Jumat, 18 April 2014

EVERLASTING #3



 Elizabeth William (putri dari kerajaan william)
 

Desah nafas tak teratur itu masih terdengar jelas di telingaku. Aku tak mengerti arti perlakuannya padaku. Mengapa dia begitu memberiku banyak alasan untuk mencintainya? Untuk menyayanginya?
“Kau tahu, aku ingin kau tahu satu hal, aku memang ingin mengatakan hal ini padamu sejak kita kecil, aku .. sebenarnya aku .. aku mencintaimu, Elz.” Aku mendengarnya dengan jelas ya aku mendengar semua kalimat yang keluar dari mulutnya, dia bilang dia mencintaiku. Rasanya hatiku seperti melompat ingin mengeluarkan sebuah lengkingan yang menggambarkan kebahagiaan sementara yang kudapat. Tapi tak bisa. Mataku terus terpaku menatapnya yang masih enggan melepas dekapannya.
“Kau percaya? Aku tahu harusnya aku mengatakan hal ini padamu sejak dulu. Aku tak punya keberanian, Elz. Harapanku sudah hilang ketika Rob datang dan merusak semuanya.” Aku mengerutkan dahiku, mendengar nama Rob keluar dari deretan kalimatnya.
“Apa maksudmu?” kataku pada akhirnya.
“Rob, dia mencintaimu. Aku muak melihat kalian terus bersama-sama, itulah hal yang membuatku dan dia berkelahi dan hubungan kami menjadi tidak baik.” Akhirnya aku menemukan jawabannya. Jawaban mengapa mereka berkelahi.
“Sekarang aku sudah merasa lega sudah mengungkapkan semuanya padamu. Kau tahu, Elz. Kurasa hari ini akan jadi hari paling bahagia untukku karena aku menjadi pria pertama yang menciummu.” Kurasakan wajahku memanas. Astaga, mengapa jadi berganti topik seperti ini?
“Jangan malu. Aku bahagia bisa mencintai sahabat karibku. Aku tak meminta apapun darimu hanya hal kecil seperti tadi saja.” Aku semakin malu dan berniat untuk bangun dari pangkuannya.
“Eits, tidak boleh. Aku ingin seperti ini sampai aku puas.” Aku menatapnya kesal. Mengapa tingkahnya begitu konyol?
“Ayolah Just, aku tak ingin ada orang yang salah paham karena hal ini.” Dia menatapku dengan wajah lugunya.
“Dan aku tak perduli,” jawaban yang berhasil membuatku menyerah.
“Bibirmu manis Elz.” Aku menatapnya aneh membuatnya tertawa lebar di hadapanku.
“apa?” Dia mencubit pipiku. Oh tingkahnya aneh sekali hari ini.
“Jangan pasang wajah seperti itu.” Aku menghela nafas panjang.

Ada perasaan bahagia yang menyelubungiku hari ini. Aku mendapatkan pernyataan yang selama ini aku tunggu-tunggu. Ternyata dia juga memiliki perasaan yang sama denganku, meskipun dia tak memintaku untuk jadi kekasihnya aku tetap bahagia dengan ini.
“Boleh aku merasakannya lagi.” Aku menjauhkan wajahku darinya.
“Tidak, kau tidak akan mendapatkannya lagi. Kau membuatku hampir mati kehabisan nafas.” Aku berdecak kesal dan itu lagi-lagi membuatnya tertawa.
“Tapi menurutku kau tak kalah bersemangat dariku Elz.” Wajahku merona kembali.

Aku berjalan menelusuri lorong-lorong gedung sekolah. Jam pelajaran telah berakhir sekitar setengah jam yang lalu. Hari ini, Justin yang akan mengantarku pulang, katanya ia merindukan Mom dan Dadku. Dia memang dekat dengan keluargaku, dia adalah cucu mantan raja London sebelum kakekku menggantikan kedudukan kakeknya menjadi seorang raja.
Aku memang berteman dengan orang-orang dari kalangan atas, tapi bukan berarti aku mengabaikan rakyat yang lain. Aku menyayangi mereka semua. Mobilnya terparkir dihadapanku. Jalanan licin karena salju yang turun. Justin keluar dari mobilnya dan lantas membantuku memasuki mobilnya.
“Bagaimana dengan semua kekasihmu, Just?” Aku dengar dia tertawa ‘lagi’.
“Sekarang kekasihku hanya satu, Elz. Aku takkan menyakiti Selena. Dia sangat berharga bagiku.” Aku tersenyum pahit dan mengalihkan pandanganku kearah luar.
“Aku tahu. Terlihat jelas dari pandangan matamu. Akhirnya kau menemukan cinta yang kau tunggu.” Nyeri itu terasa lagi. Menghantam hatiku dengan keras dan membuat sedikit mengernyit.  Selalu seperti ini, ternyata belum ada yang berubah aku tak tahu kapan aku bisa berhenti mencintainya.

Justin menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidurku. Aku melepaskan jaket tebal yang melekat pada tubuhku lalu mengaktivkan penghangat ruangannya. Aku menatapnya yang memejamkan mata, entah apa yang sedang ada di dalam pikirannya itu aku tak tahu. Aku bergabung dengannya, berbaring di sampingnya dan ikut memejamkan mataku, membayangkan beberapa kemungkinan yang mungkin akan terjadi setelah ini sebelum akhirnya aku merasa seseorang mendekapku erat, membentuk sebuah senyuman di wajahku dan berharap hari ini takkan pernah berakhir walaupun pada kenyataannya ini hanya sementara sampai ia menemui gadis pujaannya itu. Dekapannya membuatku terbawa kealam bawah sadarku

Aku tersadar dari mimpi indah yang menyinggahi tidurku kali ini. Aku menatap ruang sekelilingku, tak mendapati Justin ada disini. Aku bangun dan duduk di atas tempat tidurku menemukan sebuah memo kecil yang terletak di atas meja kecil di samping tempat tidurku.
Maaf. Aku tak bisa menunggu sampai kau bangun terlebih dahulu. Aku harus menemani Selena hari ini. -Your Bestfriend

Aku menyelesaikan tugasku tepat pada waktunya, sepuluh menit sebelum Rob berkunjung ke rumahku malam ini. Aku membuka laptopku dan mendapati sebuah email dari seseorang yang jelas aku mengenalnya.

“Ingat, Elz. Besok kau harus datang ke tempatku. Jangan sampai lupa.” Aku menepuk dahiku ketika aku sadar bahwa aku melupakan hal paling penting. Oh mengapa aku bisa melupakan hal itu? jeritku didalam hati.

Nanny telah selesai mengikat tali-tali pada busana kerajaan yang sedang aku kenakan. Aku harus terbiasa memakainya meski rasanya hampir kehabisan nafas. Aku menggerai rambutku begitu saja, kepalaku sedang pusing untuk mengubah style rambutku seperti biasanya. Aku mendengar deringan iPhoneku membuatku berlari kecil ketempat tidurku untuk menyapa seseorang yang menelponku.
“Halo.” Aku tahu dia akan menanyakan hal yang 'macam-macam'.
“Ada apa?” Aku berjalan kearah balkon istana ini, menatap pilar-pilar dengan simbol turun temurun keluarga William yang sejak dulu berdiri kokoh.
“Bagaimana tidurmu? Aku yakin kau mimpi indah.” Sudah kukatakan.
“Jangan bicara sembarangan,” gumamku kesal.
“Aku tak sembarangan, Elz. Bahkan saat aku menciummu lagi pun kau tak terbangun padahal aku sudah menekannya, tapi tetap saja tak berhasil, kau tukang tidur Elz.” Ya, bagus sekali perkataannya kali ini benar-benar membuatku merona, untunglah tak ada siapapun disini.
“Sudahlah, kau bersenang-senanglah dengan gadismu. Jangan buat dia sakit hati Just, kau ingat hatinya terlalu berharga untuk kau sakiti.” Aaku menekan dadaku mencoba menahan nyeri yang kurasakan.
“Ya, aku tahu.. Aku takkan pernah menyakitinya, Elz.” Air mataku jatuh setelah kalimat itu keluar dari mulutnya.
“Ya ingat kataku, disetiap cinta pasti ada janji jangan mencoba untuk membuatnya kalau kau tak yakin bisa. Kaulah yang dapat menggenggam kebahagiaanmu bukan orang lain.” Aku memutuskan sambungan telepon itu, menekan dadaku lalu memukulnya pelan berharap dapat mengurangi perih dan sesak yang kurasakan saat ini. Ya, jangan kecewakan orang yang kau cintai sekalipun dia hanya 'mencintaimu' sebagai sahabatnya saja.

Aku menatap jutaan bintang yang menghiasi langit malam ini. Malam terindah pada musim dingin di London. Genggaman hangat tangan Rob tak pernah mengendur sejak awal kami memutuskan menghabiskan malam ini di halaman belakang istana dad.
“Kau memikirkannya, Elz.” Aku menatap Rob yang menatapku dengan tatapan dalamnya.
“Ya, aku tak bisa berhenti walau hanya sedetik saja.” Jangan menangis didepannya Elz.
“Menangislah kalau kau ingin menangis.” Aku duduk diatas rerumputan yang ada di halaman belakang istana keluarga William.
“Air mata itu jatuh mengiringi sebuah alasan mengapa ada sebuah hati yang hancur dengan cintanya sendiri.” Diamku dalam tangis membuatku tak mampu menepis anggapan bahwa aku seorang putri yang lemah.
“Mengapa kau begitu naif untuk menyatakan perasaanmu, Elz?” Aku kembali menatap bintang-bintang itu.
“Kejujuran itu akan menjadi menyenangkan jika kebohongan tak pernah ada,” Aku menarik nafas dalam seblum akhirnya berkata “... tapi meskipun kejujuran itu indah. Berbeda arti jika kejujuran itu menyakit hati begitu banyak orang.” Aku takut untuk mengambil risiko. Aku takkan pernah memilih sebuah pilihan untuk menghadapi sebuah risiko.
Salju turun, seakan tahu keadaan hatiku yang tengah merasakan sakitnya patah hati dengan semua pernyataan tentang cinta pertama. Sakitnya yang membuatku menangis mengalahkan sakit yang tengah bersarang di kepalaku.


Aku selalu menyukai permainan pianonya yang begitu indah. Membentuk sebuah ketenangan sesaat. Ketika dingin hampir membuatku beku tangannya mengankatku membawaku dalam dekapan hangatnya, meski sempat terkejud tapi, aku tahu kebiasaannya yang takut melihatku terpeleset karena salju. Di Istana Dad, aku memiliki semua alat musik yang ku sukai dan aku bisa memainkannya.
“Bernyanyilah untukku, Elz.” Aku menatapnya dan tersenyum semanis mungkin, aku akan menuruti semua kemaunannya malam ini, dia pria yang sangat baik. Rob, semoga nanti ada gadis beruntung yang dapat menyentuh bermil-mil kedalam hatimu.


I still remember the world
From the eyes of a child
Slowly those feelings
Were clouded by what I know now
Where has my heart gone
An uneven trade for the real world

I still remember the sun
Always warm on my back
Somehow it seems colder now
Where has my heart gone
Trapped in the eyes of a stranger

As the years pass by before my face
As wars rage before me

Finding myself in these last days of existence
This parasite inside me
I forced it out
In the darkness of the storm liesan evil, but it's me
Where has my heart gone?
An uneven trade for the real world
.......

Aku melangkah mengelilingi hyde park yang sekarang dipenuhi dengan salju. Tadinya, aku ingin pergi bersama Stefan dan Caitlin, tapi aku takut merusak kebersamaan mereka dengan kehadiranku. Jadi, lebih baik aku pergi sendiri saja aku yakin akan lebih menyenangkan. Aku duduk disebuah kursi yang ada disekitar danau buatan didekat hyde park.
Banyak orang berlalu lalang ditempat ini. Mereka takkan mengenaliku dengan pakaianku yang seperti ini. Aku memasang earbud-ku dan menekan tombol play ketika lagu yang ingin ku dengar ketemu. Memejamkan mataku sejenak mengiringi lagu slow yang tengah kudengar. Teringat suatu kejadian yang membuatku sadar akan apa yang ada di balik pacuan jantungku selama ini, ketika matanya menatapku, dan aliran darahku yang seperti berhenti ketika kulitnya bersentuhan dengan kulitku.

“Bagaimana Just? Apa kau telah memiliki pendapat tentang pertanyaan Mrs Sabine?” ujarku kesal karena sedari tadi, Justin terus saja bercanda dan melakukan hal-hal konyol yang menjadi hobinya.
“Aku dapat. Jadi, menurutku cinta adalah persahabatan …” aku menatapnya terpaku akan kalimat yang terlontar dari muludnya. Dia menatapku merengkuh wajahku lembut dengan kedua tangannya. “…cinta adalah persahabatan, ya, karena kalau seorang gadis itu tak mampu menjadi sahabatku maka dia takkan pernah bisa menjadi sosok cinta dalam hidupku, jadi cinta adalah persahabatan. Mudah sajakan, sebenarnya kata-kata itu kuambil dari salah film, kita tinggal berharap semoga saja Mrs Sabine tak pernah menontonnya,” katanya sebelum dia mengecup dahiku lembut dan lebih lama dari biasanya.
Apakah aku bisa menjadi cinta dibalik sebuah bayangan seorang sahabat karib?

 Aku menghapus air mataku dan kembali melanjudkan perjalananku mengelilingi Hyde Park yang belum terselesaikan. Aku mengganti laguku, sejujurnya lagu-lagu yang ada di iPodku ini hampir semuanya lagu slow karena itu lagu yang bisa membuat tekanan dunia luar berkurang.

Kakiku terhenti ketika mataku menatap pemandangan yang sedang tak ingin ku lihat.
sulit mengartikan apa yang ada didalam hati, pikiran dan perasaanku saat ini. Aku meremas jaket tebal yang sedang membaluti tubuhku. Mencoba menahan sesak yang kembali bersarang dalam paru-paruku, berusaha meredam perih yang tengah menyerangku 'kembali'. Tak bisa aku bohongi lagi perasaanku padamu, Just. Aku memang mencintaimu, tapi aku tak mungkin bisa memilikimu. Kau terlalu mencintainya tanpa melihat ada sosok cinta di balik bayangan seorang 'sahabat karib' selama ini.
Justin tetap berciuman dengan Selena, tanpa merasakan ada aku yang sedari tadi memperhatikan mereka. Berdiri mematung seperti orang bodoh tanpa dapat melakukan apapun.
“Saat aku sadar betapa jauhnya bintang itu untukku gapai dalam hatiku dan membuatnya tahu bahwa aku mencintainya,” gumamku. Kurasa tak ada yang dapat mendengar suaraku yang begitu kecil, lebih terdengar seperti bisikkan.
“Kau gadis terbodoh yang pernah aku kenal, Elz.” Seseorang menarikku kedalam dekapan hangatnya, membuat air mata yang sedari tadi terus ku tahan mengalir jatuh keatas telapak tanganku. Aku menggerakkan tanganku membalas pelukannya dan mencoba untuk menumpahkan kepedihanku akan semuanya.
“Kau bodoh. Mengapa kau diam saja? Harusnya kau lari dari sini.” Suaranya tertahan menahan nada kesalnya, berusaha untuk menangkanku yang terisak dalam dekapannya, menyembunyikan wajahku didada bidangnya.
“Aku sakit Rob, aku sakit.. Maafkan aku,” suaraku bergetar. Sungguh aku tak bisa mengungkapkan bagaimana rasa sakitnya dalam sebuah kalimat dengan sempurna. Hanya air mataku yang mampu membuktikan perih dan pedihku menahan luka yang terus mendalam tanpa ada betadin untuk membuatnya lebih baik, sungguh ini terlalu menyakitkan.


Aku termenung menatap kosong tanpa arah. Masih terasa nyeri yang terjadi padaku akibat kejadian kemarin. Dia tak menyadari kehadiranku.
Sekarang muncul spekulasi baru dalam pikiranku 'apakah dia memang tak pernah menganggapku ada?' Mungkinkah dia hanya melihatku dengan tatapan sebelah matanya.
Kejadian mengerikan itu terus berkutat dalam pikiranku, berputar layaknya sebuah pentas drama menyakitkan yang lebih menyentuh dari pada pentas Romeo dan Juliet.
Robert membawaku ke dalam gendongannya, dan mengantarku pulang tepat dua jam sebelum waktunya aku melakukan jadwal rutinku setiap minggu.
Aku masih mengingat perkataan Mr. Robins tentang penyakitku.
“Bagus, tak terjadi peningkatan apapun didalam kepalamu. Kau harus terus mendengarkan musik slow kebanggaanmu sebagai obat utamanya.” Ada rasa bahagia di hatiku ketika mendapati pernyataannya. Ternyata caraku cukup jitu.

Lagu slow dari iPodku terus berputar. Aku sangat menyukai lagu ini membuatku masuk dan ikut merasakan sakitnya cerita cinta sang pengarang lagu. Taman Oxford memang jarang dikunjungi tapi, itulah mengapa ini menjadi tempatku untuk menenangkan diri dari semua yang menekanku, apapun itu.
Kali ini aku tak membawa novelku. Entah mengapa aku bisa melupakannya. Sebentar lagi aku akan lulus dari high school dan akan masuk sebagai mahasiswa universitas yang pastinya aku akan memilih Oxford. Sekolah kebanggaan Keluarga William. Biasanya tiga tahun sekali akan mengadakan perjalanan laut dengan kapal revolusi titanic untuk mengunjungi Amerika lebih tepatnya New York.
Aku akan mengikuti perjalanan itu karena ini adalah moment spesial bersamaan dengan hari ulangtahunku nantinya. Aku tersentak ketika merasakan seseorang mendekapku erat.
“Hah, kau terkejud ternyata.. Apa yang sedang kau pikirkan?” Aku menghela nafas ketika aku mendengar suara ini, suara yang sangat aku kenali.

“Lepaskan aku Just,” kataku pada akhirnya setelah berdiam dalam dekapannya seperti ini.
“Baik, baik, sekarang ceritakan padaku apa yang membuatmu murung seperti itu?” Dia melompat duduk dan berbaring di pangkuanku, membimbing tanganku untuk menyentuh helai-helai rambutnya yang lembut.
“Tak ada, aku hanya memikirkan rencana untuk liburan terakhirku sebagai siswa senior high school nantinya” Aku menatapnya yang terkekeh.
“Kau tenang saja, aku sudah mendaftarkan nama kita berdua dalam keberangkatan Pearl Of Titan.” Mataku membesar mendengar perkataannya.
“Apa?” Dia kembali tertawa lebar membuatku memukul pelan kepalanya.
“Santailah, Elz. Aku sudah mengurus semuanya untuk kau, aku, Selena, dan Robert.” Aku menatapnya bingung. Untuk apa dia mempersiapkan hal tentang Robert? Bukankah mereka bermusuhan? Ah mungkin tak seburuk itu.
“Baiklah, aku menerima idemu. Kebetulan, aku juga sudah merencanakan untuk menaiki kapal itu. Revolusi terbaru dari kapal uap paling bersejarah, Titanic.” Dia tersenyum padaku.
“Mengapa kau memandangku seperti itu?” Aku menerutkan dahiku. Justin bangun dari pangkuanku dan lantar merengkuh wajahku lembut.
“Aku rasa kau aneh, Elz. Aku bisa merasakannya. Jika sekarang ada sesuatu hal yang begitu penting sedang kau sembunyikan dariku dan semua orang,” perkataannya yang sempat aku dengar sebelum dia mengecupku lembut. Aku terdiam untuk sekian detik. Hingga dia menekan kepalaku.

Alunan gitar acoustik menggema di ruang musik istana Dad. Aku mencoba untuk kembali melihat dan ingin memperbaiki hal yang salah. Cinta pertama tak berpihak padaku.
Aku tak mengerti bagaimana bisa kisah cintaku berawal dari sebuah persahabatan. Penggabungan dua jiwa yang berbeda membutuh waktu dan proses yang sangat lama.
Tapi aku tak yakin bisa menunggu Justin sampai dia benar-benar menyadari kalau aku adalah cinta tulus di balik sosok yang selama ini ia pandang sebagai 'sahabat karibnya'.
Aku sudah jatuh terlalu jauh, tak ada yang mampu membantuku untuk keluar dari sebuah lubang perih yang menguburku bersama air mataku selama ini. []


 Justin :**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar