Sabtu, 30 November 2013

BACK TO YOUR MIRACLE (cerpen islami)



Title : Back to Your Miracle
Author     : Valleria Russel
Genre       : Historical Fiction, Low Fantasy, dan Romance
Cast : Delisa Malik dan Muhammad Bilal
Leght       : Oneshoot
Rated      : 13-Teens
Twitter    :valleria russel








Delisa Malik menyudahi wiridnya malam itu saat mendengar suara seorang pria yang sudah tak asing lagi meneriakkan namanya. Gadis itu melepas mukenahnya dan lantas berjalan keluar dari ruang pribadinya sebagai seorang perempuan. Mata hijau cantiknya bersinar menatap seorang pria yang sudah ia kenal sejak beberapa tahun lalu lebih tepatnya tahun 2002. Mereka seolah ditakdirkan untuk bertemu dan menjalani apa yang harus mereka jalani, sebuah scenario yang telah di tulis oleh Sang Pencipta.
“Delisa, kita harus segera meninggalkan tempat ini, bangsa terkutuk itu sudah berhasil melacak keberadaan kita, jika kita terlambat maka kita tak akan bisa bernafas dengan baik.” Gadis itu mendesah pelan. Sebenarnya dia sudah terbiasa jika harus berlari kesana kemari untuk mempertahankan hidupnya dan memegang teguh janjinya untuk selalu berada dalam lingkup agama Allah SWT. “Kita akan pergi, tapi aku harus membereskan beberapa hal, kau bisa menunggu.”
Delisa membuka tas berukuran sedang yang ia miliki dan lantas memasukkan beberapa jilbab serta kerudungnya bersama dengan mukenah, sajadah, dan yang paling penting Al-Qur’an. Dia kembali keluar dan menemui Bilal yang sudah siap dengan ranselnya. Entahlah, gadis itu sudah lupa berapa kali mereka melarikan diri dari kejaran orang-orang tak punya akal itu. Di negara seperti ini harusnya mereka berdua bebas menikmati dan memilih apa yang mereka inginkan namun nyatanya, setelah kejadian tragis di bulan september tahun 2001 lalu telah mengubah semua kehidupan muslim di sini. Kabar yang mereka dengar adalah semua umat muslim harus berpindah agama jika masih ingin hidup atau akan mendapat hukuman gantung.
Itu mengerikan. Delisa kembali menghela nafasnya dan menaikki mobil temannya tersebut, dia berharap masih ada kesempatan untuknya melakukan shalat malam nanti malam. “Maafkan aku, sebenarnya aku juga lelah jika kita harus terus bersembunyi seperti ini, tapi kita tak mungkin menyerahkan diri. Kita adalah satu-satunya yang tersisa dan aku ingin kita tetap bisa memperjuangkan apa yang menjadi janji kita, Delisa. Kita akan melangkah bersama-sama untuk menghadapi bangsa terkutuk yang begitu di benci oleh Allah itu.” Pria bernama Muhammad Bilal itu menatap sekilas kearah gadis di sampingnya yang nampak memejamkan matanya. Dalam hati, pria itu merasa bersalah tak mampu melindungi gadis itu semaksimal mungkin, tapi apa pun yang terjadi mereka akan tetap bertahan sampai akhir nanti. Mereka tak akan membiarkan orang-orang itu menang dengan mudah.

Sebenarnya, Delisa dan Bilal tak sama sekali paham mengapa semua orang menyalahkan Islam atas tragedi itu dan mengharuskan semua umat Islam di Amerika berpindah agama. Dalam Islam itu sama dengan murtad yang dosanya tak akan terampuni.
Meledaknya gedung World Trade Center itu menyebabkan semua yang tadinya tenang menjadi hancur berantakan, orang-orang kristiani kini mengira jika agama Islam adalah agama teroris. Bagi yang tak berilmu, mereka tentu saja akan dengan mudah mempercayai itu, tapi bagi yang berilmu mereka akan dengan mudah menebak hal tersebut tak mungkin terjadi dengan mudah. Sesuatu yang terorganisir dengan baik berada di balik kejadian itu, sesuatu yang berniat menguasai semua isi dunia ini dan melenyapkan adanya agama selain agama mereka.

Mobil lama yang dikendarai Bilal menepi di sebuah motel kecil di pinggir jalan kota Pentagon. Bilal melepas sorbannya dan keluar dari mobil, dia melangkah dengan santai menuju meja resepsionis lalu menanyakan apakah masih ada kamar kosong. Tapi, bukan nasip baiknya motel itu tak menyisakan satu pun kamar kosong untuk mereka.
Dia kembali melangkah memasukki mobilnya dan melihat Delisa terusik dari tidur nyenyaknya. Mata mereka bertemu tatap sekilas. “Maaf, apa kita tak bisa mencari tempat untuk shalat?”
Bilal mengangguk pelan, dia memang belum shalat isya’ dan dia tak bisa menjalankan shalat malamnya. Belum sempat mobil itu berjalan, mereka dikejutkan dengan kehadiran tiba-tiba sebuah mobil yang menghalangi jalan mereka. Hati Delisa mendadak gelisah dan dia berpikir jika tiga mobil yang sedang menghalangi jalan mereka adalah mobil dari orang-orang yang akan menangkap dan lantas menghukum mereka.
“Ya Allah, siapa mereka?”
“Aku tak tahu, kurasa kita harus melarikan diri dari sini tanpa harus membuat mereka curiga. Delisa, pindahlah ke belakang dan bersembunyilah agar mereka tak dapat melihat keberadaanmu,” ujarnya dengan tegas. Gadis itu tak banyak bicara selain menuruti perintah temannya itu.
Delisa melompat ke kursi belakang dan lantas bersembunyi di balik kegelapan. Dalam hati gadis itu terus mengucapkan do’a berharap tak terjadi apa pun pada mereka dan semuanya akan tetap baik-baik saja. Gadis itu menutup matanya saat sayup-sayup ia mendengar percakapan antara Bilal dan orang asing yang ia yakini salah satu orang dari dalam ke tiga mobil hitam yang menghalangi jalan mereka.
“Maaf, ada yang bisa kami bantu?”
“Tidak, terima kasih, aku hanya sedang mencari penginapan, tapi ternyata tak ada kamar kosong di motel ini.”
“Baiklah, semoga perjalanan Anda menyenangkan. Selamat malam.”
Delisa membuka matanya saat merasakan kepergian orang asing itu dan lantas mobil Bilal mulai bergerak meninggalkan motel kecil itu. Dia menghembuskan nafas lega saat mereka tak sama sekali di curigai, tentu saja jika orang-orang itu tahu dan melihatnya tadi sudah pasti mereka akan mendapat masalah karena identitas seorang muslimah tak dapat di tutup-tutupi begitu saja.
“Apa aku sudah boleh kembali duduk di depan?”
Oh, tentu saja, untung saja orang-orang itu tak curiga.”
Delisa kembali melompat ke kursi depan di samping teman satu-satunya. Bilal adalah satu-satunya yang ia kenal saat ini. Semua keluarga gadis itu sudah berpindah agama dan memutuskan untuk meninggalkannya sendirian. Dalam hatinya, dia selalu bersyukur bisa bertemu dengan pemuda yang satu agama dengannya itu, dia beruntung Allah mempertemukannya dengan pemuda sebaik Bilal.
“Jadi, kemana kita akan pergi?”
Bilal melirik Delisa sekilas dan mengangkat bahunya tanda tak tahu. Dia juga masih memikirkan kemana mereka akan sembunyi.
“Kurasa akan lebih baik jika kita mencari masjid,” lirih Delisa. Dia merasa tak yakin dapat menemukan rumah Allah setelah orang-orang yang terkutuk itu membasmi nyaris semua umat muslim di negara ini. Ya Allah. Delisa mendesah dalam hatinya merasa semua yang mereka lakukan akan sia-sia saja. Mereka tak bisa selamanya bersembunyi kan.
“Aku tak yakin kita bisa menemukannya, Del.” Bilal menggeleng lemah.
Bagaimana mungkin semua ini terjadi pada mereka? Mereka lelah jika harus berlari dan bersembunyi seperti ini terus. Persediaan uang yang mereka miliki sudah semakin menipis. Sial. Ini bukan nasip baik.

Malam itu berlalu begitu saja, pagi membangunkan Delisa dari tidur sesaatnya yang jauh dari kata nyenyak. Mereka menepikan mobil dan bersembunyi dibalik rerumputan tinggi di pinggiran kota Pentagon. Mata hijau daun indah gadis itu melirik seorang pria yang selama ini menemaninya dalam semua keadaan selama beberapa tahun ini, dalam hati gadis itu terkagum tak dapat memungkiri jika Bilal adalah seorang pria yang tampan. Subhana Allah. Delisa mendesis dalam hatinya. Gadis itu menggelengkan pelan kepalanya, dia tak boleh melakukan itu. Mereka berteman dan akan selamanya seperti itu.
Delisa melangkahkan kakinya keluar dari mobil teman prianya dan lantas sebuah senyuman merekah di wajah putih berserinya. Entahlah, dia sudah lupa kapan terakhir kali dia bisa menghirup udara segar di pagi hari dengan tenang. Semua hal berat dan berbagai macam rintangan yang telah terjadi di hidupnya membuatnya sulit untuk melakukan apa pun. Tak seperti dulu, saat dia masih memiliki hidup dan kebahagiaannya.
Tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan dalam hatinya. ‘Siapa yang sebenarnya ada dibalik semua ini? Apa benar orang-orang kristiani? Atau mungkin ada kelompok lain yang sengaja ingin mengacaukan ketentraman agama Islam, dan lagi apa benar orang-orang yang selama ini mengejarnya dan Bilal adalah orang kristiani?’
Delisa mendesah perlahan. Mendadak dia merasa pusing karena semua yang ia tanyakan dalam pikirannya tak kunjung mendapatkan jawaban yang pasti.
“Akhirnya kami menemukan keberadaan kalian. Aku tak habis pikir, jika kalian umat muslim yang lemah hanya bisa berlari dan terus bersembunyi. Kapan kalian akan menghadapi kenyataan jika sebentar lagi tak akan ada satu pun agama yang hidup di bumi ini selain agama kami?”
Tubuh gadisk itu menegang dan dengan cepat ia menutup wajahnya dan hanya membiarkan matanya yang terlihat lalu berbalik saat mendengar suara asing yang tertangkap pendengarannya. Delisa menatap tak percaya pada beberapa orang yang kini berdiri di hadapannya. Ya Allah, baru beberapa menit yang lalu aku bisa bisa merasakan lagi menghirup udara segar dengan tenang, tapi sekarang berubah dengan begitu cepat.  
“Siapa kalian?”
“Delisa Malik. Itu namamu kan? Nama yang cantik seperti orangnya, meski pun aku belum pernah melihat wajahmu dan sekarang juga kau menutupinya dengan cadar. Well, aku sudah lelah untuk berbasa-basi. Jadi sekarang, aku akan membawa kau dan juga kekasihmu itu untuk menjemput kematian kalian. Bawa mereka.”
Delisa terdiam saat dua orang bertubuh besar itu mencengkram kedua sisi lengannya. Dan ada dua lagi yang berjalan kearah mobil lalu menarik Bilal keluar dari tidurnya nyenyaknya secara paksa. Mata hijau Delisa menatap Bilal sesaat sebelum akhirnya orang-orang berpakaian hitam itu membawa mereka berdua entah kemana.
Ya Allah, inikah akhir dari semuanya?. Delisa berucap lirih dalam hatinya. Ya Allah, jika memang ini akan menjadi akhir, hamba ikhlas. Bilal memejamkan matanya dan memasrahkan apa pun yang akan terjadi pada mereka nanti.

Delisa menatap bingung kearah sekelilingnya. Dalam hati dia bertanya-tanya, ada dimana dia sekarang. Dia melirik kearah Bilal yang tampak menunjukkan ekspresi yang sama dengannya. Yang mereka ingat, mereka telah di tangkap dan lantas semuanya menjadi gelap. Apa ini tempat di mana mereka disekap? Tidak. Tidak mungkin jika mereka di sekap di tempat seindah ini. Delisa berdecak kagum dari balik cadarnya, ini tak pernah terlihat ada di dunia tempatnya tinggal.
“Aku senang, akhirnya aku bisa bertemu dengan kalian.” Tubuh Delisa dan Bilal sontak berbalik saat mendengar suara yang asing yang ditujukan untuk mereka.
“Baiklah, aku sudah menunggu hari ini sejak lama, untuk memberitahukan kepada kalian mengenai apa yang sebenarnya sudah terjadi di bumi, dan siapa yang ada di balik semua yang telah terjadi saat ini,” ujar seorang pria paruh baya yang tampak bersinar dan tak nyata. Dahi keduanya berkerut seketika, merasa tak sama sekali mengerti maksud perkataan orang asing itu.
“Sebelum kau katakan hal-hal itu, ada baiknya jika kau memberitahu kami, dimana sebenarnya ini?”
Delisa melirik Bilal melalui mata hijaunya. “Itu bukanlah sesuatu yang penting untuk dibicarakan saat ini. Aku diberi perintah untuk menyampaikan dan membantu kalian menjawab semua pertanyaan yang kalian tanyakan dalam hati kalian namun tak kunjung mendapatkan jawabannya.” Orang asing itu melangkah maju mendekati Bilal. Bahkan dari caranya berjalan siapa pun bisa melihat jika dia bukanlah seorang yang sering disebut dengan sebutan manusia biasa. “Meledaknya gedung kembar itu memiliki suatu alasan yang sangat jelas, tentu saja penyebabnya bukanlah karena gedung itu di tabrak oleh pesawat. Tapi, ada hal lain yang lebih terorganisir dan mereka merupakan suatu bentuk kelompok yang sudah sejak lama menyebar kesemua penjuru dunia. Kelompok besar yang memiliki pergerakkan begitu rapi hingga terkadang dianggap sepeleh oleh kaum manusia. Mereka adalah satu-satunya alasan mengapa gedung kembar itu meledak dan menyebarkan berita jika kelompok Al-Qaeda adalah organisasi yang ada di balik semua ini.”
“Tunggu, apa maksudmu mereka adalah orang-orang yang menangkap kami?” Kini Delisa berhasil menemukan suaranya yang sempat hilang. “Ya, mereka yang sering disebut sebagai golongan penganut satan, illuminati, zionis, freemason, kabbalah, dan lain-lain dengan lambang paling terkenal milik mereka, lambang mata satu.” Hati Delisa dan Bilal tersentak saat mendengar jawaban dari orang asing yang kini mereka yakin adalah salah satu wali Islam. Tentu, Delisa maupun Bilal tahu apa yang sedang menunggu mereka saat ini.
“Mereka sengaja memasang bom di berbagai tempat dalam gedung itu dan lantas pesawat hanyalah bukti nyata agar mereka tak sama sekali terlihat dan dengan mudahnya menyebarkan berita bahwa orang-orang dari Al-Qaeda adalah pelakunya. Mereka ingin mengacaukan agama Allah SWT. Mereka ingin menghapus agama apa pun yang ada di bumi ini dan membuat hanya ada satu agama saja, yaitu agama mereka. Dan agama Allah adalah yang pertama, sebentar lagi, agama lain akan menyusul, jika kalian tak dengan cepat menyelesaikan ini, maka kemaksiatan dan kesesatan akan merajai bumi ini. Muhammad Bilal dan Delisa Malik, kalian adalah manusia yang diberi tugas untuk mencegah kesesatan itu berlangsung dengan sangat mudah untuk mereka. Mereka harus tahu jika mereka tak akan pernah menang dari kebenaran yang sesungguhnya. Hentikan mereka! Selamat bekerja!”
Dua pasang mata itu terbuka seketika dan terkejut saat melihat mereka terkurung di sebuah ruang kosong yang hampa. Ruang kedap suara.
“Kurasa itu tadi adalah sebuah petunjuk untuk segera bebas dari sini,” ujar Bilal dan dibalas anggukan pasti dari Delisa. Mereka bergerak bersama, aliran aneh menyatu dengan darah Delisa saat tangan hangat Bilal menggenggam tangannya, mencoba untuk melindunginya. Dalam diam dia tersenyum sebelum kembali waspada pada apa yang tengah mereka hadapi saat ini.
Dengan mudah mereka bisa keluar dari ruangan itu karena siapa pun yang bodoh itu tak mengunci pintunya. Bilal berada di depan Delisa menutupi tubuh kecil gadis itu dan mencoba menebak apa yang harus mereka lakukan. Apa yang harus mereka hentikan?
“Delisa?”
Tubuh gadis itu kaku dan langkah kakinya terhenti saat mendengar suara seseorang yang familiar di telinganya. Itu Zeany Malik, kakak perempuannya, dengan pakaian hitam-hitam tampak sama persis seperti orang-orang yang tadi menangkapnya, sudah tak ada lagi kerudung yang menutupi kepalanya, rambut indahnya tergulung dengan rapi. Jadi, selama ini golongan penganut satanisme adalah apa yang ada di balik semua yang terjadi. Ya Allah, ini sungguh sulit untuk dipercaya. Delisa mendesah dalam hatinya.
“Maafkan aku. Aku sudah melanggar dua syahadat-ku dan sekarang tolong izinkah aku membantu kalian untuk menghentikan ritual pemanggilan yang akan dilakukan lima menit lagi,” ujar kakaknya. Itu dia! Bilal dan Delisa berpandangan dan mengangguk setuju. Mereka menemukan apa yang harus mereka hentikan saat ini.
Dengan langkah seribu Delisa, Bilal dan Zeany melangkah menuju sebuah ruangan untuk mengambil beberapa bom untuk meledakkan ruangan yang berisikan orang-orang bodoh yang ada dalam golongan satanisme. “Ini, ini bom yang sama, seperti yang mereka gunakan untuk meledakkan gedung kembar itu. Pasang ini di sudut belakang kanan ruangan lalu segeralah tinggalkan tempat ini, kalian tak seharusnya ada di sini. Ayo!” Delisa menggenggam dua bom kecil yang ia yakini jika meledak bom itu tak akan sama sekali menunjukkan jejaknya. Satu tangannya lagi digenggam oleh Bilal. Mereka kembali melangkah menuju ruangan ritual kelompok satan itu.
Seperti yang diberitahukan kakaknya, Delisa memasang bom itu di balik karpet hitam di sudut paling belakang sebelah kanan. Dia tersenyum pada Bilal dan lantas mereka dengan cepat meninggalkan ruangan mengerikan itu. Jelas sekali jika mereka sedang berhadapan dengan orang-orang yang nama organisasinya selama ini hanya mereka baca di internet. Zeany tersenyum saat melihat adik kesayangannya telah keluar dari ruangan itu. “Tinggalkan tempat ini, Delisa. Dan Kau, jaga adikku bersamamu. Aku percayakan dia padamu. Selamat jalan.”
Delisa menggelengkan kepalanya. “Tidak, kau akan ikut dengan kami.” Zeany menggelengkan kepalanya. “Aku tetap di sini, cepat pergi, Delisa. Sekarang.”
Delisa tak sempat berkata saat Bilal menarik tangannya untuk berlari dengannya. Mereka menemukan jalan keluar dengan mudah dan lantas berlari meninggalkan rumah besar bergaya Victoria itu. Tiga menit kemudian, mereka menyaksikan rumah itu meledak dan hangus terbakar. Dalam hati Delisa menangis, itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Zeany. Dan bahkan dia tak sempat bertemu dengan ibu atau ayahnya. “Ini sudah selesai, Delisa.” Bilal merangkul gadis yang ia sayangi itu dan lantas mereka berjalan bersama meninggalkan tempat itu. []  
 



TAMAT~