BAB
2
The distinction
between the past, present and future is only a stubbornly persistent illusion.
—Albert Einstein
—Albert Einstein
Aku
berdiri dari duduk diamku selama sekitar dua puluh menit dan sebenarnya itu
cukup membuatku bosan. Pria yang hanya ku ketahui bernama Justin itu masih
tetap diam tak sedikit pun merespon perkataanku, dia masih terduduk di tempat
yang sama dan masih dengan tatapan kosong menyedihkan miliknya. Aku kembali
melirik sekilas padanya dan lantas mulai berjalan mengelilingi ruangan baja
ini. Ya ampun, aku tak pernah bisa membayangkan bagaimana seseorang yang normal
bisa tinggal di tempat mengerikan ini. Begitu tertutup.
Kaki
ku melangkah mendekati sebuah meja kecil dan mendapati sebuah buku tergeletak
di atasnya. Buku itu benar-benar menarik perhatianku. Tanganku terangkat
menyentuhnya dan buku itu berdebu. Sudah tak pernah lagi disentuh siapapun
sejak lama.
Aku
mengambilnya dan membuka halaman pertama. Aku melihat nama pria yang itu
terukir dengan indah di atas kertas usang ini. ‘Justin
Drew Bieber’. Halaman berikutnya dan aku menemukan sebuah
halaman penuh dengan tulisan tangan yang cukup rapi untuk seorang pria.
April 1st,
2009
Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidupku
dalam satu detik berikutnya bahkan tak ada satu pun yang tahu tentang itu, tapi
hari ini adalah hari di mana aku merasa hidupku baru di mulai. Hari ini, aku
bertemu dengan seorang gadis ceroboh yang polos dan manis, aku terpaku
melihatnya berlari memasukki sebuah pusat perbelanjaan, aku tak sadar jika kaki
ku ikut melangkah mengikutinya masuk ke dalam mall besar itu. Mataku menangkap
malaikat cantik itu, dia tengah berdebat dengan seorang pegawai. Aku terpaku
saat melihat sebuah senyuman manis bertengger di wajah cantiknya. Siapa dia?
Itu adalah pertanyaan yang ada di otakku, namun tak kunjung
terjawab. Sebenarnya, aku tak pernah memuji seorang gadis dalam hidupku, bahkan
tidak juga untuk ibuku. Aku sudah lama melupakan wanita sialan itu. Dia yang
sudah menghancurkan hidupku hingga aku harus menjalani hidup dalam dunia yang
gelap dan mengerikan seperti sekarang. Tapi, aku tak pernah sedikit pun
menyesal. Dengan membunuh, memakai narkoba, dan bersenang-senang bersama jalang
di luar sana aku bisa menemukan kesenanganku sendiri.
May 17th,
2009
Ya Tuhan, apa aku berjodoh dengannya? Aku tak pernah percaya
jika aku bisa bertemu lagi dengan gadis itu. Apa yang dilakukan gadis rumahan
sepertinya di tempat berbahaya seperti ini? Jika kemarin aku gagal untuk
mengetahui namanya maka sekarang aku akan melakukan tindakan pertama yang
dilakukan oleh seorang pria jika dia tertarik dengan seorang gadis.
Aku melangkah dengan pasti menghampiri gadis itu, dia
tertawa besama temannya, dia tampak mencolok dengan pakaiannya yang sungguh
berbeda dengan semua perempuan yang ada di sini, di arena balap liar. Nyaris
setiap perempuan di sini hanya memakai pakaian dalam saja, termasuk temannya.
Tapi, dia memakai jeans dan kemeja, itu manis sekali.
Matanya bersinar dengan ketulusan begitu aku sampai di
hadapannya dan dia menatapku dengan sisa-sisa senyuman di wajahnya. “Hai.” Ouh, itu terdengar bodoh. Seorang Justin
Bieber berkata ‘hai’ pada seorang gadis, percaya atau tidak itu adalah untuk
yang pertama kalinya aku bertingkah konyol di hadapan seorang gadis, sebelumnya
gadis-gadislah yang akan menghampiriku dan menawarkan diri mereka dan sekarang,
aku justru berdiri di hadapan seorang gadis dan mencoba untuk berkenalan dengan
normal. ini bodoh sekali.
“Hai.” Dia tersenyum padaku. Dan itu sudah cukup untuk
memberikan getaran aneh ke dalam hatiku. Apa yang sebenanrya sudah ia lakukan
padaku? “Aku Justin,” kataku dan mengulurkan tanganku padanya. Dia kembali
tersenyum dengan manis. Dia cantik sekali. Entah sudah untuk yang keberapa
kalinya aku memujinya dalam pikiranku.
“Aku Annelise Lawrence, Anne.” Dia membalas uluran tanganku dan aku merasakan
aliran aneh menyatu dalam darahku bersamaan dengan kulit kami yang bersentuhan.
Apa aku menyukainya? Mungkin, iya. Jika benar begitu, apa pun yang akan terjadi
nanti dia akan menjadi milikku cepat atau lambat.
Jemariku
menutup buku diary berukuran sedang ini dan lantas mengalihkan tatapanku padanya.
Pada pria bernama Justin yang masih terduduk di tempat yang sama, apa dia tak
lelah?
Aku
kembali beranjak dan memutuskan untuk duduk di hadapannya. Pandanganku bertemu
dengan matanya. Aku tersenyum padanya meski pun aku tahu aku tak akan
mendapatkan apa-apa. Aku mengambil tasku dan memasukkan buku diary ini ke
dalamnya, memutuskan untuk membawanya pulang dan melanjutkan cerita hidupnya
nanti di rumah.
“Jadi,
kau mencintainya?”
Aku
melihat sedikit perubahan di wajahnya namun dia masih tetap dalam diamnya.
“Dimana dia sekarang? Apa yang terjadi pada kalian? Apa kau menyatakan
perasaanmu padanya?”
Aku
sedikit tersentak saat tiba-tiba dia menatapku dengan tajam. Tubuhku bergerak
mundur saat melihat apa yang ia genggam di balik lekukan kakinya. Sebuah pistol.
Jantungku berpacu saat dia menodongkan pistol itu tepat di dahiku. Aku
memejamkan mataku.
“Apa
yang mau kau lakukan?”
Dengan
berani aku kembali membuka mataku dan sontak terkejut saat melihat wajahnya
sekarang tepat berada di hadapanku, menatapku dengan pandangan dinginnya, tidak
itu bukan tatapan mata yang pertama kali ia tunjukkan padaku. Apa dia marah
karena aku telah bertanya mengenai masa lalunya?
Tubuhku
kaku saat merasakan sentuhan lembut tangannya di wajahku. Perlahan aku kembali
memperhatikan perubahan pada pandangannya yang kini mulai melunak dan menatapku
dengan lembut.
“Anne.”
Untuk yang pertama kalinya setelah satu jam aku berada dalam ruangan ini dan
nyaris mati karena bosan, dia mau berbicara denganku dan itu membuatku ingin
melompat senang sekarang juga. Sangat susah membujuk seseorang yang terkena
gangguan jiwa untuk berbicara, jika keadaannya tak stabil maka aku akan
mendapatkan masalah, apalagi dia memegang pistol. Itu membuatku takut tentu
saja, selama ini belum pernah ada seorangpun yang menodongkan senjata padaku
dan hari ini tiba-tiba saja ada orang gila yang menodongkan senjata padaku,
tubuhku masih bergetar karena ulahnya. Kurasa dia memang berbahaya.
“Anne,
maafkan aku,” lirihnya. Aku menatap ke dalam matanya dan mendadak membeku
ketika dia menenggelamkan dirinya padaku, memelukku dengan erat. Jantungku
mendadak berpacu dengan kencang. “Dia pasti memaafkanmu untuk apa pun yang
sudah kau lakukan jika memang dia mencintaimu.”
“Maafkan
aku.” Dia terus mengulangi dua kataku dengan lirihan di dekat telingaku. Perlahan
aku mengangkat tanganku dan membalas pelukannya. Justin adalah seorang badboy
dulunya yang kurasa dia jatuh cinta pada gadis bernama Annelise Lawrence. Tapi,
apa yang terjadi sampai membuatnya harus terkurung di tempat seperti ini?
Justin
masih memelukku dengan erat, bahkan aku merasa jika pakaian yang kukenakan
sedikit basah karena air matanya. Setiap butuh untuk menangis sebagai ungkapan
dari emosinya, bukan hanya untuk kesedihan. “Apa kau mencintainya?”
Aku
kembali bertanya setelah terdiam cukup lama. “Maafkan aku.” Aku mendesah pelan
saat dia masih mengucapkan perkataan yang sama. Tapi, setidaknya dia sudah mau
bicara denganku untuk hari ini, kurasa ini adalah kabar baik untuk karirku di
rumah sakit ini. Aku berjanji akan membuatnya kembali menemukan dunianya yang
hilang dalam kegelapan yang ia buat sendiri. Aku berjanji.
“Aku berjanji untuk
mengembalikan apa yang hilang dalam dirimu, Justin.” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar