Selasa, 22 April 2014

GISTLE ANNAWESTLE (cerpen)



 Ini cerpen pertama saya dulu, udah jadul bingitss -,- maaf buat keanehan di sana-sini :3
happy reading~


Judul: GISTLE ANNAWESTLE
Cast: - Gistle Annawestle
-        Edward Manhole
-        Abigail Lountner
-        Jack Richel

Gerne: Romance, Sad
Writer: Heni Kurniyasari

“Cinta, jalan penderitaan yang harus ditempuh untuk setiap kehidupan”
(aku sanggup melewati jalan penderitaan itu, hanya dengan berpegang teguh pada sebuah janji)
“Cause I’m your Lady & You are my Man”

Ini Gistle :*
I don’t know if tomorrow has a day
I don’t know if the rains will shine my way
All I know is that I’m standing
In a place well my future is like the skies of L.A

Bulan desember, tiap tahun di kota ini akan dihujani dan dipenuhi dengan butiran-butiran salju. Cuaca dingin menyeruak disetiap sudut yang kosong. Tak perduli akan apa yang ada dihadapannya, gadis itu tetap terpaku pada satu titik arah pandangan, padahal kenyataannya tak ada apapun dalam pikirannya. Semuanya telah pergi, melayang meninggalkanmya bersama dengan kehidupan yang kelam ini.
Gadis itu tetap duduk manis disamping sebuah makam seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya, belahan jiwanya, nyawanya, jiwanya, nafasnya, lelaki yang telah mengubah hidupnya. Lelaki yang memiliki semua dalam hidupnya. Lelaki yang sangat ia cintai.

**
New York , 2008

Menyenangkan sekali, akhirnya aku bisa seragam ‘senior high school’ku dan melangkah ke sebuah tempat yang baru. Aku adalah mahasiswa baru di Harvard University. Siapa yang tidak tahu tentang Harvard? Oh ayolah, itu kampus paling keren dan juga kampus nomor satu di dunia, benar-benar seperti mimpi yang menjadi kenyataankan??
‘Gist’ itu namaku, orang-orang memanggilku seperti itu. Gistle Annawistle. Dan itu nama lengkapku. Siapa yang tidak mengenal keluarga ‘Annawistle’ yang fenomenal? Hhh, sungguh sebenarnya aku bosan dengan semua ini maksudku apa yang ada dalam hidupku ini meskipun sebenarnya aku bisa berpoya-poya dengan harta berlimpah yang dimiliki keluargaku. Tapi, semuanya berubah, berubah pada hari dimana liburan musim dingin dimulai. Kami melakukan perjalanan panjang menyebrangi samudera Atlantik, jangan salah pikiran dulu, ini hanya sekedar liburan akhir tahun bukan untuk shooting film Titnic yang ke-tiga.
Aku hanya gadis biasa yang beruntung dilahirkan dari keluarga yang kaya raya, padahal sebenarnya aku seperti dikurung di dalam sangkar emas oleh orangtuaku yang terlalu berlebihan tentang semuanya, tentang hidupku.
Hari itu tanggal 7 Desember 2008.

“Hey Gist, apa yang sedang kau pikirkan? Ah, jangan bilang kau sedang memikirkan sejarah lautan yang pernh terjadi diatas Atlantik ini.” 
Abigail, gadis yang bisa dibilang dia adalah teman dekatku ah mungkin lebih tepat disebut dengan sahabatku. Aku hanya memandangnya sesaat.

“Tidak, aku hanya sedang berpikir ingin merasakan betapa dinginnya air dengan suhu -3 derajat Celsius itu.” Kudengar ia terkekeh pelan
“Kau gila, kau akan mati jika melakukan hal itu.” Aku tersenyum mendengar ucapannya.
“Kau tahu, Jack mengajakku makan malam bersama dan bagaimana jika kau menemaniku?” Dia menoleh ke arahku yang menatapnya dengan tatapan bingung.
“Kau yang gila. Untuk apa kau mengajakku? Kan kau yang akan makan malam dengannya.” Dia terkekeh lagi.
“Bodoh! Jack akan mengajak temannya juga.”

Jack, laki-laki dari Colombus University yang berhasil membuat sahabatku tergila-gila padanya. Remaja 17 tahun memang memiliki gairah yang tinggi kepada lawan jenis yang menarik perhatiannya.
Aku sudah siap dengan dress bermotif yang melekat di tubuhku, high heels, dan rambut yang kugerai bebas seperti biasanya.

Kami berjalan menuju restoran kapal ini, oh ya kapal yang sedang kami tumpangi ini adalah revolusi terbaru dari kapal uap paling bersejarah, Titanic. Nama kapal ini adalah ‘The Pearl of Titan’ semuanya jauh lebih canggih daripada Titanic yang pernah tenggelam di tempat ini maksudku, Atlantik. Sekarang perjalanannya adalah dari New York ke London, Inggris.  

“Hey, kenalkan ini Edward. Edward Manhole, dia temanku.” Jack tersenyum padaku dan Abigail. Kami saling menjabat tangan.
“Kenalkan juga ini sahabatku, Gistle Annawestle.” Aku tersenyum pada mereka berdua.


Itulah awal dari sejarah kisah cinta yang panjang. Awal dari jalan hidup yang akan kulalui sampai ke masa depan.

Cinta, semuanya mengubah hidupku, seorang Gistle Annawestle. Pria itu, pria yang begitu membuatku jatuh hati padanya, membuatku selalu memikirkannya. Hidupku jadi lebih berwarna akan semuanya, perubahan yang ia bawa begitu besar. Aku sangat menggilainya, aku mencintainya, membutuhkannya, aku tak bisa jauh darinya sosok pria itu sudah merasuk terlalu jauh dalam sumbu roh kehidupanku. Tuhan menciptakannya dalam sebuah kesempurnaan yang membuatku tak bisa berhenti mengguminnya, tak bisa berhenti untuk mencintainya. Dia membuatku melihat hidup dengan sebuah mata yang selama ini tak kupikirkan akan ada. Dia membuatku mengerti jika kesempurnaan dan kasih sayang tak harus di dapat dengan kemewahan. Dia yang membuatku tahu jika kebahagiaan bisa di dapat hanya dengan cara yang begitu mudah, hanya dengan menjadi sederhana.

**
London, Inggris 2008

Hari-hari selajutnya, tanggal 17 Desember 2008. Kejadian itu, kejadian tragis yang merebut nyawanya, nyawa kekasihku. Pria yang selalu aku kagumi dan selalu membuatku merasa sempurna jika berada disisinya.

Begitu tiba di Inggris, aku tak tahu jika momy dan dady telah mengetahui tentang Edward. Mereke mengirim seseorang untuk menembak Ed dan saat itulah, aku kehilangan semuanya. Nyawaku, hidupku, jiwaku, aku tak sempurna tanpanya, aku terlalu mencintainnya. Aku tak pernah berpikir jika kebahagiaan itu akan berakhir begitu cepat.
Perasaanku begitu berkecamuk melihat seseorang yang aku sayangi, aku cintai dengan segenap jiwaku telah pergi, melepas nafas terakhirnya di hadapanku, di depan mataku.

“Kau. Aku mencintaimu Gist, aku mencintaimu. Maafkan aku tak bisa menepati janji kita, kau harus berjanji satu hal padaku Gist.”

Oh tuhan, sungguh aku tak mampu lagi membandung air mataku ini, kau tahu aku begitu mencintainnya. Aku terlalu menyayanginnya, buliran-buliran air itu basah mengalir deras membasahi wajahku.

“Apapun itu, kumohon, Ed. Kumohon jangan tinggalkan aku. Aku tak bisa, tak bisa tanpamu. Kumohon.” Dengan erat kugenggam tangannya yang mulai melemas
“Kau harus berjanji padaku Gist, jadilah seorang ibu untuk anak-anakmu dan istri untuk suamimu. Kumohon berjanjilah untuk mengingatku disetiap kali kau bernafas.” Air matanya mengalir membasahi wajahnya yang begitu pucat menahan sakit.
“Bertahanlah, aku akan memanggil team medis.” Aku berusaha untuk merogoh saku celana jeans-ku.
“Tidak, kumohon, jangan lakukan itu, semuanya akan percuma Gist, ak..aku..menc..cintai..mu”

“Ed … Ed … Wake up .. please Wake up , Nooo Ed….”


**

Kejadian yang takkan kulupakan dalam hidupku, sejarah kisah cinta yang pernah dianugerahkan tuhan padaku. Hari itu tepat di pelabuhan itu aku kehilangan sebagian hidupku, penyempurna yang telah melayang pergi tanpa sempat menyampaikan batin kecil ‘betapa aku mencintainnya, betapa aku membutuhkannya’ semuanya berakhir!

Setelah hari itu, aku anggap semuanya berakhir. Hatiku terkunci untuk yang lainnya. Hanya tukang kayu itu, hanya Edward yang memilikiku sepenuhnya, seluruhnya. Aku tak perduli apa pun dia, siapa pun dia, sekalipun dia hanya seorang tukang kayu yang miskin serta serba berkecukupan yang terpenting bagiku adalah cintaku, cintaku padanya yang membuatku masih berpegang teguh dengan sebuah janji tulus yang diikrarkan seorang lelaki padaku. Meskipun jiwaku dilanda badai petir yang meremukkan keseluruhan dari sosokku, Gistle Annawestle.

Aku sempat mengalami konflik besar dengan orang tuaku, jasad Ed telah dikuburkan di Los Angeles, dan aku melarikan diri kembali ke New York dengan The Pearl of Titan, di atas kapal uap yang merupakan revolusi dari Titanic. Mungkin ini kisah cinta Jack dan Rose yang merupakan tokoh fiksi dari film Titanic karya James Cameron, maksudku ini adalah kisah cinta yang sama-sama terjadi dan disaksikan oleh Samudera Atlantik.

Malam ini aku kembali keluar dari kamarku yang berada di kelas VIV kapal ini. Berjalan dengan piyama tidurku ke ujung deck kapal. Merentangkan kedua tanganku, menutup mata dan menikmati angin musim dingin yang menerpa tubuhku malam ini. Mungkin suhu saat ini -0 derajat celcius. Seandainya Ed ada disini, di sampingku, memelukku.

“Cinta jalan penderitaan yang harus ditempuh untuk setiap kehidupan.”
“Apapun itu asalkan kau bersamaku.”
Aku sanggup melewati ‘jalan penderitaan’ itu hanya dengan berpegang teguh pada sebuah janji.

Aku teringat perkataannya hari itu, hari dimana kami resmi menjadi sepasang kekasih yang memiliki cinta dalam sebuah keabadian.

Cause I’m your Lady and you are my Man  

** 2 tahun kemudian
Los Engeles 2010

Hari ini tanggal 13 Mei tepat dimana Ed berulang tahun. Aku telah ada di makamnya untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-24. Lihat!, cintaku takkan pernah terhapus, entah itu oleh jarak maupun waktu.

“Ed, Happy Birthday. Semoga kau bahagia disana. Aku mencintaimu. Masih dan akan selalu mencintaimu.”

Akan kupegang teguh janjiku padamu dan jika nanti aku bertemu dengan seseorang aku akan menepati janjiku Ed, janjiku padamu.

Bisikan-bisikan di pagi pecinta
Sekarang saat aku melihat matamu, aku berpegang pada tubuhmu dan merasakan setiap gerakkan yang kau buat,
Suaramu hangat penuh dengan kasih yang tak bisa kutinggalkan.
Karena aku wanitamu dan kau priaku, aku melakukan semua yang ku bisa.

Hilang adalah bagaimana aku merasa berbaring dalam pelukanmu saat dunia luar terlalu banyak untuk mengambil bahwa semua berakhir saat aku bersamamu.
Suara detak jantungmu terdengar dengan jelas, timbul perasaan bahwa aku tak bisa pergi jauh. Kau sedang menuju untuk sesuatu, suatu tempat yang tak pernah kulihat, kadang-kadang rasa takut itu menerpaku tapi aku siap belajar dari kekuatan cinta.

-semuanya tak seberat yang kau pikirkan hatimu akan menjawab semuanya, kehidupan itu tak berhenti hanya karena kehilangan sekalipun itu adalah seorang belahan jiwa. Simpanlah dia dalam hati, cintailah dia disetiap hembus nafas dan detak jantungmu, jangan pernah lepaskan dia dari dekapanmu-

                                               
                                                                       
                                                                                    Gistle Annawestle    

LOVE #7



BAB 7
Where love is great, the littlest doubts are fear
When little fears grow great, great love grows there. —William Shakespeare


Pria itu terbaring dengan tenang di atas bankar rumah sakit, kembali ke tempat di mana selama ini dia berada. Sejak lima belas menit yang lalu aku menatapinya, terduduk di samping tempat tidurnya. Aku menghela nafas untuk yang kesikian kalinya, entahlah aku hanya merasa ada yang tidak beres dengan diri pria ini. perkataannya mengenai mr. Joplin masih terus terngiang di pikiranku. Mengapa dia membencinya? Apa mereka memiliki sebuah hubungan? Sebenarnya, berapa banyak rahasia yang tersimpan dalam hidup Justin?
Lagi, aku menghela nafas, lalu mengalihkan perhatianku pada layar iphoneku dan menekan speed dial untuk menghubungi Andreas, kurasa dia satu-satunya orang yang bisa membantuku saat ini. Jika Justin bisa berbicara dan bertingkah laku begitu normal seperti tadi, aku ragu jika dia memiliki kelainan jiwa seperti yang tertulis dalam berkas mengenai dirinya yang diberikan mr. Joplin padaku.
“Andreas, aku ingin kita bicara malam ini, datanglah ke rumahku.” Aku mengirimkan voice mail karena nomornya sedang berada di luar jangkauan. Sejujurnya, aku melewati hari yang baik bersama dengannya hari ini. Justin, dia tak sama sekali terlihat seperti orang gila, dia terlihat sangat normal dan baik-baik saja. Dia berbicara dan bercerita padaku, dia juga tertawa, dia tersenyum, dan membalas lelucon yang kubuat dengan konyol. Itu adalah kekonyolan yang manis menurutku, dan sekarang, aku jadi ragu jika dia gila, aku belum pernah melihat orang gila bisa mengeluarkan lelucon seperti itu. Meski pun sebenarnya dia terlalu tampan untuk dikategorikan dalam golongan orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan.
Justin adalah seorang mantan bad boy yang terkenal di kota ini dan mungkin masih ada banyak orang yang mengenal namanya sampai sekarang. Tentu saja, dia tampan, dia mempesona sekali pun dia hanya mengenakan pakaian rumah sakit, dan dia memiliki tubuh yang sexy. Aku tak akan menampik semua yang ada padanya adalah impian semua gadis di dunia untuk memiliki seorang kekasih yang sesempurna Justin, meski pun tak ada yang sempurna di dunia ini. Aku menggelengkan kepalaku berusaha untuk keluar dari lamunan panjangku saat pintu berdecit pelan.
Aku menoleh menatap seorang suster yang tersenyum ramah padaku. “Anda sudah ditunggu mr. Joplin di ruangannya, Dokter,” ujarnya. Aku mengangguk padanya dan lantas membereskan tasku juga kembali memakai jas putihku, untuk yang terkahir kalinya saat ini, aku kembali menghela nafas dan melangkah cepat menuju ruangan pria itu. Ah, mungkin aku bisa mendapatkan sesuatu yang baik untuk mengetahui apa yang sebenarnya pernah terjadi antara Justin dan pria paruh baya itu.

“Aku tahu ini mustahil, tapi kita tak bisa gegabah dan menyebabkan rencana yang sudah kita susun selama dua tahun ini gagal begitu saja karena ualh cerobohmu. Aku mohon, aku berjanji, aku akan segera memebereskan Bieber sialan itu untuk selamanya dan mungkin juga bersama dengan gadis itu juga.” Aku tahu betul itu adalah suara mr. Joplin. Aku bersandar pada jendela kaca yang ada tepat di samping pintu masuk, kaca ini dibuat buram dan aku tak bisa melihat siapa yang sedang berbicara dengannya.
“Baiklah, aku minta maaf, Honey. Aku tak bermaksud untuk menggagalkan rencana kita. Aku hanya takut jika gadis itu bisa saja menjadi ancaman untuk kita berdua, aku sering memperhatikannya yang semakin hari semakin dekat dengan pria brengsek itu. Aku hanya tak ingin dia menjadi penghalang bagi kita.” Jantungku seakan berhenti berdetak, tidak apa-apaan ini. Sial. Apa yang mereka rencanakan untuk Justin? Membunuhnya perlahan? Tubuhku dengan reflek mundur dan lebih merapat kearah kaca, menahan nafasku saat melihat siapa yang keluar dari ruangan itu. Melanie Parker. Wanita yang kutemui di lift tempo hari. Bagaimana mungkin mereka? Ada hubungan apa antara mereka?
Aku berusaha dengan sekuat tenaga untuk menemukan kembali ketenanganku, dan berusaha untuk menghilangkan pening yang mendadak menghampiri kepalaku. Tiga menit kemudian, aku melangkahkan kaki ku memasuki ruangan mr. Joplin. Pria itu terlihat tenang bersama dengan tumpukan kertas putih di mejanya seolah tak terjadi apa pun beberapa menit yang lalu. Kepalanya mendongak saat aku melangkah mendekati mejanya dan senyuman palsu itu terpampang nyata di wajahnya, itu mengirimkan sensasi mual ke perutku. Aku baru menyadari jika senyuman di wajahnya selama ini adalah senyuman penuh rahasia dan aku merasa benar-benar bodoh baru bisa membacanya sekarang setelah mendengar percakapan aneh mereka tadi.
Well, halo ms. Pereira, bagaimana acaramu dengan Justin?”
Aku menyatukan bokongku dengan kursi yang ada di hadapannya. Aku tersenyum tipis padanya. “Cukup menyenangkan dan aku menghabiskan hari yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku dengannya. Saat kami berada di tempat itu, aku sama sekali tak melihat tanda-tanda jika Justin adalah seseorang yang memiliki kelainan jiwa, mr. dia terlihat sangat normal sekali. Aku yakin kau tak akan percaya bukan?” Aku memperhatikan ekspresi wajahnya dan dapat. Aku mendapatkan perubahan mimik wajahnya dengan sangat kentara.
“Tentu, aku sangat terkejut untuk itu dan juga senang. Semakin cepat pria itu membaik maka aku akan semakin cepat tenang tanpa harus melihatnya lagi, aku bosan mengurusnya menjadi pasien terlama di rumah sakit ini dan ternyata kedatanganmu membawa berkah, terima kasih ms Pereira. Aku juga ingin melihat laporan perkembangannya seminggu terakhir ini. itu sudah harus ada di mejaku besok pagi,” ujarnya dengan senyuman yang sama. Aku mengangguk pelan dan lantas berjalan cepat meninggalkan ruangan terkutuk itu.
Lagi. Apa yang sebenarnya direncanakan oleh mereka?

Aku sampai di ruangan Justin dan bertemu dengan seorang suster yang baru saja memberikan suntikan kepada Justin. Gadis itu tersenyum ramah padaku. Aku membalasnya dengan senyuman canggung. “Maaf, boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
“Ya, Dok. Tentu saja,” ujarnya masih dengan senyuman cantiknya.
“Sebenarnya, apa hubungan Melanie Parker dengan mr. Joplin?”
Alis suster di hadapanku ini segera terangkat keatas menatapku sedikit bingung, tapi dia menjawabnya juga. “Tentu saja, mereka adalah sepasang suami istri dulunya dan sekarang mereka sudah memiliki hidup masing-masing. Mereka bercerai empat tahun lalu,” katanya. Empat tahun lalu. “Baiklah, terima kasih kalau begitu.” Suster itu mengangguk dan lantas berjalan meninggalkanku yang masih mematung di depan pintu ruang rawat Justin.
Aku membuka pintu ruang rawat Justin dan mendapati jika dia sedang memejamkan matanya, tampak muda dan damai. Aku menutup kembali pintu yang kubuka dan lantas berjalan menghampirinya. Hatiku berharap-harap cemas, pikiranku beradu mencoba menemukan alasan yang jelas dibalik semua yang sekarang telah kuketahui, tentang mr. Joplin dan juga Melanie Parker. Mereka tak sama sekali berusaha melakukan apa pun untuk mengeluarkan Justin dari tempat ini. Ini bukan untuk Justin tentu saja, mereka dengan sengaja melakukan ini dan mungkin berniat untuk membuat Justin mati perlahan-lahan.
Tidak, aku tak akan membiarkan apa pun terjadi padanya. Sesuatu dalam hatiku seolah berteriak keras dan terus mendorongku untuk ikut masuk dalam misteri dibalik kisah hidup seorang Justin Bieber dan lantas mengeluarkannya dan membuatnya mencintaiku.
Bukankah cinta adalah di mana kita rela berjuang untuk seseorang yang kita cintai tanpa kenal sakit dan lelah sekali pun orang itu tak pernah tahu tentang seberapa besar cinta kita untuknya?
Bukankah cinta adalah di mana hati seakan buta untuk tahu mana yang benar dan mana yang tidak benar dalam berusaha?
Cinta yang sesungguhnya adalah cinta dengan ketulusan dan hanya hatilah yang mampu merasakannya. Hanya hati yang tahu di mana letak ketulusan itu dan aku telah menemukannya saat ini. Aku menemukan ketulusan itu dan mendapati ada nama seseorang yang telah terlukis dengan tinta tebal di sana, terlukis dengan indah membentuk dua kata yang sempat membuatku terkejut dan tak percaya hingga aku memutuskan untuk mencarinya dan mendapatkan diriku sendiri tersesat saat matanya menatapku dan mengunciku seolah tak ada yang abadi selain aku dan dia, Justin Bieber.
I love you,” bisikku di telinganya dan diam-diam mengecup dahinya, tanpa pernah kusadari hal sekecil itu bisa membuatku tersenyum dengan mudah.

Aku kembali ke rumah setelah membeli beberapa bungkus cemilan untuk di makan selama aku mengobrol dengan Andreas, aku merasakan lelah menghampiri tubuhku hari ini, tapi sekarang bukan saatnya untuk beristirahat, banyak masalah yang harus kuselesaikan dan kurasa semuanya tentang Justin.
Aku baru saja menyelesaikan rutinitas mandi soreku yang tergolong lama, bahkan mungkin sampai tiga jam, dimanjkan oleh Jacuzzi-ku adalah salah satu cara untuk menghilangkan stress dan mencoba untuk menemukan pikiran normalku kembali. Pintu kamarku terkuak bersamaan dengan seorang pelayan yang membungkuk hormat padaku.
“Maaf, Nona. Teman Anda sudah datang dan menunggu Anda,” ujarnya formal. Aku hanya mengangguk dan dia kembali menutup pintuk kamarku.
Aku membawa laptopku dan turun ke lantai bawah menemui Andreas. Aku sangat berterima kasih padanya karena telah menyediakan waktunya yang begitu berharga itu untukku. Dia memang satu-satunya orang yang saat ini bisa kupercaya dan aku yakin dia menyayangiku sama seperti aku menyayanginya layaknya kakakku sendiri.

“Apa aku membuatmu menunggu terlalu lama?”
“Tidak, aku baru saja memesan gelas kopiku yang ke lima,” ujarnya. Aku tergelak mendengar leluconnya. “Baiklah, sekarang apa yang harus kulakukan untukmu, Nona Han?”
Aku menghempaskan tubuhku ke sampingnya. Well, kurasa ayahku belum pulang dari rutinitas kantornya yang begitu padat. Aku sedikit bersyukur untuk itu, setidaknya dia tak perlu bergabung dengan kami dan mengetahui masalah ini.
“Ini tentang Justin, kau tahu dia pasienku dan aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini,” kataku pelan.
“Apa maksudmu dengan aneh?”
“Tadi, aku sengaja mengajaknya pergi ke pantai dan berusaha untuk membuatnya kembali membuka dirinya untukku. Saat di perjalanan, dia bilang dia sangat membenci seua dokter yang telah merawatnya, termasuk dengan mr. Joplin. Aku merasa sangat aneh ketika dia berbicara seperti itu, aku sempat meliriknya untuk melihat ekspersi wajahnya dan itu membuatku terkejut karena wajahnya terlihat begitu normal, itulah yang membuatku merasa jika dia bukanlah seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan, Andreas, kau mengerti maksudku bukan?” Aku mengalihkan pandanganku menatap pria yang kini terlihat seperti sedang berpikir.  
“Ya, aku mengerti. Jadi, maksudmu ada orang yang sengaja melakukan hal ini padanya, maksudku memasukkannya ke dalam rumah sakit?”
Aku meresponnya dengan anggukan kepalaku. “Nyaris sepanjang hari ini, aku tak merasakan jika aku sedang menghabiskan waktu bersama dengan seorang pria yang kejiwaannya terganggu. Aku bahkan merasa seperti sedang menghabiskan waktu bersama dengan teman kencanku,” kataku pelan di akhir kalimat. Walau bagaimana pun juga, aku masih malu untuk memberitahukan perasaan aneh ini pada siapa pun termasuk pada sahabatku sendiri.
“Kau tahu secara tak langsung kau berbicara jika kau telah jatuh cinta padanya, Nic.” Aku terkikik mendengarnya, Andreas memutar matanya padaku. “Ah, ada lagi, tadi saat aku dipanggil ke ruangan mr. Joplin, aku tak sengaja mendengar percakapannya dengan seorang wanita yang juga menjabat sebagai seorang dokter di rumah sakit itu. Namanya Melanie Parker. Mereka membicarakan tentang Justin, aku dan juga sebuah rencana yang sudah disusun sejak lama. Aku merasa jika mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja menyakiti Justin, ya hatiku berkata seperti itu,” lirihku pelan. Aku mendongak dan menatapnya tajam saat aku mendengarnya terkekeh. Sial, itu sangat tidak sopan. Sahabatnya sedang banyak masalah dia malan tertawa dan bukannya membantuku menyelesaikan masalahku.
“Ya ampun, Nichole. Aku tak percaya jika kau akan secapat ini move on dari Siwon. Dan lantas jatuh cinta pada seorang pria yang menjadi pasienmu, seberapa tampan dia hingga bisa membuatmu jatuh padanya dalam waktu yang tergolong cepat,” kalimat ledekkannya itu sudah cukup untuk membuatku kesal. Aku memutar bola mataku. Kang Sialan!
“Baik-baik, maafkan aku. Aku hanya bercanda. Serius, apa yang kau ingin aku untuk lakukan?”
“Aku hanya ingin kau mencaritahu tentang siapa sebenarnya mr. Joplin dan Melanie Parker itu dan apa tujuan mereka menyakiti Justin. Oke?” Aku kembali menatapnya dan dia mengangguk pasti padaku. “Anything for you, Beb.”
Aku memeletkan lidahku padanya dan menatap heran layar iPhoneku saat nomor rumah sakit tertera di layarnya. Aku menempelkan benda pipih itu ke telingaku, tubuhku mematung saat mendengar suara panik seseorang yang kuyakini seorang suster.
“Apa yang terjadi?”
“Kita harus ke rumah sakit sekarang juga, Andreas. Justin. Dia, kritis, dia sedang ada dalam keadaan kritis sekarang.” Aku berteriak panik padanya.
“Ayo, aku akan mengantarmu ke sana,” ujarnya menarik tanganku dan kami pergi dari ruamhku. Sial, apa yang terjadi padanya?
Justin, kritis. Dia kritis. Itu tidak mungkin terjadi tanpa alasan yang jelas. Tanpa komando, cairan hangat jatuh dari pelupuk mataku begitu saja. Hatiku berdebar dengan cemas. Menyisipkan do’a disetiap debar jantungku sekarang. Jagalah dia untukku, selamatkan dia untukku, kumohon, kumohon Baiklah,aku mengakui jika aku mencintainya dan kumohon selamatkan dia dan biarkan aku membantunya untuk menyelesaikan masalah hidupnya yang penuh misteri ini. Kumohon.  []

Jumat, 18 April 2014

EVERLASTING #3



 Elizabeth William (putri dari kerajaan william)
 

Desah nafas tak teratur itu masih terdengar jelas di telingaku. Aku tak mengerti arti perlakuannya padaku. Mengapa dia begitu memberiku banyak alasan untuk mencintainya? Untuk menyayanginya?
“Kau tahu, aku ingin kau tahu satu hal, aku memang ingin mengatakan hal ini padamu sejak kita kecil, aku .. sebenarnya aku .. aku mencintaimu, Elz.” Aku mendengarnya dengan jelas ya aku mendengar semua kalimat yang keluar dari mulutnya, dia bilang dia mencintaiku. Rasanya hatiku seperti melompat ingin mengeluarkan sebuah lengkingan yang menggambarkan kebahagiaan sementara yang kudapat. Tapi tak bisa. Mataku terus terpaku menatapnya yang masih enggan melepas dekapannya.
“Kau percaya? Aku tahu harusnya aku mengatakan hal ini padamu sejak dulu. Aku tak punya keberanian, Elz. Harapanku sudah hilang ketika Rob datang dan merusak semuanya.” Aku mengerutkan dahiku, mendengar nama Rob keluar dari deretan kalimatnya.
“Apa maksudmu?” kataku pada akhirnya.
“Rob, dia mencintaimu. Aku muak melihat kalian terus bersama-sama, itulah hal yang membuatku dan dia berkelahi dan hubungan kami menjadi tidak baik.” Akhirnya aku menemukan jawabannya. Jawaban mengapa mereka berkelahi.
“Sekarang aku sudah merasa lega sudah mengungkapkan semuanya padamu. Kau tahu, Elz. Kurasa hari ini akan jadi hari paling bahagia untukku karena aku menjadi pria pertama yang menciummu.” Kurasakan wajahku memanas. Astaga, mengapa jadi berganti topik seperti ini?
“Jangan malu. Aku bahagia bisa mencintai sahabat karibku. Aku tak meminta apapun darimu hanya hal kecil seperti tadi saja.” Aku semakin malu dan berniat untuk bangun dari pangkuannya.
“Eits, tidak boleh. Aku ingin seperti ini sampai aku puas.” Aku menatapnya kesal. Mengapa tingkahnya begitu konyol?
“Ayolah Just, aku tak ingin ada orang yang salah paham karena hal ini.” Dia menatapku dengan wajah lugunya.
“Dan aku tak perduli,” jawaban yang berhasil membuatku menyerah.
“Bibirmu manis Elz.” Aku menatapnya aneh membuatnya tertawa lebar di hadapanku.
“apa?” Dia mencubit pipiku. Oh tingkahnya aneh sekali hari ini.
“Jangan pasang wajah seperti itu.” Aku menghela nafas panjang.

Ada perasaan bahagia yang menyelubungiku hari ini. Aku mendapatkan pernyataan yang selama ini aku tunggu-tunggu. Ternyata dia juga memiliki perasaan yang sama denganku, meskipun dia tak memintaku untuk jadi kekasihnya aku tetap bahagia dengan ini.
“Boleh aku merasakannya lagi.” Aku menjauhkan wajahku darinya.
“Tidak, kau tidak akan mendapatkannya lagi. Kau membuatku hampir mati kehabisan nafas.” Aku berdecak kesal dan itu lagi-lagi membuatnya tertawa.
“Tapi menurutku kau tak kalah bersemangat dariku Elz.” Wajahku merona kembali.

Aku berjalan menelusuri lorong-lorong gedung sekolah. Jam pelajaran telah berakhir sekitar setengah jam yang lalu. Hari ini, Justin yang akan mengantarku pulang, katanya ia merindukan Mom dan Dadku. Dia memang dekat dengan keluargaku, dia adalah cucu mantan raja London sebelum kakekku menggantikan kedudukan kakeknya menjadi seorang raja.
Aku memang berteman dengan orang-orang dari kalangan atas, tapi bukan berarti aku mengabaikan rakyat yang lain. Aku menyayangi mereka semua. Mobilnya terparkir dihadapanku. Jalanan licin karena salju yang turun. Justin keluar dari mobilnya dan lantas membantuku memasuki mobilnya.
“Bagaimana dengan semua kekasihmu, Just?” Aku dengar dia tertawa ‘lagi’.
“Sekarang kekasihku hanya satu, Elz. Aku takkan menyakiti Selena. Dia sangat berharga bagiku.” Aku tersenyum pahit dan mengalihkan pandanganku kearah luar.
“Aku tahu. Terlihat jelas dari pandangan matamu. Akhirnya kau menemukan cinta yang kau tunggu.” Nyeri itu terasa lagi. Menghantam hatiku dengan keras dan membuat sedikit mengernyit.  Selalu seperti ini, ternyata belum ada yang berubah aku tak tahu kapan aku bisa berhenti mencintainya.

Justin menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidurku. Aku melepaskan jaket tebal yang melekat pada tubuhku lalu mengaktivkan penghangat ruangannya. Aku menatapnya yang memejamkan mata, entah apa yang sedang ada di dalam pikirannya itu aku tak tahu. Aku bergabung dengannya, berbaring di sampingnya dan ikut memejamkan mataku, membayangkan beberapa kemungkinan yang mungkin akan terjadi setelah ini sebelum akhirnya aku merasa seseorang mendekapku erat, membentuk sebuah senyuman di wajahku dan berharap hari ini takkan pernah berakhir walaupun pada kenyataannya ini hanya sementara sampai ia menemui gadis pujaannya itu. Dekapannya membuatku terbawa kealam bawah sadarku

Aku tersadar dari mimpi indah yang menyinggahi tidurku kali ini. Aku menatap ruang sekelilingku, tak mendapati Justin ada disini. Aku bangun dan duduk di atas tempat tidurku menemukan sebuah memo kecil yang terletak di atas meja kecil di samping tempat tidurku.
Maaf. Aku tak bisa menunggu sampai kau bangun terlebih dahulu. Aku harus menemani Selena hari ini. -Your Bestfriend

Aku menyelesaikan tugasku tepat pada waktunya, sepuluh menit sebelum Rob berkunjung ke rumahku malam ini. Aku membuka laptopku dan mendapati sebuah email dari seseorang yang jelas aku mengenalnya.

“Ingat, Elz. Besok kau harus datang ke tempatku. Jangan sampai lupa.” Aku menepuk dahiku ketika aku sadar bahwa aku melupakan hal paling penting. Oh mengapa aku bisa melupakan hal itu? jeritku didalam hati.

Nanny telah selesai mengikat tali-tali pada busana kerajaan yang sedang aku kenakan. Aku harus terbiasa memakainya meski rasanya hampir kehabisan nafas. Aku menggerai rambutku begitu saja, kepalaku sedang pusing untuk mengubah style rambutku seperti biasanya. Aku mendengar deringan iPhoneku membuatku berlari kecil ketempat tidurku untuk menyapa seseorang yang menelponku.
“Halo.” Aku tahu dia akan menanyakan hal yang 'macam-macam'.
“Ada apa?” Aku berjalan kearah balkon istana ini, menatap pilar-pilar dengan simbol turun temurun keluarga William yang sejak dulu berdiri kokoh.
“Bagaimana tidurmu? Aku yakin kau mimpi indah.” Sudah kukatakan.
“Jangan bicara sembarangan,” gumamku kesal.
“Aku tak sembarangan, Elz. Bahkan saat aku menciummu lagi pun kau tak terbangun padahal aku sudah menekannya, tapi tetap saja tak berhasil, kau tukang tidur Elz.” Ya, bagus sekali perkataannya kali ini benar-benar membuatku merona, untunglah tak ada siapapun disini.
“Sudahlah, kau bersenang-senanglah dengan gadismu. Jangan buat dia sakit hati Just, kau ingat hatinya terlalu berharga untuk kau sakiti.” Aaku menekan dadaku mencoba menahan nyeri yang kurasakan.
“Ya, aku tahu.. Aku takkan pernah menyakitinya, Elz.” Air mataku jatuh setelah kalimat itu keluar dari mulutnya.
“Ya ingat kataku, disetiap cinta pasti ada janji jangan mencoba untuk membuatnya kalau kau tak yakin bisa. Kaulah yang dapat menggenggam kebahagiaanmu bukan orang lain.” Aku memutuskan sambungan telepon itu, menekan dadaku lalu memukulnya pelan berharap dapat mengurangi perih dan sesak yang kurasakan saat ini. Ya, jangan kecewakan orang yang kau cintai sekalipun dia hanya 'mencintaimu' sebagai sahabatnya saja.

Aku menatap jutaan bintang yang menghiasi langit malam ini. Malam terindah pada musim dingin di London. Genggaman hangat tangan Rob tak pernah mengendur sejak awal kami memutuskan menghabiskan malam ini di halaman belakang istana dad.
“Kau memikirkannya, Elz.” Aku menatap Rob yang menatapku dengan tatapan dalamnya.
“Ya, aku tak bisa berhenti walau hanya sedetik saja.” Jangan menangis didepannya Elz.
“Menangislah kalau kau ingin menangis.” Aku duduk diatas rerumputan yang ada di halaman belakang istana keluarga William.
“Air mata itu jatuh mengiringi sebuah alasan mengapa ada sebuah hati yang hancur dengan cintanya sendiri.” Diamku dalam tangis membuatku tak mampu menepis anggapan bahwa aku seorang putri yang lemah.
“Mengapa kau begitu naif untuk menyatakan perasaanmu, Elz?” Aku kembali menatap bintang-bintang itu.
“Kejujuran itu akan menjadi menyenangkan jika kebohongan tak pernah ada,” Aku menarik nafas dalam seblum akhirnya berkata “... tapi meskipun kejujuran itu indah. Berbeda arti jika kejujuran itu menyakit hati begitu banyak orang.” Aku takut untuk mengambil risiko. Aku takkan pernah memilih sebuah pilihan untuk menghadapi sebuah risiko.
Salju turun, seakan tahu keadaan hatiku yang tengah merasakan sakitnya patah hati dengan semua pernyataan tentang cinta pertama. Sakitnya yang membuatku menangis mengalahkan sakit yang tengah bersarang di kepalaku.


Aku selalu menyukai permainan pianonya yang begitu indah. Membentuk sebuah ketenangan sesaat. Ketika dingin hampir membuatku beku tangannya mengankatku membawaku dalam dekapan hangatnya, meski sempat terkejud tapi, aku tahu kebiasaannya yang takut melihatku terpeleset karena salju. Di Istana Dad, aku memiliki semua alat musik yang ku sukai dan aku bisa memainkannya.
“Bernyanyilah untukku, Elz.” Aku menatapnya dan tersenyum semanis mungkin, aku akan menuruti semua kemaunannya malam ini, dia pria yang sangat baik. Rob, semoga nanti ada gadis beruntung yang dapat menyentuh bermil-mil kedalam hatimu.


I still remember the world
From the eyes of a child
Slowly those feelings
Were clouded by what I know now
Where has my heart gone
An uneven trade for the real world

I still remember the sun
Always warm on my back
Somehow it seems colder now
Where has my heart gone
Trapped in the eyes of a stranger

As the years pass by before my face
As wars rage before me

Finding myself in these last days of existence
This parasite inside me
I forced it out
In the darkness of the storm liesan evil, but it's me
Where has my heart gone?
An uneven trade for the real world
.......

Aku melangkah mengelilingi hyde park yang sekarang dipenuhi dengan salju. Tadinya, aku ingin pergi bersama Stefan dan Caitlin, tapi aku takut merusak kebersamaan mereka dengan kehadiranku. Jadi, lebih baik aku pergi sendiri saja aku yakin akan lebih menyenangkan. Aku duduk disebuah kursi yang ada disekitar danau buatan didekat hyde park.
Banyak orang berlalu lalang ditempat ini. Mereka takkan mengenaliku dengan pakaianku yang seperti ini. Aku memasang earbud-ku dan menekan tombol play ketika lagu yang ingin ku dengar ketemu. Memejamkan mataku sejenak mengiringi lagu slow yang tengah kudengar. Teringat suatu kejadian yang membuatku sadar akan apa yang ada di balik pacuan jantungku selama ini, ketika matanya menatapku, dan aliran darahku yang seperti berhenti ketika kulitnya bersentuhan dengan kulitku.

“Bagaimana Just? Apa kau telah memiliki pendapat tentang pertanyaan Mrs Sabine?” ujarku kesal karena sedari tadi, Justin terus saja bercanda dan melakukan hal-hal konyol yang menjadi hobinya.
“Aku dapat. Jadi, menurutku cinta adalah persahabatan …” aku menatapnya terpaku akan kalimat yang terlontar dari muludnya. Dia menatapku merengkuh wajahku lembut dengan kedua tangannya. “…cinta adalah persahabatan, ya, karena kalau seorang gadis itu tak mampu menjadi sahabatku maka dia takkan pernah bisa menjadi sosok cinta dalam hidupku, jadi cinta adalah persahabatan. Mudah sajakan, sebenarnya kata-kata itu kuambil dari salah film, kita tinggal berharap semoga saja Mrs Sabine tak pernah menontonnya,” katanya sebelum dia mengecup dahiku lembut dan lebih lama dari biasanya.
Apakah aku bisa menjadi cinta dibalik sebuah bayangan seorang sahabat karib?

 Aku menghapus air mataku dan kembali melanjudkan perjalananku mengelilingi Hyde Park yang belum terselesaikan. Aku mengganti laguku, sejujurnya lagu-lagu yang ada di iPodku ini hampir semuanya lagu slow karena itu lagu yang bisa membuat tekanan dunia luar berkurang.

Kakiku terhenti ketika mataku menatap pemandangan yang sedang tak ingin ku lihat.
sulit mengartikan apa yang ada didalam hati, pikiran dan perasaanku saat ini. Aku meremas jaket tebal yang sedang membaluti tubuhku. Mencoba menahan sesak yang kembali bersarang dalam paru-paruku, berusaha meredam perih yang tengah menyerangku 'kembali'. Tak bisa aku bohongi lagi perasaanku padamu, Just. Aku memang mencintaimu, tapi aku tak mungkin bisa memilikimu. Kau terlalu mencintainya tanpa melihat ada sosok cinta di balik bayangan seorang 'sahabat karib' selama ini.
Justin tetap berciuman dengan Selena, tanpa merasakan ada aku yang sedari tadi memperhatikan mereka. Berdiri mematung seperti orang bodoh tanpa dapat melakukan apapun.
“Saat aku sadar betapa jauhnya bintang itu untukku gapai dalam hatiku dan membuatnya tahu bahwa aku mencintainya,” gumamku. Kurasa tak ada yang dapat mendengar suaraku yang begitu kecil, lebih terdengar seperti bisikkan.
“Kau gadis terbodoh yang pernah aku kenal, Elz.” Seseorang menarikku kedalam dekapan hangatnya, membuat air mata yang sedari tadi terus ku tahan mengalir jatuh keatas telapak tanganku. Aku menggerakkan tanganku membalas pelukannya dan mencoba untuk menumpahkan kepedihanku akan semuanya.
“Kau bodoh. Mengapa kau diam saja? Harusnya kau lari dari sini.” Suaranya tertahan menahan nada kesalnya, berusaha untuk menangkanku yang terisak dalam dekapannya, menyembunyikan wajahku didada bidangnya.
“Aku sakit Rob, aku sakit.. Maafkan aku,” suaraku bergetar. Sungguh aku tak bisa mengungkapkan bagaimana rasa sakitnya dalam sebuah kalimat dengan sempurna. Hanya air mataku yang mampu membuktikan perih dan pedihku menahan luka yang terus mendalam tanpa ada betadin untuk membuatnya lebih baik, sungguh ini terlalu menyakitkan.


Aku termenung menatap kosong tanpa arah. Masih terasa nyeri yang terjadi padaku akibat kejadian kemarin. Dia tak menyadari kehadiranku.
Sekarang muncul spekulasi baru dalam pikiranku 'apakah dia memang tak pernah menganggapku ada?' Mungkinkah dia hanya melihatku dengan tatapan sebelah matanya.
Kejadian mengerikan itu terus berkutat dalam pikiranku, berputar layaknya sebuah pentas drama menyakitkan yang lebih menyentuh dari pada pentas Romeo dan Juliet.
Robert membawaku ke dalam gendongannya, dan mengantarku pulang tepat dua jam sebelum waktunya aku melakukan jadwal rutinku setiap minggu.
Aku masih mengingat perkataan Mr. Robins tentang penyakitku.
“Bagus, tak terjadi peningkatan apapun didalam kepalamu. Kau harus terus mendengarkan musik slow kebanggaanmu sebagai obat utamanya.” Ada rasa bahagia di hatiku ketika mendapati pernyataannya. Ternyata caraku cukup jitu.

Lagu slow dari iPodku terus berputar. Aku sangat menyukai lagu ini membuatku masuk dan ikut merasakan sakitnya cerita cinta sang pengarang lagu. Taman Oxford memang jarang dikunjungi tapi, itulah mengapa ini menjadi tempatku untuk menenangkan diri dari semua yang menekanku, apapun itu.
Kali ini aku tak membawa novelku. Entah mengapa aku bisa melupakannya. Sebentar lagi aku akan lulus dari high school dan akan masuk sebagai mahasiswa universitas yang pastinya aku akan memilih Oxford. Sekolah kebanggaan Keluarga William. Biasanya tiga tahun sekali akan mengadakan perjalanan laut dengan kapal revolusi titanic untuk mengunjungi Amerika lebih tepatnya New York.
Aku akan mengikuti perjalanan itu karena ini adalah moment spesial bersamaan dengan hari ulangtahunku nantinya. Aku tersentak ketika merasakan seseorang mendekapku erat.
“Hah, kau terkejud ternyata.. Apa yang sedang kau pikirkan?” Aku menghela nafas ketika aku mendengar suara ini, suara yang sangat aku kenali.

“Lepaskan aku Just,” kataku pada akhirnya setelah berdiam dalam dekapannya seperti ini.
“Baik, baik, sekarang ceritakan padaku apa yang membuatmu murung seperti itu?” Dia melompat duduk dan berbaring di pangkuanku, membimbing tanganku untuk menyentuh helai-helai rambutnya yang lembut.
“Tak ada, aku hanya memikirkan rencana untuk liburan terakhirku sebagai siswa senior high school nantinya” Aku menatapnya yang terkekeh.
“Kau tenang saja, aku sudah mendaftarkan nama kita berdua dalam keberangkatan Pearl Of Titan.” Mataku membesar mendengar perkataannya.
“Apa?” Dia kembali tertawa lebar membuatku memukul pelan kepalanya.
“Santailah, Elz. Aku sudah mengurus semuanya untuk kau, aku, Selena, dan Robert.” Aku menatapnya bingung. Untuk apa dia mempersiapkan hal tentang Robert? Bukankah mereka bermusuhan? Ah mungkin tak seburuk itu.
“Baiklah, aku menerima idemu. Kebetulan, aku juga sudah merencanakan untuk menaiki kapal itu. Revolusi terbaru dari kapal uap paling bersejarah, Titanic.” Dia tersenyum padaku.
“Mengapa kau memandangku seperti itu?” Aku menerutkan dahiku. Justin bangun dari pangkuanku dan lantar merengkuh wajahku lembut.
“Aku rasa kau aneh, Elz. Aku bisa merasakannya. Jika sekarang ada sesuatu hal yang begitu penting sedang kau sembunyikan dariku dan semua orang,” perkataannya yang sempat aku dengar sebelum dia mengecupku lembut. Aku terdiam untuk sekian detik. Hingga dia menekan kepalaku.

Alunan gitar acoustik menggema di ruang musik istana Dad. Aku mencoba untuk kembali melihat dan ingin memperbaiki hal yang salah. Cinta pertama tak berpihak padaku.
Aku tak mengerti bagaimana bisa kisah cintaku berawal dari sebuah persahabatan. Penggabungan dua jiwa yang berbeda membutuh waktu dan proses yang sangat lama.
Tapi aku tak yakin bisa menunggu Justin sampai dia benar-benar menyadari kalau aku adalah cinta tulus di balik sosok yang selama ini ia pandang sebagai 'sahabat karibnya'.
Aku sudah jatuh terlalu jauh, tak ada yang mampu membantuku untuk keluar dari sebuah lubang perih yang menguburku bersama air mataku selama ini. []


 Justin :**