Selasa, 22 April 2014

LOVE #7



BAB 7
Where love is great, the littlest doubts are fear
When little fears grow great, great love grows there. —William Shakespeare


Pria itu terbaring dengan tenang di atas bankar rumah sakit, kembali ke tempat di mana selama ini dia berada. Sejak lima belas menit yang lalu aku menatapinya, terduduk di samping tempat tidurnya. Aku menghela nafas untuk yang kesikian kalinya, entahlah aku hanya merasa ada yang tidak beres dengan diri pria ini. perkataannya mengenai mr. Joplin masih terus terngiang di pikiranku. Mengapa dia membencinya? Apa mereka memiliki sebuah hubungan? Sebenarnya, berapa banyak rahasia yang tersimpan dalam hidup Justin?
Lagi, aku menghela nafas, lalu mengalihkan perhatianku pada layar iphoneku dan menekan speed dial untuk menghubungi Andreas, kurasa dia satu-satunya orang yang bisa membantuku saat ini. Jika Justin bisa berbicara dan bertingkah laku begitu normal seperti tadi, aku ragu jika dia memiliki kelainan jiwa seperti yang tertulis dalam berkas mengenai dirinya yang diberikan mr. Joplin padaku.
“Andreas, aku ingin kita bicara malam ini, datanglah ke rumahku.” Aku mengirimkan voice mail karena nomornya sedang berada di luar jangkauan. Sejujurnya, aku melewati hari yang baik bersama dengannya hari ini. Justin, dia tak sama sekali terlihat seperti orang gila, dia terlihat sangat normal dan baik-baik saja. Dia berbicara dan bercerita padaku, dia juga tertawa, dia tersenyum, dan membalas lelucon yang kubuat dengan konyol. Itu adalah kekonyolan yang manis menurutku, dan sekarang, aku jadi ragu jika dia gila, aku belum pernah melihat orang gila bisa mengeluarkan lelucon seperti itu. Meski pun sebenarnya dia terlalu tampan untuk dikategorikan dalam golongan orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan.
Justin adalah seorang mantan bad boy yang terkenal di kota ini dan mungkin masih ada banyak orang yang mengenal namanya sampai sekarang. Tentu saja, dia tampan, dia mempesona sekali pun dia hanya mengenakan pakaian rumah sakit, dan dia memiliki tubuh yang sexy. Aku tak akan menampik semua yang ada padanya adalah impian semua gadis di dunia untuk memiliki seorang kekasih yang sesempurna Justin, meski pun tak ada yang sempurna di dunia ini. Aku menggelengkan kepalaku berusaha untuk keluar dari lamunan panjangku saat pintu berdecit pelan.
Aku menoleh menatap seorang suster yang tersenyum ramah padaku. “Anda sudah ditunggu mr. Joplin di ruangannya, Dokter,” ujarnya. Aku mengangguk padanya dan lantas membereskan tasku juga kembali memakai jas putihku, untuk yang terkahir kalinya saat ini, aku kembali menghela nafas dan melangkah cepat menuju ruangan pria itu. Ah, mungkin aku bisa mendapatkan sesuatu yang baik untuk mengetahui apa yang sebenarnya pernah terjadi antara Justin dan pria paruh baya itu.

“Aku tahu ini mustahil, tapi kita tak bisa gegabah dan menyebabkan rencana yang sudah kita susun selama dua tahun ini gagal begitu saja karena ualh cerobohmu. Aku mohon, aku berjanji, aku akan segera memebereskan Bieber sialan itu untuk selamanya dan mungkin juga bersama dengan gadis itu juga.” Aku tahu betul itu adalah suara mr. Joplin. Aku bersandar pada jendela kaca yang ada tepat di samping pintu masuk, kaca ini dibuat buram dan aku tak bisa melihat siapa yang sedang berbicara dengannya.
“Baiklah, aku minta maaf, Honey. Aku tak bermaksud untuk menggagalkan rencana kita. Aku hanya takut jika gadis itu bisa saja menjadi ancaman untuk kita berdua, aku sering memperhatikannya yang semakin hari semakin dekat dengan pria brengsek itu. Aku hanya tak ingin dia menjadi penghalang bagi kita.” Jantungku seakan berhenti berdetak, tidak apa-apaan ini. Sial. Apa yang mereka rencanakan untuk Justin? Membunuhnya perlahan? Tubuhku dengan reflek mundur dan lebih merapat kearah kaca, menahan nafasku saat melihat siapa yang keluar dari ruangan itu. Melanie Parker. Wanita yang kutemui di lift tempo hari. Bagaimana mungkin mereka? Ada hubungan apa antara mereka?
Aku berusaha dengan sekuat tenaga untuk menemukan kembali ketenanganku, dan berusaha untuk menghilangkan pening yang mendadak menghampiri kepalaku. Tiga menit kemudian, aku melangkahkan kaki ku memasuki ruangan mr. Joplin. Pria itu terlihat tenang bersama dengan tumpukan kertas putih di mejanya seolah tak terjadi apa pun beberapa menit yang lalu. Kepalanya mendongak saat aku melangkah mendekati mejanya dan senyuman palsu itu terpampang nyata di wajahnya, itu mengirimkan sensasi mual ke perutku. Aku baru menyadari jika senyuman di wajahnya selama ini adalah senyuman penuh rahasia dan aku merasa benar-benar bodoh baru bisa membacanya sekarang setelah mendengar percakapan aneh mereka tadi.
Well, halo ms. Pereira, bagaimana acaramu dengan Justin?”
Aku menyatukan bokongku dengan kursi yang ada di hadapannya. Aku tersenyum tipis padanya. “Cukup menyenangkan dan aku menghabiskan hari yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku dengannya. Saat kami berada di tempat itu, aku sama sekali tak melihat tanda-tanda jika Justin adalah seseorang yang memiliki kelainan jiwa, mr. dia terlihat sangat normal sekali. Aku yakin kau tak akan percaya bukan?” Aku memperhatikan ekspresi wajahnya dan dapat. Aku mendapatkan perubahan mimik wajahnya dengan sangat kentara.
“Tentu, aku sangat terkejut untuk itu dan juga senang. Semakin cepat pria itu membaik maka aku akan semakin cepat tenang tanpa harus melihatnya lagi, aku bosan mengurusnya menjadi pasien terlama di rumah sakit ini dan ternyata kedatanganmu membawa berkah, terima kasih ms Pereira. Aku juga ingin melihat laporan perkembangannya seminggu terakhir ini. itu sudah harus ada di mejaku besok pagi,” ujarnya dengan senyuman yang sama. Aku mengangguk pelan dan lantas berjalan cepat meninggalkan ruangan terkutuk itu.
Lagi. Apa yang sebenarnya direncanakan oleh mereka?

Aku sampai di ruangan Justin dan bertemu dengan seorang suster yang baru saja memberikan suntikan kepada Justin. Gadis itu tersenyum ramah padaku. Aku membalasnya dengan senyuman canggung. “Maaf, boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
“Ya, Dok. Tentu saja,” ujarnya masih dengan senyuman cantiknya.
“Sebenarnya, apa hubungan Melanie Parker dengan mr. Joplin?”
Alis suster di hadapanku ini segera terangkat keatas menatapku sedikit bingung, tapi dia menjawabnya juga. “Tentu saja, mereka adalah sepasang suami istri dulunya dan sekarang mereka sudah memiliki hidup masing-masing. Mereka bercerai empat tahun lalu,” katanya. Empat tahun lalu. “Baiklah, terima kasih kalau begitu.” Suster itu mengangguk dan lantas berjalan meninggalkanku yang masih mematung di depan pintu ruang rawat Justin.
Aku membuka pintu ruang rawat Justin dan mendapati jika dia sedang memejamkan matanya, tampak muda dan damai. Aku menutup kembali pintu yang kubuka dan lantas berjalan menghampirinya. Hatiku berharap-harap cemas, pikiranku beradu mencoba menemukan alasan yang jelas dibalik semua yang sekarang telah kuketahui, tentang mr. Joplin dan juga Melanie Parker. Mereka tak sama sekali berusaha melakukan apa pun untuk mengeluarkan Justin dari tempat ini. Ini bukan untuk Justin tentu saja, mereka dengan sengaja melakukan ini dan mungkin berniat untuk membuat Justin mati perlahan-lahan.
Tidak, aku tak akan membiarkan apa pun terjadi padanya. Sesuatu dalam hatiku seolah berteriak keras dan terus mendorongku untuk ikut masuk dalam misteri dibalik kisah hidup seorang Justin Bieber dan lantas mengeluarkannya dan membuatnya mencintaiku.
Bukankah cinta adalah di mana kita rela berjuang untuk seseorang yang kita cintai tanpa kenal sakit dan lelah sekali pun orang itu tak pernah tahu tentang seberapa besar cinta kita untuknya?
Bukankah cinta adalah di mana hati seakan buta untuk tahu mana yang benar dan mana yang tidak benar dalam berusaha?
Cinta yang sesungguhnya adalah cinta dengan ketulusan dan hanya hatilah yang mampu merasakannya. Hanya hati yang tahu di mana letak ketulusan itu dan aku telah menemukannya saat ini. Aku menemukan ketulusan itu dan mendapati ada nama seseorang yang telah terlukis dengan tinta tebal di sana, terlukis dengan indah membentuk dua kata yang sempat membuatku terkejut dan tak percaya hingga aku memutuskan untuk mencarinya dan mendapatkan diriku sendiri tersesat saat matanya menatapku dan mengunciku seolah tak ada yang abadi selain aku dan dia, Justin Bieber.
I love you,” bisikku di telinganya dan diam-diam mengecup dahinya, tanpa pernah kusadari hal sekecil itu bisa membuatku tersenyum dengan mudah.

Aku kembali ke rumah setelah membeli beberapa bungkus cemilan untuk di makan selama aku mengobrol dengan Andreas, aku merasakan lelah menghampiri tubuhku hari ini, tapi sekarang bukan saatnya untuk beristirahat, banyak masalah yang harus kuselesaikan dan kurasa semuanya tentang Justin.
Aku baru saja menyelesaikan rutinitas mandi soreku yang tergolong lama, bahkan mungkin sampai tiga jam, dimanjkan oleh Jacuzzi-ku adalah salah satu cara untuk menghilangkan stress dan mencoba untuk menemukan pikiran normalku kembali. Pintu kamarku terkuak bersamaan dengan seorang pelayan yang membungkuk hormat padaku.
“Maaf, Nona. Teman Anda sudah datang dan menunggu Anda,” ujarnya formal. Aku hanya mengangguk dan dia kembali menutup pintuk kamarku.
Aku membawa laptopku dan turun ke lantai bawah menemui Andreas. Aku sangat berterima kasih padanya karena telah menyediakan waktunya yang begitu berharga itu untukku. Dia memang satu-satunya orang yang saat ini bisa kupercaya dan aku yakin dia menyayangiku sama seperti aku menyayanginya layaknya kakakku sendiri.

“Apa aku membuatmu menunggu terlalu lama?”
“Tidak, aku baru saja memesan gelas kopiku yang ke lima,” ujarnya. Aku tergelak mendengar leluconnya. “Baiklah, sekarang apa yang harus kulakukan untukmu, Nona Han?”
Aku menghempaskan tubuhku ke sampingnya. Well, kurasa ayahku belum pulang dari rutinitas kantornya yang begitu padat. Aku sedikit bersyukur untuk itu, setidaknya dia tak perlu bergabung dengan kami dan mengetahui masalah ini.
“Ini tentang Justin, kau tahu dia pasienku dan aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini,” kataku pelan.
“Apa maksudmu dengan aneh?”
“Tadi, aku sengaja mengajaknya pergi ke pantai dan berusaha untuk membuatnya kembali membuka dirinya untukku. Saat di perjalanan, dia bilang dia sangat membenci seua dokter yang telah merawatnya, termasuk dengan mr. Joplin. Aku merasa sangat aneh ketika dia berbicara seperti itu, aku sempat meliriknya untuk melihat ekspersi wajahnya dan itu membuatku terkejut karena wajahnya terlihat begitu normal, itulah yang membuatku merasa jika dia bukanlah seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan, Andreas, kau mengerti maksudku bukan?” Aku mengalihkan pandanganku menatap pria yang kini terlihat seperti sedang berpikir.  
“Ya, aku mengerti. Jadi, maksudmu ada orang yang sengaja melakukan hal ini padanya, maksudku memasukkannya ke dalam rumah sakit?”
Aku meresponnya dengan anggukan kepalaku. “Nyaris sepanjang hari ini, aku tak merasakan jika aku sedang menghabiskan waktu bersama dengan seorang pria yang kejiwaannya terganggu. Aku bahkan merasa seperti sedang menghabiskan waktu bersama dengan teman kencanku,” kataku pelan di akhir kalimat. Walau bagaimana pun juga, aku masih malu untuk memberitahukan perasaan aneh ini pada siapa pun termasuk pada sahabatku sendiri.
“Kau tahu secara tak langsung kau berbicara jika kau telah jatuh cinta padanya, Nic.” Aku terkikik mendengarnya, Andreas memutar matanya padaku. “Ah, ada lagi, tadi saat aku dipanggil ke ruangan mr. Joplin, aku tak sengaja mendengar percakapannya dengan seorang wanita yang juga menjabat sebagai seorang dokter di rumah sakit itu. Namanya Melanie Parker. Mereka membicarakan tentang Justin, aku dan juga sebuah rencana yang sudah disusun sejak lama. Aku merasa jika mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja menyakiti Justin, ya hatiku berkata seperti itu,” lirihku pelan. Aku mendongak dan menatapnya tajam saat aku mendengarnya terkekeh. Sial, itu sangat tidak sopan. Sahabatnya sedang banyak masalah dia malan tertawa dan bukannya membantuku menyelesaikan masalahku.
“Ya ampun, Nichole. Aku tak percaya jika kau akan secapat ini move on dari Siwon. Dan lantas jatuh cinta pada seorang pria yang menjadi pasienmu, seberapa tampan dia hingga bisa membuatmu jatuh padanya dalam waktu yang tergolong cepat,” kalimat ledekkannya itu sudah cukup untuk membuatku kesal. Aku memutar bola mataku. Kang Sialan!
“Baik-baik, maafkan aku. Aku hanya bercanda. Serius, apa yang kau ingin aku untuk lakukan?”
“Aku hanya ingin kau mencaritahu tentang siapa sebenarnya mr. Joplin dan Melanie Parker itu dan apa tujuan mereka menyakiti Justin. Oke?” Aku kembali menatapnya dan dia mengangguk pasti padaku. “Anything for you, Beb.”
Aku memeletkan lidahku padanya dan menatap heran layar iPhoneku saat nomor rumah sakit tertera di layarnya. Aku menempelkan benda pipih itu ke telingaku, tubuhku mematung saat mendengar suara panik seseorang yang kuyakini seorang suster.
“Apa yang terjadi?”
“Kita harus ke rumah sakit sekarang juga, Andreas. Justin. Dia, kritis, dia sedang ada dalam keadaan kritis sekarang.” Aku berteriak panik padanya.
“Ayo, aku akan mengantarmu ke sana,” ujarnya menarik tanganku dan kami pergi dari ruamhku. Sial, apa yang terjadi padanya?
Justin, kritis. Dia kritis. Itu tidak mungkin terjadi tanpa alasan yang jelas. Tanpa komando, cairan hangat jatuh dari pelupuk mataku begitu saja. Hatiku berdebar dengan cemas. Menyisipkan do’a disetiap debar jantungku sekarang. Jagalah dia untukku, selamatkan dia untukku, kumohon, kumohon Baiklah,aku mengakui jika aku mencintainya dan kumohon selamatkan dia dan biarkan aku membantunya untuk menyelesaikan masalah hidupnya yang penuh misteri ini. Kumohon.  []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar