Rabu, 16 April 2014

LOVE #5



BAB 5
The past is the way to future —Valleria Russel




Justin tersenyum tipis dan hatiku bergetar saat melihat senyuman itu. Apa itu senyuman yang ia berikan pada Anne, dulu? Aku balas tersenyum padanya. “Jadi, apakah aku orang pertama yang mendapatkan senyuman manismu setelah sekian lama kau berada di rumah sakit ini?”
“Ya, kau orang pertama yang mendapatkannya selama aku ada di sini,” ucapnya yang mampu membuatku terkekeh. Ya ampun, aku tak percaya ini, kami sedang berbicara, Justin mau bercerita padaku dan itu seperti mendapatkan hadiah tak terduga. Ini seperti menang dorprice. “Aku merasa sangat tersanjung kalau begitu.” Aku mengusap lengan kekarnya pelan dan lantas berdiri dari posisi dudukku dan lantas memberesikan barang-barangku. Aku sudah duduk nyaris setengah hari penuh tanpa sarapan pagi di sini untuk mendengarkan ceritanya dan sekarang aku merasakannya jika perutku sedang berdisko ria.
“Kau akan pergi?” Aku menoleh kembali menatapnya setelah selesai membereskan keperluanku. Aku menemukan tatapan kecewa di matanya dan entah mengapa itu membuatku bahagia. “Ya, aku harus makan siang sekarang dan nanti akan ada suster yang membawakan makan siangmu, kau harus menghabiskannya.” Aku kembali memberikan senyum lembutku padanya.
“Tidak, aku tak ingin makan jika bukan dari tanganmu,” ujarnya kembali dan itu cukup membuatku terkejut. Apa ini benar-benar nyata? Justin Bieber ingin aku menyuapinya kembali? “Kau ingin makan dari tanganku?” Dahiku berkerut saat aku menanyakan hal itu padanya. Justin menjawab pertanyaanku dengan anggukan pasti kepalanya. Aku menghela nafas dan lantas membalas anggukan kepalanya dengan hal yang sama. “Baiklah, aku akan kembali kemari nanti setelah aku selesai makan siang. Tetap baik-baik di sini sampai aku kembali nanti, oke?” Aku tersenyum tipis dan lantas berjalan meninggalkan ruangan Justin. Ya ampun, aku lapar sekali sekarang.
“Maaf, Ms. Pereira, ada seseorang yang sedang menunggu ada di café sebrang jalan.” Aku menatap kearah resepsionis itu dan lantas kembali melanjutkan langkah kaki ku menuju café di sebrang jalan. Siapa yang sedang menungguku?

Aku mendorong pintu café dan lantas mengedarkan pandanganku kepenjuru ruangan bernuansa cokelat ini. Aku tersenyum lebar saat menangkap Andreas terduduk di salah satu kursi café dekat dengan kaca. Dia melambaikan tangannya padaku. Aku berjalan kearahnya dan lantas duduk tepat di hadapannya. “Apa yang sedang kau lakukan di sini, An?”
“Tidak ada, semalam setelah kau pergi ke kamarmu, aku memiliki obrolan yang cukup menyenangkan dengan ayahmu dan aku juga bertanya mengenai dimana kau bekerja, lalu aku memutuskan untuk kembali menemuimu. Karena kemarin ada yang lupa kutanyakan padamu,” ucapnya panjang lebar. Aku tersenyum lembut padanya. “Dan sekarang, kau bisa menanyakan apa pun padaku.”
“Apa yang membuatmu datang kemari, Nic? Apa dia mengizinkanmu pergi?” Darahku berdesir saat Andreas menanyakan hal yang sama sekali tak ingin ku bahas lagi. Tidak, aku ingin melupakannya, dia bukan sesuatu yang pantas untuk kuingat.
“Aku pergi kemari karena ingin melanjutkan hidupku, hanya itu dan ya semuanya baik-baik saja.” Alisnya terangkat menatapku curiga. Bodoh, dia sudah mengenalku sejak kecil dan mana mungkin dia percaya begitu saja dengan elakkan amatir seperti tadi itu. “Kau tak akan pernah bisa berbohong padaku. Jadi, katakan padaku apa yang terjadi sesungguhnya. Bukankah kalian saling mencintai dan tak terpisahkan?” Aku memutar bola mataku, itu lagu lama yang benar-benar memuakkan. Aku benar-benar ingin melupakan semua tentang masa laluku. Aku ingin memulai yang baru meski pun belum sedikit pun menyelesaikan yang lama. Sial.
“Kami hanya memutuskan untuk melangkah masing-masing dan berharap mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Kau tahu, awalnya aku tak pernah ingin ini berakhir menyedihkan seperti ini, tapi akhirnya aku merasa jika memang inilah yang harusnya kami jalani sejak lama, sejak dulu. Harusnya memang tak pernah ada aku dan dia, harusnya tak ada kami sejak awal. Aku dan dia hanya bisa menyakiti jika hubungan kami dipertahankan dan akhirnya dia yang memintaku untuk pergi menjauh dari hidupnya dan aku lakukan itu.” Aku mengusap air mata yang akan segera jatuh dari mataku.
“Apa maksudmu dengan ‘hanya bisa menyakiti’? Setahuku, kalian saling mencintai kan.” Aku menyeruput minuman dingin rasa jeruk yang dipesankan Andreas untukku. Dan lantas memasukkan potongan kecil daging sapi panggang ke dalam mulutku. Aku tak pernah menceritakan tentang apa yang telah terjadi padaku dan dia, bahkan tidak juga dengan ibuku. Tapi, aku butuh seseorang untuk berbagi dan satu-satunya orang yang kupercayai untuk itu hanyalah Andreas. “Semuanya bisa berubah dalam sekali kedipan mata, hubungan kami memburuk satu tahun lalu saat aku juga sedang stress memikirkan tentang tugas akhir semester kuliah. Mrs. Choi yang semula tak ambil pusing dengan hubungan kami tiba-tiba masuk dan mencoba dengan sekuat tenaga untuk mendepakku dari kehidupan anak laki-lakinya. Sejak saat itulah semuanya memburuk, yang membuatku sedih dan benci pernah kenal dengannya karena dia tak sama sekali mencoba untuk mempertahankan hubungan kami, dia seolah angkat tangan dan setuju saat dia dipasangkan dengan gadis lain yang tentu saja lebih segala-galanya dibandingkan denganku . . .” aku kembali menghapus air mata yang mulai membanjiri wajahku. “ . . . kau tak akan percaya jika kusebutkan siapa gadis itu. Seseorang yang selama ini menjadi bagian dari pertemanan kita.”
“Hye Na,” lirih Andreas yang kubalas dengan anggukan kepalaku. “Aku tak sama sekali tahu apa yang bisa kulakukan untuk menangani rasa sakitku waktu itu, satu-satunya yang kutemukan dalam pikiranku adalah lari dan Soeul dan memulai semuanya dari awal lagi. Kau tak akan bisa bayangkan bagaimana sakitnya jadi aku kan. Jangan dibayangkan, aku bahkan tak ingin mengakui jika aku adalah salah satu korban pengkhianatan teman dekat,” ujarku.
“Aku mengerti, kurasa jika aku berada di posisimu waktu itu, aku pun juga akan lari dan tak akan pernah kembali.” Aku tersenyum padanya. “Tapi, aku juga tak mungkin lari lalu tak kembali, sesekali aku akan pulang, apa kau lupa jika aku memiliki seorang ibu di sana.” Kami terkikik pelan.
Aku kembali memasukkan potongan daging sapi ke dalam mulutku dan menyeuput minuman dingin yang menyenangkan di hari yang cukup panas seperti ini. “Baiklah, lupakan tentang masa lalu. Sekarang, aku ingin bertanya tentang jenis pasien apa yang sedang kau tangani?”
Aku mendongak menatapnya kembali dan lantas membersihkan mulutku dengan serbet. “Namanya Justin, dia pria yang rapuh, dulunya mantan bad boy yang terkenal di New York. Dia mengalami depresi yang berada pada tingkat yang sangat tinggi, dan aku yakin dia adalah salah satu dari tipekal yang sering merasa dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya bersama gadis yang ia cintai. Yang dia pikir, gadis itu adalah yang pertama dan juga yang terakhirnya. Dia tak memiliki hidup yang lebih beruntung dari pada kita, dia adalah korban pengabaian orangtua, dia berasal dari keluarga yang keadaannya jauh lebih mengerikan dari keadaan keluargaku, An. Aku merasa ada sesuatu dalam hatiku yang membuat aku begitu ingin membantunya keluar dari ruangan gelap yang selama ini ia tinggali. Apa kau bisa membantuku? Kurasa aku membutuhkan bantuanmu,” kataku. Andreas tampak berpikir dan lantas mengangguk ragu.
“Apa yang bisa kulakukan untukmu?”
“Kau bisa melacak keberadaan orangtuanya, mungkin ayahnya atau ibunya.” Aku tersenyum padanya dan lantas kami berjalan bersama menuju kembali ke rumah sakit, aku masing memiliki beberapa hal yang harus kuselesaikan. Andreas hanya membantuku untuk menyebrang dan lantas dia berjalan pergi meninggalkanku.
Aku melangkah memasukki pintu kaca rumah sakit dan lantas berjalan menuju lift. Aku bertemu dengan seorang gadis dengan jas yang sama denganku. Dia tersenyum dengan ramah. Lalu, beberapa detik setelahnya kami sudah berada dalam lift dengan lantai yang sama. “Apa kau Nichole Pereira, si dokter baru?”
Aku meliriknya melalui sudut mataku dan melihatnya sedang menatap kearah depan. “Ya, itu aku.”
“Aku Melanie Parker. Dokter yang ada di bagian dalam, maksudku penyakit dalam. Well, senang bertemu denganmu, Nic, semoga kau baik-baik saja bersama singa tersesat itu.” Gadis itu mengerlingkan matanya padaku dan lantas melangkah keluar lebih dulu dari pada aku. Dahiku berkerut saat memikirka ucapannya. Apa yang dimaksudnya dengan singa tersesat adalah Justin? Gila, aku tak percaya ada seorang dokter sepertinya, sama sekali tak memiliki sopan dan santun yang baik.
Tubuhku nyaris terhuyung kebelakang karena terkejut saat seorang suster dengan wajah paniknya menghampiriku. “Ya Tuhan, dokter, untunglah Anda cepat kembali, Mr. Bieber, dia sedang mengamuk dan mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri. Aku tak bisa menanganinya.” Tubuhku menegang dan kaki ku berlari kecil menuju pintu kamar ruang Justin. Aku bisa mendengar teriakkannya dan itu mengirimkan sesuatu yang membuatku merasa perih dalam hatiku. Satu teriakkannya mampu mengirimkan sesuatu dengan begitu keras dan nyata ke dalam diriku.
Aku membuka pintu dan lantas kembali berlari menuju seorang pria yang blum pernah kutemui selama tiga hari kebersamaan kami. Hatiku kembali teriris saat dia kembali berteriak dan terus memukulkan tangannya ke dinding, menendangnya dengan kakinya, dan menghentakkan kepalanya dengan keras. Aku berhasil menarik tangannya dan lantas menariknya ke dalam pelukkanku. Aku melingkarkan tanganku ke lehernya dengan erat, sementara dia masih meronta dan aku merasakan sakitnya saat dia meremas rambutku cukup keras untuk membuatku menahan ringisan. Tidak, dia sama sekali bukan Justin yang kukenal. Apakah sebegitu besarnya pengaruh gadis itu untuknya? Annelise, aku benar-benar sialan. Aku mengumpat dalam hatiku.
“Justin, dengarkan aku, semuanya hanya bayangan yang harus kau lawan, semua itu hanyalah wujud dari rasa bersalahmu yang harusnya tak menjadi salahmu sedikit pun. Kau harus melawannya, jangan biarkan dirimu kalah dari bayang-bayang itu. Dengarkan aku, kau tak boleh membiarkan dirimu kalah dari bayangan itu. kau harus melawan mereka dan mengusir mereka dari hidupmu, semua itu bukan salahmu, kau tak bersalah, Justin. Semuanya baik-baik saja.” Aku mengusap punggungnya dan memeluknya dengan erat. Perlahan aku merasakan jika tubuhnya melemah dan lantas bersandar sepenuhnya padaku. Dia berat sekali. Aku menarik nafas perlahan dan mencoba untuk menenangkan perasaanku. Tiba-tiba aku merasa gugup. Ini aneh sekali.
Aku membaringkan tubuhnya kembali keatas tempat tidurnya, aku ingin menangis saat melihat keadaannya seperti ini. Inikah sosoknya yang membuat takut semua orang? Harusnya tak seperti itu. Dia tidak menakutkan, baiklah sedikit menakutkan, hanya sedikit, menurutku dia lebih pantas untuk dikasihani. Dia terlihat sangat lemah dan menyedihkan tadi.
Aku memanggil suster dan memintanya untuk membawakan kasa, kapas dan juga alkohol untukku. Aku duduk di samping tubuh tinggi nan indahnya, menatap wajahnya dengan teliti. Dia punya bibir yang indah, rahang yang terpahat dengan sempurna, hidung mancung. Aku baru sadar jika dia adalah pria yang tampan. Oh jangan konyol, Nichole. Hilangkan pikiran seperti itu dari kepala cantikmu.
Aku menggumamkan terima kasih pada suster yang telah membawakan apa-apa yang telah kuminta tadi. Aku mengambil tangan kanan Justin yang membiru, dan juga berdarah karena beradu beberapa kali dengan dinding. Membersihkannya dengan alcohol dan membungkusnya dengan kasa. aku melanjutkan tugasku ke kepalanya dan yang terakhir adalah kakinya. Aku tak percaya jika dia akan melakukan hal semacam ini. Untunglah tak ada satu pun benda tajam di sini, jika ada aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Aku mengecup dahinya dan menaikkan selimut sampai ke dadanya. “Mimpi indah,” lirihku di dekat telinganya dan beranjak berdiri. Langkahku terhenti saat seseorang menahan tanganku. Aku berbalik dan melihat Justin dengan matanya yang sudah terbuka. Tubuhku mendadak menegang, apa dia tahu jika aku mengecup dahinya? Bodoh, apa yang sudah kau lakukan, Nichole, kau bodoh sekali.
“Jangan pergi, kumohon, jangan pergi, jangan pergi, jangan pergi . . .” Aku terus mendengar kata-kata yang sama keluar dari mulutnya. Aku kembali duduk di tempatku tadi. Balas menggenggam tangannya dengan erat. Berharap dapat menenangkannya. “Tidak, aku tak akan pergi, aku akan tetap di sini, tenanglah,” ujarku pelan. Tangannya menarikku dan aku menurutinya, hingga aku kembali merasakan hal aneh itu dalam hatiku saat kepalaku menyentuh dada bidangnya. “Jangan pergi, Anne.” Air mataku mengalir ketika dia mengucapkan nama gadis itu lagi. Annelise, kau benar-benar sialan. Kau lihat, karenamu kehidupannya hancur. Aku membenci dirimu. Seandainya kau masih hidup, kau harus bertanggung jawab untuk semua kekacauan yang telah kua buat dalam hidup Justin.

Aku menghapus air mataku dan berjalan pelan meninggalkan ruangan Justin. Aku menitipkan map biru pada suster di rersepsionis dan aku akan langsung menuju ke rumah. Aku benar-benar lelah dan nyaris tertidur dalam pelukkan Justin yang terasa sangat nyaman dan hangat. Aku suka ada di sana. Itu terasa seperti tempat di mana seharusnya aku pulang.
Aku sampai di rumah dua puluh menit kemudian, memasukki kamar mandi tercintaku dan menikmati Jacuzzi dengan busa tebal yang sudah menungguku.
Aku memejamkan mataku. Dalam sekejab aku sudah kembali berada di tengah-tengah ruangan yang sangat ku kenal. Tentu saja, ini ruang tamu keluarga Choi. Aku berdiri di sudut ruangan, menyaksikan seorang gadis yang serupa denganku tengah menangis tersedu. “Jadi, inikah akhir bahagia yang sering kau janjikan padaku? Seperti inikah?”
“Akhir bahagia hanya ada dalam drama televisi, Nichole. Ada yang datang untuk pergi dan ada yang pergi untuk kembali. dan kurasa aku adalah seseorang yang ditakdirkan datang untuk pergi, mengertilah, Nichole. Kita tak akan mungkin menjalani ini lagi.” Pria itu mengalihkan tatapannya dari gadis itu. Hatiku kembali tercabik saat mendengar dengan jelas percakapan itu terulang dalam pikiranku.
“Tahu apa kau tentang takdir, Oppa? Kau tak sama sekali pantas untuk membahas mengenai hal seperti itu. kau berlagak sok suci di hadapanku dan berkoar tentang takdir. Persetan dengan semua itu. Jika memang kau ingin aku pergi, baik aku akan pergi dan aku juga ingin kau untuk tak pernah kembali lagi dalam hidupku. Semoga kau bahagia dengannya.”

Mataku terbuka dengan nafas memburu dan menyadari jika semua itu hanyalah mimpi buruk. Ya ampun, harusnya aku tak boleh memimpikan masa laluku, aku harus menjauh dari semua yang berhubungan dengan keluarga Choi. Aku akan menutup rapat lukaku, biarkan hanya aku yang tahu, dan dia memang benar bukan seseorang yang ditakdirkan denganku. Aku tidak ditakdirkan bersama dengan Siwon Choi. Anak bungsu keluarga Choi, salah satu dari keluarga terkaya di sana. Pria paling tampan sebelum aku bertemu dengan Justin. Ouh sial, lupakan itu, Nichole, ingat kau harus melupakannya. Dia bukan sesuatu yang pantas untuk kau ingat.
Aku mengalihkan tatapanku pada jam kecil yanga ada di westafel dan lantas melotot saat melihat sekarang sudah jam delapan malam. Aku tertidur cukup lama.

Pikiranku kembali melayang pada Justin. Apa dia baik-baik saja? Apa semuanya terkendali? Aku mengambil iPhoneku dan menghubungi suster Danielle, berharap tebakkanku benar jika dia akan bertugas sampai jam sepuluh nanti.
“Selamat malam, Dokter.”
“Malam, apa Justin baik-baik saja?”
“Tentu, dia masih dalam keadaan stabil. Aku tak menyangka kau bisa menenangkannya. Selama ini belum ada dokter yang bisa menenangkannya sebaik dirimu. Mereka akan langsung memeberikan suntikkan penenang untuk membuat pasien itu tertidur.” Aku terkekeh pelan.
“Sebenarnya, itu bukanlah solusi yang baik untuk menangangi seorang pasien sejenis Justin. Baiklah, terima kasih unuk informasinya dan selamat malam.”
“Selamat malam, Dok.”

Aku menarik selimut tebalku dan kembali mencoba untuk memejamkan mataku. Berharap aku tak memiliki mimpi yang seperti tadi. Pikirkan Justin jangan pikirkan yang lain, Nic. Cukup pikirkan Justin saja. Rasa kantuk kembali menguasaiku dan aku kembali tenggelam dalam tidur nyenyak yang akhir-akhir ini sulit kudapatkan. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar