BAB
7
Where love is great,
the littlest doubts are fear
When little fears grow great, great love grows there. —William Shakespeare
When little fears grow great, great love grows there. —William Shakespeare
Pria
itu terbaring dengan tenang di atas bankar rumah sakit, kembali ke tempat di
mana selama ini dia berada. Sejak lima belas menit yang lalu aku menatapinya,
terduduk di samping tempat tidurnya. Aku menghela nafas untuk yang kesikian
kalinya, entahlah aku hanya merasa ada yang tidak beres dengan diri pria ini.
perkataannya mengenai mr. Joplin masih terus terngiang di pikiranku. Mengapa
dia membencinya? Apa mereka memiliki sebuah hubungan? Sebenarnya, berapa banyak
rahasia yang tersimpan dalam hidup Justin?
Lagi,
aku menghela nafas, lalu mengalihkan perhatianku pada layar iphoneku dan
menekan speed dial untuk menghubungi Andreas, kurasa dia satu-satunya orang yang
bisa membantuku saat ini. Jika Justin bisa berbicara dan bertingkah laku begitu
normal seperti tadi, aku ragu jika dia memiliki kelainan jiwa seperti yang
tertulis dalam berkas mengenai dirinya yang diberikan mr. Joplin padaku.
“Andreas,
aku ingin kita bicara malam ini, datanglah ke rumahku.” Aku mengirimkan voice mail karena nomornya sedang berada
di luar jangkauan. Sejujurnya, aku melewati hari yang baik bersama dengannya
hari ini. Justin, dia tak sama sekali terlihat seperti orang gila, dia terlihat
sangat normal dan baik-baik saja. Dia berbicara dan bercerita padaku, dia juga
tertawa, dia tersenyum, dan membalas lelucon yang kubuat dengan konyol. Itu
adalah kekonyolan yang manis menurutku, dan sekarang, aku jadi ragu jika dia
gila, aku belum pernah melihat orang gila bisa mengeluarkan lelucon seperti
itu. Meski pun sebenarnya dia terlalu tampan untuk dikategorikan dalam golongan
orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan.
Justin
adalah seorang mantan bad boy yang
terkenal di kota ini dan mungkin masih ada banyak orang yang mengenal namanya
sampai sekarang. Tentu saja, dia tampan, dia mempesona sekali pun dia hanya
mengenakan pakaian rumah sakit, dan dia memiliki tubuh yang sexy. Aku tak akan
menampik semua yang ada padanya adalah impian semua gadis di dunia untuk
memiliki seorang kekasih yang sesempurna Justin, meski pun tak ada yang
sempurna di dunia ini. Aku menggelengkan kepalaku berusaha untuk keluar dari
lamunan panjangku saat pintu berdecit pelan.
Aku
menoleh menatap seorang suster yang tersenyum ramah padaku. “Anda sudah
ditunggu mr. Joplin di ruangannya, Dokter,” ujarnya. Aku mengangguk padanya dan
lantas membereskan tasku juga kembali memakai jas putihku, untuk yang terkahir
kalinya saat ini, aku kembali menghela nafas dan melangkah cepat menuju ruangan
pria itu. Ah, mungkin aku bisa mendapatkan sesuatu yang baik untuk mengetahui
apa yang sebenarnya pernah terjadi antara Justin dan pria paruh baya itu.
“Aku
tahu ini mustahil, tapi kita tak bisa gegabah dan menyebabkan rencana yang
sudah kita susun selama dua tahun ini gagal begitu saja karena ualh cerobohmu.
Aku mohon, aku berjanji, aku akan segera memebereskan Bieber sialan itu untuk
selamanya dan mungkin juga bersama dengan gadis itu juga.” Aku tahu betul itu
adalah suara mr. Joplin. Aku bersandar pada jendela kaca yang ada tepat di
samping pintu masuk, kaca ini dibuat buram dan aku tak bisa melihat siapa yang
sedang berbicara dengannya.
“Baiklah,
aku minta maaf, Honey. Aku tak bermaksud untuk menggagalkan rencana kita. Aku
hanya takut jika gadis itu bisa saja menjadi ancaman untuk kita berdua, aku
sering memperhatikannya yang semakin hari semakin dekat dengan pria brengsek
itu. Aku hanya tak ingin dia menjadi penghalang bagi kita.” Jantungku seakan
berhenti berdetak, tidak apa-apaan ini. Sial. Apa yang mereka rencanakan untuk
Justin? Membunuhnya perlahan? Tubuhku dengan reflek mundur dan lebih merapat
kearah kaca, menahan nafasku saat melihat siapa yang keluar dari ruangan itu. Melanie
Parker. Wanita yang kutemui di lift tempo hari. Bagaimana mungkin mereka? Ada
hubungan apa antara mereka?
Aku
berusaha dengan sekuat tenaga untuk menemukan kembali ketenanganku, dan berusaha
untuk menghilangkan pening yang mendadak menghampiri kepalaku. Tiga menit
kemudian, aku melangkahkan kaki ku memasuki ruangan mr. Joplin. Pria itu
terlihat tenang bersama dengan tumpukan kertas putih di mejanya seolah tak
terjadi apa pun beberapa menit yang lalu. Kepalanya mendongak saat aku
melangkah mendekati mejanya dan senyuman palsu itu terpampang nyata di
wajahnya, itu mengirimkan sensasi mual ke perutku. Aku baru menyadari jika
senyuman di wajahnya selama ini adalah senyuman penuh rahasia dan aku merasa
benar-benar bodoh baru bisa membacanya sekarang setelah mendengar percakapan
aneh mereka tadi.
“Well, halo ms. Pereira, bagaimana
acaramu dengan Justin?”
Aku
menyatukan bokongku dengan kursi yang ada di hadapannya. Aku tersenyum tipis
padanya. “Cukup menyenangkan dan aku menghabiskan hari yang tak akan pernah
kulupakan seumur hidupku dengannya. Saat kami berada di tempat itu, aku sama
sekali tak melihat tanda-tanda jika Justin adalah seseorang yang memiliki
kelainan jiwa, mr. dia terlihat sangat normal sekali. Aku yakin kau tak akan
percaya bukan?” Aku memperhatikan ekspresi wajahnya dan dapat. Aku mendapatkan
perubahan mimik wajahnya dengan sangat kentara.
“Tentu,
aku sangat terkejut untuk itu dan juga senang. Semakin cepat pria itu membaik
maka aku akan semakin cepat tenang tanpa harus melihatnya lagi, aku bosan
mengurusnya menjadi pasien terlama di rumah sakit ini dan ternyata kedatanganmu
membawa berkah, terima kasih ms Pereira. Aku juga ingin melihat laporan
perkembangannya seminggu terakhir ini. itu sudah harus ada di mejaku besok
pagi,” ujarnya dengan senyuman yang sama. Aku mengangguk pelan dan lantas
berjalan cepat meninggalkan ruangan terkutuk itu.
Lagi.
Apa yang sebenarnya direncanakan oleh mereka?
Aku
sampai di ruangan Justin dan bertemu dengan seorang suster yang baru saja
memberikan suntikan kepada Justin. Gadis itu tersenyum ramah padaku. Aku
membalasnya dengan senyuman canggung. “Maaf, boleh aku bertanya sesuatu
padamu?”
“Ya,
Dok. Tentu saja,” ujarnya masih dengan senyuman cantiknya.
“Sebenarnya,
apa hubungan Melanie Parker dengan mr. Joplin?”
Alis
suster di hadapanku ini segera terangkat keatas menatapku sedikit bingung, tapi
dia menjawabnya juga. “Tentu saja, mereka adalah sepasang suami istri dulunya
dan sekarang mereka sudah memiliki hidup masing-masing. Mereka bercerai empat
tahun lalu,” katanya. Empat tahun lalu. “Baiklah, terima kasih kalau begitu.”
Suster itu mengangguk dan lantas berjalan meninggalkanku yang masih mematung di
depan pintu ruang rawat Justin.
Aku
membuka pintu ruang rawat Justin dan mendapati jika dia sedang memejamkan
matanya, tampak muda dan damai. Aku menutup kembali pintu yang kubuka dan
lantas berjalan menghampirinya. Hatiku berharap-harap cemas, pikiranku beradu
mencoba menemukan alasan yang jelas dibalik semua yang sekarang telah
kuketahui, tentang mr. Joplin dan juga Melanie Parker. Mereka tak sama sekali
berusaha melakukan apa pun untuk mengeluarkan Justin dari tempat ini. Ini bukan
untuk Justin tentu saja, mereka dengan sengaja melakukan ini dan mungkin
berniat untuk membuat Justin mati perlahan-lahan.
Tidak,
aku tak akan membiarkan apa pun terjadi padanya. Sesuatu dalam hatiku seolah
berteriak keras dan terus mendorongku untuk ikut masuk dalam misteri dibalik kisah
hidup seorang Justin Bieber dan lantas mengeluarkannya dan membuatnya
mencintaiku.
Bukankah
cinta adalah di mana kita rela berjuang untuk seseorang yang kita cintai tanpa
kenal sakit dan lelah sekali pun orang itu tak pernah tahu tentang seberapa besar
cinta kita untuknya?
Bukankah
cinta adalah di mana hati seakan buta untuk tahu mana yang benar dan mana yang
tidak benar dalam berusaha?
Cinta
yang sesungguhnya adalah cinta dengan ketulusan dan hanya hatilah yang mampu
merasakannya. Hanya hati yang tahu di mana letak ketulusan itu dan aku telah
menemukannya saat ini. Aku menemukan ketulusan itu dan mendapati ada nama
seseorang yang telah terlukis dengan tinta tebal di sana, terlukis dengan indah
membentuk dua kata yang sempat membuatku terkejut dan tak percaya hingga aku
memutuskan untuk mencarinya dan mendapatkan diriku sendiri tersesat saat
matanya menatapku dan mengunciku seolah tak ada yang abadi selain aku dan dia, Justin Bieber.
“I love you,” bisikku di telinganya dan
diam-diam mengecup dahinya, tanpa pernah kusadari hal sekecil itu bisa
membuatku tersenyum dengan mudah.
Aku
kembali ke rumah setelah membeli beberapa bungkus cemilan untuk di makan selama
aku mengobrol dengan Andreas, aku merasakan lelah menghampiri tubuhku hari ini,
tapi sekarang bukan saatnya untuk beristirahat, banyak masalah yang harus
kuselesaikan dan kurasa semuanya tentang Justin.
Aku
baru saja menyelesaikan rutinitas mandi soreku yang tergolong lama, bahkan
mungkin sampai tiga jam, dimanjkan oleh Jacuzzi-ku adalah salah satu cara untuk
menghilangkan stress dan mencoba untuk menemukan pikiran normalku kembali. Pintu
kamarku terkuak bersamaan dengan seorang pelayan yang membungkuk hormat padaku.
“Maaf,
Nona. Teman Anda sudah datang dan menunggu Anda,” ujarnya formal. Aku hanya
mengangguk dan dia kembali menutup pintuk kamarku.
Aku
membawa laptopku dan turun ke lantai bawah menemui Andreas. Aku sangat
berterima kasih padanya karena telah menyediakan waktunya yang begitu berharga
itu untukku. Dia memang satu-satunya orang yang saat ini bisa kupercaya dan aku
yakin dia menyayangiku sama seperti aku menyayanginya layaknya kakakku sendiri.
“Apa
aku membuatmu menunggu terlalu lama?”
“Tidak,
aku baru saja memesan gelas kopiku yang ke lima,” ujarnya. Aku tergelak
mendengar leluconnya. “Baiklah, sekarang apa yang harus kulakukan untukmu, Nona
Han?”
Aku
menghempaskan tubuhku ke sampingnya. Well,
kurasa ayahku belum pulang dari rutinitas kantornya yang begitu padat. Aku
sedikit bersyukur untuk itu, setidaknya dia tak perlu bergabung dengan kami dan
mengetahui masalah ini.
“Ini
tentang Justin, kau tahu dia pasienku dan aku merasa ada sesuatu yang aneh di
sini,” kataku pelan.
“Apa
maksudmu dengan aneh?”
“Tadi,
aku sengaja mengajaknya pergi ke pantai dan berusaha untuk membuatnya kembali
membuka dirinya untukku. Saat di perjalanan, dia bilang dia sangat membenci
seua dokter yang telah merawatnya, termasuk dengan mr. Joplin. Aku merasa
sangat aneh ketika dia berbicara seperti itu, aku sempat meliriknya untuk
melihat ekspersi wajahnya dan itu membuatku terkejut karena wajahnya terlihat
begitu normal, itulah yang membuatku merasa jika dia bukanlah seseorang yang
mengalami gangguan kejiwaan, Andreas, kau mengerti maksudku bukan?” Aku
mengalihkan pandanganku menatap pria yang kini terlihat seperti sedang
berpikir.
“Ya,
aku mengerti. Jadi, maksudmu ada orang yang sengaja melakukan hal ini padanya,
maksudku memasukkannya ke dalam rumah sakit?”
Aku
meresponnya dengan anggukan kepalaku. “Nyaris sepanjang hari ini, aku tak
merasakan jika aku sedang menghabiskan waktu bersama dengan seorang pria yang
kejiwaannya terganggu. Aku bahkan merasa seperti sedang menghabiskan waktu
bersama dengan teman kencanku,” kataku pelan di akhir kalimat. Walau bagaimana
pun juga, aku masih malu untuk memberitahukan perasaan aneh ini pada siapa pun
termasuk pada sahabatku sendiri.
“Kau
tahu secara tak langsung kau berbicara jika kau telah jatuh cinta padanya,
Nic.” Aku terkikik mendengarnya, Andreas memutar matanya padaku. “Ah, ada lagi,
tadi saat aku dipanggil ke ruangan mr. Joplin, aku tak sengaja mendengar
percakapannya dengan seorang wanita yang juga menjabat sebagai seorang dokter
di rumah sakit itu. Namanya Melanie Parker. Mereka membicarakan tentang Justin,
aku dan juga sebuah rencana yang sudah disusun sejak lama. Aku merasa jika
mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja menyakiti Justin, ya hatiku
berkata seperti itu,” lirihku pelan. Aku mendongak dan menatapnya tajam saat
aku mendengarnya terkekeh. Sial, itu sangat tidak sopan. Sahabatnya sedang
banyak masalah dia malan tertawa dan bukannya membantuku menyelesaikan masalahku.
“Ya
ampun, Nichole. Aku tak percaya jika kau akan secapat ini move on dari Siwon. Dan lantas jatuh cinta pada seorang pria yang
menjadi pasienmu, seberapa tampan dia hingga bisa membuatmu jatuh padanya dalam
waktu yang tergolong cepat,” kalimat ledekkannya itu sudah cukup untuk
membuatku kesal. Aku memutar bola mataku. Kang Sialan!
“Baik-baik,
maafkan aku. Aku hanya bercanda. Serius, apa yang kau ingin aku untuk lakukan?”
“Aku
hanya ingin kau mencaritahu tentang siapa sebenarnya mr. Joplin dan Melanie
Parker itu dan apa tujuan mereka menyakiti Justin. Oke?” Aku kembali menatapnya
dan dia mengangguk pasti padaku. “Anything
for you, Beb.”
Aku
memeletkan lidahku padanya dan menatap heran layar iPhoneku saat nomor rumah
sakit tertera di layarnya. Aku menempelkan benda pipih itu ke telingaku,
tubuhku mematung saat mendengar suara panik seseorang yang kuyakini seorang
suster.
“Apa
yang terjadi?”
“Kita
harus ke rumah sakit sekarang juga, Andreas. Justin. Dia, kritis, dia sedang
ada dalam keadaan kritis sekarang.” Aku berteriak panik padanya.
“Ayo,
aku akan mengantarmu ke sana,” ujarnya menarik tanganku dan kami pergi dari ruamhku.
Sial, apa yang terjadi padanya?
Justin, kritis. Dia
kritis. Itu tidak mungkin terjadi tanpa alasan yang jelas. Tanpa komando,
cairan hangat jatuh dari pelupuk mataku begitu saja. Hatiku berdebar dengan
cemas. Menyisipkan do’a disetiap debar jantungku sekarang. Jagalah dia untukku, selamatkan dia untukku, kumohon, kumohon Baiklah,aku
mengakui jika aku mencintainya dan kumohon selamatkan dia dan biarkan aku
membantunya untuk menyelesaikan masalah hidupnya yang penuh misteri ini.
Kumohon. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar