Selasa, 08 April 2014

EVERLASTING #2



 
Memakai dress menawan dan terlihat anggun di hadapan semua mata adalah impian setiap gadis. Malam ini, akan kutunjukkan kalau aku jauh lebih cantik dari gadis-gadis yang selama ini dikenalkan Justin padaku.
Ku pakai dress yang ku punya emm sejujurnya aku hanya memiliki dua dress. Oh jangan terkejut atau heran dengan kenyataan itu karena aku tak suka memakai dress, semua yang kumiliki adalah gaun bangsawan yang indah, jeans, kemeja, t-shirt, tanktop, dan sweater. Dan tadi ketika aku mencoba yang pertama ternyata dress itu sudah kekecilan di tubuhku. Semoga yang satu ini masih bisa ku pakai.

Oh my god, apa pertumbuhanku secepat itu? Akukan baru membeli dress ini satu tahun yang lalu, mengapa sudah sempit seperti ini. Ah sial.” Aku mengumpat tak jelas dan sekarang aku bingung harus pakai apa karena biasanya aku hanya memakai jeans juga kemeja atau t-shirt, tapi sangat tidak mungkin kalau aku memakai pakaian itu malam ini.
“Kau ini, harusnya kau minta bantuanku untuk berkencan dengan Rob, kau tahukan aku ini maniak dress.” Aku tersentak dan mendongak menatap Cait dengan begitu banyak dress cantik tergantung di tangannya. Aku tersenyum bodoh menatapnya. Terima kasih pada Tuhan karena aku memiliki kakak ipar terbaik di dunia.

Ya, aku rasa ini pilihan terakhirku. Dress ini menguasai semuanya, simple, elegan, anggun dan manis. Cait menata rambutku sedemikian rupa hingga terlihat begitu sempurna. Aku tak mengomentari perkataannya tentang aku yang akan berkencan dengan Rob. Aku sedang malas.
“Nah selesai. Wow, luar biasa Elz, kau cantik sekali malam ini," pujiannya sedikit membuatku malu.
“Kau berlebihan.” Tak lama kudengar klakson mobil dari halaman depan istana ini. Ku pandang Cait yang tersenyum menggodaku.
“Itu dia. Pangeranmu sudah menjemput cepat sana. Jangan biarkan dia menunggumu.” Aku tersenyum tipis menanggapi pernyataannya mengenai hal ini.

“Kau terlihat berbeda malam ini. Dress baru?” Rob memulai pembicaraan ketika mobilnya telah cukup jauh membawa kami meninggalkan istana Dad. Aku memandangnya sesaat.
“Tidak. Ini milik Cait, dia meminjamkanku untuk malam ini. Dia berpikir bahwa kita akan berkencan. Padahal ini hanya sekedar makan malam biasa.” Kudengar dia terkekeh.
“Aku rasa malam ini memang kita sedang berkencan. Ah lebih tepatnya kencan ganda.” Dia tertawa sebelum akhirnya mobil ini berhenti tepat didepan sebuah Café yang sering ku datangi bersama Justin. Robert sudah tahu kalau dia akan menemaniku untuk menemui Justin dan kekasihnya. Kekasih barunya.
Semua mata menatap kearah dimana tempat aku dan Robert berdiri memandang adakah tempat kosong untuk menjadi tempat kami duduk. Seorang pelayan mempersilakan kami untuk masuk ke ruangan viv.

“Mengapa kau mau melakukan hal-hal bodoh seperti ini Elz?” Aku mengerutkan dahiku tak mengerti maksud perkataannya.
“Kau rela berdandan hanya untuk seseorang yang tak mencintaimu, membantunya dalam segala hal termasuk memilihkan seorang kekasih untuknya. Mengapa kau melakukan hal seperti ini?” Aku terdiam bingung tak tahu harus menjawab apa. Aku menghela nafasku.
“Keputusan Rob. Ini masalah keputusan,” jawabku pada akhirnya.
“Keputusan paling bodoh yang pernah kau buat, Elz.” Aku menunduk sejenak mencoba untuk mengurangi sekelebat spekulasi yang ada di kepalaku.
“Keputusan seseorang bukan berarti sama dengan ‘jiwa yang tertekan’ hanya saja hatinya tak mampu menampung luka.” Aku mengehela nafasku yang terasa sesak.

“Aku tak mengerti tentang keputusanmu itu, Elz. Harusnya yang kau lakukan adalah mengejar cintamu bukan membiarkannya pergi begitu saja tanpa pernah kau perjuangkan.” Aku terrenyum kecut padanya.
“Tidak, Rob. Aku tak perlu mengejarnya atau pun memperjuangkannya seperti itu. Aku juga tak perlu menunjukkan padanya bahwa di sini ada seorang gadis yang menunggu dan mencintainya tanpa pernah kenal lelah. Karena dia sudah pergi terlalu jauh dariku, aku takkan sanggup lagi menangkapnya sementara aku tak lagi memiliki sayapku.” Walaupun cinta itu jauh setidaknya aku memilikinya dalam hal persahabatan.
“Baiklah, aku juga tidak mengerti, bagaimana bisa J...” perkataan Rob tiba-tiba terpotong ketika suara seorang yang sangat aku kenal menyembut nama kami.
“Hey Elz dan hei Rob.” Sudahku katakan hubungan Justin dan Robert memang tak begitu baik, mereka pernah bertengkar gara-gara pertandingan basket.
Aku tersenyum menanggapi perkataan Justin bahkan aku tak perduli ketika dia mengecup pipiku, itu memang sudah menjadi kebiasaannya.
Mataku terus menatap gadis cantik yang ia gandeng.


Sebuah pertemuan mengawali sebuah kisah yang panjang. Setelah berkenalan dan mengobrol bersama dengan gadis bernama Selena itu, aku rasa dia gadis yang baik dan manis. Meskipun dia masih terlihat kaku.
Selena datang dari New Mexico. Justin bilang mereka bertemu saat liburan musim dingin tahun lalu di Paris. Selena bukan seorang gadis dari kalangan atas atau bangsawan sepertiku, dia biasa-biasa saja. Sederhana.
Jika kulihat dari tatapan mata Justin, aku dapat menarik kesimpulan bahwa kali ini dia memang benar-benar mencintai gadis bernama Selena itu. Dia juga memintaku untuk menilai semua yang ada pada diri gadisnya itu. Meskipun sejujurnya, hatiku terasa nyeri untuk melakukan semua itu tapi, aku tetap melakukannya.
Saat akan pulang, Justin mengecup dahiku dan aku memeluk Selena sebelum masuk ke mobil Robert.

“Mengapa kau mengatakan sesuatu yang tak sama dengan hatimu, Elz? Harusnya kau mengakui semuanya pada Justin, aku tak mengerti dengan apa yang sebenarnya sedang ada di kepala cantikmu itu.” Robert menatapku dengan perasaan kesal yang menyelubunginya, aku tahu kalau dia memang menyukaiku selama ini, tapi aku akan menunggu kapan dia berani menyatakan perasaannya itu padaku.
“Sudahlah Rob. Aku sedang tak ingin membahas semua itu.” Aku tahu ini memang salah. Tak seharusnya aku menyembunyikan apa yang telah terjadi dari semua orang, aku akan segera memberitahukan semuanya ketika aku siap untuk mengatakan hal yang membuatku kadang sering tertekan keadaan.
Dari setiap pahit yang aku rasakan yang paling pahit itu adalah melihat orang yang ku cintai menggandeng tangan gadis lain di depanku. Itu membuatku merasakan pahitnya, pahit yang melebihi pahitnya obat-obatan yang aku konsumsi. Aku memang lemah tak sekuat yang semua orang pikirkan.

Aku menyambut pagi baruku dengan sebuah senyuman tipis seperti biasanya. Aku sampai di depan kelasku dan berjalan menuju tempat dudukku. Banyak siswa yang begitu ramah padaku dan aku juga berusaha untuk membalas perbuatan mereka.
Menunggu Mrs.Carrey datang aku memasang earbud-ku dan menekan tombol play ketika ku temukan lagu Pearl milik seorang penyanyi yang kusukai. Aku tak bisa berkonsentrasi belajar jika sebelum atau sesudahnya aku tak mendengarkan musik.
Ku pejamkan sejenak mataku dan mengangkat naik tudung sweaterku.
Menikmati bayangan tentang sekelebat masalaluku yang pahit. Dua tahun lalu ketika aku merasa hidupku tak lagi berjalan dengan normal.
Aku mendapati kenyataan yang membuatku kehilangan akal sehatku dan rasanya seperti jatuh dari atas jurang tak bertepi, masuk tersesat dalam kegelapan yang tak pernah kutahui ada.  Menyakitkan ketika aku diberitahu berita buruk ini oleh salah satu dokter kepercayaan keluarga William.

“Aku minta maaf harus mengabarkan berita ini padamu, Elz. Kau mengidap kanker otak stadium dua. Setelah melihat hasil dari tes yang kau lakukan kemarin. Aku melihat ada tumor di kepalamu. Aku juga tak mengerti bagaimana bisa tumor dan sel kanker bersarang di sana karena setahuku semua keluarga William tak memiliki penyakit ini.” Mr.Robins menjelaskan semua tentang penyakit yang tengah bersarang di kepalaku.
Awalnya dia menyarankanku untuk operasi, tapi aku menolaknya mentah-mentah takkan ada untungnya bagiku, kemungkinan akan sembuh hanya beberapa persen.

Aku tak pernah membiarkan otakku bekerja terlalu berat. Itu yang akan membuat sel kanker dan tumor cepat berkembang, dengan mendengarkan musik akan membuat ketanangan di otakku. Aku tak pernah memberitahu siapapun tentang ini, aku meminta Mr.Robins untuk tidak membocorkannya. Alhasil aku selalu diperiksa diam-diam dan minum obat juga diam-diam.

Aku melangkahkan kakiku memasuki ruang musik, tak ada orang disini. Aku tertarik untuk memainkan piano klasik berwarna putih yang membuatnya terlihat sempurna. Kusentuh tuts-tuts piano itu dan berniat menyanyikan sebuah lagu yang mewakili perasaanku.


He put it on me, I put it on
Like there was nothin' wrong
It didn't fit, it wasn't right
Wasn't just the size
They say you know when you know
I don't know
I didn't feel
The fairy tale feeling, no
Am I a stupid girl
For even dreaming that I could?
If it's not like the movies
That's how it should be
When he's the one, I'll come undone
And my world will stop spinning
And that's just the beginning

Snow White said when I was young
One day, my prince will come so I'll wait for that date
They say it's hard to meet your match
Gotta find my better half so we make perfect shapes
If stars don't align, if it doesn't stop time
If you can't see the sign, wait for it
One-hundred percent, worth every penny you spend
He'll be the one that finishes your sentences

'Cause I know you're out there
And you're, you're lookin' for me
It's a crazy idea that
You were made perfectly for me, you see
Just like the movies
That's how it will be
Cinematic and dramatic
With the perfect ending .
.................

Air mataku mengalir ketika aku menyelesaikan lagu ini. Justin, aku tak bisa membohongi perasaanku padamu. Benar-benar tak bisa, tapi aku tahu semua yang kumiliki untukmu tak akan pernah terungkap dan mungkin akan tetap kujaga untuk menjadi miliku sendiri sampai waktu yang tak bisa kutentukan.

Alunan melodi slow menggema memenuhi pikiranku yang sempat kacau tadinya. Nada piano klasik memenuhi sudut-sudut ruang musik Oxford High School.

New Moon. Aku memainkan nada yang ada di film fantasi remaja favoritku. Aku pernah berpikir tentang sebuah kisah cinta sepasang remaja. Kisah cinta yang sempurna tanpa penghalang dalam makna konotasinya. Pemikiranku tentang semua kisah dalam semua novel romance remaja yang terkumpul di lemari khusus tempat novel di dalam kamarku, semuanya mengisahkan tentang betapa manis dan sempurnanya kisah cinta mereka saat umur mereka yang memang sudah layak mendapatkan arti dalam sebuah kisah cinta. Sedangkan aku hanya menganggumi dari segala kesempurnaan itu ketika menerima kenyataan bahwa rasa cintaku tak bisa mendapatkan hal yang selayaknya.
Walau hanya untuk memeluknya itu adalah hal yang benar-benar sulit untukku. Aku memahami satu hal setelah merasakan ini dalam waktu yang cukup lama.
Bahwa tiap detik dalam hidup kita begitu berharga, nafas adalah simbol dari semua kehidupan. Aku memahami arti sebuah perasaan cinta yang tertuju pada seseorang yang membuatku merasa terikat padanya. Bukan cinta yang salah, hanya takdirlah yang tak berpihak. Menyadari semuanya, itulah faktor yang membuatku kuat.

Ketenangan taman sekolah ini patut dijadikan sebagai tempat mengungkapkan kekesalan.Tak ada penghuni disini hanya ada aku ditemani iPod dan novel romance Eternal karangan penulis favoritku Alyson Noël. “Seandainya aku menjadi bagian dari tokoh utama didalam novel ini, pasti akan menyenangkan,” gumamku menggambarkan lukisan senyuman di wajahku ikut merasakan kebahagiaan yang ada di novel ini.

“Kau akan bahagia dengan jalan yang kau pilih, kau tak perlu dan tak harus menjadi diri orang lain. Dirimu sendiri mampu untuk membuatmu bahagia. Semuanya ada dalam pilihanmu.” Aku terpaku mendengar kalimat-kalimat teratur yang keluar dari mulutnya. Aku kenal suaranya. Pacuan jantungku berubah menjadi tak beraturan ketika tangan lembutnya menyentuh tanganku.
Aku mendongak menatap wajah khas yang begitu kukenal. Yang selama ini kukagumi, yang membuatku gila akan semua cintanya, berharap suatu saat akan ada sedikit saja cintaku yang sampai padanya.
“Kau lihat aku, Elz. Aku sahabatmu. Tak mungkin aku membiarkanmu murung seperti ini. Mengapa kau berusaha menyembunyikan sesuatu dariku? Sebelumnya kau selalu jujur tentang semuanya.” Ada rasa nyeri itu lagi menyambar hatiku ketika kata 'sahabat' keluar dari mulutnya. Ya, aku hanyalah seorang sahabat untuknya.
Ada dua hal yang tak bisa ku sampaikan dan akan terus ku sembunyikan darimu Just.
Karena memang pada dasarnya aku tak mampu mengungkapkannya dan juga aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri.

“Tidak, aku hanya sedang tak enak badan. Kau berlebihan, Just. Aku tak menyembunyikan apapun darimu.” Aku tersenyum padanya, mencoba untuk menampilkan senyuman yang tulus dari hatiku.
“Kau tahu, aku sudah sangat mengenalmu. Aku tahu segala hal tentangmu. Bolehkah aku meminta sebuah permintaan darimu?” Aku mengerutkan dahiku. Aneh. Itulah satu kata yang ada di dalam pikiranku, tak biasanya Justin bersikap seperti ini.

“Apa itu?” Dia menghembuskan nafasnya sebelum akhirnya kembali menatapku yang menunggu hal apa yang akan dikatakannya.
“Aku ingin menciummu.” Mataku melebar, jantungku berhenti berdetak dalam seperkian detik hingga akhirnya dia benar-benar mengecupku, mendekapku penuh. Pacuan jantungku begitu cepat membuatku terus meremas t-shirtku dengan kuat. Tangannya merengkuh wajahku membuatku tak bisa menolaknya. Mengapa dia melakukan hal seperti ini? Membuat harapanku bertambah kuat untuknya. Harapan yang tak akan pernah bisa dia kabulkan atau mungkin mengerti.
Dia menarik bibirnya menyudahi kegiatan itu. Aku baru sadar posisku yang sekarang sudag ada dipangkuannya. Nafasku belum sepenuhnya teratur ketika dia kembali mendekap dan merengkuh wajahku dan mengecupku kembali. Ada apa dengannya? Justin, kau memperbesar lagi harapanku.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar