Selasa, 08 April 2014

LOVE #2



BAB 2
 

Aku berdiri dari duduk diamku selama sekitar dua puluh menit dan sebenarnya itu cukup membuatku bosan. Pria yang hanya ku ketahui bernama Justin itu masih tetap diam tak sedikit pun merespon perkataanku, dia masih terduduk di tempat yang sama dan masih dengan tatapan kosong menyedihkan miliknya. Aku kembali melirik sekilas padanya dan lantas mulai berjalan mengelilingi ruangan baja ini. Ya ampun, aku tak pernah bisa membayangkan bagaimana seseorang yang normal bisa tinggal di tempat mengerikan ini. Begitu tertutup.
Kaki ku melangkah mendekati sebuah meja kecil dan mendapati sebuah buku tergeletak di atasnya. Buku itu benar-benar menarik perhatianku. Tanganku terangkat menyentuhnya dan buku itu berdebu. Sudah tak pernah lagi disentuh siapapun sejak lama.
Aku mengambilnya dan membuka halaman pertama. Aku melihat nama pria yang itu terukir dengan indah di atas kertas usang ini. ‘Justin Drew Bieber’. Halaman berikutnya dan aku menemukan sebuah halaman penuh dengan tulisan tangan yang cukup rapi untuk seorang pria.

April 1st, 2009
Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidupku dalam satu detik berikutnya bahkan tak ada satu pun yang tahu tentang itu, tapi hari ini adalah hari di mana aku merasa hidupku baru di mulai. Hari ini, aku bertemu dengan seorang gadis ceroboh yang polos dan manis, aku terpaku melihatnya berlari memasukki sebuah pusat perbelanjaan, aku tak sadar jika kaki ku ikut melangkah mengikutinya masuk ke dalam mall besar itu. Mataku menangkap malaikat cantik itu, dia tengah berdebat dengan seorang pegawai. Aku terpaku saat melihat sebuah senyuman manis bertengger di wajah cantiknya. Siapa dia?
Itu adalah pertanyaan yang ada di otakku, namun tak kunjung terjawab. Sebenarnya, aku tak pernah memuji seorang gadis dalam hidupku, bahkan tidak juga untuk ibuku. Aku sudah lama melupakan wanita sialan itu. Dia yang sudah menghancurkan hidupku hingga aku harus menjalani hidup dalam dunia yang gelap dan mengerikan seperti sekarang. Tapi, aku tak pernah sedikit pun menyesal. Dengan membunuh, memakai narkoba, dan bersenang-senang bersama jalang di luar sana aku bisa menemukan kesenanganku sendiri.

May 17th, 2009
Ya Tuhan, apa aku berjodoh dengannya? Aku tak pernah percaya jika aku bisa bertemu lagi dengan gadis itu. Apa yang dilakukan gadis rumahan sepertinya di tempat berbahaya seperti ini? Jika kemarin aku gagal untuk mengetahui namanya maka sekarang aku akan melakukan tindakan pertama yang dilakukan oleh seorang pria jika dia tertarik dengan seorang gadis.
Aku melangkah dengan pasti menghampiri gadis itu, dia tertawa besama temannya, dia tampak mencolok dengan pakaiannya yang sungguh berbeda dengan semua perempuan yang ada di sini, di arena balap liar. Nyaris setiap perempuan di sini hanya memakai pakaian dalam saja, termasuk temannya. Tapi, dia memakai jeans dan kemeja, itu manis sekali.
Matanya bersinar dengan ketulusan begitu aku sampai di hadapannya dan dia menatapku dengan sisa-sisa senyuman di wajahnya. “Hai.” Ouh, itu terdengar bodoh. Seorang Justin Bieber berkata ‘hai’ pada seorang gadis, percaya atau tidak itu adalah untuk yang pertama kalinya aku bertingkah konyol di hadapan seorang gadis, sebelumnya gadis-gadislah yang akan menghampiriku dan menawarkan diri mereka dan sekarang, aku justru berdiri di hadapan seorang gadis dan mencoba untuk berkenalan dengan normal. ini bodoh sekali.
“Hai.” Dia tersenyum padaku. Dan itu sudah cukup untuk memberikan getaran aneh ke dalam hatiku. Apa yang sebenanrya sudah ia lakukan padaku? “Aku Justin,” kataku dan mengulurkan tanganku padanya. Dia kembali tersenyum dengan manis. Dia cantik sekali. Entah sudah untuk yang keberapa kalinya aku memujinya dalam pikiranku.
“Aku Annelise Lawrence, Anne.”  Dia membalas uluran tanganku dan aku merasakan aliran aneh menyatu dalam darahku bersamaan dengan kulit kami yang bersentuhan. Apa aku menyukainya? Mungkin, iya. Jika benar begitu, apa pun yang akan terjadi nanti dia akan menjadi milikku cepat atau lambat.

Jemariku menutup buku diary berukuran sedang ini dan lantas mengalihkan tatapanku padanya. Pada pria bernama Justin yang masih terduduk di tempat yang sama, apa dia tak lelah?
Aku kembali beranjak dan memutuskan untuk duduk di hadapannya. Pandanganku bertemu dengan matanya. Aku tersenyum padanya meski pun aku tahu aku tak akan mendapatkan apa-apa. Aku mengambil tasku dan memasukkan buku diary ini ke dalamnya, memutuskan untuk membawanya pulang dan melanjutkan cerita hidupnya nanti di rumah.
“Jadi, kau mencintainya?”
Aku melihat sedikit perubahan di wajahnya namun dia masih tetap dalam diamnya. “Dimana dia sekarang? Apa yang terjadi pada kalian? Apa kau menyatakan perasaanmu padanya?”
Aku sedikit tersentak saat tiba-tiba dia menatapku dengan tajam. Tubuhku bergerak mundur saat melihat apa yang ia genggam di balik lekukan kakinya. Sebuah pistol. Jantungku berpacu saat dia menodongkan pistol itu tepat di dahiku. Aku memejamkan mataku.
“Apa yang mau kau lakukan?”
Dengan berani aku kembali membuka mataku dan sontak terkejut saat melihat wajahnya sekarang tepat berada di hadapanku, menatapku dengan pandangan dinginnya, tidak itu bukan tatapan mata yang pertama kali ia tunjukkan padaku. Apa dia marah karena aku telah bertanya mengenai masa lalunya?
Tubuhku kaku saat merasakan sentuhan lembut tangannya di wajahku. Perlahan aku kembali memperhatikan perubahan pada pandangannya yang kini mulai melunak dan menatapku dengan lembut.
“Anne.” Untuk yang pertama kalinya setelah satu jam aku berada dalam ruangan ini dan nyaris mati karena bosan, dia mau berbicara denganku dan itu membuatku ingin melompat senang sekarang juga. Sangat susah membujuk seseorang yang terkena gangguan jiwa untuk berbicara, jika keadaannya tak stabil maka aku akan mendapatkan masalah, apalagi dia memegang pistol. Itu membuatku takut tentu saja, selama ini belum pernah ada seorangpun yang menodongkan senjata padaku dan hari ini tiba-tiba saja ada orang gila yang menodongkan senjata padaku, tubuhku masih bergetar karena ulahnya. Kurasa dia memang berbahaya.
“Anne, maafkan aku,” lirihnya. Aku menatap ke dalam matanya dan mendadak membeku ketika dia menenggelamkan dirinya padaku, memelukku dengan erat. Jantungku mendadak berpacu dengan kencang. “Dia pasti memaafkanmu untuk apa pun yang sudah kau lakukan jika memang dia mencintaimu.”
“Maafkan aku.” Dia terus mengulangi dua kataku dengan lirihan di dekat telingaku. Perlahan aku mengangkat tanganku dan membalas pelukannya. Justin adalah seorang badboy dulunya yang kurasa dia jatuh cinta pada gadis bernama Annelise Lawrence. Tapi, apa yang terjadi sampai membuatnya harus terkurung di tempat seperti ini?
Justin masih memelukku dengan erat, bahkan aku merasa jika pakaian yang kukenakan sedikit basah karena air matanya. Setiap butuh untuk menangis sebagai ungkapan dari emosinya, bukan hanya untuk kesedihan. “Apa kau mencintainya?”
Aku kembali bertanya setelah terdiam cukup lama. “Maafkan aku.” Aku mendesah pelan saat dia masih mengucapkan perkataan yang sama. Tapi, setidaknya dia sudah mau bicara denganku untuk hari ini, kurasa ini adalah kabar baik untuk karirku di rumah sakit ini. Aku berjanji akan membuatnya kembali menemukan dunianya yang hilang dalam kegelapan yang ia buat sendiri. Aku berjanji.
“Aku berjanji untuk mengembalikan apa yang hilang dalam dirimu, Justin.” []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar