Elizabeth William (putri dari kerajaan william)
Desah nafas tak teratur itu masih terdengar jelas
di telingaku. Aku tak mengerti arti perlakuannya padaku. Mengapa dia begitu
memberiku banyak alasan untuk mencintainya? Untuk menyayanginya?
“Kau tahu, aku ingin kau tahu satu hal, aku memang
ingin mengatakan hal ini padamu sejak kita kecil, aku .. sebenarnya aku .. aku
mencintaimu, Elz.” Aku mendengarnya dengan jelas ya aku mendengar semua kalimat
yang keluar dari mulutnya, dia bilang dia mencintaiku. Rasanya hatiku seperti
melompat ingin mengeluarkan sebuah lengkingan yang menggambarkan kebahagiaan
sementara yang kudapat. Tapi tak bisa. Mataku terus terpaku menatapnya yang masih
enggan melepas dekapannya.
“Kau percaya? Aku tahu harusnya aku mengatakan hal
ini padamu sejak dulu. Aku tak punya keberanian, Elz. Harapanku sudah hilang
ketika Rob datang dan merusak semuanya.” Aku mengerutkan dahiku, mendengar nama
Rob keluar dari deretan kalimatnya.
“Apa maksudmu?” kataku pada akhirnya.
“Rob, dia mencintaimu. Aku muak melihat kalian
terus bersama-sama, itulah hal yang membuatku dan dia berkelahi dan hubungan
kami menjadi tidak baik.” Akhirnya aku menemukan jawabannya. Jawaban mengapa
mereka berkelahi.
“Sekarang aku sudah merasa lega sudah mengungkapkan
semuanya padamu. Kau tahu, Elz. Kurasa hari ini akan jadi hari paling bahagia
untukku karena aku menjadi pria pertama yang menciummu.” Kurasakan wajahku memanas.
Astaga, mengapa jadi berganti topik seperti ini?
“Jangan malu. Aku bahagia bisa mencintai sahabat
karibku. Aku tak meminta apapun darimu hanya hal kecil seperti tadi saja.” Aku
semakin malu dan berniat untuk bangun dari pangkuannya.
“Eits, tidak boleh. Aku ingin seperti ini sampai
aku puas.” Aku menatapnya kesal. Mengapa tingkahnya begitu konyol?
“Ayolah Just, aku tak ingin ada orang yang salah
paham karena hal ini.” Dia menatapku dengan wajah lugunya.
“Dan aku tak perduli,” jawaban yang berhasil
membuatku menyerah.
“Bibirmu manis Elz.” Aku menatapnya aneh
membuatnya tertawa lebar di hadapanku.
“apa?” Dia mencubit pipiku. Oh tingkahnya aneh
sekali hari ini.
“Jangan pasang wajah seperti itu.” Aku menghela
nafas panjang.
Ada perasaan bahagia yang menyelubungiku hari ini.
Aku mendapatkan pernyataan yang selama ini aku tunggu-tunggu. Ternyata dia juga
memiliki perasaan yang sama denganku, meskipun dia tak memintaku untuk jadi
kekasihnya aku tetap bahagia dengan ini.
“Boleh aku merasakannya lagi.” Aku menjauhkan
wajahku darinya.
“Tidak, kau tidak akan mendapatkannya lagi. Kau
membuatku hampir mati kehabisan nafas.” Aku berdecak kesal dan itu lagi-lagi
membuatnya tertawa.
“Tapi menurutku kau tak kalah bersemangat dariku Elz.”
Wajahku merona kembali.
Aku berjalan menelusuri lorong-lorong gedung
sekolah. Jam pelajaran telah berakhir sekitar setengah jam yang lalu. Hari ini,
Justin yang akan mengantarku pulang, katanya ia merindukan Mom dan Dadku. Dia
memang dekat dengan keluargaku, dia adalah cucu mantan raja London sebelum
kakekku menggantikan kedudukan kakeknya menjadi seorang raja.
Aku memang berteman dengan orang-orang dari
kalangan atas, tapi bukan berarti aku mengabaikan rakyat yang lain. Aku
menyayangi mereka semua. Mobilnya terparkir dihadapanku. Jalanan licin karena
salju yang turun. Justin keluar dari mobilnya dan lantas membantuku memasuki
mobilnya.
“Bagaimana dengan semua kekasihmu, Just?” Aku
dengar dia tertawa ‘lagi’.
“Sekarang kekasihku hanya satu, Elz. Aku takkan
menyakiti Selena. Dia sangat berharga bagiku.” Aku tersenyum pahit dan mengalihkan
pandanganku kearah luar.
“Aku tahu. Terlihat jelas dari pandangan matamu.
Akhirnya kau menemukan cinta yang kau tunggu.” Nyeri itu terasa lagi.
Menghantam hatiku dengan keras dan membuat sedikit mengernyit. Selalu seperti ini, ternyata belum ada yang
berubah aku tak tahu kapan aku bisa berhenti mencintainya.
Justin menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidurku.
Aku melepaskan jaket tebal yang melekat pada tubuhku lalu mengaktivkan
penghangat ruangannya. Aku menatapnya yang memejamkan mata, entah apa yang
sedang ada di dalam pikirannya itu aku tak tahu. Aku bergabung dengannya,
berbaring di sampingnya dan ikut memejamkan mataku, membayangkan beberapa
kemungkinan yang mungkin akan terjadi setelah ini sebelum akhirnya aku merasa
seseorang mendekapku erat, membentuk sebuah senyuman di wajahku dan berharap
hari ini takkan pernah berakhir walaupun pada kenyataannya ini hanya sementara
sampai ia menemui gadis pujaannya itu. Dekapannya membuatku terbawa kealam
bawah sadarku
Aku tersadar dari mimpi indah yang menyinggahi
tidurku kali ini. Aku menatap ruang sekelilingku, tak mendapati Justin ada
disini. Aku bangun dan duduk di atas tempat tidurku menemukan sebuah memo kecil
yang terletak di atas meja kecil di samping tempat tidurku.
“Maaf. Aku tak bisa menunggu sampai kau bangun terlebih
dahulu. Aku harus menemani Selena hari ini. -Your Bestfriend”
Aku menyelesaikan tugasku tepat pada waktunya,
sepuluh menit sebelum Rob berkunjung ke rumahku malam ini. Aku membuka laptopku
dan mendapati sebuah email dari seseorang yang jelas aku mengenalnya.
“Ingat, Elz. Besok kau harus datang ke tempatku.
Jangan sampai lupa.” Aku menepuk dahiku ketika aku sadar bahwa aku melupakan
hal paling penting. Oh mengapa aku bisa melupakan hal itu? jeritku didalam
hati.
Nanny telah selesai mengikat tali-tali pada busana
kerajaan yang sedang aku kenakan. Aku harus terbiasa memakainya meski rasanya
hampir kehabisan nafas. Aku menggerai rambutku begitu saja, kepalaku sedang
pusing untuk mengubah style rambutku seperti biasanya. Aku mendengar deringan
iPhoneku membuatku berlari kecil ketempat tidurku untuk menyapa seseorang yang
menelponku.
“Halo.” Aku tahu dia akan menanyakan hal yang
'macam-macam'.
“Ada apa?” Aku berjalan kearah balkon istana ini,
menatap pilar-pilar dengan simbol turun temurun keluarga William yang sejak
dulu berdiri kokoh.
“Bagaimana tidurmu? Aku yakin kau mimpi indah.”
Sudah kukatakan.
“Jangan bicara sembarangan,” gumamku kesal.
“Aku tak sembarangan, Elz. Bahkan saat aku
menciummu lagi pun kau tak terbangun padahal aku sudah menekannya, tapi tetap
saja tak berhasil, kau tukang tidur Elz.” Ya, bagus sekali perkataannya kali
ini benar-benar membuatku merona, untunglah tak ada siapapun disini.
“Sudahlah, kau bersenang-senanglah dengan gadismu.
Jangan buat dia sakit hati Just, kau ingat hatinya terlalu berharga untuk kau
sakiti.” Aaku menekan dadaku mencoba menahan nyeri yang kurasakan.
“Ya, aku tahu.. Aku takkan pernah menyakitinya,
Elz.” Air mataku jatuh setelah kalimat itu keluar dari mulutnya.
“Ya ingat kataku, disetiap cinta pasti ada janji
jangan mencoba untuk membuatnya kalau kau tak yakin bisa. Kaulah yang dapat
menggenggam kebahagiaanmu bukan orang lain.” Aku memutuskan sambungan telepon
itu, menekan dadaku lalu memukulnya pelan berharap dapat mengurangi perih dan sesak
yang kurasakan saat ini. Ya, jangan kecewakan orang yang kau cintai sekalipun
dia hanya 'mencintaimu' sebagai sahabatnya saja.
Aku menatap jutaan bintang yang menghiasi langit
malam ini. Malam terindah pada musim dingin di London. Genggaman hangat tangan
Rob tak pernah mengendur sejak awal kami memutuskan menghabiskan malam ini di
halaman belakang istana dad.
“Kau memikirkannya, Elz.” Aku menatap Rob yang menatapku
dengan tatapan dalamnya.
“Ya, aku tak bisa berhenti walau hanya sedetik
saja.” Jangan menangis didepannya Elz.
“Menangislah kalau kau ingin menangis.” Aku duduk
diatas rerumputan yang ada di halaman belakang istana keluarga William.
“Air mata itu jatuh mengiringi sebuah alasan
mengapa ada sebuah hati yang hancur dengan cintanya sendiri.” Diamku dalam
tangis membuatku tak mampu menepis anggapan bahwa aku seorang putri yang lemah.
“Mengapa kau begitu naif untuk menyatakan
perasaanmu, Elz?” Aku kembali menatap bintang-bintang itu.
“Kejujuran itu akan menjadi menyenangkan jika
kebohongan tak pernah ada,” Aku
menarik nafas dalam seblum akhirnya berkata “... tapi meskipun kejujuran itu indah.
Berbeda arti jika kejujuran itu menyakit hati begitu banyak orang.” Aku takut
untuk mengambil risiko. Aku takkan pernah memilih sebuah pilihan untuk
menghadapi sebuah risiko.
Salju turun, seakan tahu keadaan hatiku yang
tengah merasakan sakitnya patah hati dengan semua pernyataan tentang cinta
pertama. Sakitnya yang membuatku menangis mengalahkan sakit yang tengah
bersarang di kepalaku.
Aku selalu menyukai permainan pianonya yang begitu
indah. Membentuk sebuah ketenangan sesaat. Ketika dingin hampir membuatku beku
tangannya mengankatku membawaku dalam dekapan hangatnya, meski sempat terkejud
tapi, aku tahu kebiasaannya yang takut melihatku terpeleset karena salju. Di
Istana Dad, aku memiliki semua alat musik yang ku sukai dan aku bisa
memainkannya.
“Bernyanyilah untukku, Elz.” Aku menatapnya dan
tersenyum semanis mungkin, aku akan menuruti semua kemaunannya malam ini, dia
pria yang sangat baik. Rob, semoga nanti ada gadis beruntung yang dapat
menyentuh bermil-mil kedalam hatimu.
I still remember the world
From the eyes of a child
Slowly those feelings
Were clouded by what I know now
Where has my heart gone
An uneven trade for the real world
I still remember the sun
Always warm on my back
Somehow it seems colder now
Where has my heart gone
Trapped in the eyes of a stranger
As the years pass by before my face
As wars rage before me
Finding myself in these last days of existence
This parasite inside me
I forced it out
In the darkness of the storm liesan evil, but it's me
Where has my heart gone?
An uneven trade for the real world .......
I still remember the world
From the eyes of a child
Slowly those feelings
Were clouded by what I know now
Where has my heart gone
An uneven trade for the real world
I still remember the sun
Always warm on my back
Somehow it seems colder now
Where has my heart gone
Trapped in the eyes of a stranger
As the years pass by before my face
As wars rage before me
Finding myself in these last days of existence
This parasite inside me
I forced it out
In the darkness of the storm liesan evil, but it's me
Where has my heart gone?
An uneven trade for the real world .......
Aku melangkah mengelilingi hyde park yang sekarang
dipenuhi dengan salju. Tadinya, aku ingin pergi bersama Stefan dan Caitlin,
tapi aku takut merusak kebersamaan mereka dengan kehadiranku. Jadi, lebih baik
aku pergi sendiri saja aku yakin akan lebih menyenangkan. Aku duduk disebuah
kursi yang ada disekitar danau buatan didekat hyde park.
Banyak orang berlalu lalang ditempat ini. Mereka
takkan mengenaliku dengan pakaianku yang seperti ini. Aku memasang earbud-ku
dan menekan tombol play ketika lagu yang ingin ku dengar ketemu. Memejamkan
mataku sejenak mengiringi lagu slow yang tengah kudengar. Teringat suatu
kejadian yang membuatku sadar akan apa yang ada di balik pacuan jantungku
selama ini, ketika matanya menatapku, dan aliran darahku yang seperti berhenti
ketika kulitnya bersentuhan dengan kulitku.
“Bagaimana Just? Apa kau telah memiliki pendapat
tentang pertanyaan Mrs Sabine?” ujarku kesal karena sedari tadi, Justin terus
saja bercanda dan melakukan hal-hal konyol yang menjadi hobinya.
“Aku dapat. Jadi, menurutku cinta adalah
persahabatan …” aku menatapnya terpaku akan kalimat yang terlontar dari
muludnya. Dia menatapku merengkuh wajahku lembut dengan kedua tangannya. “…cinta
adalah persahabatan, ya, karena kalau seorang gadis itu tak mampu menjadi
sahabatku maka dia takkan pernah bisa menjadi sosok cinta dalam hidupku, jadi cinta
adalah persahabatan. Mudah sajakan, sebenarnya kata-kata itu kuambil dari salah
film, kita tinggal berharap semoga saja Mrs Sabine tak pernah menontonnya,” katanya
sebelum dia mengecup dahiku lembut dan lebih lama dari biasanya.
Apakah aku bisa menjadi cinta dibalik sebuah bayangan
seorang sahabat karib?
Aku
menghapus air mataku dan kembali melanjudkan perjalananku mengelilingi Hyde Park
yang belum terselesaikan. Aku mengganti laguku, sejujurnya lagu-lagu yang ada
di iPodku ini hampir semuanya lagu slow
karena itu lagu yang bisa membuat tekanan dunia luar berkurang.
Kakiku terhenti ketika mataku menatap pemandangan
yang sedang tak ingin ku lihat.
sulit mengartikan apa yang ada didalam hati, pikiran dan perasaanku saat ini. Aku meremas jaket tebal yang sedang membaluti tubuhku. Mencoba menahan sesak yang kembali bersarang dalam paru-paruku, berusaha meredam perih yang tengah menyerangku 'kembali'. Tak bisa aku bohongi lagi perasaanku padamu, Just. Aku memang mencintaimu, tapi aku tak mungkin bisa memilikimu. Kau terlalu mencintainya tanpa melihat ada sosok cinta di balik bayangan seorang 'sahabat karib' selama ini.
sulit mengartikan apa yang ada didalam hati, pikiran dan perasaanku saat ini. Aku meremas jaket tebal yang sedang membaluti tubuhku. Mencoba menahan sesak yang kembali bersarang dalam paru-paruku, berusaha meredam perih yang tengah menyerangku 'kembali'. Tak bisa aku bohongi lagi perasaanku padamu, Just. Aku memang mencintaimu, tapi aku tak mungkin bisa memilikimu. Kau terlalu mencintainya tanpa melihat ada sosok cinta di balik bayangan seorang 'sahabat karib' selama ini.
Justin tetap berciuman dengan Selena, tanpa
merasakan ada aku yang sedari tadi memperhatikan mereka. Berdiri mematung
seperti orang bodoh tanpa dapat melakukan apapun.
“Saat aku sadar betapa jauhnya bintang itu untukku
gapai dalam hatiku dan membuatnya tahu bahwa aku mencintainya,” gumamku. Kurasa
tak ada yang dapat mendengar suaraku yang begitu kecil, lebih terdengar seperti
bisikkan.
“Kau gadis terbodoh yang pernah aku kenal, Elz.” Seseorang
menarikku kedalam dekapan hangatnya, membuat air mata yang sedari tadi terus ku
tahan mengalir jatuh keatas telapak tanganku. Aku menggerakkan tanganku
membalas pelukannya dan mencoba untuk menumpahkan kepedihanku akan semuanya.
“Kau bodoh. Mengapa kau diam saja? Harusnya kau
lari dari sini.” Suaranya tertahan menahan nada kesalnya, berusaha untuk
menangkanku yang terisak dalam dekapannya, menyembunyikan wajahku didada
bidangnya.
“Aku sakit Rob, aku sakit.. Maafkan aku,” suaraku
bergetar. Sungguh aku tak bisa mengungkapkan bagaimana rasa sakitnya dalam
sebuah kalimat dengan sempurna. Hanya air mataku yang mampu membuktikan perih
dan pedihku menahan luka yang terus mendalam tanpa ada betadin untuk membuatnya
lebih baik, sungguh ini terlalu menyakitkan.
Aku termenung menatap kosong tanpa arah. Masih
terasa nyeri yang terjadi padaku akibat kejadian kemarin. Dia tak menyadari
kehadiranku.
Sekarang muncul spekulasi baru dalam pikiranku
'apakah dia memang tak pernah menganggapku ada?' Mungkinkah dia hanya melihatku
dengan tatapan sebelah matanya.
Kejadian mengerikan itu terus berkutat dalam pikiranku, berputar layaknya sebuah pentas drama menyakitkan yang lebih menyentuh dari pada pentas Romeo dan Juliet.
Kejadian mengerikan itu terus berkutat dalam pikiranku, berputar layaknya sebuah pentas drama menyakitkan yang lebih menyentuh dari pada pentas Romeo dan Juliet.
Robert membawaku ke dalam gendongannya, dan
mengantarku pulang tepat dua jam sebelum waktunya aku melakukan jadwal rutinku
setiap minggu.
Aku masih mengingat perkataan Mr. Robins tentang
penyakitku.
“Bagus, tak terjadi peningkatan apapun didalam
kepalamu. Kau harus terus mendengarkan musik slow kebanggaanmu sebagai obat utamanya.” Ada rasa bahagia di
hatiku ketika mendapati pernyataannya. Ternyata caraku cukup jitu.
Lagu slow dari iPodku terus berputar. Aku sangat
menyukai lagu ini membuatku masuk dan ikut merasakan sakitnya cerita cinta sang
pengarang lagu. Taman Oxford memang jarang dikunjungi tapi, itulah mengapa ini
menjadi tempatku untuk menenangkan diri dari semua yang menekanku, apapun itu.
Kali ini aku tak membawa novelku. Entah mengapa
aku bisa melupakannya. Sebentar lagi aku akan lulus dari high school dan akan
masuk sebagai mahasiswa universitas yang pastinya aku akan memilih Oxford. Sekolah
kebanggaan Keluarga William. Biasanya tiga tahun sekali akan mengadakan
perjalanan laut dengan kapal revolusi titanic untuk mengunjungi Amerika lebih
tepatnya New York.
Aku akan mengikuti perjalanan itu karena ini
adalah moment spesial bersamaan dengan hari ulangtahunku nantinya. Aku
tersentak ketika merasakan seseorang mendekapku erat.
“Hah, kau terkejud ternyata.. Apa yang sedang kau pikirkan?” Aku menghela nafas ketika aku mendengar suara ini, suara yang sangat aku kenali.
“Hah, kau terkejud ternyata.. Apa yang sedang kau pikirkan?” Aku menghela nafas ketika aku mendengar suara ini, suara yang sangat aku kenali.
“Lepaskan aku Just,” kataku pada akhirnya setelah
berdiam dalam dekapannya seperti ini.
“Baik, baik, sekarang ceritakan padaku apa yang
membuatmu murung seperti itu?” Dia melompat duduk dan berbaring di pangkuanku,
membimbing tanganku untuk menyentuh helai-helai rambutnya yang lembut.
“Tak ada, aku hanya memikirkan rencana untuk
liburan terakhirku sebagai siswa senior high school nantinya” Aku menatapnya
yang terkekeh.
“Kau tenang saja, aku sudah mendaftarkan nama kita
berdua dalam keberangkatan Pearl Of Titan.” Mataku membesar mendengar
perkataannya.
“Apa?” Dia kembali tertawa lebar membuatku memukul
pelan kepalanya.
“Santailah, Elz. Aku sudah mengurus semuanya untuk
kau, aku, Selena, dan Robert.” Aku menatapnya bingung. Untuk apa dia
mempersiapkan hal tentang Robert? Bukankah mereka bermusuhan? Ah mungkin tak
seburuk itu.
“Baiklah, aku menerima idemu. Kebetulan, aku juga
sudah merencanakan untuk menaiki kapal itu. Revolusi terbaru dari kapal uap
paling bersejarah, Titanic.” Dia tersenyum padaku.
“Mengapa kau memandangku seperti itu?” Aku
menerutkan dahiku. Justin bangun dari pangkuanku dan lantar merengkuh wajahku
lembut.
“Aku rasa kau aneh, Elz. Aku bisa merasakannya. Jika
sekarang ada sesuatu hal yang begitu penting sedang kau sembunyikan dariku dan
semua orang,” perkataannya yang sempat aku dengar sebelum dia mengecupku
lembut. Aku terdiam untuk sekian detik. Hingga dia menekan kepalaku.
Alunan gitar acoustik menggema di ruang musik
istana Dad. Aku mencoba untuk kembali melihat dan ingin memperbaiki hal yang
salah. Cinta pertama tak berpihak padaku.
Aku tak mengerti bagaimana bisa kisah cintaku berawal dari sebuah persahabatan. Penggabungan dua jiwa yang berbeda membutuh waktu dan proses yang sangat lama.
Tapi aku tak yakin bisa menunggu Justin sampai dia benar-benar menyadari kalau aku adalah cinta tulus di balik sosok yang selama ini ia pandang sebagai 'sahabat karibnya'.
Aku sudah jatuh terlalu jauh, tak ada yang mampu
membantuku untuk keluar dari sebuah lubang perih yang menguburku bersama air
mataku selama ini. []Aku tak mengerti bagaimana bisa kisah cintaku berawal dari sebuah persahabatan. Penggabungan dua jiwa yang berbeda membutuh waktu dan proses yang sangat lama.
Tapi aku tak yakin bisa menunggu Justin sampai dia benar-benar menyadari kalau aku adalah cinta tulus di balik sosok yang selama ini ia pandang sebagai 'sahabat karibnya'.
Justin :**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar