Title : Back to Your Miracle
Author : Valleria Russel
Genre : Historical Fiction, Low Fantasy, dan
Romance
Cast : Delisa Malik dan Muhammad Bilal
Leght : Oneshoot
Rated : 13-Teens
Twitter :valleria russel
Delisa
Malik menyudahi wiridnya malam itu saat mendengar suara seorang pria yang sudah
tak asing lagi meneriakkan namanya. Gadis itu melepas mukenahnya dan lantas
berjalan keluar dari ruang pribadinya sebagai seorang perempuan. Mata hijau
cantiknya bersinar menatap seorang pria yang sudah ia kenal sejak beberapa
tahun lalu lebih tepatnya tahun 2002. Mereka seolah ditakdirkan untuk bertemu
dan menjalani apa yang harus mereka jalani, sebuah scenario yang telah di tulis
oleh Sang Pencipta.
“Delisa,
kita harus segera meninggalkan tempat ini, bangsa terkutuk itu sudah berhasil
melacak keberadaan kita, jika kita terlambat maka kita tak akan bisa bernafas
dengan baik.” Gadis itu mendesah pelan. Sebenarnya dia sudah terbiasa jika
harus berlari kesana kemari untuk mempertahankan hidupnya dan memegang teguh
janjinya untuk selalu berada dalam lingkup agama Allah SWT. “Kita akan pergi,
tapi aku harus membereskan beberapa hal, kau bisa menunggu.”
Delisa
membuka tas berukuran sedang yang ia miliki dan lantas memasukkan beberapa
jilbab serta kerudungnya bersama dengan mukenah, sajadah, dan yang paling
penting Al-Qur’an. Dia kembali keluar dan menemui Bilal yang sudah siap dengan
ranselnya. Entahlah, gadis itu sudah lupa berapa kali mereka melarikan diri
dari kejaran orang-orang tak punya akal itu. Di negara seperti ini harusnya
mereka berdua bebas menikmati dan memilih apa yang mereka inginkan namun
nyatanya, setelah kejadian tragis di bulan september tahun 2001 lalu telah
mengubah semua kehidupan muslim di sini. Kabar yang mereka dengar adalah semua
umat muslim harus berpindah agama jika masih ingin hidup atau akan mendapat
hukuman gantung.
Itu
mengerikan. Delisa kembali menghela nafasnya dan menaikki mobil temannya
tersebut, dia berharap masih ada kesempatan untuknya melakukan shalat malam
nanti malam. “Maafkan aku, sebenarnya aku juga lelah jika kita harus terus
bersembunyi seperti ini, tapi kita tak mungkin menyerahkan diri. Kita adalah
satu-satunya yang tersisa dan aku ingin kita tetap bisa memperjuangkan apa yang
menjadi janji kita, Delisa. Kita akan melangkah bersama-sama untuk menghadapi
bangsa terkutuk yang begitu di benci oleh Allah itu.” Pria bernama Muhammad
Bilal itu menatap sekilas kearah gadis di sampingnya yang nampak memejamkan
matanya. Dalam hati, pria itu merasa bersalah tak mampu melindungi gadis itu
semaksimal mungkin, tapi apa pun yang terjadi mereka akan tetap bertahan sampai
akhir nanti. Mereka tak akan membiarkan orang-orang itu menang dengan mudah.
Sebenarnya,
Delisa dan Bilal tak sama sekali paham mengapa semua orang menyalahkan Islam
atas tragedi itu dan mengharuskan semua umat Islam di Amerika berpindah agama.
Dalam Islam itu sama dengan murtad yang dosanya tak akan terampuni.
Meledaknya
gedung World Trade Center itu menyebabkan semua yang tadinya tenang menjadi
hancur berantakan, orang-orang kristiani kini mengira jika agama Islam adalah
agama teroris. Bagi yang tak berilmu, mereka tentu saja akan dengan mudah
mempercayai itu, tapi bagi yang berilmu mereka akan dengan mudah menebak hal
tersebut tak mungkin terjadi dengan mudah. Sesuatu yang terorganisir dengan
baik berada di balik kejadian itu, sesuatu yang berniat menguasai semua isi
dunia ini dan melenyapkan adanya agama selain agama mereka.
Mobil
lama yang dikendarai Bilal menepi di sebuah motel kecil di pinggir jalan kota
Pentagon. Bilal melepas sorbannya dan keluar dari mobil, dia melangkah dengan
santai menuju meja resepsionis lalu menanyakan apakah masih ada kamar kosong.
Tapi, bukan nasip baiknya motel itu tak menyisakan satu pun kamar kosong untuk
mereka.
Dia
kembali melangkah memasukki mobilnya dan melihat Delisa terusik dari tidur
nyenyaknya. Mata mereka bertemu tatap sekilas. “Maaf, apa kita tak bisa mencari
tempat untuk shalat?”
Bilal
mengangguk pelan, dia memang belum shalat isya’ dan dia tak bisa menjalankan
shalat malamnya. Belum sempat mobil itu berjalan, mereka dikejutkan dengan
kehadiran tiba-tiba sebuah mobil yang menghalangi jalan mereka. Hati Delisa
mendadak gelisah dan dia berpikir jika tiga mobil yang sedang menghalangi jalan
mereka adalah mobil dari orang-orang yang akan menangkap dan lantas menghukum
mereka.
“Ya
Allah, siapa mereka?”
“Aku
tak tahu, kurasa kita harus melarikan diri dari sini tanpa harus membuat mereka
curiga. Delisa, pindahlah ke belakang dan bersembunyilah agar mereka tak dapat
melihat keberadaanmu,” ujarnya dengan tegas. Gadis itu tak banyak bicara selain
menuruti perintah temannya itu.
Delisa
melompat ke kursi belakang dan lantas bersembunyi di balik kegelapan. Dalam
hati gadis itu terus mengucapkan do’a berharap tak terjadi apa pun pada mereka
dan semuanya akan tetap baik-baik saja. Gadis itu menutup matanya saat
sayup-sayup ia mendengar percakapan antara Bilal dan orang asing yang ia yakini
salah satu orang dari dalam ke tiga mobil hitam yang menghalangi jalan mereka.
“Maaf,
ada yang bisa kami bantu?”
“Tidak,
terima kasih, aku hanya sedang mencari penginapan, tapi ternyata tak ada kamar
kosong di motel ini.”
“Baiklah,
semoga perjalanan Anda menyenangkan. Selamat malam.”
Delisa
membuka matanya saat merasakan kepergian orang asing itu dan lantas mobil Bilal
mulai bergerak meninggalkan motel kecil itu. Dia menghembuskan nafas lega saat
mereka tak sama sekali di curigai, tentu saja jika orang-orang itu tahu dan
melihatnya tadi sudah pasti mereka akan mendapat masalah karena identitas
seorang muslimah tak dapat di tutup-tutupi begitu saja.
“Apa
aku sudah boleh kembali duduk di depan?”
“Oh, tentu saja, untung saja orang-orang
itu tak curiga.”
Delisa
kembali melompat ke kursi depan di samping teman satu-satunya. Bilal adalah
satu-satunya yang ia kenal saat ini. Semua keluarga gadis itu sudah berpindah
agama dan memutuskan untuk meninggalkannya sendirian. Dalam hatinya, dia selalu
bersyukur bisa bertemu dengan pemuda yang satu agama dengannya itu, dia
beruntung Allah mempertemukannya dengan pemuda sebaik Bilal.
“Jadi,
kemana kita akan pergi?”
Bilal
melirik Delisa sekilas dan mengangkat bahunya tanda tak tahu. Dia juga masih
memikirkan kemana mereka akan sembunyi.
“Kurasa
akan lebih baik jika kita mencari masjid,” lirih Delisa. Dia merasa tak yakin
dapat menemukan rumah Allah setelah orang-orang yang terkutuk itu membasmi
nyaris semua umat muslim di negara ini. Ya
Allah. Delisa mendesah dalam hatinya merasa semua yang mereka lakukan akan
sia-sia saja. Mereka tak bisa selamanya bersembunyi kan.
“Aku
tak yakin kita bisa menemukannya, Del.” Bilal menggeleng lemah.
Bagaimana
mungkin semua ini terjadi pada mereka? Mereka lelah jika harus berlari dan
bersembunyi seperti ini terus. Persediaan uang yang mereka miliki sudah semakin
menipis. Sial. Ini bukan nasip baik.
Malam
itu berlalu begitu saja, pagi membangunkan Delisa dari tidur sesaatnya yang
jauh dari kata nyenyak. Mereka menepikan mobil dan bersembunyi dibalik
rerumputan tinggi di pinggiran kota Pentagon. Mata hijau daun indah gadis itu
melirik seorang pria yang selama ini menemaninya dalam semua keadaan selama
beberapa tahun ini, dalam hati gadis itu terkagum tak dapat memungkiri jika
Bilal adalah seorang pria yang tampan. Subhana
Allah. Delisa mendesis dalam hatinya. Gadis itu menggelengkan pelan
kepalanya, dia tak boleh melakukan itu. Mereka berteman dan akan selamanya
seperti itu.
Delisa
melangkahkan kakinya keluar dari mobil teman prianya dan lantas sebuah senyuman
merekah di wajah putih berserinya. Entahlah, dia sudah lupa kapan terakhir kali
dia bisa menghirup udara segar di pagi hari dengan tenang. Semua hal berat dan
berbagai macam rintangan yang telah terjadi di hidupnya membuatnya sulit untuk
melakukan apa pun. Tak seperti dulu, saat dia masih memiliki hidup dan
kebahagiaannya.
Tiba-tiba
terbesit sebuah pertanyaan dalam hatinya. ‘Siapa yang sebenarnya ada dibalik
semua ini? Apa benar orang-orang kristiani? Atau mungkin ada kelompok lain yang
sengaja ingin mengacaukan ketentraman agama Islam, dan lagi apa benar
orang-orang yang selama ini mengejarnya dan Bilal adalah orang kristiani?’
Delisa
mendesah perlahan. Mendadak dia merasa pusing karena semua yang ia tanyakan
dalam pikirannya tak kunjung mendapatkan jawaban yang pasti.
“Akhirnya
kami menemukan keberadaan kalian. Aku tak habis pikir, jika kalian umat muslim
yang lemah hanya bisa berlari dan terus bersembunyi. Kapan kalian akan
menghadapi kenyataan jika sebentar lagi tak akan ada satu pun agama yang hidup
di bumi ini selain agama kami?”
Tubuh
gadisk itu menegang dan dengan cepat ia menutup wajahnya dan hanya membiarkan
matanya yang terlihat lalu berbalik saat mendengar suara asing yang tertangkap
pendengarannya. Delisa menatap tak percaya pada beberapa orang yang kini
berdiri di hadapannya. Ya Allah, baru
beberapa menit yang lalu aku bisa bisa merasakan lagi menghirup udara segar
dengan tenang, tapi sekarang berubah dengan begitu cepat.
“Siapa
kalian?”
“Delisa
Malik. Itu namamu kan? Nama yang cantik seperti orangnya, meski pun aku belum
pernah melihat wajahmu dan sekarang juga kau menutupinya dengan cadar. Well, aku sudah lelah untuk
berbasa-basi. Jadi sekarang, aku akan membawa kau dan juga kekasihmu itu untuk
menjemput kematian kalian. Bawa mereka.”
Delisa
terdiam saat dua orang bertubuh besar itu mencengkram kedua sisi lengannya. Dan
ada dua lagi yang berjalan kearah mobil lalu menarik Bilal keluar dari tidurnya
nyenyaknya secara paksa. Mata hijau Delisa menatap Bilal sesaat sebelum
akhirnya orang-orang berpakaian hitam itu membawa mereka berdua entah kemana.
Ya Allah, inikah akhir dari
semuanya?. Delisa berucap lirih dalam hatinya. Ya Allah, jika memang ini akan menjadi
akhir, hamba ikhlas. Bilal memejamkan matanya dan memasrahkan apa pun yang
akan terjadi pada mereka nanti.
Delisa
menatap bingung kearah sekelilingnya. Dalam hati dia bertanya-tanya, ada dimana
dia sekarang. Dia melirik kearah Bilal yang tampak menunjukkan ekspresi yang
sama dengannya. Yang mereka ingat, mereka telah di tangkap dan lantas semuanya
menjadi gelap. Apa ini tempat di mana mereka disekap? Tidak. Tidak mungkin jika
mereka di sekap di tempat seindah ini. Delisa berdecak kagum dari balik
cadarnya, ini tak pernah terlihat ada di dunia tempatnya tinggal.
“Aku
senang, akhirnya aku bisa bertemu dengan kalian.” Tubuh Delisa dan Bilal sontak
berbalik saat mendengar suara yang asing yang ditujukan untuk mereka.
“Baiklah,
aku sudah menunggu hari ini sejak lama, untuk memberitahukan kepada kalian
mengenai apa yang sebenarnya sudah terjadi di bumi, dan siapa yang ada di balik
semua yang telah terjadi saat ini,” ujar seorang pria paruh baya yang tampak
bersinar dan tak nyata. Dahi keduanya berkerut seketika, merasa tak sama sekali
mengerti maksud perkataan orang asing itu.
“Sebelum
kau katakan hal-hal itu, ada baiknya jika kau memberitahu kami, dimana
sebenarnya ini?”
Delisa
melirik Bilal melalui mata hijaunya. “Itu bukanlah sesuatu yang penting untuk
dibicarakan saat ini. Aku diberi perintah untuk menyampaikan dan membantu
kalian menjawab semua pertanyaan yang kalian tanyakan dalam hati kalian namun
tak kunjung mendapatkan jawabannya.” Orang asing itu melangkah maju mendekati
Bilal. Bahkan dari caranya berjalan siapa pun bisa melihat jika dia bukanlah
seorang yang sering disebut dengan sebutan manusia biasa. “Meledaknya gedung
kembar itu memiliki suatu alasan yang sangat jelas, tentu saja penyebabnya
bukanlah karena gedung itu di tabrak oleh pesawat. Tapi, ada hal lain yang
lebih terorganisir dan mereka merupakan suatu bentuk kelompok yang sudah sejak
lama menyebar kesemua penjuru dunia. Kelompok besar yang memiliki pergerakkan
begitu rapi hingga terkadang dianggap sepeleh oleh kaum manusia. Mereka adalah
satu-satunya alasan mengapa gedung kembar itu meledak dan menyebarkan berita jika
kelompok Al-Qaeda adalah organisasi yang ada di balik semua ini.”
“Tunggu,
apa maksudmu mereka adalah orang-orang yang menangkap kami?” Kini Delisa
berhasil menemukan suaranya yang sempat hilang. “Ya, mereka yang sering disebut
sebagai golongan penganut satan, illuminati, zionis, freemason, kabbalah, dan
lain-lain dengan lambang paling terkenal milik mereka, lambang mata satu.” Hati
Delisa dan Bilal tersentak saat mendengar jawaban dari orang asing yang kini
mereka yakin adalah salah satu wali Islam. Tentu, Delisa maupun Bilal tahu apa
yang sedang menunggu mereka saat ini.
“Mereka
sengaja memasang bom di berbagai tempat dalam gedung itu dan lantas pesawat
hanyalah bukti nyata agar mereka tak sama sekali terlihat dan dengan mudahnya
menyebarkan berita bahwa orang-orang dari Al-Qaeda adalah pelakunya. Mereka
ingin mengacaukan agama Allah SWT. Mereka ingin menghapus agama apa pun yang
ada di bumi ini dan membuat hanya ada satu agama saja, yaitu agama mereka. Dan
agama Allah adalah yang pertama, sebentar lagi, agama lain akan menyusul, jika
kalian tak dengan cepat menyelesaikan ini, maka kemaksiatan dan kesesatan akan
merajai bumi ini. Muhammad Bilal dan Delisa Malik, kalian adalah manusia yang
diberi tugas untuk mencegah kesesatan itu berlangsung dengan sangat mudah untuk
mereka. Mereka harus tahu jika mereka tak akan pernah menang dari kebenaran
yang sesungguhnya. Hentikan mereka! Selamat bekerja!”
Dua
pasang mata itu terbuka seketika dan terkejut saat melihat mereka terkurung di
sebuah ruang kosong yang hampa. Ruang kedap suara.
“Kurasa
itu tadi adalah sebuah petunjuk untuk segera bebas dari sini,” ujar Bilal dan
dibalas anggukan pasti dari Delisa. Mereka bergerak bersama, aliran aneh
menyatu dengan darah Delisa saat tangan hangat Bilal menggenggam tangannya,
mencoba untuk melindunginya. Dalam diam dia tersenyum sebelum kembali waspada
pada apa yang tengah mereka hadapi saat ini.
Dengan
mudah mereka bisa keluar dari ruangan itu karena siapa pun yang bodoh itu tak
mengunci pintunya. Bilal berada di depan Delisa menutupi tubuh kecil gadis itu
dan mencoba menebak apa yang harus mereka lakukan. Apa yang harus mereka
hentikan?
“Delisa?”
Tubuh
gadis itu kaku dan langkah kakinya terhenti saat mendengar suara seseorang yang
familiar di telinganya. Itu Zeany Malik, kakak perempuannya, dengan pakaian
hitam-hitam tampak sama persis seperti orang-orang yang tadi menangkapnya,
sudah tak ada lagi kerudung yang menutupi kepalanya, rambut indahnya tergulung
dengan rapi. Jadi, selama ini golongan penganut satanisme adalah apa yang ada
di balik semua yang terjadi. Ya Allah,
ini sungguh sulit untuk dipercaya. Delisa mendesah dalam hatinya.
“Maafkan
aku. Aku sudah melanggar dua syahadat-ku dan sekarang tolong izinkah aku
membantu kalian untuk menghentikan ritual pemanggilan yang akan dilakukan lima
menit lagi,” ujar kakaknya. Itu dia! Bilal dan Delisa berpandangan dan
mengangguk setuju. Mereka menemukan apa yang harus mereka hentikan saat ini.
Dengan
langkah seribu Delisa, Bilal dan Zeany melangkah menuju sebuah ruangan untuk
mengambil beberapa bom untuk meledakkan ruangan yang berisikan orang-orang
bodoh yang ada dalam golongan satanisme. “Ini, ini bom yang sama, seperti yang
mereka gunakan untuk meledakkan gedung kembar itu. Pasang ini di sudut belakang
kanan ruangan lalu segeralah tinggalkan tempat ini, kalian tak seharusnya ada
di sini. Ayo!” Delisa menggenggam dua bom kecil yang ia yakini jika meledak bom
itu tak akan sama sekali menunjukkan jejaknya. Satu tangannya lagi digenggam
oleh Bilal. Mereka kembali melangkah menuju ruangan ritual kelompok satan itu.
Seperti
yang diberitahukan kakaknya, Delisa memasang bom itu di balik karpet hitam di
sudut paling belakang sebelah kanan. Dia tersenyum pada Bilal dan lantas mereka
dengan cepat meninggalkan ruangan mengerikan itu. Jelas sekali jika mereka
sedang berhadapan dengan orang-orang yang nama organisasinya selama ini hanya
mereka baca di internet. Zeany tersenyum saat melihat adik kesayangannya telah
keluar dari ruangan itu. “Tinggalkan tempat ini, Delisa. Dan Kau, jaga adikku
bersamamu. Aku percayakan dia padamu. Selamat jalan.”
Delisa
menggelengkan kepalanya. “Tidak, kau akan ikut dengan kami.” Zeany
menggelengkan kepalanya. “Aku tetap di sini, cepat pergi, Delisa. Sekarang.”
Delisa
tak sempat berkata saat Bilal menarik tangannya untuk berlari dengannya. Mereka
menemukan jalan keluar dengan mudah dan lantas berlari meninggalkan rumah besar
bergaya Victoria itu. Tiga menit kemudian, mereka menyaksikan rumah itu meledak
dan hangus terbakar. Dalam hati Delisa menangis, itu adalah pertemuan
terakhirnya dengan Zeany. Dan bahkan dia tak sempat bertemu dengan ibu atau
ayahnya. “Ini sudah selesai, Delisa.” Bilal merangkul gadis yang ia sayangi itu
dan lantas mereka berjalan bersama meninggalkan tempat itu. []
TAMAT~