Jumat, 02 Mei 2014

LOVE #8



BAB 8
I love you without knowing how, or when, or from where. I love you simply, without problems or pride: I love you in this way because I do not know any other way of loving but this, in which there is no I or you, so intimate that your hand upon my chest is my hand, so intimate that when I fall asleep your eyes close.
Pablo Neruda, 100 Love Sonnets


Jalanan padat New York membuatku frustasi karena sudah sepuluh menit kami terjebak macet, padahal setiap pagi selama dua minggu ini, aku hanya membutuhkan waktu dua puluh menit ke rumah sakit tanpa macet dengan kecepatan yang normal dan sekarang sudah sepuluh menit berlalu kami bahkan belum setengah jalan. Sial. Aku tak suka dengan keadaan seperti ini, cemas, khawatir, takut, sedih semuanya bercampur jadi satu dan aku tak ingin memikirkan bagaimana rasanya itu.
Suster yang bertugas malam hari ini menelponku karena Justin adalah pasienku maka aku yang harus mengawalnya meski pun aku tak tahu bagaimana caranya membuatnya kembali membaik karena aku tak mengambil mata kuliah dokter umum dulu, itu berbeda dengan psikologi yang berdiri sendiri di kampusku.
Sudah sejak bokongku menyatu dengan tempat duduk di samping kemudi mobil Andreas, hatiku tak berhenti mengucapkan begitu banyak harapan dan doa untuknya. Justin, bertahanlah, bertahanlah untukku, untukmu, dan … untuk kita.
“Apa kita tak bisa lebih cepat?” Aku menatap Andreas sesaat dan kembali melihat ke arah jalanan yang penuh dengan mobil, aku tak mengerti bagaimana bisa di kota sebesar ini terjadi macet yang segini parahnya. Apa lagi sekarang adalah kondisi yang mendesak.
“Kau bisa lihat apa yang ada di sekeliling kita sekarang dank au bisa menjawab sendiri pertanyaanmu itu,” katanya sarkastik. Aku memutar bola mataku jengah dan setengah hidup menahan untuk tidak berteriak. Ya ampun, sebenarnya apa yang sedang terjadi di depan sana. Mengapa macet ini parah sekali? Aku harus menemui Justin dan mengetahui secara langsung keadaannya. Tak ada yang berani membayangkan jika orang yang kita cintai sedang ada dalam keadaan kritis. Tak akan ada.
“Kau mencintainya kan, Nic?”
Kepalaku menoleh menatap wajah datar Andreas yang tengah berkonsentrasi pada kendali mobil. “Jawablah,” katanya lagi. Apakah semudah itu orang membaca jika aku sudah jatuh cinta pada pria yang di katakan gila dan juga berstatuskan sebagai pasienku? Bagaimana dia bisa tahu?
“Entahlah, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu sekarang, mungkin suatu saat nanti,” lirihku pelan dan aku tak tahu apakah Andreas mendengarnya atau tidak dan aku tak perduli.

Setelah percakapan singkat itu, tak ada lagi kata yang keluar dari mulutnya ataupun mulutku. Jalanan sudah kembali normal dan ternyata tadi itu ada kecelakaan besar yang mengganggu aktivitas lalu lintas kota. Ban mobil Andreas berdecit dan aku membuka pintu mobilnya dengan tergesa-gesa. Oh ini sangat-sangat berlebihan, tapi percayalah aku belum pernah sekhawatir ini selama aku hidup, mungkin sekarang aku seperti ibu-ibu yang kebakaran jenggot.
Aku berlari kecil memasukki pintu kaca rumah sakit dan di sambut oleh seorang suster yan wajahnya masih sangat asing untukku. Dia tersenyum lembut padaku dan membawaku menuju ruang ICU. Katanya Justin sudah dipindahkan ke sana.
“Apa yang menyebabkan Justin bisa kritis? Bukankah dia baik-baik saja sebelum aku pulang?”
“Saya tidak tahu pasti, Dok. Mr. Bieber sedang ditangani oleh beberapa Dokter sekarang dan masih menyelidiki apa yang membuatnya menjadi seperti itu,” jawabnya. Aku menganggukkan kepalaku.
“Bagaimana keadaannya saat kau tahu dia kritis?”
“Saat itu, aku hanya sedang berkeliling mengecek keadaan pasien, begitu aku tiba di ruangan mr. Bieber, aku melihatnya terbaring kaku, wajahnya pucat, danada busa putih yang keluar dari mulutnya.” Jantungku berdisko dengan cemas saat mendengar apa yang dikatakan oleh suster ini.
Tentu saja, ini adalah perbuatan seseorang, aku yakin sekali ada yang dengan sengaja meracuni makanan Justin. Mungkin, makan malamnya. “Siapa yang mengantarkan makan malam ke ruang rawat Justin tadi?”
Aku menatap suster di sampingku. Kami sudah sampai di depan sebuah ruangan yang di dalamnya ada seorang pria yang telah berhasil mencuri perhatianku, dia sedang berjuang untuk hidupnya saat ini. Wajahnya tampak sedang berpikir dan matanya menatapku ketika dia mangatakan nama seseorang yang taka sing di telingaku. “Melanie Parker.”
Tubuhku menegang dengan gerakkan yang begitu kentara. Bagaimana bisa? “Apa maksudmu Melanie Parker?”
“Ya, dia yang mengatarkan makan malam Justin katanya dia sudah lama tidak melihat keadaan Justin dan berniat untuk mengajaknya mengobrol biasa, jadi aku mengizinkannya untuk mengantarkan makanan itu ke ruangan Jusitn,” jelas suster ini. Benakku melotot sempurna, menatapku seolah-olah ia akan menerkamku saat ini juga. Perempuan sialan!
“Apa yang kau pikir kau lakukan? Siapa yang mengizinkan perempuan itu untuk memberi makanan pada Justin? Harusnya kau lebih teliti, karena ulahmu Justin ada di dalam sana. Sial. Kau, aku tak ingin melihat wajahmu lagi untuk menjaga ruangan orang-orang yang berada satu lantai dengan ruangan Justin. Jika aku masih melihatmu, aku akan . . .”
Tanganku di tarik seseorang saat tanpa sadar aku berniat untuk menampar perempuan ceroboh ini. Aku menatap Andreas dengan marah. “Dengan kau memarahinya tak akan membuat Justin cepat sembuh, harusnya kau berdoa untuknya. Bukan seperti ini, jika Justin sedang dalam keadaan kritis sekarang itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Bagaimana bisa kau kehilangan sifat bijakmu dalam waktu sekejap mata, Nichole?”
Dadaku bergemuruh, emosi menguasaiku dengan cepat, apa yang sebenarnya suster sialan ini pikirkan di kepala cantiknya itu hingga dia dengan begitu lancang memperbolehkan seorang dokter dari bagian penyakit dalam untuk masuk dengan seenaknya ke dalam ruang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bidang yang dia milikki.
Ya Tuhan, Nichole kau harus menenangkan dirimu sendiri, atau kau akan mencorang namamu sendiri sebagai dokter baru yang ramah. Andreas benar, selama ini aku selalu bisa menahan emosiku. Tapi, hari ini aku sendiri terkejut melihat emosi itu meluap dengan sendirinya. Apa ini efek dari rasa khawatirku yang berlebihan pada Justin? Mungkin saja.
Aku menarik nafasku dan mencoba untuk menenangkan diriku sendiri, aku harus fokus pada Justin dan akan membuat perhitungan dengan wanita sialan itu nanti, lihat saja, aku akan membuatnya menyesal atas apa yang telah dia perbuat pada Justinku nanti.
Aku mengalihkan pandanganku menatap pintu besi ruang ICU tempat Justin berada saat ini. Hatiku tergores membayangkan apa yang sedang diperjuangkan Justin untuk hidupnya di dalam sana, atau mungkin dia sudah tak memiliki apa pun untuk diperjuangkan lagi? Tidak, tentu saja, di sini ada aku yang harus dia perjuangkan dan aku masih memperjuangkan niatku untuk membuatnya mencintaku dengan caraku sendiri, untuk membuatnya melupakan masa-masa bersama Anne dulu. Justin akan mencintaiku suatu saat nanti, tentu saja, dia pasti akan mencintaiku suatu saat nanti.
Kaki ku bergerak pelan menuju pintu besi yang terdapat kaca kecil untuk melihat keadaan di dalam sana. Tubuhku seolah diperintah secara otomatis dan bergerak dengan sendirinya. Goresan-goresan itu kembali menyayat hatiku saat melihat wajah tampan yang baru saja memasukki mimpiku kini terbujur kaku dengan berbagai macam alat medis yang melekat di tubuhnya. Racun apa yang diberikan Melanie Jalang Parker itu padanya? Tak mungkin racun biasa bisa sampai membuatnya seperti ini. Wanita itu benar-benar sudah keterlaluan, aku harus membuat perhitungan dengannya.
Aku memanggil seorang suster yang berlalu lalang di depan ruang ICU.
“Aku ingin kau menyimpan sisa makanan yang di makan oleh Justin Bieber malam ini, letakkan di lokerku.” Wanita paruh baya berseragam putih itu mengangguk padaku dan lantas mulai berjalan pergi dari depan ruang ICU.
Mataku teralih menatap Andreas, wajahnya nampak lelah dan itu membuatku merasa bersalah tak seharusnya dia terlibat urusan ini sampai sejauh ini. aku menjatuhkan tubuhku di sampingnya. “Maafkan aku,” lirihku.
“Aku sudah membuatmu repot dan tak seharusnya kau ikut terlalu jauh seperti ini,” ujarku lagi. Dia hanya diam dan itu membuatku ingin menenagis. “Tak ada yang perlu dimaafkan, Nic. Lagi pula, aku ini sahabatmu dan sudah seharusnya aku berada di sini untukmu, saat sahabatku membutuhkanku.” Hatiku lega saat akhirnya dia menjawab perkataanku. Aku tersenyum dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.

Tiga jam kemudian, aku masih menyandarkan kepalaku di pundak Andreas, dia telah tertidur setangah jam yang lalu dan aku sendiri tak sama sekali merasakan kantuk menyerangku hatiku menjagaku untuk tetap terjaga dan menunggu dokter keluar dari ruangan itu dengan senyuman di wajahnya karena berhasil menyelamatkan Justinku untuk tetap memperjuangkan hidupnya. Sebenarnya, selama tiga jam terduduk di sini tanpa melakukan apa pun cukup membuatku kesal. Tapi, jika aku berjalan mondar-mandir pun tak akan menyelamatkan Justin yang tengah berjuang untuk hidupnya di dalam sana.
Apa yang bisa kulakukan untuknya saat selain berdoa? Tidak ada. Aku hanya merasa aku benar-benar tak berguna sebagai dokter yang menanganinya. Harusnya aku yang bertanggung jawab untuk menjaganya dan sekarang aku telah lalai dalam tugas pertamaku. Bodoh. Ini semua salahku. Harusnya aku lebih hati-hati setelah mengetahui percakapan dua manusia sialan itu. Karena kebodohan dan kecerobohanku Justin harus mengalami hal seperti ini.
Cairan hangat mengalir dari mataku. Rasanya sakit saat melihat seseorang yang kau cintai terbaring lemah tanpa bisa melakukan apa pun di dalam sana. Aku tak mengerti bagaimana bisa efeknya sampai sesakit ini. Justin, kumohon kau harus bertahan. Kita belum memulai apa pun untuk mengungkap kebusukkan dua orang sialan itu. Aku tak mungkin berjalan sendirian tanpamu. Itu sangat tidak mungkin. Kita bahkan baru dua minggu saling kenal, itu mungkin terlalu singkat bagimu jika kau tahu seberapa berartinya kau saat ini untukku, tapi bagiku mencintai seseorang tidaklah memerlukan waktu yang lama, hati menuntunku untuk melihat bahwa kau adalah sosok pria yang istimewa. Kumohon, demi kita, bangunlah. Bangun, Just.
“Maaf, Dokter.”
Tubuhku tersentak saat mendengar suara seseorang yang tertuju untukku. Aku mendongak menatap seseorang berseragam putih yang kuyakini adalah dokter yang menangani Justin. Aku berdiri dan berjalan menghampirinya. “Bagaiman keadaannya?”
“Dia memiliki ambisi hidup yang sangat kuat dan berkat Tuhan, kami berhasil menyelamatkannya. Dan beberapa jam lagi, dia akan kembali sadar,” katanya dengan senyuman puas. Aku mendesah lega. Ya ampun, jika bisa aku ingin berteriak sekarang juga.
“Terima kasih banyak, Dok. Apa aku bisa menemuinya sekarang?” Aku menjabat tangannya.
“Tentu, dia akan dipindahkan keruang rawat terlebih dahulu, lalu kau bisa menemuinya. Dan ah ada yang ingin kukatakan padamu,” ujarnya yang membuat dahiku berkerut seketika.
“Ini mengenai keadaan Justin, tadi ketika di scan, kami tak melihat ada kerusakan otak di kepalanya. Selama ini yang aku tahu, tingkatan stress itu berasal dari saraf pusat dan semua saraf pusat Justin masih bekerja dengan sangat baik normal.” Aku menatap wanti paruh baya dengan rambut ikal yang kini menatapku dengan cemas. Aku bahkan sudah mencurigai hal ini sejak kami pergi ke pantai. Ada sesuatu yang besar dirahasiakan dibalik semua ini.
“Aku tak yakin mengatakan ini, tapi kurasa Justin tak sama sekali mengalami stress atau pun trauma, dia mungkin mengalami hal yang lain dan tak berhubungan dengan hal-hal semcam itu,” katanya lagi. Aku mengangguk padanya dan lantas kembali menjabat tangannya. “Terima kasih,” kataku dan balas dengan senyuman olehnya.
Aku mengalihkan pandanganku menatap Andreas yang masih nyaman dengan posisi tidurnya. Aku menghela nafas pelan dan lantas mencoba untuk membangunkannya dan menyuruhnya pulang. Dia harus berkerja besok dan aku tak ingin dia sakit hanya karena menemaniku di rumah sakit.
“Hey, Andreas. Bangun dan pulanglah. Justin sudah membaik dan dia sudah dipindahkan ke ruang rawat. Aku akan menemuinya sebentar lagi dan kau bisa pulang sekarang.” Dia menggeliat pelan dan membuka matanya. Ternyata seperti ini keadaan seorang Andreas Kang ketika sedag bangun dari tidur. Manis sekali. Tapi dia terlihat tetap tampan. “Baiklah, maafkan aku tak bisa menemanimu lebih lama lagi. Aku ada meeting besok pagi dan jika terlambat ayahku akan menggantungku di alun-alun kota,” ujarnya. Aku terkikik kecil. Di saat seperti ini pun dia masih menyempatkan diri untuk menghiburku.
“Hati-hati di jalan.” Aku memeluknya sesaat dan menunggunya hingga punggungnya menghilang di balik dinding.

Hatiku teriris melihat pria itu terbaring lemas di atas bankar ruang rawatnya. Alat pendeteksi jantung berbunyi sesuai dengan detak jantungnya yang teratur. Aku menghela nafas letih. Sungguh ini hari yang benar-benar berat untuk kulewati kuharap setelah ini tak aka nada lagi yang buruk terjadi, mungkin nanti dan itu pasti akan segera datang. Kepalaku terjatuh di sini bankar Justin dan rasa kantuk menyerangku tiba-tiba.

—“…Itulah yang membuat ayahku dengan terpaksa harus memasukkanku ke rumah sakit dengan mengatakan jika aku mengalami depresi tingkat tinggi.”
—“…tubuhku bergetar saat melihat sebuah pisau dapur menancap tepat di jantung ayahku,”

Mataku terbuka kembali saat tiba-tiba suara Justin terngiang di pikiranku. Oh tentu saja, ayah Justin meninggal ketika dia kecil dan lantas mengapa dia mengatakan jika ayahnya lah yang memasukkannya ke rumah sakit ini?
Apa dia sengaja berbohong padaku? atau mungkin dia tak sadar jika ayahnya sudah mati ketika dia kecil? Atau mungkin dia lupa? Gila, bagaimana bisa dia lupa jika ayahnya sudah tiada, itu benar-benar mustahil. Benar-benar ada yang tida beres di sini. Ada seseorang yang dengan sengaja memanipulasi masuknya Justin ke rumah sakit ini. mungkin benar jika dia mengalami depresi dan trauma, tapi hal itu tak sama sekali mempengaruhi kejiwaannya, maksudku dia hanya mengalami stress yang biasa karena kehilangan seseorang yang amat ia cintai. Itu wajar jika akan berlangsung cukup lama dan terkadang akan datang menghantuinya tiba-tiba, itu tidak berbahaya. Jika dia menyakiti orang-orang yang ditugaskan merawatnya sebelum aku, itu pasti karena motif lain atau mungkinkah dia sudah tahu siapa yang ada di balik keruhnya hidup yang ia jalani setelah kepergiaan Anne.
Aku mengangkat kepalaku dan menatap pria yang telah berhasil menuliskan namanya di hatiku. Mata karamelnya terbuka, menatapku dengan sayu. Aku tersenyum lembut padanya. Menggenggam tangannya. “Banyak hal yang harus kau ceritakan padaku nanti, Just. Kau akan mendapatkan hukuman dariku karena suatu hal nanti, sekarang kau harus segera sembuh agar aku bisa menghukummu,” ujarku dengan senyuman yang mengambang di wajahku.
“Jika begitu, aku lebih suka berbaring di sini dan tak usah sembuh,” balasnya yang membuatku melotot. “Bodoh, aku tak akan mau menemanimu lagi jika kau berniat untuk tak pernah sembuh.” Dia terkekeh pelan, dan aku bersumpah itu adalah tawa paling manis yang pernah kudengar. Tawa dan senyumnya adalah bahagia untukku. “Aku hanya bercanda, aku akan sembuh karenamu dan untukmu.” Aku terdiam saat dia menyelesaikan perkataannya. Beberapa saat, mencerna maksud dari kalimatnya dan membuat hatiku menghangat seketika. Ribuan kupu-kupu berterbangan memenuhi perutku. Justin menarik tanganku yang menggenggam tangannya dan meletakkannya di atas dada bidang terpahatnya yang hangat. Aku bisa mereasakan jantungnya berdetak dengan cepat. Itu membuatku memerah dengan mudahnya. Ya ampun, apa dia sedang berusaha untuk menggodaku? Dia berhasil dengan nilai sempurna kalau begitu.
“Aku tak tahu apa yang sudah terjadi padaku, Nichole. Ketika kegelapan sempurna yang memenuhi duniaku beberapa jam yang lalu, aku rasanya sudah ingin menyerah sampai di situ, tapi tiba-tiba aku mendengar suara tangis seorang gadis yang berdoa untukku dan aku mengenal suara itu dengan baik, aku sendiri terkejut saat tahu itu adalah suaramu. Dan lagi, sesuatu dalam diriku memaksaku untuk bertahan dan akhirnya, aku berhasil membuka mataku lagi.” Sungguh perkataannya membuatku kembali menangis. Bodoh, kau cengeng sekali, Nic.
“Bagaimana bisa kau mendengar suara tangis dan doaku untukmu?” Aku tersenyum padanya saat dia menatapku dalam, itu membuatku gugup, jantungku berdetak beriringan dengan jantungnya. “Entahlah, aku tak tahu. Tapi satu hal yang aku tahu dengan pasti jika kau tak ingin aku pergi, bukan begitu?”
Aku tertawa saat melihatnya menaik turunkan alisnya, ah dia merayuku. “Ya, mr. Bieber. Aku sangat takut kau pergi,” ujarku. Kami tertawa bersama.
“Aku senang saat aku membuka mataku, wajahmu lah yang kulihat, Nichole.” Itu untuk yang ke tiga kalinya dia menyebut namaku, rasanya sangat berbeda dari orang-orang yang selama ini menyebutkan namaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman lembutku.
“Sekarang adalah waktunya untuk istirahat, Just. Kau harus segera pulih dan aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk menghukummu,” kataku. Aku menangkap senyuman tipis di wajah tampannya. Aku berdiri dari dudukku dan membungkuk untuk mengecup dahinya. Benakku tersenyum dengan lebar saat dia memejamkan matanya ketika aku mengecup dahinya. Aku menyayangimu, Just. []

Selasa, 22 April 2014

GISTLE ANNAWESTLE (cerpen)



 Ini cerpen pertama saya dulu, udah jadul bingitss -,- maaf buat keanehan di sana-sini :3
happy reading~


Judul: GISTLE ANNAWESTLE
Cast: - Gistle Annawestle
-        Edward Manhole
-        Abigail Lountner
-        Jack Richel

Gerne: Romance, Sad
Writer: Heni Kurniyasari

“Cinta, jalan penderitaan yang harus ditempuh untuk setiap kehidupan”
(aku sanggup melewati jalan penderitaan itu, hanya dengan berpegang teguh pada sebuah janji)
“Cause I’m your Lady & You are my Man”

Ini Gistle :*
I don’t know if tomorrow has a day
I don’t know if the rains will shine my way
All I know is that I’m standing
In a place well my future is like the skies of L.A

Bulan desember, tiap tahun di kota ini akan dihujani dan dipenuhi dengan butiran-butiran salju. Cuaca dingin menyeruak disetiap sudut yang kosong. Tak perduli akan apa yang ada dihadapannya, gadis itu tetap terpaku pada satu titik arah pandangan, padahal kenyataannya tak ada apapun dalam pikirannya. Semuanya telah pergi, melayang meninggalkanmya bersama dengan kehidupan yang kelam ini.
Gadis itu tetap duduk manis disamping sebuah makam seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya, belahan jiwanya, nyawanya, jiwanya, nafasnya, lelaki yang telah mengubah hidupnya. Lelaki yang memiliki semua dalam hidupnya. Lelaki yang sangat ia cintai.

**
New York , 2008

Menyenangkan sekali, akhirnya aku bisa seragam ‘senior high school’ku dan melangkah ke sebuah tempat yang baru. Aku adalah mahasiswa baru di Harvard University. Siapa yang tidak tahu tentang Harvard? Oh ayolah, itu kampus paling keren dan juga kampus nomor satu di dunia, benar-benar seperti mimpi yang menjadi kenyataankan??
‘Gist’ itu namaku, orang-orang memanggilku seperti itu. Gistle Annawistle. Dan itu nama lengkapku. Siapa yang tidak mengenal keluarga ‘Annawistle’ yang fenomenal? Hhh, sungguh sebenarnya aku bosan dengan semua ini maksudku apa yang ada dalam hidupku ini meskipun sebenarnya aku bisa berpoya-poya dengan harta berlimpah yang dimiliki keluargaku. Tapi, semuanya berubah, berubah pada hari dimana liburan musim dingin dimulai. Kami melakukan perjalanan panjang menyebrangi samudera Atlantik, jangan salah pikiran dulu, ini hanya sekedar liburan akhir tahun bukan untuk shooting film Titnic yang ke-tiga.
Aku hanya gadis biasa yang beruntung dilahirkan dari keluarga yang kaya raya, padahal sebenarnya aku seperti dikurung di dalam sangkar emas oleh orangtuaku yang terlalu berlebihan tentang semuanya, tentang hidupku.
Hari itu tanggal 7 Desember 2008.

“Hey Gist, apa yang sedang kau pikirkan? Ah, jangan bilang kau sedang memikirkan sejarah lautan yang pernh terjadi diatas Atlantik ini.” 
Abigail, gadis yang bisa dibilang dia adalah teman dekatku ah mungkin lebih tepat disebut dengan sahabatku. Aku hanya memandangnya sesaat.

“Tidak, aku hanya sedang berpikir ingin merasakan betapa dinginnya air dengan suhu -3 derajat Celsius itu.” Kudengar ia terkekeh pelan
“Kau gila, kau akan mati jika melakukan hal itu.” Aku tersenyum mendengar ucapannya.
“Kau tahu, Jack mengajakku makan malam bersama dan bagaimana jika kau menemaniku?” Dia menoleh ke arahku yang menatapnya dengan tatapan bingung.
“Kau yang gila. Untuk apa kau mengajakku? Kan kau yang akan makan malam dengannya.” Dia terkekeh lagi.
“Bodoh! Jack akan mengajak temannya juga.”

Jack, laki-laki dari Colombus University yang berhasil membuat sahabatku tergila-gila padanya. Remaja 17 tahun memang memiliki gairah yang tinggi kepada lawan jenis yang menarik perhatiannya.
Aku sudah siap dengan dress bermotif yang melekat di tubuhku, high heels, dan rambut yang kugerai bebas seperti biasanya.

Kami berjalan menuju restoran kapal ini, oh ya kapal yang sedang kami tumpangi ini adalah revolusi terbaru dari kapal uap paling bersejarah, Titanic. Nama kapal ini adalah ‘The Pearl of Titan’ semuanya jauh lebih canggih daripada Titanic yang pernah tenggelam di tempat ini maksudku, Atlantik. Sekarang perjalanannya adalah dari New York ke London, Inggris.  

“Hey, kenalkan ini Edward. Edward Manhole, dia temanku.” Jack tersenyum padaku dan Abigail. Kami saling menjabat tangan.
“Kenalkan juga ini sahabatku, Gistle Annawestle.” Aku tersenyum pada mereka berdua.


Itulah awal dari sejarah kisah cinta yang panjang. Awal dari jalan hidup yang akan kulalui sampai ke masa depan.

Cinta, semuanya mengubah hidupku, seorang Gistle Annawestle. Pria itu, pria yang begitu membuatku jatuh hati padanya, membuatku selalu memikirkannya. Hidupku jadi lebih berwarna akan semuanya, perubahan yang ia bawa begitu besar. Aku sangat menggilainya, aku mencintainya, membutuhkannya, aku tak bisa jauh darinya sosok pria itu sudah merasuk terlalu jauh dalam sumbu roh kehidupanku. Tuhan menciptakannya dalam sebuah kesempurnaan yang membuatku tak bisa berhenti mengguminnya, tak bisa berhenti untuk mencintainya. Dia membuatku melihat hidup dengan sebuah mata yang selama ini tak kupikirkan akan ada. Dia membuatku mengerti jika kesempurnaan dan kasih sayang tak harus di dapat dengan kemewahan. Dia yang membuatku tahu jika kebahagiaan bisa di dapat hanya dengan cara yang begitu mudah, hanya dengan menjadi sederhana.

**
London, Inggris 2008

Hari-hari selajutnya, tanggal 17 Desember 2008. Kejadian itu, kejadian tragis yang merebut nyawanya, nyawa kekasihku. Pria yang selalu aku kagumi dan selalu membuatku merasa sempurna jika berada disisinya.

Begitu tiba di Inggris, aku tak tahu jika momy dan dady telah mengetahui tentang Edward. Mereke mengirim seseorang untuk menembak Ed dan saat itulah, aku kehilangan semuanya. Nyawaku, hidupku, jiwaku, aku tak sempurna tanpanya, aku terlalu mencintainnya. Aku tak pernah berpikir jika kebahagiaan itu akan berakhir begitu cepat.
Perasaanku begitu berkecamuk melihat seseorang yang aku sayangi, aku cintai dengan segenap jiwaku telah pergi, melepas nafas terakhirnya di hadapanku, di depan mataku.

“Kau. Aku mencintaimu Gist, aku mencintaimu. Maafkan aku tak bisa menepati janji kita, kau harus berjanji satu hal padaku Gist.”

Oh tuhan, sungguh aku tak mampu lagi membandung air mataku ini, kau tahu aku begitu mencintainnya. Aku terlalu menyayanginnya, buliran-buliran air itu basah mengalir deras membasahi wajahku.

“Apapun itu, kumohon, Ed. Kumohon jangan tinggalkan aku. Aku tak bisa, tak bisa tanpamu. Kumohon.” Dengan erat kugenggam tangannya yang mulai melemas
“Kau harus berjanji padaku Gist, jadilah seorang ibu untuk anak-anakmu dan istri untuk suamimu. Kumohon berjanjilah untuk mengingatku disetiap kali kau bernafas.” Air matanya mengalir membasahi wajahnya yang begitu pucat menahan sakit.
“Bertahanlah, aku akan memanggil team medis.” Aku berusaha untuk merogoh saku celana jeans-ku.
“Tidak, kumohon, jangan lakukan itu, semuanya akan percuma Gist, ak..aku..menc..cintai..mu”

“Ed … Ed … Wake up .. please Wake up , Nooo Ed….”


**

Kejadian yang takkan kulupakan dalam hidupku, sejarah kisah cinta yang pernah dianugerahkan tuhan padaku. Hari itu tepat di pelabuhan itu aku kehilangan sebagian hidupku, penyempurna yang telah melayang pergi tanpa sempat menyampaikan batin kecil ‘betapa aku mencintainnya, betapa aku membutuhkannya’ semuanya berakhir!

Setelah hari itu, aku anggap semuanya berakhir. Hatiku terkunci untuk yang lainnya. Hanya tukang kayu itu, hanya Edward yang memilikiku sepenuhnya, seluruhnya. Aku tak perduli apa pun dia, siapa pun dia, sekalipun dia hanya seorang tukang kayu yang miskin serta serba berkecukupan yang terpenting bagiku adalah cintaku, cintaku padanya yang membuatku masih berpegang teguh dengan sebuah janji tulus yang diikrarkan seorang lelaki padaku. Meskipun jiwaku dilanda badai petir yang meremukkan keseluruhan dari sosokku, Gistle Annawestle.

Aku sempat mengalami konflik besar dengan orang tuaku, jasad Ed telah dikuburkan di Los Angeles, dan aku melarikan diri kembali ke New York dengan The Pearl of Titan, di atas kapal uap yang merupakan revolusi dari Titanic. Mungkin ini kisah cinta Jack dan Rose yang merupakan tokoh fiksi dari film Titanic karya James Cameron, maksudku ini adalah kisah cinta yang sama-sama terjadi dan disaksikan oleh Samudera Atlantik.

Malam ini aku kembali keluar dari kamarku yang berada di kelas VIV kapal ini. Berjalan dengan piyama tidurku ke ujung deck kapal. Merentangkan kedua tanganku, menutup mata dan menikmati angin musim dingin yang menerpa tubuhku malam ini. Mungkin suhu saat ini -0 derajat celcius. Seandainya Ed ada disini, di sampingku, memelukku.

“Cinta jalan penderitaan yang harus ditempuh untuk setiap kehidupan.”
“Apapun itu asalkan kau bersamaku.”
Aku sanggup melewati ‘jalan penderitaan’ itu hanya dengan berpegang teguh pada sebuah janji.

Aku teringat perkataannya hari itu, hari dimana kami resmi menjadi sepasang kekasih yang memiliki cinta dalam sebuah keabadian.

Cause I’m your Lady and you are my Man  

** 2 tahun kemudian
Los Engeles 2010

Hari ini tanggal 13 Mei tepat dimana Ed berulang tahun. Aku telah ada di makamnya untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-24. Lihat!, cintaku takkan pernah terhapus, entah itu oleh jarak maupun waktu.

“Ed, Happy Birthday. Semoga kau bahagia disana. Aku mencintaimu. Masih dan akan selalu mencintaimu.”

Akan kupegang teguh janjiku padamu dan jika nanti aku bertemu dengan seseorang aku akan menepati janjiku Ed, janjiku padamu.

Bisikan-bisikan di pagi pecinta
Sekarang saat aku melihat matamu, aku berpegang pada tubuhmu dan merasakan setiap gerakkan yang kau buat,
Suaramu hangat penuh dengan kasih yang tak bisa kutinggalkan.
Karena aku wanitamu dan kau priaku, aku melakukan semua yang ku bisa.

Hilang adalah bagaimana aku merasa berbaring dalam pelukanmu saat dunia luar terlalu banyak untuk mengambil bahwa semua berakhir saat aku bersamamu.
Suara detak jantungmu terdengar dengan jelas, timbul perasaan bahwa aku tak bisa pergi jauh. Kau sedang menuju untuk sesuatu, suatu tempat yang tak pernah kulihat, kadang-kadang rasa takut itu menerpaku tapi aku siap belajar dari kekuatan cinta.

-semuanya tak seberat yang kau pikirkan hatimu akan menjawab semuanya, kehidupan itu tak berhenti hanya karena kehilangan sekalipun itu adalah seorang belahan jiwa. Simpanlah dia dalam hati, cintailah dia disetiap hembus nafas dan detak jantungmu, jangan pernah lepaskan dia dari dekapanmu-

                                               
                                                                       
                                                                                    Gistle Annawestle    

LOVE #7



BAB 7
Where love is great, the littlest doubts are fear
When little fears grow great, great love grows there. —William Shakespeare


Pria itu terbaring dengan tenang di atas bankar rumah sakit, kembali ke tempat di mana selama ini dia berada. Sejak lima belas menit yang lalu aku menatapinya, terduduk di samping tempat tidurnya. Aku menghela nafas untuk yang kesikian kalinya, entahlah aku hanya merasa ada yang tidak beres dengan diri pria ini. perkataannya mengenai mr. Joplin masih terus terngiang di pikiranku. Mengapa dia membencinya? Apa mereka memiliki sebuah hubungan? Sebenarnya, berapa banyak rahasia yang tersimpan dalam hidup Justin?
Lagi, aku menghela nafas, lalu mengalihkan perhatianku pada layar iphoneku dan menekan speed dial untuk menghubungi Andreas, kurasa dia satu-satunya orang yang bisa membantuku saat ini. Jika Justin bisa berbicara dan bertingkah laku begitu normal seperti tadi, aku ragu jika dia memiliki kelainan jiwa seperti yang tertulis dalam berkas mengenai dirinya yang diberikan mr. Joplin padaku.
“Andreas, aku ingin kita bicara malam ini, datanglah ke rumahku.” Aku mengirimkan voice mail karena nomornya sedang berada di luar jangkauan. Sejujurnya, aku melewati hari yang baik bersama dengannya hari ini. Justin, dia tak sama sekali terlihat seperti orang gila, dia terlihat sangat normal dan baik-baik saja. Dia berbicara dan bercerita padaku, dia juga tertawa, dia tersenyum, dan membalas lelucon yang kubuat dengan konyol. Itu adalah kekonyolan yang manis menurutku, dan sekarang, aku jadi ragu jika dia gila, aku belum pernah melihat orang gila bisa mengeluarkan lelucon seperti itu. Meski pun sebenarnya dia terlalu tampan untuk dikategorikan dalam golongan orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan.
Justin adalah seorang mantan bad boy yang terkenal di kota ini dan mungkin masih ada banyak orang yang mengenal namanya sampai sekarang. Tentu saja, dia tampan, dia mempesona sekali pun dia hanya mengenakan pakaian rumah sakit, dan dia memiliki tubuh yang sexy. Aku tak akan menampik semua yang ada padanya adalah impian semua gadis di dunia untuk memiliki seorang kekasih yang sesempurna Justin, meski pun tak ada yang sempurna di dunia ini. Aku menggelengkan kepalaku berusaha untuk keluar dari lamunan panjangku saat pintu berdecit pelan.
Aku menoleh menatap seorang suster yang tersenyum ramah padaku. “Anda sudah ditunggu mr. Joplin di ruangannya, Dokter,” ujarnya. Aku mengangguk padanya dan lantas membereskan tasku juga kembali memakai jas putihku, untuk yang terkahir kalinya saat ini, aku kembali menghela nafas dan melangkah cepat menuju ruangan pria itu. Ah, mungkin aku bisa mendapatkan sesuatu yang baik untuk mengetahui apa yang sebenarnya pernah terjadi antara Justin dan pria paruh baya itu.

“Aku tahu ini mustahil, tapi kita tak bisa gegabah dan menyebabkan rencana yang sudah kita susun selama dua tahun ini gagal begitu saja karena ualh cerobohmu. Aku mohon, aku berjanji, aku akan segera memebereskan Bieber sialan itu untuk selamanya dan mungkin juga bersama dengan gadis itu juga.” Aku tahu betul itu adalah suara mr. Joplin. Aku bersandar pada jendela kaca yang ada tepat di samping pintu masuk, kaca ini dibuat buram dan aku tak bisa melihat siapa yang sedang berbicara dengannya.
“Baiklah, aku minta maaf, Honey. Aku tak bermaksud untuk menggagalkan rencana kita. Aku hanya takut jika gadis itu bisa saja menjadi ancaman untuk kita berdua, aku sering memperhatikannya yang semakin hari semakin dekat dengan pria brengsek itu. Aku hanya tak ingin dia menjadi penghalang bagi kita.” Jantungku seakan berhenti berdetak, tidak apa-apaan ini. Sial. Apa yang mereka rencanakan untuk Justin? Membunuhnya perlahan? Tubuhku dengan reflek mundur dan lebih merapat kearah kaca, menahan nafasku saat melihat siapa yang keluar dari ruangan itu. Melanie Parker. Wanita yang kutemui di lift tempo hari. Bagaimana mungkin mereka? Ada hubungan apa antara mereka?
Aku berusaha dengan sekuat tenaga untuk menemukan kembali ketenanganku, dan berusaha untuk menghilangkan pening yang mendadak menghampiri kepalaku. Tiga menit kemudian, aku melangkahkan kaki ku memasuki ruangan mr. Joplin. Pria itu terlihat tenang bersama dengan tumpukan kertas putih di mejanya seolah tak terjadi apa pun beberapa menit yang lalu. Kepalanya mendongak saat aku melangkah mendekati mejanya dan senyuman palsu itu terpampang nyata di wajahnya, itu mengirimkan sensasi mual ke perutku. Aku baru menyadari jika senyuman di wajahnya selama ini adalah senyuman penuh rahasia dan aku merasa benar-benar bodoh baru bisa membacanya sekarang setelah mendengar percakapan aneh mereka tadi.
Well, halo ms. Pereira, bagaimana acaramu dengan Justin?”
Aku menyatukan bokongku dengan kursi yang ada di hadapannya. Aku tersenyum tipis padanya. “Cukup menyenangkan dan aku menghabiskan hari yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku dengannya. Saat kami berada di tempat itu, aku sama sekali tak melihat tanda-tanda jika Justin adalah seseorang yang memiliki kelainan jiwa, mr. dia terlihat sangat normal sekali. Aku yakin kau tak akan percaya bukan?” Aku memperhatikan ekspresi wajahnya dan dapat. Aku mendapatkan perubahan mimik wajahnya dengan sangat kentara.
“Tentu, aku sangat terkejut untuk itu dan juga senang. Semakin cepat pria itu membaik maka aku akan semakin cepat tenang tanpa harus melihatnya lagi, aku bosan mengurusnya menjadi pasien terlama di rumah sakit ini dan ternyata kedatanganmu membawa berkah, terima kasih ms Pereira. Aku juga ingin melihat laporan perkembangannya seminggu terakhir ini. itu sudah harus ada di mejaku besok pagi,” ujarnya dengan senyuman yang sama. Aku mengangguk pelan dan lantas berjalan cepat meninggalkan ruangan terkutuk itu.
Lagi. Apa yang sebenarnya direncanakan oleh mereka?

Aku sampai di ruangan Justin dan bertemu dengan seorang suster yang baru saja memberikan suntikan kepada Justin. Gadis itu tersenyum ramah padaku. Aku membalasnya dengan senyuman canggung. “Maaf, boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
“Ya, Dok. Tentu saja,” ujarnya masih dengan senyuman cantiknya.
“Sebenarnya, apa hubungan Melanie Parker dengan mr. Joplin?”
Alis suster di hadapanku ini segera terangkat keatas menatapku sedikit bingung, tapi dia menjawabnya juga. “Tentu saja, mereka adalah sepasang suami istri dulunya dan sekarang mereka sudah memiliki hidup masing-masing. Mereka bercerai empat tahun lalu,” katanya. Empat tahun lalu. “Baiklah, terima kasih kalau begitu.” Suster itu mengangguk dan lantas berjalan meninggalkanku yang masih mematung di depan pintu ruang rawat Justin.
Aku membuka pintu ruang rawat Justin dan mendapati jika dia sedang memejamkan matanya, tampak muda dan damai. Aku menutup kembali pintu yang kubuka dan lantas berjalan menghampirinya. Hatiku berharap-harap cemas, pikiranku beradu mencoba menemukan alasan yang jelas dibalik semua yang sekarang telah kuketahui, tentang mr. Joplin dan juga Melanie Parker. Mereka tak sama sekali berusaha melakukan apa pun untuk mengeluarkan Justin dari tempat ini. Ini bukan untuk Justin tentu saja, mereka dengan sengaja melakukan ini dan mungkin berniat untuk membuat Justin mati perlahan-lahan.
Tidak, aku tak akan membiarkan apa pun terjadi padanya. Sesuatu dalam hatiku seolah berteriak keras dan terus mendorongku untuk ikut masuk dalam misteri dibalik kisah hidup seorang Justin Bieber dan lantas mengeluarkannya dan membuatnya mencintaiku.
Bukankah cinta adalah di mana kita rela berjuang untuk seseorang yang kita cintai tanpa kenal sakit dan lelah sekali pun orang itu tak pernah tahu tentang seberapa besar cinta kita untuknya?
Bukankah cinta adalah di mana hati seakan buta untuk tahu mana yang benar dan mana yang tidak benar dalam berusaha?
Cinta yang sesungguhnya adalah cinta dengan ketulusan dan hanya hatilah yang mampu merasakannya. Hanya hati yang tahu di mana letak ketulusan itu dan aku telah menemukannya saat ini. Aku menemukan ketulusan itu dan mendapati ada nama seseorang yang telah terlukis dengan tinta tebal di sana, terlukis dengan indah membentuk dua kata yang sempat membuatku terkejut dan tak percaya hingga aku memutuskan untuk mencarinya dan mendapatkan diriku sendiri tersesat saat matanya menatapku dan mengunciku seolah tak ada yang abadi selain aku dan dia, Justin Bieber.
I love you,” bisikku di telinganya dan diam-diam mengecup dahinya, tanpa pernah kusadari hal sekecil itu bisa membuatku tersenyum dengan mudah.

Aku kembali ke rumah setelah membeli beberapa bungkus cemilan untuk di makan selama aku mengobrol dengan Andreas, aku merasakan lelah menghampiri tubuhku hari ini, tapi sekarang bukan saatnya untuk beristirahat, banyak masalah yang harus kuselesaikan dan kurasa semuanya tentang Justin.
Aku baru saja menyelesaikan rutinitas mandi soreku yang tergolong lama, bahkan mungkin sampai tiga jam, dimanjkan oleh Jacuzzi-ku adalah salah satu cara untuk menghilangkan stress dan mencoba untuk menemukan pikiran normalku kembali. Pintu kamarku terkuak bersamaan dengan seorang pelayan yang membungkuk hormat padaku.
“Maaf, Nona. Teman Anda sudah datang dan menunggu Anda,” ujarnya formal. Aku hanya mengangguk dan dia kembali menutup pintuk kamarku.
Aku membawa laptopku dan turun ke lantai bawah menemui Andreas. Aku sangat berterima kasih padanya karena telah menyediakan waktunya yang begitu berharga itu untukku. Dia memang satu-satunya orang yang saat ini bisa kupercaya dan aku yakin dia menyayangiku sama seperti aku menyayanginya layaknya kakakku sendiri.

“Apa aku membuatmu menunggu terlalu lama?”
“Tidak, aku baru saja memesan gelas kopiku yang ke lima,” ujarnya. Aku tergelak mendengar leluconnya. “Baiklah, sekarang apa yang harus kulakukan untukmu, Nona Han?”
Aku menghempaskan tubuhku ke sampingnya. Well, kurasa ayahku belum pulang dari rutinitas kantornya yang begitu padat. Aku sedikit bersyukur untuk itu, setidaknya dia tak perlu bergabung dengan kami dan mengetahui masalah ini.
“Ini tentang Justin, kau tahu dia pasienku dan aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini,” kataku pelan.
“Apa maksudmu dengan aneh?”
“Tadi, aku sengaja mengajaknya pergi ke pantai dan berusaha untuk membuatnya kembali membuka dirinya untukku. Saat di perjalanan, dia bilang dia sangat membenci seua dokter yang telah merawatnya, termasuk dengan mr. Joplin. Aku merasa sangat aneh ketika dia berbicara seperti itu, aku sempat meliriknya untuk melihat ekspersi wajahnya dan itu membuatku terkejut karena wajahnya terlihat begitu normal, itulah yang membuatku merasa jika dia bukanlah seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan, Andreas, kau mengerti maksudku bukan?” Aku mengalihkan pandanganku menatap pria yang kini terlihat seperti sedang berpikir.  
“Ya, aku mengerti. Jadi, maksudmu ada orang yang sengaja melakukan hal ini padanya, maksudku memasukkannya ke dalam rumah sakit?”
Aku meresponnya dengan anggukan kepalaku. “Nyaris sepanjang hari ini, aku tak merasakan jika aku sedang menghabiskan waktu bersama dengan seorang pria yang kejiwaannya terganggu. Aku bahkan merasa seperti sedang menghabiskan waktu bersama dengan teman kencanku,” kataku pelan di akhir kalimat. Walau bagaimana pun juga, aku masih malu untuk memberitahukan perasaan aneh ini pada siapa pun termasuk pada sahabatku sendiri.
“Kau tahu secara tak langsung kau berbicara jika kau telah jatuh cinta padanya, Nic.” Aku terkikik mendengarnya, Andreas memutar matanya padaku. “Ah, ada lagi, tadi saat aku dipanggil ke ruangan mr. Joplin, aku tak sengaja mendengar percakapannya dengan seorang wanita yang juga menjabat sebagai seorang dokter di rumah sakit itu. Namanya Melanie Parker. Mereka membicarakan tentang Justin, aku dan juga sebuah rencana yang sudah disusun sejak lama. Aku merasa jika mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja menyakiti Justin, ya hatiku berkata seperti itu,” lirihku pelan. Aku mendongak dan menatapnya tajam saat aku mendengarnya terkekeh. Sial, itu sangat tidak sopan. Sahabatnya sedang banyak masalah dia malan tertawa dan bukannya membantuku menyelesaikan masalahku.
“Ya ampun, Nichole. Aku tak percaya jika kau akan secapat ini move on dari Siwon. Dan lantas jatuh cinta pada seorang pria yang menjadi pasienmu, seberapa tampan dia hingga bisa membuatmu jatuh padanya dalam waktu yang tergolong cepat,” kalimat ledekkannya itu sudah cukup untuk membuatku kesal. Aku memutar bola mataku. Kang Sialan!
“Baik-baik, maafkan aku. Aku hanya bercanda. Serius, apa yang kau ingin aku untuk lakukan?”
“Aku hanya ingin kau mencaritahu tentang siapa sebenarnya mr. Joplin dan Melanie Parker itu dan apa tujuan mereka menyakiti Justin. Oke?” Aku kembali menatapnya dan dia mengangguk pasti padaku. “Anything for you, Beb.”
Aku memeletkan lidahku padanya dan menatap heran layar iPhoneku saat nomor rumah sakit tertera di layarnya. Aku menempelkan benda pipih itu ke telingaku, tubuhku mematung saat mendengar suara panik seseorang yang kuyakini seorang suster.
“Apa yang terjadi?”
“Kita harus ke rumah sakit sekarang juga, Andreas. Justin. Dia, kritis, dia sedang ada dalam keadaan kritis sekarang.” Aku berteriak panik padanya.
“Ayo, aku akan mengantarmu ke sana,” ujarnya menarik tanganku dan kami pergi dari ruamhku. Sial, apa yang terjadi padanya?
Justin, kritis. Dia kritis. Itu tidak mungkin terjadi tanpa alasan yang jelas. Tanpa komando, cairan hangat jatuh dari pelupuk mataku begitu saja. Hatiku berdebar dengan cemas. Menyisipkan do’a disetiap debar jantungku sekarang. Jagalah dia untukku, selamatkan dia untukku, kumohon, kumohon Baiklah,aku mengakui jika aku mencintainya dan kumohon selamatkan dia dan biarkan aku membantunya untuk menyelesaikan masalah hidupnya yang penuh misteri ini. Kumohon.  []