Rabu, 16 April 2014

LOVE #4



BAB 4
Memories warm you up from the inside. But they also tear you apart.
Haruki Murakami, Kafka on the Shore



Hari ini, aku terkejut mendapati diriku terbangun saat matahari belum menampakkan dirinya sama sekali. Oh itu sebuah keajaiban yang sesungguhnya. Tiba-tiba aku memikirkan tentang sarapan bersama dengan Justin, kurasa itu tak terlalu buruk lagipula aku harus menjadi temannya dan mendapatkan kepercayaannya untuk mulai mendalami masa lalu pria yang kini berstatuskan menjadi pasienku.
Aku mengeringkan rambutku dan lantas menyisirnya di depan cermin dengan senyuman yang mengembang lebar di wajahku. Aku tak tahu apa yang berbeda di hari ini, tapi aku merasa jika mood-ku sedang ada di tingkat terbaiknya saat ini. Aku turun ke lantai bawah dan mendapati beberapa pelayan sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Aku menghampiri mereka dan langsung mendapatkan tundukkan hormat dari mereka semua.
“Selama pagi, Nona.”
Aku tersenyum pada mereka dan lantas membuka lemari es besar yang penuh berisikan bahan makanan yang entah untuk berapa lama. Saat aku masih di Seoul dulu, ibuku sering mengajariku memasak makanan khas di sana dan aku sama sekali tak pernah benar-benar berhasil. Tapi, ada satu masakkan yang aku bisa membuatnya dengan sempurna dan itu rasanya setara dengan masakkan restoran di sana.
“Apa yang sedang Anda lakukan, Nona? Jika Tuan tahu, kami bisa dimarahi.” Aku terkekeh dan menggeleng pelan saat semua pelayan itu berbaris di dekatku dengan wajah cemas mereka. “Tidak ada yang akan memarahi kalian, aku hanya ingin memasak sarapan untuk seseorang. Jangan ganggu aku selagi aku masih ada di dapur ini.”
Mereka kembali membungkuk dan meninggalkanku di dapur sendirian, selalu membutuhkan ketenangan untuk memasak. Aku mulai mengeluarkan tepung beras, air, dan gula pasir. Mungkin ini biasa saja, tapi aku bisa menjamin jika rasanya pasti akan sangat enak. Dulu, setiap aku membuat kue ini satu-satunya orang yang akan selalu menghabiskannya hanyalah dia, pria yang namanya masih terukir di hatiku hingga saat ini.
Ah, ada lagi, bubuk cherry dan juga bubuk kakao. Aku mencampurkan tepung beras dengan air di dalam mangkuk berukuran sedang, lalu mengaduknya hingga rata, Aku mengeluarkan saringan untuk menyaring tepung beras yang sudah dicampuri air, lalu masukkan gula secukupnya dan setelah di aduk sampai rata bahan itu di saring kembali.
Aku meletakkan kain kasa yang basah ke dalam panci pengukus dan masukkan adonan kue yang sudah jadi ke dalam. Aku mengangkat panci menuju kompor dan menyalakan api berukuran besar. Dalam dua puluh menit kue baekseolgi akan jadi dan siap untuk di makan. Aku tersenyum puas, nanti setelah kue dingin aku akan menghiasnya dengan cherry.

Aku kembali ke kamarku dan lantas memakai jas putihku, lalu mengambir tas dan kembali turun ke lantai bawah dan mendapat ayahku yang sudah tampan dan rapi sedang menyantap sarapannya. Dia tersenyum padaku, aku berjalan menghampirinya dan mengecup pipinya. “Selamat pagi, Dad.”
“Pagi, sayang. Kau tak sarapan?”
Aku tersenyum dan menggeleng pelan. “Aku akan sarapan bersama seseorang nanti, Dad.” Aku kembali melanjutkan langkah kaki ku menuju dapur.
Aku memotong kue-ku yang telah jadi menjadi beberapa potongan dan lantas menghiasnya dengan buah cherry, lalu memasukkannya ke dalam kotak makanku. Aku berlari kecil menuju mobilku dan segera berangkat menuju rumah sakit.

Aku memberhentikan mobilku di depan gedung rumah sakit dan memberikan kuncinya pada satpam, dia tersenyum sopan padaku. Aku berjalan dengan semangat masuk ke dalam tempat bercat putih ini dan masuk ke dalam lift lalu menekan tombol 7. Ya ruangan baru Justin ada di lantai tujuh ruangan nomor 113.
Lift berdenting dan aku melangkah keluar ruang sempit itu. tersenyum dengan lebar lalu dengan perlahan membuka pintu ruangan pasien pertamaku. Apa yang sedang dia lakukan sekarang?
Senyuman mendadak hilang dari wajahku saat aku melihatnya terbaring lemah di atas tempat tidur yang cukup nyaman yang selama ini tak pernah ia dapatkan selama ia di rawat di sini. Dengan langkah yang kelewat cepat, aku berjalan menghampiri tempat tidur Justin. Matanya tertutup dengan damai.
“Justin, apa kau baik-baik saja?”
Tubuhku melemas saat matanya perlahan terbuka dan bertemu pandang langsung dengan mataku. “Anne,” desisnya yang terdengar jelas di telingaku. Sejak kemarin, itulah satu-satunya kata yang ia ucapkan, hanya nama itu. Nama gadis yang begitu berarti untuknya.
“Aku bukan Anne, Justin. Aku Nichole.”
Tangannya terulur menyentuh wajahku lalu mengelusnya perlahan, aku bisa merasakan kulit tangannya yang dingin. “Anne,” desisnya lagi. Ya Tuhan, aku mendesah dalam hati.
“Baiklah, kau bisa memanggilku dengan nama itu, aku tak akan keberatan. Dan aku membawakan sarapan untukmu. Ini aku sendiri yang memasaknya.”
Aku mengambil kotak makan dari dalam tasku dan lantas membukanya, mengambil kue itu dengan tanganku. Dan mendekatkannya ke mulut Justin, dia menyambut suapan dari tanganku dan aku merasakannya. Merasakan sesuatu yang aneh terjadi padaku. Hanya dengan hal seperti itu dia bisa membuatku tersenyum, itu konyol sekali kan.
“Bagaimana rasanya?”
Aku menunggu jawabannya untuk beberapa menit, tapi dia tak kunjung merespon pertanyaanku. Jadi, aku kembali menyuapkan potongan kue dengan tanganku. Aku tak percaya ini, dia terlihat menyukai kue buatanku. Dia orang kedua yang memakan masakanku dan menyenangkan mengetahui hal sesederhana itu.
Kue itu habis dan dia sendiri yang memakannya. Ya ampun, tadi rencananya aku akan sarapan bersamanya, tapi kurasa sekarang itu menjadi aku menemaninya sarapan. Kurasa aku akan mengambil jam makan siang lebih dulu nanti.
“Jadi, bagaimana perasaanmu saat ini, Justin?” Aku menggerakkan tanganku, mencoba untuk berkomunikasi dengan cara yang lain. Oh ini terlihat bodoh, aku belum pernah belajar bahasa isyarat sebelumnya dan aku sama sekali tak mengerti apa pun mengenai hal semacam itu. Dia hanya memandangku, lama dan aku melihat ada yang berubah dari tatapan matanya, aku tak lagi melihat tatapan kosong yang kemarin memenuhi semua ruang di matanya. Hari ini, tatapan matanya lebih bermakna, lebih hidup. “Aku senang.”
Hatiku bersorak gembira saat mendengar suara kakunya merespon pertanyaanku. Ya ampun, aku tak percaya ini, dia mau meresponku. Ini kemajuan yang lebih baik dari pada yang kemarin ternyata. Aku tersenyum lebar padanya. “Apa kau menyukai kue buatanku?”
Aku kembali bertanya padanya, kurasa aku tak bisa langsung memulai pertanyaan berat mengenai masa lalunya, itu bisa kembali menyebabkan guncangan pada jiwanya. Dia sudah mau berbicara kata selain nama gadis itu, itu saja sudah membuatku senang dan aku akan kembali melaporkan perkembangan Justin hari ini pada Mr. Joplin. Kurasa dia akan sangat senang, karena semakin cepat Justin sembuh maka akan semakin cepat pula dia keluar dari rumah sakit ini dan kembali menikmati hidup sebagaimana manusia normal lainnya. Kurasa, dia sudah benar-benar menjadi bagian dari hidupku. Aku sendiri tak mengerti bagaimana mungkin hal ini terjadi begitu cepat, aku bahkan baru bertemu dengannya kemarin. Mungkin ini yang disebut takdir, siapa yang tahu tentang itu? Tidak ada kan.
“Itu enak,” ujarnya lagi. Suaranya Justin masih terdengar begitu kaku. Mungkin itu disebabkan karena dia tak pernah berbicara sejak lama. Bisa saja, karena itulah dia menjadi kaku dalam berbicara dan aku bersyukur karena dia tak bisu. Jadi, aku tak harus mempelajari bahasa isyarat untk berkomunikasi dengannya. Aku tersenyum padanya. Aku kembali meletakkan kotak makan kosong milikku di dalam tasku dan lantas duduk di samping tempat tidurnya, dia masih berbaring dengan nyaman di sana.
Aku menyentuh telapak tangannya, mengusapnya pelan. “Mau menceritakan sebuah kisah padaku?” Aku menatap ke dalam matanya, aku menemukan kehancurannya, dia terluka, marah, dia sakit, dan juga kecewa. Aku semakin tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu Justin.
Justin mengalihkan pandangannya, menatap langit-langit kamar ini. Aku mencoba untuk bersabar dan berharap dia mau menceritakannya padaku.

Flashback
New York, 2009
Aku mengumpat keras pada seseorang yang telah menabrakku. Sialan, berani sekali dia menabrakku, dia pikir siapa dia. Orang asing itu berlari menjauhiku dan tak lagi berani menoleh. Tentu saja, tak ada siapa pun yang berani melawanku. Aku berandalan paling di takuti di kota ini. Hidup ini memang menyenangkan.
Aku kembali menolehkan pandanganku ke depan dan mataku terpaku menatap seorang gadis yang sedang berlari memasukki sebuah pusat belanja. Rambutnya terkibas oleh angin, ya ampun, apa aku berlebihan jika mengatakan bahwa aku tak pernah sama sekali melihat makhluk yang lebih indah dari dia. Tidak, tidak pernah sama sekali. Tanpa sempat mengalihkan tatapanku darinya, aku ikut melangkahkan kaki ku mengikuti arah kemana ia pergi, dalam sekejab semua perhatianku terpusat padanya. Bagaimana dia bisa dengan begitu mudah mengambil alih semua perhatianku? Aku bahkan belum mengenalnya. Atau mungkin tahu namanya.
Mataku menangkapnya yang sedang berbicara dengan seorang pegawai mall, dan mendadak membeku saat melihatnya tersenyum. Ya ampun, itu adalah senyuman termanis yang pernah kulihat.
Oh, apa yang terjadi padaku? Seumur hidupku aku tak pernah sama sekali memuji seorang gadis, bahkan tidak juga untuk wanitu sialan murahan yang sudah menghancurkan hidupku. Seandainya, dia tak membawa pulang pria bajingan itu, aku yakin mungkin sampai saat ini aku bisa menikmati hidup layaknya remaja biasa. Tapi semua itu hanya di dalam khayalanku saja. Bodoh, untuk apa aku memikirkan wanita jalang itu, biarkan dia pergi ke neraka bersama dengan pria-pria yang entah sudah berapa banyak yang menidurinya.

Aku menatap tajam pada Aidan George dan teman-temannya. Sialan, dia adalah musuh bebuyutanku sejak dulu, dia selalu mencoba untuk merebut apa yang menjadi milikku. Pria brengsek itu tertawa mengejek. “Jadi, bagaimana Biebur? Apa kau akan menerima tantanganku kali ini?”
Aku membalas senyuman mengejeknya itu. “Tentu saja, kau tak akan pernah bisa menang dariku, Mama’s Boy.”
“Shit.” Aku mendengarnya mengumpat sebelum akhirnya kami menaikki motor masing-masing. Aku tersenyum licik sebelum menutup kaca gelap helmku. Seorang gadis mulai berjalan melenggak lenggok dengan pakaian mininya dan lantas dengan gaya yang sangat menjijikkan dia memasukkan tangannya dalam t-shirt ketat yang ia pakai dan tentu saja dia melepas bra renda hitam yang lumayan seksi itu. aku melesatkan motorku di arena balapan liar kali ini. Mala mini, musuh bebuyutanku, Aidan kembali menantangku untuk berduel dengannya dan tentu saja sebegai seorang bad boy sejati, aku tak akan pernah menolak siapa pun yang menantangku. Dan kali ini, jika aku menang dan seharusnya memang aku, sebagai gantinya dia akan menyerahkan jalangnya untuk menghabiskan malam yang menyenangkan bersamaku. Well, gadis yang kuketahui bernama Amisa Bowie itu menangis tersedu. Kurasa dia adalah salah satu dari gadis paling bodoh di dunia ini karena dengan mudahnya dia mau menjadi pemuas nafsu pria bajingan yang lebih brengsek dari pada aku.
Aku adalah bad boy paling tampan dan paling diinginkan di semua penjuru kota New York ini. Pesonaku sudah mengalahkan aktor-aktor papan atas Hollywood. Aku menambah kelajuan kecepatanku saat mengintip dari kaca spion kecilku, dia tak akan pernah kuberi kesempatan untuk berlaku curang padaku atau mungkin menyusul kecepatanku di arena balapan. Aku memiliki orang-orang yang kupercaya tentu saja untuk mengecek apakah ada kecurangan di arena. Sejujurnya yang melakukan kelicikan seperti itu hanya seorang pegecut, itu tanda jika dia mengakui dirinya tak mampu melawan musuh. Tapi, Aidan belum pernah satu kali pun berlaku curang setiap kali ia menantangku untuk balapan dengannya.
Mataku bersinar terang saat melihat garis pinis sudah ada di depan mata. Aku kembali menambah kecepatan motorku, sekali lagi aku melirik kaca spionku dan lantas menemukan si brengsek itu sedang berusaha untuk menyusulku. Tidak semudah itu, Mama’s boy.
Semua orang berteriak menyerukan namaku saat dengan mulus aku melewati garis pinis. Oh, aku lupa mengatakan jika aku memenangkan lime belas juta di pertandingan ini. Aku melompat turun dari motorku dan lantas melepas helmku. Aku tersenyum tipis saat nyaris semua gadis di sini meneriakkan namaku. Ryan berjalan menghampiriku dan melemparkan amplop tebal yang tentu saja itu adalah bayaranku malam ini.
“Kau memang pantas diberi julukkan sebagai raja lintasan, Justin. Kau belum pernah terkalahkan. Dan sangat menguntungkan memilikkimu di timku,” dia berujar dengan senyuman lebar di wajahnya. Pria ini sudah memasukki kepala empat, tapi belum ingin keluar dari dunia malam yang berbahaya ini. “Aku juga senang bisa ada di sini.” Aku melangkah meninggalkannya, mencoba mencari keberadaan pecundang Aidan, tapi mataku justru menangkap senyuman familiar yang terekam dengan baik di pikiranku, bahkan aku selalu berharap untuk bisa kembali melihat senyuman itu. Dia, gadis itu. Dengan pasti, aku kembali melangkah dan berhenti tepat di hadapannya. Dia tampak mencolok dengan pakaiannya yang tertutup dan sangat berbeda dengan kebanyakkan gadis yang ada di sini. Tawanya terhenti saat matanya melihatku.
Bahkan hanya dengan bertemu tatap, aku bisa merasakan getaran aneh di dalam diriku. Sial, apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh gadis asing ini padaku? Aku tak akan membuang-buang kesempatan emas yang kudapatkan kali ini untuk mengetahui siapa namanya.
“Hai.” konyol. Seumur hidupku, aku tak pernah berkata ‘hai’ pada siapa pun, mereka —para gadislah yang akan mengatakan hal-hal seperti itu padaku. Ini bodoh sekali. Aku melihat kehangatan di mata cokelat gelapnya, di sana ada ketulusan yang begitu menyeluruh, bahkan itu tergambar di senyumannya. Ouh, Justin sebenarnya apa yang terjadi padamu? Ini, ini tak pernah terjadi sebelum ini. Apa kau sedang jatuh cinta? Tidak, Justin ingat, tidak ada yang namanya cinta di dunia ini. Benakku terus berdebat dan itu membuatku terlihat semakin konyol di depannya saat ini.
“Hai.” Dia tersenyum padaku. dengan sebuah senyuman saja, sesuatu yang aneh itu kembali mengalir dalam darahku, mirip seperti aliran listrik dengan daya yang rendah namun cukup untuk membuatku sedikit gemetar.
“Aku Justin,” kataku dan mengulurkan tanganku padanya. Dia kembali tersenyum dengan manis. Dia cantik sekali. Biasanya aku benci melihat jika seorang gadis sering tersenyum seperti itu, jika mereka melakukannya di depanku maka aku akan langsung membentak mereka. Tapi, itu tak sama sekali berlaku pada gadis ini, justru aku suka melihat senyuman it uterus ada di wajah cantiknya. “Aku Annelise Lawrence, Anne.” 
Annelise Lawrence. Nama yang cantik seperti pemiliknya. Diam-diam ada satu sudut dalam diriku yang tersenyum melihat dan merasakan kulit kami bersentuhan. Aku membalas senyumannya dengan senyuman tipis milikku. Tidak, aku hanya tidak terbiasa untuk tersenyum, aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku tersenyum yang lebih lebar dari pada yang ini.
Well, aku belum pernah melihatmu di sini. Apa kau orang baru?”
Aku melirik pada gadis berambut pirang yang telah berjalan meninggalkan kami, mungkin dia sadar jika dia memang tak seharusnya ada di sini. “Ya, aku baru dua bulan ada di sini, dan ini adalah untuk yang pertama kalinya,” katanya. Aku melihat semburat merah yang menghiasi pipinya. Dan itu menambah tingkat kemanisannya.
“Apa kau Justin, pria yang memenangkan balapan tadi?” Anne mendongak dan menatapku, entah sejak kapan warna matanya menjadi warna mata kesukaanku. “Ya, aku. Apa kita bisa pergi dari sini, lalu menemukan tempat yang lebih layak untuk meneruskan obrolan kita?” Anne tampak berpikir sesaat sebelum akhirnya memberikan anggukan kepala tanda setujunya padaku. Tanpa kusadari, sebuah senyuman mengembang di wajahku dan aku menarik tangannya dalam genggamanku.
Aku rasa aku memang sudah menyukainya sejak aku pertama bertemu dengannya bulan lalu. Aku tak pernah melihat gadis sepertinya. Dia bahkan terlihat cantik hanya dengan blazer orangenya. Sungguh, bukanlah dandanan yang pas untuk datang ketempat seperti ini, tapi sejujurnya aku lebih suka melihatnya dengan pakaian yang manis seperti saat ini.
Aku menepikan motorku di depan sebuah restoran berbintang di tengah kota New York. Lalu kembali menggandeng tangannya memasukki tempat ini. Rasanya aku ingin tertawa ketika merasakan jika tangannya bergetar sekarang. Apa dia takut padaku atau dia gugup? Itu lucu sekali. Mungkin itu wajar jika ia takut padaku, tapi jika dia gugup itu adalah tanda jika dia juga mungkin menyukaiku. Baiklah sebenarnya aku juga tak tahu darimana asal mulanya kesimpulan seperti itu.
“Apa kau baik-baik saja?”
Dia sontak mendongak menatapku dan aku kembali melihat semburat merah merona di wajahnya. “Ya, aku baik-baik saja,” dia berujar dengan pelan. Aku menarik kursi untuknya dan mendengar gumaman kata terima kasih darinya. Lalu aku menarik kursi kembali untukku.
“Jadi, ceritakan tentang dirimu, Annelise?” Aku menaikkan salah satu alisku menunggu jawabannya. Dia menatapku kikuk, baiklah aku tak ingin dia menjadi begitu pendiam padaku. “aku Annelise Lawrence, lahir di Pentagon, umurku tujuh belas tahun dan aku datang ke New York karena aku sudah tak lagi memiliki alasan untuk tetap bertahan di Pentagon dan di sini aku berharap untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan nyaman, tentu saja.” Aku memutar bola mataku. Bukan itu yang ingin kuketahui.
“Tidak, maksudku adalah, kita membicarakan tentang dirimu dan apa yang kau sukai, mungkin seperti aktor, film, jenis musik. Atau mungkin kita bisa membicarakan apa yang tidak kau sukai, Anne.” Aku belum pernah berbicara sebanyak itu semenjak kejadian itu terjadi. Dan aku masih terkejut bahwa gadis ini bisa dengan mudah membuatku berbicara sebanyak itu.
“Aku suka Tom Cruise, film horror, aku suka musik country dan pop, mungkin. Lalu bagaimana denganmu, Justin?” Aku tersenyum tipis. Aku meletakkan siku ku di meja dan melihat daftar menu, membiarkannya untuk menunggu. Seorang pelayan datang menghampiri meja kami. “Stick daging dan kopi hitam dua porsi.” Pelayan itu mencatat pesananku dengan cepat lantas pergi dari hadapanku. Aku kembali menatap Anne yang masih setia menunggu.
Well, Justin sebenarnya aku tak suka kopi hitam.” Aku mengangkat bahuku acuh.
“Kita tidak sedang membahas menunya. Jadi, tak ada satu pun yang kusukai, mungkin aku suka menembak dan membunuh.” Aku bisa melihat wajahnya memucat saat aku berkata seperti itu. Gadis ini polos sekali. “Dan satu lagi, aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, Anne. Apa kau mengerti?” Dengan kaku dia mengangguk dan aku kembali tersenyum tipis.
Aku akan mendapatkanmu, itulah yang aku inginkan, kau harus menjadi milikku, Annelise Lawence.

Satu bulan bukanlah waktu yang singkat untuk proses perkenalan, dan aku sudah melalui hal itu bersamanya, siapa lagi jika bukan Annelise. Dan sekarang, dia sudah benar-benar resmi menjadi kekasihku, pendampingku hidupku. Untuk yang pertama kalinya, aku menjalin hubungan yang seperti ini, maksudku, aku tak pernah memiliki kekasih sebelum ini dan itu artinya, Anne adalah yang pertama dan aku harap dia adalah yang terakhir. Aku baru tahu jika gadis itu adalah gadis yang polos dan juga religius, dengan perlahan dia membawa pengaruh baik padaku, dan itu terjadi dalam banyak hal, aku mencintainya, aku sangat mencintainya.
Meski pun begitu, aku belum sedikit pun memberitahukan padanya mengenai diriku yang sesungguhnya, aku hanyalah seorang anak yang dibuang oleh orangtuanya dan aku sama sekali tak ingin membahas masalah masa lalu mengerikan itu dengannya, walau pun beberapa kali Anne pernah mencoba untuk membicarakan hal itu denganku, tapi aku selalu berhasil mengalihkannya.
Aidan dan teman-temannya sudah mengetahui masalah Anne dan aku sungguh khawatir jika terjadi sesuatu apa pun padanya. Itulah mengapa aku selalu berada di sampingnya, terkadang dia kesal karena aku bersikap terlalu posesif, tapi dia juga sadar jika aku melakukan itu karena aku mencintainya dan aku tak akan pernah membiarkan siapa pun menyentuhnya termasuk pria bajingan sialan itu. Tidak akan pernah.

Aku mendapatkan gadismu, Biebur. Jika kau ingin dia baik-baik saja maka kau harus meninggalkan gelar raja balapan dan bad boy paling ditakuti di New York itu atau kau akan melihat gadismu berakhir di ranjangku. Salamat malam. —Your Big Enemy

Tanganku mengepal saat mendapatkan pesan singkat yang sukses membuat emosi mengalir dengan deras dalam diriku. Gadis itu memang tak pernah mau mendengarkanku, aku yakin dia keluar sendirian dari apartementnya dan Aidan dengan mudah membawanya. Dasar bodoh. Aku mengambil jaketku dan berlari menuju mobilku yang terparkir rapi di garasi rumahku, sebenarnya ini rumah yang ayahku berikan padaku, dan aku memakainya karena aku tak ingin menyewa apartemen dan menyia-nyiakan kerja kerasnya begitu saja. Karena dia adalah satu-satunya orang yang perduli padaku.
Aku mengendari mobilku dengan kecepatan tinggi menuju markas kelompok Aidan, dia memang brengsek. Mengapa dia begitu menginginkanku untuk menyerah padanya? Aku tak menyangka jika pertemanan kami berakhir buruk seperti ini. Sial. Sial. Sial.

Aku berlari dan mendobrak pintu besar markas Aidan, mataku melotot saat melihat gadisku dengan keadaan terkacaunya, tangannya terikat, wajahnya memar dan aku melihat darah yang mulai mengering di dahinya dan juga sudut bibirnya. Setan! Apa yang sudah bajingan itu lakukan padanya? Hatiku perih saat melihat air matanya mengalir dan dai terisak pilu. Aku menekan nomor telepon Hayden dan mengiriminya pesan untuk membawa beberapa orang ke markas Aidan, dia membalasnya dalam waktu hitungan detik. Aku kembali menatap ruangan kumuh ini.
Dan menyadari ada yang aneh, di mana pria sialan itu?
“Justin, kumohon, biarkan aku di sini, aku ingin semuanya baik-baik saja dan kumohon padamu untuk pergi dari tempat ini selagi masih ada waktu, kumohon, Justin. Kumohon.” Ada sesuatu yang menikam hatiku saat melihatnya menangis seperti itu. “Tutup mulutmu, Anne. Kau tak pernah mau mendengar kata-kataku. Dan inilah akibatnya, kau lihat, mereka menyakitimu.” Aku nyaris saja kehilangan kontrol dan membentaknya.
“Aku senang kau datang tepat pada waktunya, Justin. Sebenarnya, ini hanyalah permulaan, aku akan membuatmu mati perlahan karena kau tidak pernah mau mendengarku. Aku hanya ingin kau menyerahkan tahtamu padaku, itu sangat mudah sekali bukan, teman lamaku? Jika aku tak pernah bisa menang darimu maka ini adalah satu-satunya cara agar kau mau menyerah.” Aku tersenyum tipis padanya. Dia sendirian dan itu sangat menyenangkan, jika di dalam ruangan ini aku bisa menghabisinya, dan di luar sana anak buahku yang akan berurusan dengan anggota kelompoknya.
“Kalau begitu coba saja.” Aku menatapnya dengan tajam, dia menggeram pelan dan lantas menerjangku dengan keras, ya sebenarnya itu cukup sakit. Aku berdiri cepat dan menanamkan satu pukulan keras di wajahnya, aku tersenyum saat melihat darah merah segar mengalir dari bibir jeleknya. Aku kembali maju dan menanamkan satu lagi pukulanku dan jantungnya, sikutku memukul tengkuknya dengan keras. Aku mengambil pistol yang kusembunyikan di balik jaket kulitku dan mengarahkannya pada pria lemah ini.
“Mundur! Atau kau akan kehilangan gadis ini untuk selamanya!”
Aku berbalik saat mendengar suara orang lain di ruangan ini. Well, tentu saja aku sudah bisa menebaknya, siapa lagi jika bukan Amisa Bowie. Gadis bodoh yang sangat mencintai pria brengsek ini. Aku berjalan perlahan menghampirinya dan memperhatikan tangannya yang bergetar dan aku juga melihat Anne yang berhasil melepaskan ikatan tali di tangannya dengan pecahan kaca tajam yang berhasil ia raih. Dia terlihat berusaha untuk tetap tenang. Aku mengacungka pelatukku dan lantas menariknya perlahan.
“Aku bersungguh-sungguh, brengsek. Aku akan menembak kepala gadis ini di depan matamu.” Aku terkekeh pelan, tidak ada satu orang pun yang berani mengancam Justin Bieber. Aku menekan pelatuk pistolku dan peluru kesayanganku melesat dengan cepat menembus kepala gadis itu, lantas dengan cepat memutar tubuhku dan kembali melepaskan satu peluru kesayanganku yang berhasil dengan sempurna menembus jantung Aidan. Maafkan aku, teman lama.
Aku merangkul tubuh Anne dan membawanya keluar dari tempat terkutuk ini, aku melihat anak buahku yang berhasil menghabisi anggota kelompok Aidan. Hatiku sedikit lega saat menyadari setelah ini tak aka nada lagi seorang brengsek bernama Aidan itu.
“Justin, Awas!” Aku merasakan tubuh terpental cukup jauh dan mendengar suara tembakkan yang berasal dari arah belakangku. Mataku meloto saat melihat, gadisku terjatuh dengan darah yang memenuhi pakaiannya. Tubuhku bergetar merasakan sakit yang luar biasa di dalam tubuhku. Aku mengalihkan tatapan mataku pada Aidan yang tersenyum penuh kemenangan. Aku kembali menembakkan peluruku dan tepat mengenai mata dan kakinya. Dia terjatuh beberapa meter dari tempatku berdiri.
Aku membopong tubuh kecil Anne dalam dekapanku, dan untuk yang pertama kalinya setelah kejadian masalaluku, aku berdo’a dan mengharapkan sebuah keajaiban dariNya.
“Kumohon, Anne. Bertahanlah untukku, kau tidak boleh meninggalkanku.”
Ya Tuhan, kumohon, selamatkan gadisku, aku tak ingin kehilangan satu-satunya sumber cinta yang kumiliki di dunia ini, kumohon biarkan dia tetap bersamaku, kumohon.

Aku berdiri dari kursi dingin rumah sakit saat melihat dokter yang tadi menangani Anne telah keluar dari dalam ruang ICU. “Bagaimana keadaannya?”
“Maafkan saya, Mr. Bieber. Kami sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan kekasih Anda namun Tuhan berkehendak lain, kami tak bisa menyelamatkan nyawanya.” Duniaku runtuh saat mendengar pernyataannya. Apa? Tidak, ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Ya Tuhan, apa ini hukuman untukku? Bahkan aku baru mengenalnya empat bulan dan sekarang aku sudah harus kehilangannya. Air mata yang sudah lama tak pernah mengalir kini mengalir dari pelupuk mataku, aku menangis dan belari masuk ke dalam ruang ICU, hatiku teriris saat melihat wajah pucatnya. Aku mengecup dahi serta bibirnya dan berjalan pergi meninggalkan rumah sakit itu.

~~
“ … sejak saat itu, aku selalu mencoba untuk mengakhiri hidupku, aku merasa sudah tak ada gunanya lagi aku hidup tanpanya. Dia adalah satu-satunya yang kuinginkan untuk tetap bersama denganku. Aku sangat mencintainya. Itulah yang membuat ayahku dengan terpaksa harus memasukkanku ke rumah sakit dengan mengatakan jika aku mengalami depresi tingkat tinggi.” Aku menghapus air mata yang mengalir tanpa kusadari. Itu adalah kisah cinta singkat yang sangat tragis. Aku tak akan pernah bisa membayangkan bagaimana jika aku berada diposisi Justin saat itu.
“Dulu, aku mengajarinya bermain piano karena salah satu impiannya adalah bisa bermain piano dan memainkannya di hadapan semua orang yang ia cintai. Mengapa aku dikatakan sebagai pasien paling berbahaya? Karena aku sering mencoba untuk melukai siapa saja orang asing yang masuk keruangan tempat aku di rawat kecuali pengantar makanan.” Dahiku berkerut seketika saat mendengar penyataannya.
“Lalu, mengapa kau tak mencoba untuk menyakitiku?” Aku melihat sebuah senyuman tipis di wajahnya. Astaga, apa dia tersenyum padaku?
“Itu karena ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku tak bisa menyakitimu dan matamu, matamu mirip sekali dengan matanya,” ujarnya pelan. Aku mendesah pelan, jadi aku mengingatkannya pada gadis itu. “Jadi, apakah kau masih merasa jika bayangannya masih mengikutimu?”
“Ya, terkadang, dan saat itu muncul, aku yakin kau akan sangat takut padaku dan berharap untuk tak pernah mengenalku.” Aku terpaku saat matanya menatapku dengan hangat. Ya ampun, ini benar-benar berada di luar dugaanku. Ini yang sering disebut dengan rekor. “Aku tak akan takut denganmu, Justin. Sekali pun kau berubah menjadi manusia serigala.” Aku tersenyum lembut padanya. Aku akan membuatmu melupakannya, Justin. Aku berjanji. Kau akan menghirup udara segar seperti dulu lagi, aku berjanji. [

Tidak ada komentar:

Posting Komentar