Rabu, 16 April 2014

LOVE #3



BAB 3


 


Aku tersenyum pada pegawai yang sibuk dengan urusan mereka di sore hari dan mempersiapkan pergantian jam untuk yang bertugas di malam hari nantinya. Aku baru saja selesai berdiskusi dengan Mr. Joplin mengenai masalah Justin. Aku mengatakan padanya mengenai pemindahan ruang rawat. Aku tak mungkin tega melihat dia terkurung dan merasa begitu terasingkan di ruangan tertutup itu. Awalnya, dia tak setuju, tapi setelah aku meyakinkan jika aku yang akan bertanggung jawab penuh atas Justin, dia sedikit tersenyum dan lantas mengangguk. Aku sendiri yang langsung memilih kamar rawat baru untuk Justin dan mengantarnya untuk beristirahat dengan layak seperti para pasien lain di rumah sakit ini. Maksudku, para pasien yang mengidap kelainan jiwa sepertinya.
Walau bagaimana pun juga Justin tetaplah manusia dan dia pantas untuk mendapatkan haknya di rumah sakit ini. Aku juga berusaha dengan keras untuk membujuknya berdiri dari tempat duduknya tadi, hatiku teriris saat dia tak mampu menggerakkan kakinya karena sudah terlalu lama tak berjalan atau mungkin beranjak dari tempat duduk tanpa alas itu. Aku harus menyelidiki masa lalunya dan alasan apa yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. apa mungkin ini semua berkaitan dengan gadis bernama Annelise Lawrence? Jika iya, kurasa aku harus mencari tahu di mana keberadaan gadis itu dan menemuinya lalu meminta penjelasan untuk semuanya. Dan satu lagi tentang keluarganya juga, ibunya. Mungkin itu juga bisa membantuku untuk mengembalikan kehidupan Justin yang dulu. Meski pun aku yakin kehidupannya yang dulu bukan sesuatu yang mudah untuk dilalui, kurasa dulu Justin adalah seorang bad boy yang jatuh cinta pada seorang gadis baik-baik, lalu orang tua gadis itu tak menyetujui hubungan mereka dan lantas mereka kabur bersama-sama dan bla bla bla. Lupakan yang terkahir itu. Kurasa aku terlalu banyak menonton drama klasik.
Aku mengendarai mobilku menuju pusat perbelanjaan karena ada beberapa barang yang harus kubeli. Sebenarnya aku tak punya banyak waktu untuk membereskan barang-barangku ketika aku akan berangkat ke New York. Kuingatkan sekali lagi, aku melarikan diri dari sesuatu yang ingin kulupakan dan aku tak pernah ingin mengingatnya lagi. Sesuatu yang membuatku takut untuk memulai yang baru. Aku memutuskan untuk mengabdikan hidupku dan menjadi seseorang yang berjuang untuk mengembalikan lagi hidup dan semangat orang-orang yang mengalami trauma atau gangguan jiwa. Lagi pula mau tak mau aku harus tetap berjalan maju.

Aku memarkirkan mobilku dan berjalan sedikit lebih cepat saat rasa lelah menghantuiku. Seharian berusaha meski pun sedikit berhasil itu cukup membuatku harus belajar bagaimana caranya untuk lebih bersabar lagi dari yang sebelumnya.
Aku tersentak saat seseorang menepuk pundakku dengan lembut ketika aku sedang memilih cream untuk melakukan rutinitas sebagai perempuan. Aku menolehkan kepalaku dan sontak berteriak tertahan saat melihat pria tampan yang begitu kurindukan kehadirannya sejak dua tahun terakhir kami berpisah. Aku bahkan lupa jika dia berada di kota yang sama denganku saat ini. Dia Andreas Kang, sahabatku. Kami sama-sama berdarah campuran dan itu membuat kami dapat dengan cepat dekat dulu saat aku masih berumur delapan tahun. Aku memeluknya erat. Sungguh, aku merindukannya dan pernah mengatakan jika aku akan menyusulnya ke New York saat tiba waktunya nanti dan sekarang semuanya seolah menjadi sebuah takdir yang sangat menyenangkan, benar-benar pertemuan mengejutkan dan merubah asa lelahku menjadi rasa senang dalam waktu yang sangat singkat.
“Hai, Princess. Aku senang kau masih mengingatku. Ternyata kau benar-benar datang ke New York untuk menemuiku ya,” katanya dan aku terkekeh pelan sambil melepaskan pelukan rindu kami. Aku berumur tujuh belas saat dia meninggalkan korea dan memutuskan untuk membantu ayahnya di sini dan dia berumur Sembilan belas saat itu.
“Percaya diri sekali kau, aku ada di sini untuk memulai karir baruku sebagai seorang psikolog kau tahu, tapi kurasa memang kita di takdirkan untuk tak pernah terpisahkan sejak dulu.”
“Oh, aku tak percaya, semakin hari kau semakin pintar bicara dan merayu.” Aku kembali tertawa saat mendengar pernyataannya. “Aku anggap itu sebagai pujian.”
“Jadi, sekarang rencananya adalah aku akan menyediakan waktu istimewa untuk sahabat kecilku yang sangat kusayangi ini,” katanya dan lantas merangkul bahuku. Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti ini olehnya, mungkin orang lain akan menganggap jika kami ini adalah sepasang kekasih, tapi tidak kami hanya sebatas sahabat. Aku menyayanginya layaknya dia kakakku sendiri. “Aku akan menuruti rencanamu yanga terdengar sangat menarik itu.”

“Jadi, kau benar-benar mewujudkan mimpimu untuk menjadi seorang psikolog?”
Aku mendongak dan menatap matanya lalu tersenyum tipis. “Seperti yang kau lihat, aku senang memakai pakaian putih ini, dan ini adalah apa yang aku inginkan sejak dulu. Kau tahu, aku adalah salah satu dari banyaknya korban perpisahan orang tua ketika aku kecil dulu, mungkin jika aku mau aku akan dengan mudah terjerumus ke dunia di mana aku akan mendapat kesulitan untuk kembali, tapi aku tidak. Aku berpkir dengan seperti ini, aku dapat membantu orag-orang yang bernasip sepertiku dan menunjukkan arti lain dari kehidupan ini. Kau tahu, kau adalah satu-satunya orang yang kupercaya untuk semua masalahku.”
“Dan sesungguhnya aku merasa sangat tersanjug untuk itu, Nona Han.” Aku tersenyum lebar padanya dan lantas kembali memakan stick daging yang baru kumakan setengah.

Setelah berbelanja dan makan malam bersama, Andreas mengajakku untuk berkeliling sebentar dan lantas memaksa untuk ikut ke rumahku. Dia memang seperti itu, akan menjadi sangat pemaksa jika sudah menginginkan seusatu. Kuharap ayahku sudah berada di rumah dan aku bisa mengenalkan sahabatku ini padanya.
Dan benar saja, aku melihat mobilnya terparkir rapi di garasi. Aku melompat turun dari mobilku di susul dengan Andreas yang turun dari mobilnya. Kami berjalan beriringan dan Sandra membuka pintu sebelum aku menekan bel.  Dia membungkuk dan tersenyum padaku. “Tuan sudah menunggu Anda di dalam, Nona.”
Aku mengangguk menaggapi perkataannya dan lantas menggandeng tangan Andreas, menariknya untuk mengikutiku bertemu dengan ayahku. Pria paruh baya yang tengah serius dengan korannya mendadak mendongak menatapku dengan senyuman hangat di wajahnya. Lalu, tatapannya beralih pada seseorang yang berdiri di sampingku. Aku kembali melangkah dan duduk di hadapannya diikuti dengan Andreas.
“Jadi, siapa yang kau bawa pulang, Honey?”
Aku berdehem pelan. “Dia Andreas, anak dari pemilik Kang Inc. Group. Sahabatku sejak aku kecil.” Senyuman lebar terukir di wajahnya saat aku berhasil mengenalkan andreas padanya.
Ah, aku tahu perusahaan itu. Aku senang kau mau berkunjung ke rumahku mala mini, Nak.” Andreas tersenyum sopan. “Merupakan suatu kehormatan bagiku, Mr. Pereira.”
“Baik, aku akan membiarkan kalian untuk mengobrol, aku akan membersihkan tubuhku dulu, selamat mengobrol.”
Aku beranjak meninggalkan mereka dan lantas menaikki tangga rumah ini dengan cepat menuju kamarku, aku tersenyum saat menlihat barang-barang belanjaanku sudah ada di atas tempat tidurku. Kurasa aku akan berada di dalam Jacuzzi lebih lama dari yang kemarin. Ini akan menyenangkan.

Dua jam berada di dalam kamar mandi tak akan menjadi sesuatu yang membosankan jika berada di dalam busa-busa tebal yang lembut dan sangat memanjakan. Aku mengeringkan rambutku dan lantas menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidurku, meraih tasku dan mengambil sesuatu yang kubawa pulang dari rumah sakit tadi. Tentu, buku harian Justin. Kurasa aku akan memulai untuk menelusuri masa lalu pria itu dari buku ini. mengingat dia tak akan mungkin mau kuajak berbicara setidaknya dia akan diam jika aku mulai bertanya mengenai sesuatu tentang masa lalunya. Aku belum pernah mendapatkan seorang pasien seperti ini.

June 13th, 2009
Aku baru menyadarinya sekarang, jika dia adalah semua yang aku inginkan dalam hidupku sejak pertama kali aku melihatnya malam itu. dia gadis paling manis yang berhasil mencuri hatiku. Sekarang, aku sudah mutuskan untuk bersama dengannya sampai akhir. Meski pun aku tahu akan banyak pihak yang menghalangi kebersamaan kami. Si Brengsek Aidan tak akan bisa menyentuh gadisku barang sujung kuku sekali pun, takkan kubiarkan.
Aku tahu, aku tak seharusnya melibatkan Anne dalam gelapnya dunia yang kutinggali saat ini, tapi aku juga tak bisa berada jauh darinya, dia adalah udara yang kubutuhkan untuk tetap bertahan dalam keadaan apa pun. Semuanya berubah sejak aku mengenalnya. Aku tak lagi menghabiskan berbotol-botol red wine tiap malam, bermain dengan gadis-gadis jalang di club, atau pun menelan pil ekstasi. Dia seperti keajaiban yang datang padaku dan itu membuatku bisa memandang dunia dengan sedikit lebih baik meski pun aku tak akan pernah bisa meninggalkan dunia tempat di mana aku tinggal saat ini. Tidak, Justin Bieber tak akan pernah berubah terlalu banyak. Sampai saat ini, aku juga sudah mengurangi jatah rokokku, karena Anne tak suka aku merokok. Entahlah, aku tak mengerti bagaimana inisemua bisa terjadi padaku. Aku hanya merasa setiap perkataannya adalah sesuatu yang harus kujalankan.
Aku juga merasa menjadi manusia yang lebih baik sekarang, meski pun aku belum dan tak pernah ingin mengikuti kelas minggu bersamanya, aku masih tetap berusaha untuk menjadi seseorang yang pantas untuknya. Dia juga sama sepertiku, kami adalah korban dari keegoisan orang tua yang membuat kami kehilangan masa kecil yang normal layaknya anak-anak pada umumnya. Tapi, bedanya dia tak terjerumus seperti aku. Itulah satu-satunya yang membuat kami berbeda, setelah perceraian orang tuaku, aku tak lagi percaya tentang Tuhan dan semuanya, tapi dia tidak seperti itu, baginya hanya Tuhan yang mampu memeluknya dalam keadaan apa pun.
Dia adalah gadis yang religius, itu adalah kenyataan sebenarnya. Meski pun, aku terkadang kesal karena dia terus saja menasehatiku, tapi aku tetap mencintainya dengan sepenuh jiwaku. Dan akan selalu seperti itu.

Air mata mendadak mengalir membasahi pipiku. Aku tahu sekarang jika gadis itu adalah segala-galanya bagi Justin, Annelise Lawrence adalah jantung kehidupan bagi Justin. Dia sangat mencintai gadis itu dan semua tebakkanku mengenai hubungan mereka adalah salah. Mereka tak berurusan dengan masalah persetujuan orang tua. Ini tentang betapa kerasnya hidup yang mereka jalani. Ternyata Justin dan gadis itu bernasip sama sepertiku, hanya saja mungkin aku memang lebih beruntung dari mereka berdua. Atau mungkin, Justin adalah satu-satunya yang paling terluka dan hancur karena keegoisan orang tuanya. Astaga, aku sama sekali tak dapat membayangkan bagaimana keadaan Justin kecil saat harus menanggug masalah seberat itu. Bagi anak di bawah umur itu merupakan sebuah goncangan dan bisa menyebabkan gangguan pada jiwanya. Aku kembali menutup buku usang itu, memeluknya erat dan lantas mulai larut dalam mimpi yang terus memanggilku. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar