BAB
8
I love you without
knowing how, or when, or from where. I love you simply, without problems or
pride: I love you in this way because I do not know any other way of loving but
this, in which there is no I or you, so intimate that your hand upon my chest
is my hand, so intimate that when I fall asleep your eyes close.
― Pablo Neruda, 100 Love Sonnets
― Pablo Neruda, 100 Love Sonnets
Jalanan
padat New York membuatku frustasi karena sudah sepuluh menit kami terjebak
macet, padahal setiap pagi selama dua minggu ini, aku hanya membutuhkan waktu
dua puluh menit ke rumah sakit tanpa macet dengan kecepatan yang normal dan
sekarang sudah sepuluh menit berlalu kami bahkan belum setengah jalan. Sial.
Aku tak suka dengan keadaan seperti ini, cemas, khawatir, takut, sedih semuanya
bercampur jadi satu dan aku tak ingin memikirkan bagaimana rasanya itu.
Suster
yang bertugas malam hari ini menelponku karena Justin adalah pasienku maka aku
yang harus mengawalnya meski pun aku tak tahu bagaimana caranya membuatnya
kembali membaik karena aku tak mengambil mata kuliah dokter umum dulu, itu
berbeda dengan psikologi yang berdiri sendiri di kampusku.
Sudah
sejak bokongku menyatu dengan tempat duduk di samping kemudi mobil Andreas,
hatiku tak berhenti mengucapkan begitu banyak harapan dan doa untuknya. Justin, bertahanlah, bertahanlah untukku,
untukmu, dan … untuk kita.
“Apa
kita tak bisa lebih cepat?” Aku menatap Andreas sesaat dan kembali melihat ke
arah jalanan yang penuh dengan mobil, aku tak mengerti bagaimana bisa di kota
sebesar ini terjadi macet yang segini parahnya. Apa lagi sekarang adalah
kondisi yang mendesak.
“Kau
bisa lihat apa yang ada di sekeliling kita sekarang dank au bisa menjawab
sendiri pertanyaanmu itu,” katanya sarkastik. Aku memutar bola mataku jengah
dan setengah hidup menahan untuk tidak berteriak. Ya ampun, sebenarnya apa yang
sedang terjadi di depan sana. Mengapa macet ini parah sekali? Aku harus menemui
Justin dan mengetahui secara langsung keadaannya. Tak ada yang berani
membayangkan jika orang yang kita cintai sedang ada dalam keadaan kritis. Tak
akan ada.
“Kau
mencintainya kan, Nic?”
Kepalaku
menoleh menatap wajah datar Andreas yang tengah berkonsentrasi pada kendali
mobil. “Jawablah,” katanya lagi. Apakah semudah itu orang membaca jika aku
sudah jatuh cinta pada pria yang di katakan gila dan juga berstatuskan sebagai
pasienku? Bagaimana dia bisa tahu?
“Entahlah,
aku tak bisa menjawab pertanyaanmu sekarang, mungkin suatu saat nanti,” lirihku
pelan dan aku tak tahu apakah Andreas mendengarnya atau tidak dan aku tak
perduli.
Setelah
percakapan singkat itu, tak ada lagi kata yang keluar dari mulutnya ataupun
mulutku. Jalanan sudah kembali normal dan ternyata tadi itu ada kecelakaan
besar yang mengganggu aktivitas lalu lintas kota. Ban mobil Andreas berdecit
dan aku membuka pintu mobilnya dengan tergesa-gesa. Oh ini sangat-sangat
berlebihan, tapi percayalah aku belum pernah sekhawatir ini selama aku hidup,
mungkin sekarang aku seperti ibu-ibu yang kebakaran jenggot.
Aku
berlari kecil memasukki pintu kaca rumah sakit dan di sambut oleh seorang
suster yan wajahnya masih sangat asing untukku. Dia tersenyum lembut padaku dan
membawaku menuju ruang ICU. Katanya Justin sudah dipindahkan ke sana.
“Apa
yang menyebabkan Justin bisa kritis? Bukankah dia baik-baik saja sebelum aku
pulang?”
“Saya
tidak tahu pasti, Dok. Mr. Bieber sedang ditangani oleh beberapa Dokter
sekarang dan masih menyelidiki apa yang membuatnya menjadi seperti itu,”
jawabnya. Aku menganggukkan kepalaku.
“Bagaimana
keadaannya saat kau tahu dia kritis?”
“Saat
itu, aku hanya sedang berkeliling mengecek keadaan pasien, begitu aku tiba di
ruangan mr. Bieber, aku melihatnya terbaring kaku, wajahnya pucat, danada busa
putih yang keluar dari mulutnya.” Jantungku berdisko dengan cemas saat
mendengar apa yang dikatakan oleh suster ini.
Tentu
saja, ini adalah perbuatan seseorang, aku yakin sekali ada yang dengan sengaja
meracuni makanan Justin. Mungkin, makan malamnya. “Siapa yang mengantarkan
makan malam ke ruang rawat Justin tadi?”
Aku
menatap suster di sampingku. Kami sudah sampai di depan sebuah ruangan yang di
dalamnya ada seorang pria yang telah berhasil mencuri perhatianku, dia sedang
berjuang untuk hidupnya saat ini. Wajahnya tampak sedang berpikir dan matanya
menatapku ketika dia mangatakan nama seseorang yang taka sing di telingaku.
“Melanie Parker.”
Tubuhku
menegang dengan gerakkan yang begitu kentara. Bagaimana bisa? “Apa maksudmu
Melanie Parker?”
“Ya,
dia yang mengatarkan makan malam Justin katanya dia sudah lama tidak melihat
keadaan Justin dan berniat untuk mengajaknya mengobrol biasa, jadi aku
mengizinkannya untuk mengantarkan makanan itu ke ruangan Jusitn,” jelas suster
ini. Benakku melotot sempurna, menatapku seolah-olah ia akan menerkamku saat
ini juga. Perempuan sialan!
“Apa
yang kau pikir kau lakukan? Siapa yang mengizinkan perempuan itu untuk memberi
makanan pada Justin? Harusnya kau lebih teliti, karena ulahmu Justin ada di
dalam sana. Sial. Kau, aku tak ingin melihat wajahmu lagi untuk menjaga ruangan
orang-orang yang berada satu lantai dengan ruangan Justin. Jika aku masih
melihatmu, aku akan . . .”
Tanganku
di tarik seseorang saat tanpa sadar aku berniat untuk menampar perempuan
ceroboh ini. Aku menatap Andreas dengan marah. “Dengan kau memarahinya tak akan
membuat Justin cepat sembuh, harusnya kau berdoa untuknya. Bukan seperti ini,
jika Justin sedang dalam keadaan kritis sekarang itu bukan sepenuhnya
kesalahannya. Bagaimana bisa kau kehilangan sifat bijakmu dalam waktu sekejap
mata, Nichole?”
Dadaku
bergemuruh, emosi menguasaiku dengan cepat, apa yang sebenarnya suster sialan
ini pikirkan di kepala cantiknya itu hingga dia dengan begitu lancang memperbolehkan
seorang dokter dari bagian penyakit dalam untuk masuk dengan seenaknya ke dalam
ruang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bidang yang dia milikki.
Ya
Tuhan, Nichole kau harus menenangkan dirimu sendiri, atau kau akan mencorang
namamu sendiri sebagai dokter baru yang ramah. Andreas benar, selama ini aku selalu
bisa menahan emosiku. Tapi, hari ini aku sendiri terkejut melihat emosi itu
meluap dengan sendirinya. Apa ini efek dari rasa khawatirku yang berlebihan
pada Justin? Mungkin saja.
Aku
menarik nafasku dan mencoba untuk menenangkan diriku sendiri, aku harus fokus
pada Justin dan akan membuat perhitungan dengan wanita sialan itu nanti, lihat
saja, aku akan membuatnya menyesal atas apa yang telah dia perbuat pada
Justinku nanti.
Aku
mengalihkan pandanganku menatap pintu besi ruang ICU tempat Justin berada saat
ini. Hatiku tergores membayangkan apa yang sedang diperjuangkan Justin untuk
hidupnya di dalam sana, atau mungkin dia sudah tak memiliki apa pun untuk
diperjuangkan lagi? Tidak, tentu saja, di sini ada aku yang harus dia
perjuangkan dan aku masih memperjuangkan niatku untuk membuatnya mencintaku
dengan caraku sendiri, untuk membuatnya melupakan masa-masa bersama Anne dulu.
Justin akan mencintaiku suatu saat nanti, tentu saja, dia pasti akan
mencintaiku suatu saat nanti.
Kaki
ku bergerak pelan menuju pintu besi yang terdapat kaca kecil untuk melihat
keadaan di dalam sana. Tubuhku seolah diperintah secara otomatis dan bergerak
dengan sendirinya. Goresan-goresan itu kembali menyayat hatiku saat melihat
wajah tampan yang baru saja memasukki mimpiku kini terbujur kaku dengan
berbagai macam alat medis yang melekat di tubuhnya. Racun apa yang diberikan
Melanie Jalang Parker itu padanya? Tak mungkin racun biasa bisa sampai
membuatnya seperti ini. Wanita itu benar-benar sudah keterlaluan, aku harus
membuat perhitungan dengannya.
Aku
memanggil seorang suster yang berlalu lalang di depan ruang ICU.
“Aku
ingin kau menyimpan sisa makanan yang di makan oleh Justin Bieber malam ini,
letakkan di lokerku.” Wanita paruh baya berseragam putih itu mengangguk padaku
dan lantas mulai berjalan pergi dari depan ruang ICU.
Mataku
teralih menatap Andreas, wajahnya nampak lelah dan itu membuatku merasa
bersalah tak seharusnya dia terlibat urusan ini sampai sejauh ini. aku
menjatuhkan tubuhku di sampingnya. “Maafkan aku,” lirihku.
“Aku
sudah membuatmu repot dan tak seharusnya kau ikut terlalu jauh seperti ini,”
ujarku lagi. Dia hanya diam dan itu membuatku ingin menenagis. “Tak ada yang
perlu dimaafkan, Nic. Lagi pula, aku ini sahabatmu dan sudah seharusnya aku
berada di sini untukmu, saat sahabatku membutuhkanku.” Hatiku lega saat
akhirnya dia menjawab perkataanku. Aku tersenyum dan menyandarkan kepalaku di
pundaknya.
Tiga
jam kemudian, aku masih menyandarkan kepalaku di pundak Andreas, dia telah
tertidur setangah jam yang lalu dan aku sendiri tak sama sekali merasakan
kantuk menyerangku hatiku menjagaku untuk tetap terjaga dan menunggu dokter
keluar dari ruangan itu dengan senyuman di wajahnya karena berhasil
menyelamatkan Justinku untuk tetap memperjuangkan hidupnya. Sebenarnya, selama
tiga jam terduduk di sini tanpa melakukan apa pun cukup membuatku kesal. Tapi,
jika aku berjalan mondar-mandir pun tak akan menyelamatkan Justin yang tengah
berjuang untuk hidupnya di dalam sana.
Apa
yang bisa kulakukan untuknya saat selain berdoa? Tidak ada. Aku hanya merasa
aku benar-benar tak berguna sebagai dokter yang menanganinya. Harusnya aku yang
bertanggung jawab untuk menjaganya dan sekarang aku telah lalai dalam tugas
pertamaku. Bodoh. Ini semua salahku. Harusnya aku lebih hati-hati setelah
mengetahui percakapan dua manusia sialan itu. Karena kebodohan dan
kecerobohanku Justin harus mengalami hal seperti ini.
Cairan
hangat mengalir dari mataku. Rasanya sakit saat melihat seseorang yang kau
cintai terbaring lemah tanpa bisa melakukan apa pun di dalam sana. Aku tak
mengerti bagaimana bisa efeknya sampai sesakit ini. Justin, kumohon kau harus bertahan. Kita belum memulai apa pun untuk
mengungkap kebusukkan dua orang sialan itu. Aku tak mungkin berjalan sendirian
tanpamu. Itu sangat tidak mungkin. Kita bahkan baru dua minggu saling kenal,
itu mungkin terlalu singkat bagimu jika kau tahu seberapa berartinya kau saat
ini untukku, tapi bagiku mencintai seseorang tidaklah memerlukan waktu yang
lama, hati menuntunku untuk melihat bahwa kau adalah sosok pria yang istimewa.
Kumohon, demi kita, bangunlah. Bangun, Just.
“Maaf,
Dokter.”
Tubuhku
tersentak saat mendengar suara seseorang yang tertuju untukku. Aku mendongak
menatap seseorang berseragam putih yang kuyakini adalah dokter yang menangani
Justin. Aku berdiri dan berjalan menghampirinya. “Bagaiman keadaannya?”
“Dia
memiliki ambisi hidup yang sangat kuat dan berkat Tuhan, kami berhasil
menyelamatkannya. Dan beberapa jam lagi, dia akan kembali sadar,” katanya
dengan senyuman puas. Aku mendesah lega. Ya ampun, jika bisa aku ingin
berteriak sekarang juga.
“Terima
kasih banyak, Dok. Apa aku bisa menemuinya sekarang?” Aku menjabat tangannya.
“Tentu,
dia akan dipindahkan keruang rawat terlebih dahulu, lalu kau bisa menemuinya.
Dan ah ada yang ingin kukatakan padamu,” ujarnya yang membuat dahiku berkerut
seketika.
“Ini
mengenai keadaan Justin, tadi ketika di scan, kami tak melihat ada kerusakan
otak di kepalanya. Selama ini yang aku tahu, tingkatan stress itu berasal dari
saraf pusat dan semua saraf pusat Justin masih bekerja dengan sangat baik
normal.” Aku menatap wanti paruh baya dengan rambut ikal yang kini menatapku
dengan cemas. Aku bahkan sudah mencurigai hal ini sejak kami pergi ke pantai.
Ada sesuatu yang besar dirahasiakan dibalik semua ini.
“Aku
tak yakin mengatakan ini, tapi kurasa Justin tak sama sekali mengalami stress
atau pun trauma, dia mungkin mengalami hal yang lain dan tak berhubungan dengan
hal-hal semcam itu,” katanya lagi. Aku mengangguk padanya dan lantas kembali
menjabat tangannya. “Terima kasih,” kataku dan balas dengan senyuman olehnya.
Aku
mengalihkan pandanganku menatap Andreas yang masih nyaman dengan posisi
tidurnya. Aku menghela nafas pelan dan lantas mencoba untuk membangunkannya dan
menyuruhnya pulang. Dia harus berkerja besok dan aku tak ingin dia sakit hanya
karena menemaniku di rumah sakit.
“Hey,
Andreas. Bangun dan pulanglah. Justin sudah membaik dan dia sudah dipindahkan
ke ruang rawat. Aku akan menemuinya sebentar lagi dan kau bisa pulang
sekarang.” Dia menggeliat pelan dan membuka matanya. Ternyata seperti ini
keadaan seorang Andreas Kang ketika sedag bangun dari tidur. Manis sekali. Tapi
dia terlihat tetap tampan. “Baiklah, maafkan aku tak bisa menemanimu lebih lama
lagi. Aku ada meeting besok pagi dan jika terlambat ayahku akan menggantungku
di alun-alun kota,” ujarnya. Aku terkikik kecil. Di saat seperti ini pun dia
masih menyempatkan diri untuk menghiburku.
“Hati-hati
di jalan.” Aku memeluknya sesaat dan menunggunya hingga punggungnya menghilang
di balik dinding.
Hatiku
teriris melihat pria itu terbaring lemas di atas bankar ruang rawatnya. Alat
pendeteksi jantung berbunyi sesuai dengan detak jantungnya yang teratur. Aku
menghela nafas letih. Sungguh ini hari yang benar-benar berat untuk kulewati kuharap
setelah ini tak aka nada lagi yang buruk terjadi, mungkin nanti dan itu pasti
akan segera datang. Kepalaku terjatuh di sini bankar Justin dan rasa kantuk
menyerangku tiba-tiba.
—“…Itulah yang membuat ayahku
dengan terpaksa harus memasukkanku ke rumah sakit dengan mengatakan jika aku
mengalami depresi tingkat tinggi.”
—“…tubuhku bergetar saat melihat
sebuah pisau dapur menancap tepat di jantung ayahku,”
Mataku
terbuka kembali saat tiba-tiba suara Justin terngiang di pikiranku. Oh tentu
saja, ayah Justin meninggal ketika dia kecil dan lantas mengapa dia mengatakan
jika ayahnya lah yang memasukkannya ke rumah sakit ini?
Apa
dia sengaja berbohong padaku? atau mungkin dia tak sadar jika ayahnya sudah
mati ketika dia kecil? Atau mungkin dia lupa? Gila, bagaimana bisa dia lupa
jika ayahnya sudah tiada, itu benar-benar mustahil. Benar-benar ada yang tida
beres di sini. Ada seseorang yang dengan sengaja memanipulasi masuknya Justin
ke rumah sakit ini. mungkin benar jika dia mengalami depresi dan trauma, tapi
hal itu tak sama sekali mempengaruhi kejiwaannya, maksudku dia hanya mengalami
stress yang biasa karena kehilangan seseorang yang amat ia cintai. Itu wajar
jika akan berlangsung cukup lama dan terkadang akan datang menghantuinya
tiba-tiba, itu tidak berbahaya. Jika dia menyakiti orang-orang yang ditugaskan
merawatnya sebelum aku, itu pasti karena motif lain atau mungkinkah dia sudah
tahu siapa yang ada di balik keruhnya hidup yang ia jalani setelah kepergiaan
Anne.
Aku
mengangkat kepalaku dan menatap pria yang telah berhasil menuliskan namanya di
hatiku. Mata karamelnya terbuka, menatapku dengan sayu. Aku tersenyum lembut
padanya. Menggenggam tangannya. “Banyak hal yang harus kau ceritakan padaku
nanti, Just. Kau akan mendapatkan hukuman dariku karena suatu hal nanti, sekarang
kau harus segera sembuh agar aku bisa menghukummu,” ujarku dengan senyuman yang
mengambang di wajahku.
“Jika
begitu, aku lebih suka berbaring di sini dan tak usah sembuh,” balasnya yang
membuatku melotot. “Bodoh, aku tak akan mau menemanimu lagi jika kau berniat
untuk tak pernah sembuh.” Dia terkekeh pelan, dan aku bersumpah itu adalah tawa
paling manis yang pernah kudengar. Tawa dan senyumnya adalah bahagia untukku.
“Aku hanya bercanda, aku akan sembuh karenamu dan untukmu.” Aku terdiam saat dia
menyelesaikan perkataannya. Beberapa saat, mencerna maksud dari kalimatnya dan
membuat hatiku menghangat seketika. Ribuan kupu-kupu berterbangan memenuhi
perutku. Justin menarik tanganku yang menggenggam tangannya dan meletakkannya
di atas dada bidang terpahatnya yang hangat. Aku bisa mereasakan jantungnya
berdetak dengan cepat. Itu membuatku memerah dengan mudahnya. Ya ampun, apa dia
sedang berusaha untuk menggodaku? Dia berhasil dengan nilai sempurna kalau
begitu.
“Aku
tak tahu apa yang sudah terjadi padaku, Nichole. Ketika kegelapan sempurna yang
memenuhi duniaku beberapa jam yang lalu, aku rasanya sudah ingin menyerah
sampai di situ, tapi tiba-tiba aku mendengar suara tangis seorang gadis yang
berdoa untukku dan aku mengenal suara itu dengan baik, aku sendiri terkejut
saat tahu itu adalah suaramu. Dan lagi, sesuatu dalam diriku memaksaku untuk
bertahan dan akhirnya, aku berhasil membuka mataku lagi.” Sungguh perkataannya
membuatku kembali menangis. Bodoh, kau cengeng sekali, Nic.
“Bagaimana
bisa kau mendengar suara tangis dan doaku untukmu?” Aku tersenyum padanya saat
dia menatapku dalam, itu membuatku gugup, jantungku berdetak beriringan dengan
jantungnya. “Entahlah, aku tak tahu. Tapi satu hal yang aku tahu dengan pasti
jika kau tak ingin aku pergi, bukan begitu?”
Aku
tertawa saat melihatnya menaik turunkan alisnya, ah dia merayuku. “Ya, mr. Bieber. Aku sangat takut kau pergi,”
ujarku. Kami tertawa bersama.
“Aku
senang saat aku membuka mataku, wajahmu lah yang kulihat, Nichole.” Itu untuk
yang ke tiga kalinya dia menyebut namaku, rasanya sangat berbeda dari
orang-orang yang selama ini menyebutkan namaku. Aku hanya membalasnya dengan
senyuman lembutku.
“Sekarang adalah
waktunya untuk istirahat, Just. Kau harus segera pulih dan aku akan mengajakmu
ke suatu tempat untuk menghukummu,” kataku. Aku menangkap senyuman tipis di
wajah tampannya. Aku berdiri dari dudukku dan membungkuk untuk mengecup
dahinya. Benakku tersenyum dengan lebar saat dia memejamkan matanya ketika aku
mengecup dahinya. Aku menyayangimu, Just.
[]