BAB
3
Love is like a
friendship caught on fire. In the beginning a flame, very pretty, often hot and
fierce, but still only light and flickering. As love grows older, our hearts
mature and our love becomes as coals, deep-burning and unquenchable.
—Bruce Lee
—Bruce Lee
Aku
tersenyum pada pegawai yang sibuk dengan urusan mereka di sore hari dan
mempersiapkan pergantian jam untuk yang bertugas di malam hari nantinya. Aku
baru saja selesai berdiskusi dengan Mr. Joplin mengenai masalah Justin. Aku
mengatakan padanya mengenai pemindahan ruang rawat. Aku tak mungkin tega
melihat dia terkurung dan merasa begitu terasingkan di ruangan tertutup itu.
Awalnya, dia tak setuju, tapi setelah aku meyakinkan jika aku yang akan
bertanggung jawab penuh atas Justin, dia sedikit tersenyum dan lantas
mengangguk. Aku sendiri yang langsung memilih kamar rawat baru untuk Justin dan
mengantarnya untuk beristirahat dengan layak seperti para pasien lain di rumah
sakit ini. Maksudku, para pasien yang mengidap kelainan jiwa sepertinya.
Walau
bagaimana pun juga Justin tetaplah manusia dan dia pantas untuk mendapatkan
haknya di rumah sakit ini. Aku juga berusaha dengan keras untuk membujuknya
berdiri dari tempat duduknya tadi, hatiku teriris saat dia tak mampu
menggerakkan kakinya karena sudah terlalu lama tak berjalan atau mungkin
beranjak dari tempat duduk tanpa alas itu. Aku harus menyelidiki masa lalunya
dan alasan apa yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. apa mungkin ini
semua berkaitan dengan gadis bernama Annelise Lawrence? Jika iya, kurasa aku
harus mencari tahu di mana keberadaan gadis itu dan menemuinya lalu meminta
penjelasan untuk semuanya. Dan satu lagi tentang keluarganya juga, ibunya.
Mungkin itu juga bisa membantuku untuk mengembalikan kehidupan Justin yang
dulu. Meski pun aku yakin kehidupannya yang dulu bukan sesuatu yang mudah untuk
dilalui, kurasa dulu Justin adalah seorang bad boy yang jatuh cinta pada
seorang gadis baik-baik, lalu orang tua gadis itu tak menyetujui hubungan
mereka dan lantas mereka kabur bersama-sama dan bla bla bla. Lupakan yang terkahir itu. Kurasa aku terlalu banyak
menonton drama klasik.
Aku
mengendarai mobilku menuju pusat perbelanjaan karena ada beberapa barang yang
harus kubeli. Sebenarnya aku tak punya banyak waktu untuk membereskan
barang-barangku ketika aku akan berangkat ke New York. Kuingatkan sekali lagi,
aku melarikan diri dari sesuatu yang ingin kulupakan dan aku tak pernah ingin
mengingatnya lagi. Sesuatu yang membuatku takut untuk memulai yang baru. Aku
memutuskan untuk mengabdikan hidupku dan menjadi seseorang yang berjuang untuk
mengembalikan lagi hidup dan semangat orang-orang yang mengalami trauma atau
gangguan jiwa. Lagi pula mau tak mau aku harus tetap berjalan maju.
Aku
memarkirkan mobilku dan berjalan sedikit lebih cepat saat rasa lelah
menghantuiku. Seharian berusaha meski pun sedikit berhasil itu cukup membuatku
harus belajar bagaimana caranya untuk lebih bersabar lagi dari yang sebelumnya.
Aku
tersentak saat seseorang menepuk pundakku dengan lembut ketika aku sedang
memilih cream untuk melakukan rutinitas sebagai perempuan. Aku menolehkan
kepalaku dan sontak berteriak tertahan saat melihat pria tampan yang begitu
kurindukan kehadirannya sejak dua tahun terakhir kami berpisah. Aku bahkan lupa
jika dia berada di kota yang sama denganku saat ini. Dia Andreas Kang,
sahabatku. Kami sama-sama berdarah campuran dan itu membuat kami dapat dengan
cepat dekat dulu saat aku masih berumur delapan tahun. Aku memeluknya erat.
Sungguh, aku merindukannya dan pernah mengatakan jika aku akan menyusulnya ke
New York saat tiba waktunya nanti dan sekarang semuanya seolah menjadi sebuah
takdir yang sangat menyenangkan, benar-benar pertemuan mengejutkan dan merubah
asa lelahku menjadi rasa senang dalam waktu yang sangat singkat.
“Hai,
Princess. Aku senang kau masih mengingatku. Ternyata kau benar-benar datang ke
New York untuk menemuiku ya,” katanya dan aku terkekeh pelan sambil melepaskan
pelukan rindu kami. Aku berumur tujuh belas saat dia meninggalkan korea dan
memutuskan untuk membantu ayahnya di sini dan dia berumur Sembilan belas saat
itu.
“Percaya
diri sekali kau, aku ada di sini untuk memulai karir baruku sebagai seorang
psikolog kau tahu, tapi kurasa memang kita di takdirkan untuk tak pernah
terpisahkan sejak dulu.”
“Oh,
aku tak percaya, semakin hari kau semakin pintar bicara dan merayu.” Aku
kembali tertawa saat mendengar pernyataannya. “Aku anggap itu sebagai pujian.”
“Jadi,
sekarang rencananya adalah aku akan menyediakan waktu istimewa untuk sahabat
kecilku yang sangat kusayangi ini,” katanya dan lantas merangkul bahuku. Aku
sudah terbiasa diperlakukan seperti ini olehnya, mungkin orang lain akan
menganggap jika kami ini adalah sepasang kekasih, tapi tidak kami hanya sebatas
sahabat. Aku menyayanginya layaknya dia kakakku sendiri. “Aku akan menuruti
rencanamu yanga terdengar sangat menarik itu.”
“Jadi,
kau benar-benar mewujudkan mimpimu untuk menjadi seorang psikolog?”
Aku
mendongak dan menatap matanya lalu tersenyum tipis. “Seperti yang kau lihat,
aku senang memakai pakaian putih ini, dan ini adalah apa yang aku inginkan
sejak dulu. Kau tahu, aku adalah salah satu dari banyaknya korban perpisahan
orang tua ketika aku kecil dulu, mungkin jika aku mau aku akan dengan mudah
terjerumus ke dunia di mana aku akan mendapat kesulitan untuk kembali, tapi aku
tidak. Aku berpkir dengan seperti ini, aku dapat membantu orag-orang yang
bernasip sepertiku dan menunjukkan arti lain dari kehidupan ini. Kau tahu, kau
adalah satu-satunya orang yang kupercaya untuk semua masalahku.”
“Dan
sesungguhnya aku merasa sangat tersanjug untuk itu, Nona Han.” Aku tersenyum
lebar padanya dan lantas kembali memakan stick daging yang baru kumakan
setengah.
Setelah
berbelanja dan makan malam bersama, Andreas mengajakku untuk berkeliling
sebentar dan lantas memaksa untuk ikut ke rumahku. Dia memang seperti itu, akan
menjadi sangat pemaksa jika sudah menginginkan seusatu. Kuharap ayahku sudah
berada di rumah dan aku bisa mengenalkan sahabatku ini padanya.
Dan
benar saja, aku melihat mobilnya terparkir rapi di garasi. Aku melompat turun
dari mobilku di susul dengan Andreas yang turun dari mobilnya. Kami berjalan
beriringan dan Sandra membuka pintu sebelum aku menekan bel. Dia membungkuk dan tersenyum padaku. “Tuan
sudah menunggu Anda di dalam, Nona.”
Aku
mengangguk menaggapi perkataannya dan lantas menggandeng tangan Andreas,
menariknya untuk mengikutiku bertemu dengan ayahku. Pria paruh baya yang tengah
serius dengan korannya mendadak mendongak menatapku dengan senyuman hangat di
wajahnya. Lalu, tatapannya beralih pada seseorang yang berdiri di sampingku.
Aku kembali melangkah dan duduk di hadapannya diikuti dengan Andreas.
“Jadi,
siapa yang kau bawa pulang, Honey?”
Aku
berdehem pelan. “Dia Andreas, anak dari pemilik Kang Inc. Group. Sahabatku
sejak aku kecil.” Senyuman lebar terukir di wajahnya saat aku berhasil
mengenalkan andreas padanya.
“Ah, aku tahu perusahaan itu. Aku senang
kau mau berkunjung ke rumahku mala mini, Nak.” Andreas tersenyum sopan. “Merupakan
suatu kehormatan bagiku, Mr. Pereira.”
“Baik,
aku akan membiarkan kalian untuk mengobrol, aku akan membersihkan tubuhku dulu,
selamat mengobrol.”
Aku
beranjak meninggalkan mereka dan lantas menaikki tangga rumah ini dengan cepat
menuju kamarku, aku tersenyum saat menlihat barang-barang belanjaanku sudah ada
di atas tempat tidurku. Kurasa aku akan berada di dalam Jacuzzi lebih lama dari
yang kemarin. Ini akan menyenangkan.
Dua
jam berada di dalam kamar mandi tak akan menjadi sesuatu yang membosankan jika
berada di dalam busa-busa tebal yang lembut dan sangat memanjakan. Aku
mengeringkan rambutku dan lantas menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidurku,
meraih tasku dan mengambil sesuatu yang kubawa pulang dari rumah sakit tadi.
Tentu, buku harian Justin. Kurasa aku akan memulai untuk menelusuri masa lalu
pria itu dari buku ini. mengingat dia tak akan mungkin mau kuajak berbicara
setidaknya dia akan diam jika aku mulai bertanya mengenai sesuatu tentang masa
lalunya. Aku belum pernah mendapatkan seorang pasien seperti ini.
June 13th,
2009
Aku baru menyadarinya sekarang, jika dia adalah semua yang
aku inginkan dalam hidupku sejak pertama kali aku melihatnya malam itu. dia
gadis paling manis yang berhasil mencuri hatiku. Sekarang, aku sudah mutuskan
untuk bersama dengannya sampai akhir. Meski pun aku tahu akan banyak pihak yang
menghalangi kebersamaan kami. Si Brengsek Aidan tak akan bisa menyentuh gadisku
barang sujung kuku sekali pun, takkan kubiarkan.
Aku tahu, aku tak seharusnya melibatkan Anne dalam gelapnya
dunia yang kutinggali saat ini, tapi aku juga tak bisa berada jauh darinya, dia
adalah udara yang kubutuhkan untuk tetap bertahan dalam keadaan apa pun.
Semuanya berubah sejak aku mengenalnya. Aku tak lagi menghabiskan
berbotol-botol red wine tiap malam, bermain dengan gadis-gadis jalang di club,
atau pun menelan pil ekstasi. Dia seperti keajaiban yang datang padaku dan itu
membuatku bisa memandang dunia dengan sedikit lebih baik meski pun aku tak akan
pernah bisa meninggalkan dunia tempat di mana aku tinggal saat ini. Tidak,
Justin Bieber tak akan pernah berubah terlalu banyak. Sampai saat ini, aku juga
sudah mengurangi jatah rokokku, karena Anne tak suka aku merokok. Entahlah, aku
tak mengerti bagaimana inisemua bisa terjadi padaku. Aku hanya merasa setiap
perkataannya adalah sesuatu yang harus kujalankan.
Aku juga merasa menjadi manusia yang lebih baik sekarang,
meski pun aku belum dan tak pernah ingin mengikuti kelas minggu bersamanya, aku
masih tetap berusaha untuk menjadi seseorang yang pantas untuknya. Dia juga
sama sepertiku, kami adalah korban dari keegoisan orang tua yang membuat kami
kehilangan masa kecil yang normal layaknya anak-anak pada umumnya. Tapi,
bedanya dia tak terjerumus seperti aku. Itulah satu-satunya yang membuat kami
berbeda, setelah perceraian orang tuaku, aku tak lagi percaya tentang Tuhan dan
semuanya, tapi dia tidak seperti itu, baginya hanya Tuhan yang mampu memeluknya
dalam keadaan apa pun.
Dia adalah gadis yang religius, itu adalah kenyataan
sebenarnya. Meski pun, aku terkadang kesal karena dia terus saja menasehatiku,
tapi aku tetap mencintainya dengan sepenuh jiwaku. Dan akan selalu seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar