BAB
4
Memories warm you up
from the inside. But they also tear you apart.
― Haruki Murakami, Kafka on the Shore
― Haruki Murakami, Kafka on the Shore
Hari
ini, aku terkejut mendapati diriku terbangun saat matahari belum menampakkan
dirinya sama sekali. Oh itu sebuah keajaiban yang sesungguhnya. Tiba-tiba aku
memikirkan tentang sarapan bersama dengan Justin, kurasa itu tak terlalu buruk
lagipula aku harus menjadi temannya dan mendapatkan kepercayaannya untuk mulai
mendalami masa lalu pria yang kini berstatuskan menjadi pasienku.
Aku
mengeringkan rambutku dan lantas menyisirnya di depan cermin dengan senyuman
yang mengembang lebar di wajahku. Aku tak tahu apa yang berbeda di hari ini,
tapi aku merasa jika mood-ku sedang ada di tingkat terbaiknya saat ini. Aku
turun ke lantai bawah dan mendapati beberapa pelayan sedang menyiapkan sarapan
di meja makan. Aku menghampiri mereka dan langsung mendapatkan tundukkan hormat
dari mereka semua.
“Selama
pagi, Nona.”
Aku
tersenyum pada mereka dan lantas membuka lemari es besar yang penuh berisikan
bahan makanan yang entah untuk berapa lama. Saat aku masih di Seoul dulu, ibuku
sering mengajariku memasak makanan khas di sana dan aku sama sekali tak pernah
benar-benar berhasil. Tapi, ada satu masakkan yang aku bisa membuatnya dengan
sempurna dan itu rasanya setara dengan masakkan restoran di sana.
“Apa
yang sedang Anda lakukan, Nona? Jika Tuan tahu, kami bisa dimarahi.” Aku
terkekeh dan menggeleng pelan saat semua pelayan itu berbaris di dekatku dengan
wajah cemas mereka. “Tidak ada yang akan memarahi kalian, aku hanya ingin
memasak sarapan untuk seseorang. Jangan ganggu aku selagi aku masih ada di
dapur ini.”
Mereka
kembali membungkuk dan meninggalkanku di dapur sendirian, selalu membutuhkan
ketenangan untuk memasak. Aku mulai mengeluarkan tepung beras, air, dan gula
pasir. Mungkin ini biasa saja, tapi aku bisa menjamin jika rasanya pasti akan
sangat enak. Dulu, setiap aku membuat kue ini satu-satunya orang yang akan
selalu menghabiskannya hanyalah dia, pria yang namanya masih terukir di hatiku
hingga saat ini.
Ah,
ada lagi, bubuk cherry dan juga bubuk kakao. Aku mencampurkan tepung beras
dengan air di dalam mangkuk berukuran sedang, lalu mengaduknya hingga rata, Aku
mengeluarkan saringan untuk menyaring tepung beras yang sudah dicampuri air,
lalu masukkan gula secukupnya dan setelah di aduk sampai rata bahan itu di
saring kembali.
Aku
meletakkan kain kasa yang basah ke dalam panci pengukus dan masukkan adonan kue
yang sudah jadi ke dalam. Aku mengangkat panci menuju kompor dan menyalakan api
berukuran besar. Dalam dua puluh menit kue baekseolgi akan jadi dan siap untuk
di makan. Aku tersenyum puas, nanti setelah kue dingin aku akan menghiasnya
dengan cherry.
Aku
kembali ke kamarku dan lantas memakai jas putihku, lalu mengambir tas dan
kembali turun ke lantai bawah dan mendapat ayahku yang sudah tampan dan rapi
sedang menyantap sarapannya. Dia tersenyum padaku, aku berjalan menghampirinya
dan mengecup pipinya. “Selamat pagi, Dad.”
“Pagi,
sayang. Kau tak sarapan?”
Aku
tersenyum dan menggeleng pelan. “Aku akan sarapan bersama seseorang nanti,
Dad.” Aku kembali melanjutkan langkah kaki ku menuju dapur.
Aku
memotong kue-ku yang telah jadi menjadi beberapa potongan dan lantas menghiasnya
dengan buah cherry, lalu memasukkannya ke dalam kotak makanku. Aku berlari
kecil menuju mobilku dan segera berangkat menuju rumah sakit.
Aku
memberhentikan mobilku di depan gedung rumah sakit dan memberikan kuncinya pada
satpam, dia tersenyum sopan padaku. Aku berjalan dengan semangat masuk ke dalam
tempat bercat putih ini dan masuk ke dalam lift lalu menekan tombol 7. Ya
ruangan baru Justin ada di lantai tujuh ruangan nomor 113.
Lift
berdenting dan aku melangkah keluar ruang sempit itu. tersenyum dengan lebar
lalu dengan perlahan membuka pintu ruangan pasien pertamaku. Apa yang sedang
dia lakukan sekarang?
Senyuman
mendadak hilang dari wajahku saat aku melihatnya terbaring lemah di atas tempat
tidur yang cukup nyaman yang selama ini tak pernah ia dapatkan selama ia di
rawat di sini. Dengan langkah yang kelewat cepat, aku berjalan menghampiri
tempat tidur Justin. Matanya tertutup dengan damai.
“Justin,
apa kau baik-baik saja?”
Tubuhku
melemas saat matanya perlahan terbuka dan bertemu pandang langsung dengan
mataku. “Anne,” desisnya yang terdengar jelas di telingaku. Sejak kemarin,
itulah satu-satunya kata yang ia ucapkan, hanya nama itu. Nama gadis yang
begitu berarti untuknya.
“Aku
bukan Anne, Justin. Aku Nichole.”
Tangannya
terulur menyentuh wajahku lalu mengelusnya perlahan, aku bisa merasakan kulit
tangannya yang dingin. “Anne,” desisnya lagi. Ya Tuhan, aku mendesah dalam
hati.
“Baiklah,
kau bisa memanggilku dengan nama itu, aku tak akan keberatan. Dan aku
membawakan sarapan untukmu. Ini aku sendiri yang memasaknya.”
Aku
mengambil kotak makan dari dalam tasku dan lantas membukanya, mengambil kue itu
dengan tanganku. Dan mendekatkannya ke mulut Justin, dia menyambut suapan dari
tanganku dan aku merasakannya. Merasakan sesuatu yang aneh terjadi padaku.
Hanya dengan hal seperti itu dia bisa membuatku tersenyum, itu konyol sekali
kan.
“Bagaimana
rasanya?”
Aku
menunggu jawabannya untuk beberapa menit, tapi dia tak kunjung merespon
pertanyaanku. Jadi, aku kembali menyuapkan potongan kue dengan tanganku. Aku
tak percaya ini, dia terlihat menyukai kue buatanku. Dia orang kedua yang
memakan masakanku dan menyenangkan mengetahui hal sesederhana itu.
Kue
itu habis dan dia sendiri yang memakannya. Ya ampun, tadi rencananya aku akan
sarapan bersamanya, tapi kurasa sekarang itu menjadi aku menemaninya sarapan.
Kurasa aku akan mengambil jam makan siang lebih dulu nanti.
“Jadi,
bagaimana perasaanmu saat ini, Justin?” Aku menggerakkan tanganku, mencoba
untuk berkomunikasi dengan cara yang lain. Oh
ini terlihat bodoh, aku belum pernah belajar bahasa isyarat sebelumnya dan aku
sama sekali tak mengerti apa pun mengenai hal semacam itu. Dia hanya
memandangku, lama dan aku melihat ada yang berubah dari tatapan matanya, aku
tak lagi melihat tatapan kosong yang kemarin memenuhi semua ruang di matanya.
Hari ini, tatapan matanya lebih bermakna, lebih hidup. “Aku senang.”
Hatiku
bersorak gembira saat mendengar suara kakunya merespon pertanyaanku. Ya ampun,
aku tak percaya ini, dia mau meresponku. Ini kemajuan yang lebih baik dari pada
yang kemarin ternyata. Aku tersenyum lebar padanya. “Apa kau menyukai kue
buatanku?”
Aku
kembali bertanya padanya, kurasa aku tak bisa langsung memulai pertanyaan berat
mengenai masa lalunya, itu bisa kembali menyebabkan guncangan pada jiwanya. Dia
sudah mau berbicara kata selain nama gadis itu, itu saja sudah membuatku senang
dan aku akan kembali melaporkan perkembangan Justin hari ini pada Mr. Joplin.
Kurasa dia akan sangat senang, karena semakin cepat Justin sembuh maka akan
semakin cepat pula dia keluar dari rumah sakit ini dan kembali menikmati hidup
sebagaimana manusia normal lainnya. Kurasa, dia sudah benar-benar menjadi
bagian dari hidupku. Aku sendiri tak mengerti bagaimana mungkin hal ini terjadi
begitu cepat, aku bahkan baru bertemu dengannya kemarin. Mungkin ini yang
disebut takdir, siapa yang tahu tentang itu? Tidak ada kan.
“Itu
enak,” ujarnya lagi. Suaranya Justin masih terdengar begitu kaku. Mungkin itu
disebabkan karena dia tak pernah berbicara sejak lama. Bisa saja, karena itulah
dia menjadi kaku dalam berbicara dan aku bersyukur karena dia tak bisu. Jadi,
aku tak harus mempelajari bahasa isyarat untk berkomunikasi dengannya. Aku
tersenyum padanya. Aku kembali meletakkan kotak makan kosong milikku di dalam
tasku dan lantas duduk di samping tempat tidurnya, dia masih berbaring dengan
nyaman di sana.
Aku
menyentuh telapak tangannya, mengusapnya pelan. “Mau menceritakan sebuah kisah
padaku?” Aku menatap ke dalam matanya, aku menemukan kehancurannya, dia terluka,
marah, dia sakit, dan juga kecewa. Aku semakin tak mengerti apa yang sebenarnya
terjadi di masa lalu Justin.
Justin
mengalihkan pandangannya, menatap langit-langit kamar ini. Aku mencoba untuk
bersabar dan berharap dia mau menceritakannya padaku.
Flashback
New York, 2009
Aku
mengumpat keras pada seseorang yang telah menabrakku. Sialan, berani sekali dia
menabrakku, dia pikir siapa dia. Orang asing itu berlari menjauhiku dan tak
lagi berani menoleh. Tentu saja, tak ada siapa pun yang berani melawanku. Aku
berandalan paling di takuti di kota ini. Hidup ini memang menyenangkan.
Aku
kembali menolehkan pandanganku ke depan dan mataku terpaku menatap seorang
gadis yang sedang berlari memasukki sebuah pusat belanja. Rambutnya terkibas
oleh angin, ya ampun, apa aku berlebihan jika mengatakan bahwa aku tak pernah
sama sekali melihat makhluk yang lebih indah dari dia. Tidak, tidak pernah sama
sekali. Tanpa sempat mengalihkan tatapanku darinya, aku ikut melangkahkan kaki
ku mengikuti arah kemana ia pergi, dalam sekejab semua perhatianku terpusat
padanya. Bagaimana dia bisa dengan begitu mudah mengambil alih semua
perhatianku? Aku bahkan belum mengenalnya. Atau mungkin tahu namanya.
Mataku
menangkapnya yang sedang berbicara dengan seorang pegawai mall, dan mendadak
membeku saat melihatnya tersenyum. Ya ampun, itu adalah senyuman termanis yang
pernah kulihat.
Oh,
apa yang terjadi padaku? Seumur hidupku aku tak pernah sama sekali memuji
seorang gadis, bahkan tidak juga untuk wanitu sialan murahan yang sudah
menghancurkan hidupku. Seandainya, dia tak membawa pulang pria bajingan itu,
aku yakin mungkin sampai saat ini aku bisa menikmati hidup layaknya remaja
biasa. Tapi semua itu hanya di dalam khayalanku saja. Bodoh, untuk apa aku
memikirkan wanita jalang itu, biarkan dia pergi ke neraka bersama dengan
pria-pria yang entah sudah berapa banyak yang menidurinya.
Aku
menatap tajam pada Aidan George dan teman-temannya. Sialan, dia adalah musuh
bebuyutanku sejak dulu, dia selalu mencoba untuk merebut apa yang menjadi
milikku. Pria brengsek itu tertawa mengejek. “Jadi, bagaimana Biebur? Apa kau
akan menerima tantanganku kali ini?”
Aku
membalas senyuman mengejeknya itu. “Tentu saja, kau tak akan pernah bisa menang
dariku, Mama’s Boy.”
“Shit.”
Aku mendengarnya mengumpat sebelum akhirnya kami menaikki motor masing-masing.
Aku tersenyum licik sebelum menutup kaca gelap helmku. Seorang gadis mulai
berjalan melenggak lenggok dengan pakaian mininya dan lantas dengan gaya yang
sangat menjijikkan dia memasukkan tangannya dalam t-shirt ketat yang ia pakai
dan tentu saja dia melepas bra renda hitam yang lumayan seksi itu. aku
melesatkan motorku di arena balapan liar kali ini. Mala mini, musuh bebuyutanku,
Aidan kembali menantangku untuk berduel dengannya dan tentu saja sebegai
seorang bad boy sejati, aku tak akan pernah menolak siapa pun yang menantangku.
Dan kali ini, jika aku menang dan seharusnya memang aku, sebagai gantinya dia
akan menyerahkan jalangnya untuk menghabiskan malam yang menyenangkan
bersamaku. Well, gadis yang kuketahui
bernama Amisa Bowie itu menangis tersedu. Kurasa dia adalah salah satu dari
gadis paling bodoh di dunia ini karena dengan mudahnya dia mau menjadi pemuas
nafsu pria bajingan yang lebih brengsek dari pada aku.
Aku
adalah bad boy paling tampan dan paling diinginkan di semua penjuru kota New
York ini. Pesonaku sudah mengalahkan aktor-aktor papan atas Hollywood. Aku
menambah kelajuan kecepatanku saat mengintip dari kaca spion kecilku, dia tak
akan pernah kuberi kesempatan untuk berlaku curang padaku atau mungkin menyusul
kecepatanku di arena balapan. Aku memiliki orang-orang yang kupercaya tentu
saja untuk mengecek apakah ada kecurangan di arena. Sejujurnya yang melakukan
kelicikan seperti itu hanya seorang pegecut, itu tanda jika dia mengakui
dirinya tak mampu melawan musuh. Tapi, Aidan belum pernah satu kali pun berlaku
curang setiap kali ia menantangku untuk balapan dengannya.
Mataku
bersinar terang saat melihat garis pinis sudah ada di depan mata. Aku kembali
menambah kecepatan motorku, sekali lagi aku melirik kaca spionku dan lantas
menemukan si brengsek itu sedang berusaha untuk menyusulku. Tidak semudah itu,
Mama’s boy.
Semua
orang berteriak menyerukan namaku saat dengan mulus aku melewati garis pinis.
Oh, aku lupa mengatakan jika aku memenangkan lime belas juta di pertandingan
ini. Aku melompat turun dari motorku dan lantas melepas helmku. Aku tersenyum
tipis saat nyaris semua gadis di sini meneriakkan namaku. Ryan berjalan
menghampiriku dan melemparkan amplop tebal yang tentu saja itu adalah bayaranku
malam ini.
“Kau
memang pantas diberi julukkan sebagai raja lintasan, Justin. Kau belum pernah
terkalahkan. Dan sangat menguntungkan memilikkimu di timku,” dia berujar dengan
senyuman lebar di wajahnya. Pria ini sudah memasukki kepala empat, tapi belum
ingin keluar dari dunia malam yang berbahaya ini. “Aku juga senang bisa ada di
sini.” Aku melangkah meninggalkannya, mencoba mencari keberadaan pecundang
Aidan, tapi mataku justru menangkap senyuman familiar yang terekam dengan baik
di pikiranku, bahkan aku selalu berharap untuk bisa kembali melihat senyuman
itu. Dia, gadis itu. Dengan pasti, aku kembali melangkah dan berhenti tepat di
hadapannya. Dia tampak mencolok dengan pakaiannya yang tertutup dan sangat
berbeda dengan kebanyakkan gadis yang ada di sini. Tawanya terhenti saat
matanya melihatku.
Bahkan
hanya dengan bertemu tatap, aku bisa merasakan getaran aneh di dalam diriku.
Sial, apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh gadis asing ini padaku? Aku tak
akan membuang-buang kesempatan emas yang kudapatkan kali ini untuk mengetahui
siapa namanya.
“Hai.”
konyol. Seumur hidupku, aku tak pernah berkata ‘hai’ pada siapa pun, mereka
—para gadislah yang akan mengatakan hal-hal seperti itu padaku. Ini bodoh
sekali. Aku melihat kehangatan di mata cokelat gelapnya, di sana ada ketulusan
yang begitu menyeluruh, bahkan itu tergambar di senyumannya. Ouh, Justin
sebenarnya apa yang terjadi padamu? Ini, ini tak pernah terjadi sebelum ini.
Apa kau sedang jatuh cinta? Tidak, Justin ingat, tidak ada yang namanya cinta
di dunia ini. Benakku terus berdebat dan itu membuatku terlihat semakin konyol
di depannya saat ini.
“Hai.”
Dia tersenyum padaku. dengan sebuah senyuman saja, sesuatu yang aneh itu
kembali mengalir dalam darahku, mirip seperti aliran listrik dengan daya yang
rendah namun cukup untuk membuatku sedikit gemetar.
“Aku
Justin,” kataku dan mengulurkan tanganku padanya. Dia kembali tersenyum dengan
manis. Dia cantik sekali. Biasanya aku benci melihat jika seorang gadis sering
tersenyum seperti itu, jika mereka melakukannya di depanku maka aku akan
langsung membentak mereka. Tapi, itu tak sama sekali berlaku pada gadis ini,
justru aku suka melihat senyuman it uterus ada di wajah cantiknya. “Aku
Annelise Lawrence, Anne.”
Annelise
Lawrence. Nama yang cantik seperti pemiliknya. Diam-diam ada satu sudut dalam
diriku yang tersenyum melihat dan merasakan kulit kami bersentuhan. Aku
membalas senyumannya dengan senyuman tipis milikku. Tidak, aku hanya tidak
terbiasa untuk tersenyum, aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku
tersenyum yang lebih lebar dari pada yang ini.
“Well, aku belum pernah melihatmu di
sini. Apa kau orang baru?”
Aku
melirik pada gadis berambut pirang yang telah berjalan meninggalkan kami,
mungkin dia sadar jika dia memang tak seharusnya ada di sini. “Ya, aku baru dua
bulan ada di sini, dan ini adalah untuk yang pertama kalinya,” katanya. Aku
melihat semburat merah yang menghiasi pipinya. Dan itu menambah tingkat
kemanisannya.
“Apa
kau Justin, pria yang memenangkan balapan tadi?” Anne mendongak dan menatapku,
entah sejak kapan warna matanya menjadi warna mata kesukaanku. “Ya, aku. Apa
kita bisa pergi dari sini, lalu menemukan tempat yang lebih layak untuk meneruskan
obrolan kita?” Anne tampak berpikir sesaat sebelum akhirnya memberikan anggukan
kepala tanda setujunya padaku. Tanpa kusadari, sebuah senyuman mengembang di
wajahku dan aku menarik tangannya dalam genggamanku.
Aku
rasa aku memang sudah menyukainya sejak aku pertama bertemu dengannya bulan
lalu. Aku tak pernah melihat gadis sepertinya. Dia bahkan terlihat cantik hanya
dengan blazer orangenya. Sungguh, bukanlah dandanan yang pas untuk datang
ketempat seperti ini, tapi sejujurnya aku lebih suka melihatnya dengan pakaian
yang manis seperti saat ini.
Aku
menepikan motorku di depan sebuah restoran berbintang di tengah kota New York.
Lalu kembali menggandeng tangannya memasukki tempat ini. Rasanya aku ingin
tertawa ketika merasakan jika tangannya bergetar sekarang. Apa dia takut padaku
atau dia gugup? Itu lucu sekali. Mungkin itu wajar jika ia takut padaku, tapi
jika dia gugup itu adalah tanda jika dia juga mungkin menyukaiku. Baiklah
sebenarnya aku juga tak tahu darimana asal mulanya kesimpulan seperti itu.
“Apa
kau baik-baik saja?”
Dia
sontak mendongak menatapku dan aku kembali melihat semburat merah merona di
wajahnya. “Ya, aku baik-baik saja,” dia berujar dengan pelan. Aku menarik kursi
untuknya dan mendengar gumaman kata terima kasih darinya. Lalu aku menarik kursi
kembali untukku.
“Jadi,
ceritakan tentang dirimu, Annelise?” Aku menaikkan salah satu alisku menunggu
jawabannya. Dia menatapku kikuk, baiklah aku tak ingin dia menjadi begitu
pendiam padaku. “aku Annelise Lawrence, lahir di Pentagon, umurku tujuh belas
tahun dan aku datang ke New York karena aku sudah tak lagi memiliki alasan
untuk tetap bertahan di Pentagon dan di sini aku berharap untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik dan nyaman, tentu saja.” Aku memutar bola mataku.
Bukan itu yang ingin kuketahui.
“Tidak,
maksudku adalah, kita membicarakan tentang dirimu dan apa yang kau sukai,
mungkin seperti aktor, film, jenis musik. Atau mungkin kita bisa membicarakan
apa yang tidak kau sukai, Anne.” Aku belum pernah berbicara sebanyak itu
semenjak kejadian itu terjadi. Dan aku masih terkejut bahwa gadis ini bisa
dengan mudah membuatku berbicara sebanyak itu.
“Aku
suka Tom Cruise, film horror, aku suka musik country dan pop, mungkin. Lalu
bagaimana denganmu, Justin?” Aku tersenyum tipis. Aku meletakkan siku ku di
meja dan melihat daftar menu, membiarkannya untuk menunggu. Seorang pelayan
datang menghampiri meja kami. “Stick daging dan kopi hitam dua porsi.” Pelayan
itu mencatat pesananku dengan cepat lantas pergi dari hadapanku. Aku kembali
menatap Anne yang masih setia menunggu.
“Well, Justin sebenarnya aku tak suka
kopi hitam.” Aku mengangkat bahuku acuh.
“Kita
tidak sedang membahas menunya. Jadi, tak ada satu pun yang kusukai, mungkin aku
suka menembak dan membunuh.” Aku bisa melihat wajahnya memucat saat aku berkata
seperti itu. Gadis ini polos sekali. “Dan satu lagi, aku selalu mendapatkan apa
yang aku inginkan, Anne. Apa kau mengerti?” Dengan kaku dia mengangguk dan aku
kembali tersenyum tipis.
Aku
akan mendapatkanmu, itulah yang aku inginkan, kau harus menjadi milikku,
Annelise Lawence.
Satu
bulan bukanlah waktu yang singkat untuk proses perkenalan, dan aku sudah
melalui hal itu bersamanya, siapa lagi jika bukan Annelise. Dan sekarang, dia
sudah benar-benar resmi menjadi kekasihku, pendampingku hidupku. Untuk yang
pertama kalinya, aku menjalin hubungan yang seperti ini, maksudku, aku tak
pernah memiliki kekasih sebelum ini dan itu artinya, Anne adalah yang pertama
dan aku harap dia adalah yang terakhir. Aku baru tahu jika gadis itu adalah gadis
yang polos dan juga religius, dengan perlahan dia membawa pengaruh baik padaku,
dan itu terjadi dalam banyak hal, aku mencintainya, aku sangat mencintainya.
Meski
pun begitu, aku belum sedikit pun memberitahukan padanya mengenai diriku yang
sesungguhnya, aku hanyalah seorang anak yang dibuang oleh orangtuanya dan aku
sama sekali tak ingin membahas masalah masa lalu mengerikan itu dengannya,
walau pun beberapa kali Anne pernah mencoba untuk membicarakan hal itu
denganku, tapi aku selalu berhasil mengalihkannya.
Aidan
dan teman-temannya sudah mengetahui masalah Anne dan aku sungguh khawatir jika
terjadi sesuatu apa pun padanya. Itulah mengapa aku selalu berada di
sampingnya, terkadang dia kesal karena aku bersikap terlalu posesif, tapi dia
juga sadar jika aku melakukan itu karena aku mencintainya dan aku tak akan
pernah membiarkan siapa pun menyentuhnya termasuk pria bajingan sialan itu.
Tidak akan pernah.
Aku
mendapatkan gadismu, Biebur. Jika kau ingin dia baik-baik saja maka kau harus
meninggalkan gelar raja balapan dan bad boy paling ditakuti di New York itu
atau kau akan melihat gadismu berakhir di ranjangku. Salamat malam. —Your
Big Enemy
Tanganku
mengepal saat mendapatkan pesan singkat yang sukses membuat emosi mengalir
dengan deras dalam diriku. Gadis itu memang tak pernah mau mendengarkanku, aku
yakin dia keluar sendirian dari apartementnya dan Aidan dengan mudah
membawanya. Dasar bodoh. Aku mengambil jaketku dan berlari menuju mobilku yang
terparkir rapi di garasi rumahku, sebenarnya ini rumah yang ayahku berikan
padaku, dan aku memakainya karena aku tak ingin menyewa apartemen dan
menyia-nyiakan kerja kerasnya begitu saja. Karena dia adalah satu-satunya orang
yang perduli padaku.
Aku
mengendari mobilku dengan kecepatan tinggi menuju markas kelompok Aidan, dia
memang brengsek. Mengapa dia begitu menginginkanku untuk menyerah padanya? Aku
tak menyangka jika pertemanan kami berakhir buruk seperti ini. Sial. Sial.
Sial.
Aku
berlari dan mendobrak pintu besar markas Aidan, mataku melotot saat melihat
gadisku dengan keadaan terkacaunya, tangannya terikat, wajahnya memar dan aku
melihat darah yang mulai mengering di dahinya dan juga sudut bibirnya. Setan!
Apa yang sudah bajingan itu lakukan padanya? Hatiku perih saat melihat air
matanya mengalir dan dai terisak pilu. Aku menekan nomor telepon Hayden dan
mengiriminya pesan untuk membawa beberapa orang ke markas Aidan, dia
membalasnya dalam waktu hitungan detik. Aku kembali menatap ruangan kumuh ini.
Dan
menyadari ada yang aneh, di mana pria sialan itu?
“Justin,
kumohon, biarkan aku di sini, aku ingin semuanya baik-baik saja dan kumohon
padamu untuk pergi dari tempat ini selagi masih ada waktu, kumohon, Justin. Kumohon.”
Ada sesuatu yang menikam hatiku saat melihatnya menangis seperti itu. “Tutup
mulutmu, Anne. Kau tak pernah mau mendengar kata-kataku. Dan inilah akibatnya,
kau lihat, mereka menyakitimu.” Aku nyaris saja kehilangan kontrol dan
membentaknya.
“Aku
senang kau datang tepat pada waktunya, Justin. Sebenarnya, ini hanyalah
permulaan, aku akan membuatmu mati perlahan karena kau tidak pernah mau
mendengarku. Aku hanya ingin kau menyerahkan tahtamu padaku, itu sangat mudah
sekali bukan, teman lamaku? Jika aku tak pernah bisa menang darimu maka ini
adalah satu-satunya cara agar kau mau menyerah.” Aku tersenyum tipis padanya.
Dia sendirian dan itu sangat menyenangkan, jika di dalam ruangan ini aku bisa
menghabisinya, dan di luar sana anak buahku yang akan berurusan dengan anggota
kelompoknya.
“Kalau
begitu coba saja.” Aku menatapnya dengan tajam, dia menggeram pelan dan lantas
menerjangku dengan keras, ya sebenarnya itu cukup sakit. Aku berdiri cepat dan
menanamkan satu pukulan keras di wajahnya, aku tersenyum saat melihat darah
merah segar mengalir dari bibir jeleknya. Aku kembali maju dan menanamkan satu
lagi pukulanku dan jantungnya, sikutku memukul tengkuknya dengan keras. Aku
mengambil pistol yang kusembunyikan di balik jaket kulitku dan mengarahkannya pada
pria lemah ini.
“Mundur!
Atau kau akan kehilangan gadis ini untuk selamanya!”
Aku
berbalik saat mendengar suara orang lain di ruangan ini. Well, tentu saja aku sudah bisa menebaknya, siapa lagi jika bukan
Amisa Bowie. Gadis bodoh yang sangat mencintai pria brengsek ini. Aku berjalan
perlahan menghampirinya dan memperhatikan tangannya yang bergetar dan aku juga
melihat Anne yang berhasil melepaskan ikatan tali di tangannya dengan pecahan
kaca tajam yang berhasil ia raih. Dia terlihat berusaha untuk tetap tenang. Aku
mengacungka pelatukku dan lantas menariknya perlahan.
“Aku
bersungguh-sungguh, brengsek. Aku akan menembak kepala gadis ini di depan
matamu.” Aku terkekeh pelan, tidak ada satu orang pun yang berani mengancam
Justin Bieber. Aku menekan pelatuk pistolku dan peluru kesayanganku melesat
dengan cepat menembus kepala gadis itu, lantas dengan cepat memutar tubuhku dan
kembali melepaskan satu peluru kesayanganku yang berhasil dengan sempurna
menembus jantung Aidan. Maafkan aku, teman lama.
Aku
merangkul tubuh Anne dan membawanya keluar dari tempat terkutuk ini, aku
melihat anak buahku yang berhasil menghabisi anggota kelompok Aidan. Hatiku
sedikit lega saat menyadari setelah ini tak aka nada lagi seorang brengsek
bernama Aidan itu.
“Justin,
Awas!” Aku merasakan tubuh terpental cukup jauh dan mendengar suara tembakkan
yang berasal dari arah belakangku. Mataku meloto saat melihat, gadisku terjatuh
dengan darah yang memenuhi pakaiannya. Tubuhku bergetar merasakan sakit yang
luar biasa di dalam tubuhku. Aku mengalihkan tatapan mataku pada Aidan yang
tersenyum penuh kemenangan. Aku kembali menembakkan peluruku dan tepat mengenai
mata dan kakinya. Dia terjatuh beberapa meter dari tempatku berdiri.
Aku
membopong tubuh kecil Anne dalam dekapanku, dan untuk yang pertama kalinya setelah
kejadian masalaluku, aku berdo’a dan mengharapkan sebuah keajaiban dariNya.
“Kumohon,
Anne. Bertahanlah untukku, kau tidak boleh meninggalkanku.”
Ya Tuhan, kumohon, selamatkan
gadisku, aku tak ingin kehilangan satu-satunya sumber cinta yang kumiliki di
dunia ini, kumohon biarkan dia tetap bersamaku, kumohon.
Aku
berdiri dari kursi dingin rumah sakit saat melihat dokter yang tadi menangani
Anne telah keluar dari dalam ruang ICU. “Bagaimana keadaannya?”
“Maafkan
saya, Mr. Bieber. Kami sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk
menyelamatkan kekasih Anda namun Tuhan berkehendak lain, kami tak bisa
menyelamatkan nyawanya.” Duniaku runtuh saat mendengar pernyataannya. Apa?
Tidak, ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Ya Tuhan, apa ini hukuman untukku?
Bahkan aku baru mengenalnya empat bulan dan sekarang aku sudah harus kehilangannya.
Air mata yang sudah lama tak pernah mengalir kini mengalir dari pelupuk mataku,
aku menangis dan belari masuk ke dalam ruang ICU, hatiku teriris saat melihat
wajah pucatnya. Aku mengecup dahi serta bibirnya dan berjalan pergi
meninggalkan rumah sakit itu.
~~
“
… sejak saat itu, aku selalu mencoba untuk mengakhiri hidupku, aku merasa sudah
tak ada gunanya lagi aku hidup tanpanya. Dia adalah satu-satunya yang
kuinginkan untuk tetap bersama denganku. Aku sangat mencintainya. Itulah yang
membuat ayahku dengan terpaksa harus memasukkanku ke rumah sakit dengan
mengatakan jika aku mengalami depresi tingkat tinggi.” Aku menghapus air mata
yang mengalir tanpa kusadari. Itu adalah kisah cinta singkat yang sangat
tragis. Aku tak akan pernah bisa membayangkan bagaimana jika aku berada
diposisi Justin saat itu.
“Dulu,
aku mengajarinya bermain piano karena salah satu impiannya adalah bisa bermain
piano dan memainkannya di hadapan semua orang yang ia cintai. Mengapa aku
dikatakan sebagai pasien paling berbahaya? Karena aku sering mencoba untuk
melukai siapa saja orang asing yang masuk keruangan tempat aku di rawat kecuali
pengantar makanan.” Dahiku berkerut seketika saat mendengar penyataannya.
“Lalu,
mengapa kau tak mencoba untuk menyakitiku?” Aku melihat sebuah senyuman tipis
di wajahnya. Astaga, apa dia tersenyum padaku?
“Itu
karena ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku tak bisa menyakitimu dan matamu,
matamu mirip sekali dengan matanya,” ujarnya pelan. Aku mendesah pelan, jadi
aku mengingatkannya pada gadis itu. “Jadi, apakah kau masih merasa jika
bayangannya masih mengikutimu?”
“Ya, terkadang, dan
saat itu muncul, aku yakin kau akan sangat takut padaku dan berharap untuk tak
pernah mengenalku.” Aku terpaku saat matanya menatapku dengan hangat. Ya ampun,
ini benar-benar berada di luar dugaanku. Ini yang sering disebut dengan rekor. “Aku
tak akan takut denganmu, Justin. Sekali pun kau berubah menjadi manusia
serigala.” Aku tersenyum lembut padanya. Aku akan membuatmu melupakannya,
Justin. Aku berjanji. Kau akan menghirup udara segar seperti dulu lagi, aku
berjanji. [
Tidak ada komentar:
Posting Komentar