melotot padaku.
“Apa yang kau pikirkan? Hah, jadi dari tadi aku bercerita sendirian seperti
orang gila rupanya,” ocehnya. Aku memutar lagi bola mataku, berlebihan sekali.
“Kurasa, aku ingin pulang sekarang, aku ingin istirahat dan belajar untuk
ujianku,” kataku yang disambut dengan tawa gelinya.
“Oh,
aku senang, akhirnya kau mau belajar juga.” Apa-apaan!
“Sialan
kau.”
~~
Hari
ini adalah hari terakhir ujian dan itu sangat menyenangkan. Aku akan terbebas
setelah hari ini. Selama satu minggu ini, aku merasa ada yang aneh pada Carren,
dia sering pulang terlambat ke rumah dan dia juga sering melamun lalu terkadang
tersenyum sendiri seperti orang gila. Aku jadi heran padanya, apa mungkin ini
bersangkutan dengan pria yang dia temui di toilet waktu itu? Aku menggelengkan
kepalaku untuk menghilangkan pikiran-pikiran itu dari kepala cantikku.
“Edmund.”
Aku melambaikan tanganku padanya, dan lantas berlari kecil menghampirinya. “Kau
mau kemana? Terburu-buru sekali,” ujarku penuh selidik. Itu sudah biasa terjadi
antara kami, karena kami bersahabat baik, sangat baik malah.
“Ya,
aku sedang ada janji dengan seseorang dan aku yakin dia sedang menunguku. Maafkan
aku, akhir-akhir ini kita jarang bersama-sama, lain kali jika aku ada waktu,
kita akan pergi berdua. Oke?” Aku hanya tersenyum mengangguk padanya. Dia
memelukku dan mengecup pelan dahiku. Aku menatap punggung lebarnya yang
berjalan cepat menjauh dariku tanpa menoleh sedikit pun.
Tubuhku
terjatuh di atas kursi halaman belakang sekolah. Tanganku terangkat meremas
kemeja yang kupakai, rasanya sesak. Sudah satu minggu ini, untuk yang pertama
kalinya dia terasa begitu jauh dariku. Dan, aku merasakah perasaan yang begitu
aneh, seperti kehilangannya. Ya, aku merasa jika aku sudah kehilangannya
sekarang. Mungkin, aku telah merasakan bagaimana rasanya merindukan seseorang.
Itu sangat tidak enak, rasanya kecewa, sakit, dan perih. Apa yang sebenarnya
sudah terjadi? Apa dia sudah bosan menjadi temanku? Mungkinkah seperti itu?
Cairan
hangat mengalir membasahi pipiku, membentuk aliran sungai kecil pada wajahku.
Entahlah, kurasa aku sudah cukup menahan perasaan sakit yang mendadak
menyerangku selama satu minggu ini. Untuk hari saja, aku akan mengizinkan diriku
untuk menangis lagi pula terkadang satu-satunya yang kita butuhkan adalah
menangis.
Aku
mendesah malas dan terus menggonta-ganti cennel tv di hadapanku. Err,
membosankan sekali. Kemana sih Carren pergi? Harusnya dia tidak pergi dan
meninggalkan aku bersama dengan kebosanan yang mengerubuniku.
Aku
bangkit dari sofa santai yang sejak dua jam kududukki tanpa melakukan apa pun
selain menghabiskan cemilan yang ku beli setelah aku puas menangis di halaman
belakang sekolah. Aku sangat yakin jika aku membutuhkannya.
Senyuman
lebar di wajahku luntur begitu melihat siapa yang saat ini berdiri di
hadapanku. Sekarang, aku merasa seperti jatuh ke dalam jurang yang curam dan
gelap. Aku merasakan sakit yang begitu luar biasa di jantungku, seolah hatiku
sedang di tikam oleh benda tajam. Air mata mendadak menggenang di pelupuk
mataku. Di hadapanku berdiri Carren dan seorang pria yang begitu kukenal,
Edmund Vallace, tengah bergandengan tangan. Wajahnya mereka tampak berseri-seri
dan aku melihatnya dengan jelas jejak-jejak kebahagiaan itu di wajah Carren.
Aku memaksa diriku untuk menarik sebuah senyuman di wajahku.
“Kau
pasti terkejut, aku akan ceritakan semuanya padamu nanti, sekarang, apa aku
boleh masuk? Kami kehujanan tadi,” jelas Carren. Aku tersentak dan merasa begitu
bodoh sekarang. Aku seperti baru saja ditampar dengan begitu keras, menggeser
tubuhku dan mmeberi ruang untuk mereka masuk lantas kembali menutup pintunya. Aku
berjalan meninggalkan mereka menuju kamarku. Air mata itu jatuh tanpa komando.
Aku mengunci pintu kamarku dan menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur.
— “Kau pasti terkejut . . .”
Ya,
aku sangat-sangat dan sangat terkejut, Carren. Ya tuhan, inikah akhir dari
kisah percintaanku? Bahuku naik turu seiring dengan isakkan tangis yang keluar
dari mulutku tanpa bisa kucegah lagi. Mengapa rasanya sesakit ini? Ini sakit
sekali. Sesak itu hadir kembali, membuat kusulit untuk bernafas dengan baik.
aku memukul-mukul dadaku berharap rasa sesak dan sakitnya akan berkurang.
—“Ya, aku sedang ada janji dengan
seseorang dan aku yakin dia sedang menunguku…”
Jadi,
selama satu minggu ini mereka kencan, dan tak pernah mengatakannya padaku?
Jadi, pria yang ditemui Carren waktu itu adalah Edmund? Kenapa jadi seperti
ini?
Apa
yang harus kulakukan? Haruskah aku melepaskan Edmund? Ya ampun, harusnya aku
sadar jika dia hanya menganggapku sebagai sahabatnya saja, harusnya aku tak
memiliki harapan jika dia akan menyukaiku seperti aku menyukainya. Harusnya aku
tahu, jika Carren memang jauh lebih baik dari pada aku. Dia pintar dalam segala
hal sedangkan aku, hanya bisa membuat onar di mana-mana.
Bodoh,
dia saudara kembarmu harusnya kau bisa mengalah padanya, lagi pula apa kau
lupa, dia sudah bertarung nyawa demi menyalamatkanmu dulu? Lalu, apa salahnya
jika kau membalas budi baiknya padamu yang begitu menyayangimu, Carra? Cinta
bukanlah satu-satunya hal yang penting di sini, pikirkan perasaan Carren jika
dia tahu Edmund adalah pria yang selama ini kau cintai? Dia akan hancur, apa
kau bisa bayangkan jika itu terjadi? Kau menyayanginya kan? Kau harus berkorban
untuknya dengan merelakan cinta pertamamu bersama saudara kembarmu. Kau harus
merelakannya, Carra.
Benakku
berkecamuk ria, terus memberiku saran tentang apa yang harus kulakukan untuk
menghadapi hal seperti ini. Akhirnya, aku mengangguk pada diriku sendiri. Aku
akan merelakan Edmund bersama dengan Carren, tapi aku akan pergi menjauh dari
mereka. Mungkin, aku akan menerima tawaran dari kepala sekolahku tadi, untuk
mengambil beasiswa ke Melbourne. Aku akan berangkat lusa setelah menerima rapot
akhirku yang memang akan di selesaikan terlebih dulu jika aku menerima tawaran
itu. Ya, ini adalah satu-satunya jalan terbaik. Jika aku tetap bertahan di
sini, aku tak yakin bisa menghadapi semuanya dengan baik. Tapi dengan aku berada
jauh dari mereka aku akan baik-baik saja dan dengan perlahan aku akan melupakan
rasa cintaku pada Edmund, lalu bisa tersenyum seperti biasa saat melihat mereka
bersama-sama.
Aku
sudah meminta izin pada ayahku dan sudah menelpon ibuku dan mereka telah setuju
dengan pilihanku. Hanya saja, Carren tak menegurku setelah dia tahu aku akan
pergi. Aku tak ingin memperdulikannya saat ini, aku sedang mencoba untuk
memperbaikki hatiku yang hancur. Aku juga sudah mengatakan pada Edmund untuk
menjaga kakakku dan dia juga marah padaku karena aku pergi tanpa memberitahunya
kabar apa pun. Dia merasa tak pernah dianggap sebagai seorang sahabat olehku.
Seandainya
mereka tahu jika aku pergi untuk melupakan rasa cintaku dan mencoba merelakan
kebersamaan mereka. Tapi hal itu akan kusimpan sendiri. Biarkan aku yang
menyimpannya. Aku hanya ingin melihat kakakku bahagia. Aku sangat
menyayanginya, dan tak ingin melihatnya bersedih karena kenyataannya kami
mencintai pria yang sama.
Aku
mendesah pelan saat mendengar pengumuman pesawat yang akan kunaikki telah
terdengar. Aku berdiri dari tempat dudukku dan lantas memeluk ayahku sesaat.
Air mataku mengalir saat dia melepaskan pelukkan eratnya padaku.
“Aku
yakin kau sudah dewasa dan mampu menjaga dirimu sendiri, belajarlah dan jangan
kecewakan aku,” ujarnya. Aku mengangguk cepat dan kembali memeluknya. “Aku
berjanji tak akan mengecewakanmu, Dad.”
Aku
beralih memeluk ibuku. Dia sudah menangis tersedu sejak tadi. “Kumohon, kau
harus terus mengabariku setiap hari. Kau tahu bukan jika aku sangat
menyayangimu hmm,” lirihnya. Aku mengangguk pelan dan menghapus air mata yang
membuatku merasa semakin berat untuk pergi. “Aku berjanji, Mom.”
Aku
menatap Carren dengan lembut, berusaha menyembunyikan kenyataan padanya. “Aku
tak tahu harus mengatakan apa, tapi cepatlah kembali dan jaga dirimu
baik-baik.” Aku tersenyum dan memeluknya sesaat. “Ya, tentu saja.”
Yang
terakhir adalah Edmund. Aku menatap matanya yang memancarkan kesedihan luar
biasa itu. Jika ini berat untuknya, lalu ungkapan apa yang pantas untuk
keadaanku sendiri?
“Jaga
dirimu, Carra,” lirihnya. Aku mengangguk dan menjabat tangannya. Tidak, aku tak
ingin memeluknya. Itu akan menambah rasa sakitku. “Ya,” balasku.
Aku
berbalik setelah melambaikan tanganku pada mereka. Aku tak akan kembali ke mari
selama tiga setengah tahun, aku sudah mengatakan pada ayah dan ibuku untuk
tidak pernah mengatakan apa pun mengenai di mana aku tinggal di Melbourne. Aku
benar-benar ingin memulai hidup baruku di sana dan melupakan Edmund.
Selamat
tinggal, cinta pertama~
TAMAT