BAB
5
The
past is
the way to future —Valleria Russel
Justin
tersenyum tipis dan hatiku bergetar saat melihat senyuman itu. Apa itu senyuman
yang ia berikan pada Anne, dulu? Aku balas tersenyum padanya. “Jadi, apakah aku
orang pertama yang mendapatkan senyuman manismu setelah sekian lama kau berada
di rumah sakit ini?”
“Ya,
kau orang pertama yang mendapatkannya selama aku ada di sini,” ucapnya yang
mampu membuatku terkekeh. Ya ampun, aku tak percaya ini, kami sedang berbicara,
Justin mau bercerita padaku dan itu seperti mendapatkan hadiah tak terduga. Ini
seperti menang dorprice. “Aku merasa
sangat tersanjung kalau begitu.” Aku mengusap lengan kekarnya pelan dan lantas
berdiri dari posisi dudukku dan lantas memberesikan barang-barangku. Aku sudah
duduk nyaris setengah hari penuh tanpa sarapan pagi di sini untuk mendengarkan
ceritanya dan sekarang aku merasakannya jika perutku sedang berdisko ria.
“Kau
akan pergi?” Aku menoleh kembali menatapnya setelah selesai membereskan
keperluanku. Aku menemukan tatapan kecewa di matanya dan entah mengapa itu
membuatku bahagia. “Ya, aku harus makan siang sekarang dan nanti akan ada suster
yang membawakan makan siangmu, kau harus menghabiskannya.” Aku kembali
memberikan senyum lembutku padanya.
“Tidak,
aku tak ingin makan jika bukan dari tanganmu,” ujarnya kembali dan itu cukup
membuatku terkejut. Apa ini benar-benar nyata? Justin Bieber ingin aku
menyuapinya kembali? “Kau ingin makan dari tanganku?” Dahiku berkerut saat aku
menanyakan hal itu padanya. Justin menjawab pertanyaanku dengan anggukan pasti
kepalanya. Aku menghela nafas dan lantas membalas anggukan kepalanya dengan hal
yang sama. “Baiklah, aku akan kembali kemari nanti setelah aku selesai makan
siang. Tetap baik-baik di sini sampai aku kembali nanti, oke?” Aku tersenyum
tipis dan lantas berjalan meninggalkan ruangan Justin. Ya ampun, aku lapar
sekali sekarang.
“Maaf,
Ms. Pereira, ada seseorang yang sedang menunggu ada di café sebrang jalan.” Aku
menatap kearah resepsionis itu dan lantas kembali melanjutkan langkah kaki ku
menuju café di sebrang jalan. Siapa yang sedang menungguku?
Aku
mendorong pintu café dan lantas mengedarkan pandanganku kepenjuru ruangan
bernuansa cokelat ini. Aku tersenyum lebar saat menangkap Andreas terduduk di salah
satu kursi café dekat dengan kaca. Dia melambaikan tangannya padaku. Aku
berjalan kearahnya dan lantas duduk tepat di hadapannya. “Apa yang sedang kau
lakukan di sini, An?”
“Tidak
ada, semalam setelah kau pergi ke kamarmu, aku memiliki obrolan yang cukup
menyenangkan dengan ayahmu dan aku juga bertanya mengenai dimana kau bekerja,
lalu aku memutuskan untuk kembali menemuimu. Karena kemarin ada yang lupa
kutanyakan padamu,” ucapnya panjang lebar. Aku tersenyum lembut padanya. “Dan
sekarang, kau bisa menanyakan apa pun padaku.”
“Apa
yang membuatmu datang kemari, Nic? Apa dia mengizinkanmu pergi?” Darahku
berdesir saat Andreas menanyakan hal yang sama sekali tak ingin ku bahas lagi. Tidak,
aku ingin melupakannya, dia bukan sesuatu yang pantas untuk kuingat.
“Aku
pergi kemari karena ingin melanjutkan hidupku, hanya itu dan ya semuanya
baik-baik saja.” Alisnya terangkat menatapku curiga. Bodoh, dia sudah
mengenalku sejak kecil dan mana mungkin dia percaya begitu saja dengan elakkan
amatir seperti tadi itu. “Kau tak akan pernah bisa berbohong padaku. Jadi,
katakan padaku apa yang terjadi sesungguhnya. Bukankah kalian saling mencintai
dan tak terpisahkan?” Aku memutar bola mataku, itu lagu lama yang benar-benar
memuakkan. Aku benar-benar ingin melupakan semua tentang masa laluku. Aku ingin
memulai yang baru meski pun belum sedikit pun menyelesaikan yang lama. Sial.
“Kami
hanya memutuskan untuk melangkah masing-masing dan berharap mendapatkan sesuatu
yang lebih baik. Kau tahu, awalnya aku tak pernah ingin ini berakhir
menyedihkan seperti ini, tapi akhirnya aku merasa jika memang inilah yang
harusnya kami jalani sejak lama, sejak dulu. Harusnya memang tak pernah ada aku
dan dia, harusnya tak ada kami sejak awal. Aku dan dia hanya bisa menyakiti
jika hubungan kami dipertahankan dan akhirnya dia yang memintaku untuk pergi
menjauh dari hidupnya dan aku lakukan itu.” Aku mengusap air mata yang akan
segera jatuh dari mataku.
“Apa
maksudmu dengan ‘hanya bisa menyakiti’? Setahuku, kalian saling mencintai kan.”
Aku menyeruput minuman dingin rasa jeruk yang dipesankan Andreas untukku. Dan
lantas memasukkan potongan kecil daging sapi panggang ke dalam mulutku. Aku tak
pernah menceritakan tentang apa yang telah terjadi padaku dan dia, bahkan tidak
juga dengan ibuku. Tapi, aku butuh seseorang untuk berbagi dan satu-satunya
orang yang kupercayai untuk itu hanyalah Andreas. “Semuanya bisa berubah dalam
sekali kedipan mata, hubungan kami memburuk satu tahun lalu saat aku juga
sedang stress memikirkan tentang tugas akhir semester kuliah. Mrs. Choi yang
semula tak ambil pusing dengan hubungan kami tiba-tiba masuk dan mencoba dengan
sekuat tenaga untuk mendepakku dari kehidupan anak laki-lakinya. Sejak saat
itulah semuanya memburuk, yang membuatku sedih dan benci pernah kenal dengannya
karena dia tak sama sekali mencoba untuk mempertahankan hubungan kami, dia
seolah angkat tangan dan setuju saat dia dipasangkan dengan gadis lain yang
tentu saja lebih segala-galanya dibandingkan denganku . . .” aku kembali
menghapus air mata yang mulai membanjiri wajahku. “ . . . kau tak akan percaya
jika kusebutkan siapa gadis itu. Seseorang yang selama ini menjadi bagian dari
pertemanan kita.”
“Hye
Na,” lirih Andreas yang kubalas dengan anggukan kepalaku. “Aku tak sama sekali
tahu apa yang bisa kulakukan untuk menangani rasa sakitku waktu itu,
satu-satunya yang kutemukan dalam pikiranku adalah lari dan Soeul dan memulai
semuanya dari awal lagi. Kau tak akan bisa bayangkan bagaimana sakitnya jadi
aku kan. Jangan dibayangkan, aku bahkan tak ingin mengakui jika aku adalah
salah satu korban pengkhianatan teman dekat,” ujarku.
“Aku
mengerti, kurasa jika aku berada di posisimu waktu itu, aku pun juga akan lari
dan tak akan pernah kembali.” Aku tersenyum padanya. “Tapi, aku juga tak
mungkin lari lalu tak kembali, sesekali aku akan pulang, apa kau lupa jika aku
memiliki seorang ibu di sana.” Kami terkikik pelan.
Aku
kembali memasukkan potongan daging sapi ke dalam mulutku dan menyeuput minuman
dingin yang menyenangkan di hari yang cukup panas seperti ini. “Baiklah,
lupakan tentang masa lalu. Sekarang, aku ingin bertanya tentang jenis pasien
apa yang sedang kau tangani?”
Aku
mendongak menatapnya kembali dan lantas membersihkan mulutku dengan serbet. “Namanya
Justin, dia pria yang rapuh, dulunya mantan bad
boy yang terkenal di New York. Dia mengalami depresi yang berada pada
tingkat yang sangat tinggi, dan aku yakin dia adalah salah satu dari tipekal
yang sering merasa dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya bersama gadis yang
ia cintai. Yang dia pikir, gadis itu adalah yang pertama dan juga yang
terakhirnya. Dia tak memiliki hidup yang lebih beruntung dari pada kita, dia
adalah korban pengabaian orangtua, dia berasal dari keluarga yang keadaannya
jauh lebih mengerikan dari keadaan keluargaku, An. Aku merasa ada sesuatu dalam
hatiku yang membuat aku begitu ingin membantunya keluar dari ruangan gelap yang
selama ini ia tinggali. Apa kau bisa membantuku? Kurasa aku membutuhkan
bantuanmu,” kataku. Andreas tampak berpikir dan lantas mengangguk ragu.
“Apa
yang bisa kulakukan untukmu?”
“Kau
bisa melacak keberadaan orangtuanya, mungkin ayahnya atau ibunya.” Aku
tersenyum padanya dan lantas kami berjalan bersama menuju kembali ke rumah
sakit, aku masing memiliki beberapa hal yang harus kuselesaikan. Andreas hanya
membantuku untuk menyebrang dan lantas dia berjalan pergi meninggalkanku.
Aku
melangkah memasukki pintu kaca rumah sakit dan lantas berjalan menuju lift. Aku
bertemu dengan seorang gadis dengan jas yang sama denganku. Dia tersenyum
dengan ramah. Lalu, beberapa detik setelahnya kami sudah berada dalam lift
dengan lantai yang sama. “Apa kau Nichole Pereira, si dokter baru?”
Aku
meliriknya melalui sudut mataku dan melihatnya sedang menatap kearah depan. “Ya,
itu aku.”
“Aku
Melanie Parker. Dokter yang ada di bagian dalam, maksudku penyakit dalam. Well,
senang bertemu denganmu, Nic, semoga kau baik-baik saja bersama singa tersesat
itu.” Gadis itu mengerlingkan matanya padaku dan lantas melangkah keluar lebih
dulu dari pada aku. Dahiku berkerut saat memikirka ucapannya. Apa yang
dimaksudnya dengan singa tersesat adalah Justin? Gila, aku tak percaya ada
seorang dokter sepertinya, sama sekali tak memiliki sopan dan santun yang baik.
Tubuhku
nyaris terhuyung kebelakang karena terkejut saat seorang suster dengan wajah
paniknya menghampiriku. “Ya Tuhan, dokter, untunglah Anda cepat kembali, Mr.
Bieber, dia sedang mengamuk dan mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri. Aku
tak bisa menanganinya.” Tubuhku menegang dan kaki ku berlari kecil menuju pintu
kamar ruang Justin. Aku bisa mendengar teriakkannya dan itu mengirimkan sesuatu
yang membuatku merasa perih dalam hatiku. Satu teriakkannya mampu mengirimkan
sesuatu dengan begitu keras dan nyata ke dalam diriku.
Aku
membuka pintu dan lantas kembali berlari menuju seorang pria yang blum pernah
kutemui selama tiga hari kebersamaan kami. Hatiku kembali teriris saat dia
kembali berteriak dan terus memukulkan tangannya ke dinding, menendangnya
dengan kakinya, dan menghentakkan kepalanya dengan keras. Aku berhasil menarik
tangannya dan lantas menariknya ke dalam pelukkanku. Aku melingkarkan tanganku
ke lehernya dengan erat, sementara dia masih meronta dan aku merasakan sakitnya
saat dia meremas rambutku cukup keras untuk membuatku menahan ringisan. Tidak,
dia sama sekali bukan Justin yang kukenal. Apakah sebegitu besarnya pengaruh
gadis itu untuknya? Annelise, aku benar-benar sialan. Aku mengumpat dalam
hatiku.
“Justin,
dengarkan aku, semuanya hanya bayangan yang harus kau lawan, semua itu hanyalah
wujud dari rasa bersalahmu yang harusnya tak menjadi salahmu sedikit pun. Kau
harus melawannya, jangan biarkan dirimu kalah dari bayang-bayang itu. Dengarkan
aku, kau tak boleh membiarkan dirimu kalah dari bayangan itu. kau harus melawan
mereka dan mengusir mereka dari hidupmu, semua itu bukan salahmu, kau tak
bersalah, Justin. Semuanya baik-baik saja.” Aku mengusap punggungnya dan memeluknya
dengan erat. Perlahan aku merasakan jika tubuhnya melemah dan lantas bersandar
sepenuhnya padaku. Dia berat sekali. Aku menarik nafas perlahan dan mencoba
untuk menenangkan perasaanku. Tiba-tiba aku merasa gugup. Ini aneh sekali.
Aku
membaringkan tubuhnya kembali keatas tempat tidurnya, aku ingin menangis saat
melihat keadaannya seperti ini. Inikah sosoknya yang membuat takut semua orang?
Harusnya tak seperti itu. Dia tidak menakutkan, baiklah sedikit menakutkan,
hanya sedikit, menurutku dia lebih pantas untuk dikasihani. Dia terlihat sangat
lemah dan menyedihkan tadi.
Aku
memanggil suster dan memintanya untuk membawakan kasa, kapas dan juga alkohol
untukku. Aku duduk di samping tubuh tinggi nan indahnya, menatap wajahnya
dengan teliti. Dia punya bibir yang indah, rahang yang terpahat dengan
sempurna, hidung mancung. Aku baru sadar jika dia adalah pria yang tampan. Oh jangan konyol, Nichole. Hilangkan
pikiran seperti itu dari kepala cantikmu.
Aku
menggumamkan terima kasih pada suster yang telah membawakan apa-apa yang telah
kuminta tadi. Aku mengambil tangan kanan Justin yang membiru, dan juga berdarah
karena beradu beberapa kali dengan dinding. Membersihkannya dengan alcohol dan
membungkusnya dengan kasa. aku melanjutkan tugasku ke kepalanya dan yang
terakhir adalah kakinya. Aku tak percaya jika dia akan melakukan hal semacam
ini. Untunglah tak ada satu pun benda tajam di sini, jika ada aku tak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Aku
mengecup dahinya dan menaikkan selimut sampai ke dadanya. “Mimpi indah,”
lirihku di dekat telinganya dan beranjak berdiri. Langkahku terhenti saat seseorang
menahan tanganku. Aku berbalik dan melihat Justin dengan matanya yang sudah
terbuka. Tubuhku mendadak menegang, apa dia tahu jika aku mengecup dahinya?
Bodoh, apa yang sudah kau lakukan, Nichole, kau bodoh sekali.
“Jangan
pergi, kumohon, jangan pergi, jangan pergi, jangan pergi . . .” Aku terus
mendengar kata-kata yang sama keluar dari mulutnya. Aku kembali duduk di
tempatku tadi. Balas menggenggam tangannya dengan erat. Berharap dapat
menenangkannya. “Tidak, aku tak akan pergi, aku akan tetap di sini, tenanglah,”
ujarku pelan. Tangannya menarikku dan aku menurutinya, hingga aku kembali
merasakan hal aneh itu dalam hatiku saat kepalaku menyentuh dada bidangnya.
“Jangan pergi, Anne.” Air mataku mengalir ketika dia mengucapkan nama gadis itu
lagi. Annelise, kau benar-benar sialan. Kau lihat, karenamu kehidupannya
hancur. Aku membenci dirimu. Seandainya kau masih hidup, kau harus bertanggung
jawab untuk semua kekacauan yang telah kua buat dalam hidup Justin.
Aku
menghapus air mataku dan berjalan pelan meninggalkan ruangan Justin. Aku
menitipkan map biru pada suster di rersepsionis dan aku akan langsung menuju ke
rumah. Aku benar-benar lelah dan nyaris tertidur dalam pelukkan Justin yang
terasa sangat nyaman dan hangat. Aku suka ada di sana. Itu terasa seperti
tempat di mana seharusnya aku pulang.
Aku
sampai di rumah dua puluh menit kemudian, memasukki kamar mandi tercintaku dan
menikmati Jacuzzi dengan busa tebal yang sudah menungguku.
Aku
memejamkan mataku. Dalam sekejab aku sudah kembali berada di tengah-tengah
ruangan yang sangat ku kenal. Tentu saja, ini ruang tamu keluarga Choi. Aku
berdiri di sudut ruangan, menyaksikan seorang gadis yang serupa denganku tengah
menangis tersedu. “Jadi, inikah akhir bahagia yang sering kau janjikan padaku?
Seperti inikah?”
“Akhir
bahagia hanya ada dalam drama televisi, Nichole. Ada yang datang untuk pergi
dan ada yang pergi untuk kembali. dan kurasa aku adalah seseorang yang
ditakdirkan datang untuk pergi, mengertilah, Nichole. Kita tak akan mungkin
menjalani ini lagi.” Pria itu mengalihkan tatapannya dari gadis itu. Hatiku
kembali tercabik saat mendengar dengan jelas percakapan itu terulang dalam
pikiranku.
“Tahu
apa kau tentang takdir, Oppa? Kau tak sama sekali pantas untuk membahas
mengenai hal seperti itu. kau berlagak sok suci di hadapanku dan berkoar
tentang takdir. Persetan dengan semua itu. Jika memang kau ingin aku pergi,
baik aku akan pergi dan aku juga ingin kau untuk tak pernah kembali lagi dalam
hidupku. Semoga kau bahagia dengannya.”
Mataku
terbuka dengan nafas memburu dan menyadari jika semua itu hanyalah mimpi buruk.
Ya ampun, harusnya aku tak boleh memimpikan masa laluku, aku harus menjauh dari
semua yang berhubungan dengan keluarga Choi. Aku akan menutup rapat lukaku,
biarkan hanya aku yang tahu, dan dia memang benar bukan seseorang yang
ditakdirkan denganku. Aku tidak ditakdirkan bersama dengan Siwon Choi. Anak
bungsu keluarga Choi, salah satu dari keluarga terkaya di sana. Pria paling
tampan sebelum aku bertemu dengan Justin. Ouh sial, lupakan itu, Nichole, ingat
kau harus melupakannya. Dia bukan sesuatu yang pantas untuk kau ingat.
Aku
mengalihkan tatapanku pada jam kecil yanga ada di westafel dan lantas melotot
saat melihat sekarang sudah jam delapan malam. Aku tertidur cukup lama.
Pikiranku
kembali melayang pada Justin. Apa dia baik-baik saja? Apa semuanya terkendali?
Aku mengambil iPhoneku dan menghubungi suster Danielle, berharap tebakkanku
benar jika dia akan bertugas sampai jam sepuluh nanti.
“Selamat
malam, Dokter.”
“Malam,
apa Justin baik-baik saja?”
“Tentu,
dia masih dalam keadaan stabil. Aku tak menyangka kau bisa menenangkannya.
Selama ini belum ada dokter yang bisa menenangkannya sebaik dirimu. Mereka akan
langsung memeberikan suntikkan penenang untuk membuat pasien itu tertidur.” Aku
terkekeh pelan.
“Sebenarnya,
itu bukanlah solusi yang baik untuk menangangi seorang pasien sejenis Justin.
Baiklah, terima kasih unuk informasinya dan selamat malam.”
“Selamat
malam, Dok.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar