Jumat, 02 Mei 2014

LOVE #8



BAB 8
I love you without knowing how, or when, or from where. I love you simply, without problems or pride: I love you in this way because I do not know any other way of loving but this, in which there is no I or you, so intimate that your hand upon my chest is my hand, so intimate that when I fall asleep your eyes close.
Pablo Neruda, 100 Love Sonnets


Jalanan padat New York membuatku frustasi karena sudah sepuluh menit kami terjebak macet, padahal setiap pagi selama dua minggu ini, aku hanya membutuhkan waktu dua puluh menit ke rumah sakit tanpa macet dengan kecepatan yang normal dan sekarang sudah sepuluh menit berlalu kami bahkan belum setengah jalan. Sial. Aku tak suka dengan keadaan seperti ini, cemas, khawatir, takut, sedih semuanya bercampur jadi satu dan aku tak ingin memikirkan bagaimana rasanya itu.
Suster yang bertugas malam hari ini menelponku karena Justin adalah pasienku maka aku yang harus mengawalnya meski pun aku tak tahu bagaimana caranya membuatnya kembali membaik karena aku tak mengambil mata kuliah dokter umum dulu, itu berbeda dengan psikologi yang berdiri sendiri di kampusku.
Sudah sejak bokongku menyatu dengan tempat duduk di samping kemudi mobil Andreas, hatiku tak berhenti mengucapkan begitu banyak harapan dan doa untuknya. Justin, bertahanlah, bertahanlah untukku, untukmu, dan … untuk kita.
“Apa kita tak bisa lebih cepat?” Aku menatap Andreas sesaat dan kembali melihat ke arah jalanan yang penuh dengan mobil, aku tak mengerti bagaimana bisa di kota sebesar ini terjadi macet yang segini parahnya. Apa lagi sekarang adalah kondisi yang mendesak.
“Kau bisa lihat apa yang ada di sekeliling kita sekarang dank au bisa menjawab sendiri pertanyaanmu itu,” katanya sarkastik. Aku memutar bola mataku jengah dan setengah hidup menahan untuk tidak berteriak. Ya ampun, sebenarnya apa yang sedang terjadi di depan sana. Mengapa macet ini parah sekali? Aku harus menemui Justin dan mengetahui secara langsung keadaannya. Tak ada yang berani membayangkan jika orang yang kita cintai sedang ada dalam keadaan kritis. Tak akan ada.
“Kau mencintainya kan, Nic?”
Kepalaku menoleh menatap wajah datar Andreas yang tengah berkonsentrasi pada kendali mobil. “Jawablah,” katanya lagi. Apakah semudah itu orang membaca jika aku sudah jatuh cinta pada pria yang di katakan gila dan juga berstatuskan sebagai pasienku? Bagaimana dia bisa tahu?
“Entahlah, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu sekarang, mungkin suatu saat nanti,” lirihku pelan dan aku tak tahu apakah Andreas mendengarnya atau tidak dan aku tak perduli.

Setelah percakapan singkat itu, tak ada lagi kata yang keluar dari mulutnya ataupun mulutku. Jalanan sudah kembali normal dan ternyata tadi itu ada kecelakaan besar yang mengganggu aktivitas lalu lintas kota. Ban mobil Andreas berdecit dan aku membuka pintu mobilnya dengan tergesa-gesa. Oh ini sangat-sangat berlebihan, tapi percayalah aku belum pernah sekhawatir ini selama aku hidup, mungkin sekarang aku seperti ibu-ibu yang kebakaran jenggot.
Aku berlari kecil memasukki pintu kaca rumah sakit dan di sambut oleh seorang suster yan wajahnya masih sangat asing untukku. Dia tersenyum lembut padaku dan membawaku menuju ruang ICU. Katanya Justin sudah dipindahkan ke sana.
“Apa yang menyebabkan Justin bisa kritis? Bukankah dia baik-baik saja sebelum aku pulang?”
“Saya tidak tahu pasti, Dok. Mr. Bieber sedang ditangani oleh beberapa Dokter sekarang dan masih menyelidiki apa yang membuatnya menjadi seperti itu,” jawabnya. Aku menganggukkan kepalaku.
“Bagaimana keadaannya saat kau tahu dia kritis?”
“Saat itu, aku hanya sedang berkeliling mengecek keadaan pasien, begitu aku tiba di ruangan mr. Bieber, aku melihatnya terbaring kaku, wajahnya pucat, danada busa putih yang keluar dari mulutnya.” Jantungku berdisko dengan cemas saat mendengar apa yang dikatakan oleh suster ini.
Tentu saja, ini adalah perbuatan seseorang, aku yakin sekali ada yang dengan sengaja meracuni makanan Justin. Mungkin, makan malamnya. “Siapa yang mengantarkan makan malam ke ruang rawat Justin tadi?”
Aku menatap suster di sampingku. Kami sudah sampai di depan sebuah ruangan yang di dalamnya ada seorang pria yang telah berhasil mencuri perhatianku, dia sedang berjuang untuk hidupnya saat ini. Wajahnya tampak sedang berpikir dan matanya menatapku ketika dia mangatakan nama seseorang yang taka sing di telingaku. “Melanie Parker.”
Tubuhku menegang dengan gerakkan yang begitu kentara. Bagaimana bisa? “Apa maksudmu Melanie Parker?”
“Ya, dia yang mengatarkan makan malam Justin katanya dia sudah lama tidak melihat keadaan Justin dan berniat untuk mengajaknya mengobrol biasa, jadi aku mengizinkannya untuk mengantarkan makanan itu ke ruangan Jusitn,” jelas suster ini. Benakku melotot sempurna, menatapku seolah-olah ia akan menerkamku saat ini juga. Perempuan sialan!
“Apa yang kau pikir kau lakukan? Siapa yang mengizinkan perempuan itu untuk memberi makanan pada Justin? Harusnya kau lebih teliti, karena ulahmu Justin ada di dalam sana. Sial. Kau, aku tak ingin melihat wajahmu lagi untuk menjaga ruangan orang-orang yang berada satu lantai dengan ruangan Justin. Jika aku masih melihatmu, aku akan . . .”
Tanganku di tarik seseorang saat tanpa sadar aku berniat untuk menampar perempuan ceroboh ini. Aku menatap Andreas dengan marah. “Dengan kau memarahinya tak akan membuat Justin cepat sembuh, harusnya kau berdoa untuknya. Bukan seperti ini, jika Justin sedang dalam keadaan kritis sekarang itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Bagaimana bisa kau kehilangan sifat bijakmu dalam waktu sekejap mata, Nichole?”
Dadaku bergemuruh, emosi menguasaiku dengan cepat, apa yang sebenarnya suster sialan ini pikirkan di kepala cantiknya itu hingga dia dengan begitu lancang memperbolehkan seorang dokter dari bagian penyakit dalam untuk masuk dengan seenaknya ke dalam ruang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bidang yang dia milikki.
Ya Tuhan, Nichole kau harus menenangkan dirimu sendiri, atau kau akan mencorang namamu sendiri sebagai dokter baru yang ramah. Andreas benar, selama ini aku selalu bisa menahan emosiku. Tapi, hari ini aku sendiri terkejut melihat emosi itu meluap dengan sendirinya. Apa ini efek dari rasa khawatirku yang berlebihan pada Justin? Mungkin saja.
Aku menarik nafasku dan mencoba untuk menenangkan diriku sendiri, aku harus fokus pada Justin dan akan membuat perhitungan dengan wanita sialan itu nanti, lihat saja, aku akan membuatnya menyesal atas apa yang telah dia perbuat pada Justinku nanti.
Aku mengalihkan pandanganku menatap pintu besi ruang ICU tempat Justin berada saat ini. Hatiku tergores membayangkan apa yang sedang diperjuangkan Justin untuk hidupnya di dalam sana, atau mungkin dia sudah tak memiliki apa pun untuk diperjuangkan lagi? Tidak, tentu saja, di sini ada aku yang harus dia perjuangkan dan aku masih memperjuangkan niatku untuk membuatnya mencintaku dengan caraku sendiri, untuk membuatnya melupakan masa-masa bersama Anne dulu. Justin akan mencintaiku suatu saat nanti, tentu saja, dia pasti akan mencintaiku suatu saat nanti.
Kaki ku bergerak pelan menuju pintu besi yang terdapat kaca kecil untuk melihat keadaan di dalam sana. Tubuhku seolah diperintah secara otomatis dan bergerak dengan sendirinya. Goresan-goresan itu kembali menyayat hatiku saat melihat wajah tampan yang baru saja memasukki mimpiku kini terbujur kaku dengan berbagai macam alat medis yang melekat di tubuhnya. Racun apa yang diberikan Melanie Jalang Parker itu padanya? Tak mungkin racun biasa bisa sampai membuatnya seperti ini. Wanita itu benar-benar sudah keterlaluan, aku harus membuat perhitungan dengannya.
Aku memanggil seorang suster yang berlalu lalang di depan ruang ICU.
“Aku ingin kau menyimpan sisa makanan yang di makan oleh Justin Bieber malam ini, letakkan di lokerku.” Wanita paruh baya berseragam putih itu mengangguk padaku dan lantas mulai berjalan pergi dari depan ruang ICU.
Mataku teralih menatap Andreas, wajahnya nampak lelah dan itu membuatku merasa bersalah tak seharusnya dia terlibat urusan ini sampai sejauh ini. aku menjatuhkan tubuhku di sampingnya. “Maafkan aku,” lirihku.
“Aku sudah membuatmu repot dan tak seharusnya kau ikut terlalu jauh seperti ini,” ujarku lagi. Dia hanya diam dan itu membuatku ingin menenagis. “Tak ada yang perlu dimaafkan, Nic. Lagi pula, aku ini sahabatmu dan sudah seharusnya aku berada di sini untukmu, saat sahabatku membutuhkanku.” Hatiku lega saat akhirnya dia menjawab perkataanku. Aku tersenyum dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.

Tiga jam kemudian, aku masih menyandarkan kepalaku di pundak Andreas, dia telah tertidur setangah jam yang lalu dan aku sendiri tak sama sekali merasakan kantuk menyerangku hatiku menjagaku untuk tetap terjaga dan menunggu dokter keluar dari ruangan itu dengan senyuman di wajahnya karena berhasil menyelamatkan Justinku untuk tetap memperjuangkan hidupnya. Sebenarnya, selama tiga jam terduduk di sini tanpa melakukan apa pun cukup membuatku kesal. Tapi, jika aku berjalan mondar-mandir pun tak akan menyelamatkan Justin yang tengah berjuang untuk hidupnya di dalam sana.
Apa yang bisa kulakukan untuknya saat selain berdoa? Tidak ada. Aku hanya merasa aku benar-benar tak berguna sebagai dokter yang menanganinya. Harusnya aku yang bertanggung jawab untuk menjaganya dan sekarang aku telah lalai dalam tugas pertamaku. Bodoh. Ini semua salahku. Harusnya aku lebih hati-hati setelah mengetahui percakapan dua manusia sialan itu. Karena kebodohan dan kecerobohanku Justin harus mengalami hal seperti ini.
Cairan hangat mengalir dari mataku. Rasanya sakit saat melihat seseorang yang kau cintai terbaring lemah tanpa bisa melakukan apa pun di dalam sana. Aku tak mengerti bagaimana bisa efeknya sampai sesakit ini. Justin, kumohon kau harus bertahan. Kita belum memulai apa pun untuk mengungkap kebusukkan dua orang sialan itu. Aku tak mungkin berjalan sendirian tanpamu. Itu sangat tidak mungkin. Kita bahkan baru dua minggu saling kenal, itu mungkin terlalu singkat bagimu jika kau tahu seberapa berartinya kau saat ini untukku, tapi bagiku mencintai seseorang tidaklah memerlukan waktu yang lama, hati menuntunku untuk melihat bahwa kau adalah sosok pria yang istimewa. Kumohon, demi kita, bangunlah. Bangun, Just.
“Maaf, Dokter.”
Tubuhku tersentak saat mendengar suara seseorang yang tertuju untukku. Aku mendongak menatap seseorang berseragam putih yang kuyakini adalah dokter yang menangani Justin. Aku berdiri dan berjalan menghampirinya. “Bagaiman keadaannya?”
“Dia memiliki ambisi hidup yang sangat kuat dan berkat Tuhan, kami berhasil menyelamatkannya. Dan beberapa jam lagi, dia akan kembali sadar,” katanya dengan senyuman puas. Aku mendesah lega. Ya ampun, jika bisa aku ingin berteriak sekarang juga.
“Terima kasih banyak, Dok. Apa aku bisa menemuinya sekarang?” Aku menjabat tangannya.
“Tentu, dia akan dipindahkan keruang rawat terlebih dahulu, lalu kau bisa menemuinya. Dan ah ada yang ingin kukatakan padamu,” ujarnya yang membuat dahiku berkerut seketika.
“Ini mengenai keadaan Justin, tadi ketika di scan, kami tak melihat ada kerusakan otak di kepalanya. Selama ini yang aku tahu, tingkatan stress itu berasal dari saraf pusat dan semua saraf pusat Justin masih bekerja dengan sangat baik normal.” Aku menatap wanti paruh baya dengan rambut ikal yang kini menatapku dengan cemas. Aku bahkan sudah mencurigai hal ini sejak kami pergi ke pantai. Ada sesuatu yang besar dirahasiakan dibalik semua ini.
“Aku tak yakin mengatakan ini, tapi kurasa Justin tak sama sekali mengalami stress atau pun trauma, dia mungkin mengalami hal yang lain dan tak berhubungan dengan hal-hal semcam itu,” katanya lagi. Aku mengangguk padanya dan lantas kembali menjabat tangannya. “Terima kasih,” kataku dan balas dengan senyuman olehnya.
Aku mengalihkan pandanganku menatap Andreas yang masih nyaman dengan posisi tidurnya. Aku menghela nafas pelan dan lantas mencoba untuk membangunkannya dan menyuruhnya pulang. Dia harus berkerja besok dan aku tak ingin dia sakit hanya karena menemaniku di rumah sakit.
“Hey, Andreas. Bangun dan pulanglah. Justin sudah membaik dan dia sudah dipindahkan ke ruang rawat. Aku akan menemuinya sebentar lagi dan kau bisa pulang sekarang.” Dia menggeliat pelan dan membuka matanya. Ternyata seperti ini keadaan seorang Andreas Kang ketika sedag bangun dari tidur. Manis sekali. Tapi dia terlihat tetap tampan. “Baiklah, maafkan aku tak bisa menemanimu lebih lama lagi. Aku ada meeting besok pagi dan jika terlambat ayahku akan menggantungku di alun-alun kota,” ujarnya. Aku terkikik kecil. Di saat seperti ini pun dia masih menyempatkan diri untuk menghiburku.
“Hati-hati di jalan.” Aku memeluknya sesaat dan menunggunya hingga punggungnya menghilang di balik dinding.

Hatiku teriris melihat pria itu terbaring lemas di atas bankar ruang rawatnya. Alat pendeteksi jantung berbunyi sesuai dengan detak jantungnya yang teratur. Aku menghela nafas letih. Sungguh ini hari yang benar-benar berat untuk kulewati kuharap setelah ini tak aka nada lagi yang buruk terjadi, mungkin nanti dan itu pasti akan segera datang. Kepalaku terjatuh di sini bankar Justin dan rasa kantuk menyerangku tiba-tiba.

—“…Itulah yang membuat ayahku dengan terpaksa harus memasukkanku ke rumah sakit dengan mengatakan jika aku mengalami depresi tingkat tinggi.”
—“…tubuhku bergetar saat melihat sebuah pisau dapur menancap tepat di jantung ayahku,”

Mataku terbuka kembali saat tiba-tiba suara Justin terngiang di pikiranku. Oh tentu saja, ayah Justin meninggal ketika dia kecil dan lantas mengapa dia mengatakan jika ayahnya lah yang memasukkannya ke rumah sakit ini?
Apa dia sengaja berbohong padaku? atau mungkin dia tak sadar jika ayahnya sudah mati ketika dia kecil? Atau mungkin dia lupa? Gila, bagaimana bisa dia lupa jika ayahnya sudah tiada, itu benar-benar mustahil. Benar-benar ada yang tida beres di sini. Ada seseorang yang dengan sengaja memanipulasi masuknya Justin ke rumah sakit ini. mungkin benar jika dia mengalami depresi dan trauma, tapi hal itu tak sama sekali mempengaruhi kejiwaannya, maksudku dia hanya mengalami stress yang biasa karena kehilangan seseorang yang amat ia cintai. Itu wajar jika akan berlangsung cukup lama dan terkadang akan datang menghantuinya tiba-tiba, itu tidak berbahaya. Jika dia menyakiti orang-orang yang ditugaskan merawatnya sebelum aku, itu pasti karena motif lain atau mungkinkah dia sudah tahu siapa yang ada di balik keruhnya hidup yang ia jalani setelah kepergiaan Anne.
Aku mengangkat kepalaku dan menatap pria yang telah berhasil menuliskan namanya di hatiku. Mata karamelnya terbuka, menatapku dengan sayu. Aku tersenyum lembut padanya. Menggenggam tangannya. “Banyak hal yang harus kau ceritakan padaku nanti, Just. Kau akan mendapatkan hukuman dariku karena suatu hal nanti, sekarang kau harus segera sembuh agar aku bisa menghukummu,” ujarku dengan senyuman yang mengambang di wajahku.
“Jika begitu, aku lebih suka berbaring di sini dan tak usah sembuh,” balasnya yang membuatku melotot. “Bodoh, aku tak akan mau menemanimu lagi jika kau berniat untuk tak pernah sembuh.” Dia terkekeh pelan, dan aku bersumpah itu adalah tawa paling manis yang pernah kudengar. Tawa dan senyumnya adalah bahagia untukku. “Aku hanya bercanda, aku akan sembuh karenamu dan untukmu.” Aku terdiam saat dia menyelesaikan perkataannya. Beberapa saat, mencerna maksud dari kalimatnya dan membuat hatiku menghangat seketika. Ribuan kupu-kupu berterbangan memenuhi perutku. Justin menarik tanganku yang menggenggam tangannya dan meletakkannya di atas dada bidang terpahatnya yang hangat. Aku bisa mereasakan jantungnya berdetak dengan cepat. Itu membuatku memerah dengan mudahnya. Ya ampun, apa dia sedang berusaha untuk menggodaku? Dia berhasil dengan nilai sempurna kalau begitu.
“Aku tak tahu apa yang sudah terjadi padaku, Nichole. Ketika kegelapan sempurna yang memenuhi duniaku beberapa jam yang lalu, aku rasanya sudah ingin menyerah sampai di situ, tapi tiba-tiba aku mendengar suara tangis seorang gadis yang berdoa untukku dan aku mengenal suara itu dengan baik, aku sendiri terkejut saat tahu itu adalah suaramu. Dan lagi, sesuatu dalam diriku memaksaku untuk bertahan dan akhirnya, aku berhasil membuka mataku lagi.” Sungguh perkataannya membuatku kembali menangis. Bodoh, kau cengeng sekali, Nic.
“Bagaimana bisa kau mendengar suara tangis dan doaku untukmu?” Aku tersenyum padanya saat dia menatapku dalam, itu membuatku gugup, jantungku berdetak beriringan dengan jantungnya. “Entahlah, aku tak tahu. Tapi satu hal yang aku tahu dengan pasti jika kau tak ingin aku pergi, bukan begitu?”
Aku tertawa saat melihatnya menaik turunkan alisnya, ah dia merayuku. “Ya, mr. Bieber. Aku sangat takut kau pergi,” ujarku. Kami tertawa bersama.
“Aku senang saat aku membuka mataku, wajahmu lah yang kulihat, Nichole.” Itu untuk yang ke tiga kalinya dia menyebut namaku, rasanya sangat berbeda dari orang-orang yang selama ini menyebutkan namaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman lembutku.
“Sekarang adalah waktunya untuk istirahat, Just. Kau harus segera pulih dan aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk menghukummu,” kataku. Aku menangkap senyuman tipis di wajah tampannya. Aku berdiri dari dudukku dan membungkuk untuk mengecup dahinya. Benakku tersenyum dengan lebar saat dia memejamkan matanya ketika aku mengecup dahinya. Aku menyayangimu, Just. []