Minggu, 06 April 2014

EVERLASTING #1



**
“…ketika tuhan tak menyatukan mereka dalam dunia yang fanna tapi, nama mereka tetap dikenang dalam hati setiap pemilik jiwa...........”
Ku tutup novel romance yang baruku beli sekitar seminggu yang lalu.
Aku seorang maniak novel ya, aku memiliki begitu banyak koleksi novel di kamarku.
Ku pakai earbud-ku dan menekan tombol play pada layar iPod ketika lagu My Heart is Broken kutemukan sebelum pada akhirnya kumasukkan kedalam saku sweaterku. Musim dingin di London membuat tubuhku membeku padahal aku sudah memakai jaket yang tebal, tapi dinginnya masih tetap menembus.
Aku memandang kearah yang berlawanan terlihat seorang pria tersenyum melambaikan tangannya padaku. Sejenak aku teringat kembali pada masa-masa silam sebelum masa sekarang.
“Apa yang kau pikirkan, Elz?” Aku tersenyum mengenang dikala ada dua orang bocah yang berlari mengelilingi pantai Los Angeles, membangun istana pasir dan mengucapkan sebuah pengharapan yang begitu konyol sebenarnya.
“Hey, aku bicara padamu! Apa yang kau pikirkan sampai wajahmu berseri-seri seperti itu?" Aku menatapnya, tatapan bingungnya terpusat pada mataku menunggu sebuah kalimat yang akan kulontarkan untuk menjawab pertanyaannya.
“Tidak. Hanya sedang mengenang masa kecil kita.” Dia terkekeh ya kurasa wajar saja kalau dia tertawa karena menurutku hal yang kulakukan itu terdengar sangat konyol. Tapi tak ada yang salah tentang mengenang kenangan indah sebelum mata ini terpejam.
“Apa kau ada acara malam ini?" Tatapannya menandakan sebuah keseriusan, mata hazelnya yang selama ini begituku kagumi.
“Tidak ada. Kenapa? Ah aku tahu, pasti kau ingin mengenalkan gadismu yang  emm kebanyakan  tidak waras padaku lagi ya?” Jariku berada tepat di depan hidungnya, tangannya menangkap tanganku dan menggenggamnya erat membuat rasa dingin yang sejak tadi mengelilingiku berkurang begitu saja seolah aku baru saja menerima mantra sihir Harry Potter.
“Ya aku ingin mengenalkanmu pada seseorang tapi, aku yakin kau takkan kecewa. Kau pasti juga akan menyukainya Elz, dia sangat manis dan aku yakin kalian akan menjadi teman dekat dalam waktu yang singkat.” Mimik wajah pengharapannya membuat sensasi geli di dalam perutku ingin meledak.
“Baiklah, aku akan bertemu dengannya kuharap kau tak mengecewakanku lagi kali ini, Just. Sekarang kumohon hentikan wajah memelasmu itu karena aku tak mempan dengan wajah seperti itu. Malam ini, Aku tunggu di Café tempat biasa pukul 7 p.m,” ucapku sebelum pada akhirnya dia mengecup dahiku dan aku berjalan meninggalkannya.

Aku berjalan melewati lorong-lorong sekolahku. Membayangkan lagi tentang konyolnya gadis yang dikenalkan Justin padaku. Kalau tak salah namanya Eleanor Delvin. Aku tahu gadis itu karena keluarga Delvin memiliki relasi bisnis dengan Dad. Aku ingat ketika dengan sangat bodoh dia kakinya sendiri, tubuhny menabrak meja café dengan keras, tangannya menarik meja itu berharap dia tak akan mendarat dengan ironis ke lantai café yang dingin, tapi semuanya justru bertambah buruk saat meja itu malah ikut tertarik bersamanya dan bummm spagetti, jus tomat serta saus tomat jatuh ke atas kepalanya dengan sangat indah. Eleanor berlari keluar café dengan rasa malu luar biasa tentunya, sungguh itu adalah tontonan yang sangat menghibur saat aku harus menghadapi ujian kalkulusku keesokan harinya. Dan kembali ke Justin, dari dulu, aku tak menghitung sudah berapa banyak gadis yang dia kenalkan padaku, dia memintaku untuk menilai apakah gadis itu akan benar-benar pantas untuknya atau tidak, tapi dia tak pernah menjadi seorang pria yang pandai memilih wanita yang akan mendampinginya kelak.
Aku memiliki harapan besar pada gadis yang akan dikenalkannya padaku malam ini. Aku harap gadis yang akan bertemu denganku nanti bisa menjadi pendampingnya dan tidak bertingkah konyol dan sinting seperti gadis-gadis sebelumnya.
Justin sahabatku yang konyol dan manis. Bawah sadarku tersenyum malu-malu saat kalimat itu terlintas dipikiranku, tapi itu memang kenyataannya.

“Elz, aku sudah menunggumu didepan cepatlah keluar kita akan menjemput kakakmu juga istrinya.”
Aku mempercepat langkah kakiku ketika mendapat pesan singkat dari Robert.
“Hei, maaf lama menunggu.” Dia tersenyum hangat padaku.
“Aku diberitahu Aunt, kalau Stef dan Cait tiba di London siang ini.” Aku masuk ke dalam mobilnya.
“Ya, aku sudah sangat merindukan kakakku juga kakak iparku itu.” Dia terkekeh sebelum akhirnya membawa mobilnya pergi meninggalkan gerbang Oxford High School.
Jam pelajaran berakhir sekitar satu jam yang lalu, tapi aku masih ingin memakai pakaian layaknya gadis remaja pada umumnya, sebelum aku tiba di rumah ah istana maksudku dan harus mengganti pakaianku dengan pakaian adat bangsawan Inggris.
Sejujurnya pakaian-pakaian itu membuatku sangat tidak betah karena nafasku jadi sesak dengan banyak tali yang harus diikat di punggungku dan juga korset yang harus kukenakan. Ya ampun, aku jadi sedikit bingung mengapa Mom terlihat luar biasa nyaman dengan gaun menyebalkan itu sedangkan aku tidak bisa terlihat sepertinya? Baiklah, lupakan masalah gaun itu.
Hatiku berunga-bunga hari ini saat kembali mengingat jika Stefan dan Caitlin akan kembali walaupun dalam waktu yang tak akan lama karena telah memiliki dunia mereka sendiri sekarang.
Setelah tiga tahun lamanya, kakakku dan juga kakak iparku itu tak pulang dari New York. Aku merindukan mereka karena kerajaan Mom dan Dad sepi saat mereka tak ada. Aku tak pernah meminta terlahir dari seorang ratu dan seorang raja. Bukan kemauanku untuk menjadi seorang putri bangsawan inggris, walau terdengar indah dan menggiurkan tapi bagiku ini semua membosankan.


Robert membukakan pintu mobilnya membantuku turun dengan baik. Jalanan licin tak pernah bersahabat denganku sejak dulu. “Kau ada acara malam ini?” tanyanya seraya mengaitkan jemari tangannya ke jemari tanganku sebelum pada akhirnya memasukkan tangan kami ke saku sweaternya.
“Emm, kau mau menemaniku makan malam?” Aku mengabaikan pertanyaannya, maksudku aku ingin dia ikut bersamaku malam ini.
“Tentu, aku milikmu princess.” Aku tertawa mendengar perkataannya, tak biasanya temanku satu ini memanggilku seperti itu

**
 Aku memeluk hangat kedua kakakku, aku benar-benar merindukan mereka.
Stefan menikah dua tahun yang lalu dan sampai sekarang belum memberikanku seorang keponakan. Mungkin jika ada tangisan seorang bayi istana Daddy akan ramai.
Oh my god, Elz kau berubah sekali. Terlihat jauh lebih menawan sejak terakhir kita bertemu.” Aku menatap Cait jengkel, tentu saja itukan tiga tahun yang lalu.
“Kau ini, itukan tiga tahun yang lalu.” Kukembungkan pipiku membuat mereka tertawa geli.

Astaga, ini sulit sekali. Aku selalu tidak bisa melakukannya sendiri. Jadi, Nanny yang membantuku mengikat tali yang ada dipunggungku agar gaun ini tak terlepas.
Aku mengambil laptopku dan melanjutkan sebuah tulisan yang sedang aku rangkai sebagai bahan tugas yang nantinya akan kuartikan ke dalam bahasa Spanyol.
Sejujurnya aku tak menyukai tingkah Justin akhir-akhir ini, mungkin sekitar tiga bulan yang lalu, dia jadi lebih aneh dari sebelumnya. Kelakuannya membuatku jengkel dengan selalu memperkenalkan 'para' wanita yang berstatuskan kekasihnya padaku. Ya, aku tahu Justin memang tampan dan dia juga sedang mencari seseorang yang tepat untuknya. Dan aku juga tahu kalau Justin adalah playboy sekolah, tapi bagiku dia pria terbaik setelah Daddy dan Stefan.
Sahabatku sejak kecil, dia juga teman sepermainanku, membuatku tertawa di dekatnya menjadi sebuah rutinitas tetap selama ini. Lambat laun semua yang ada dalam perasaanku berubah. Aku tak mengerti mengapa jantungku begitu berpacu saat dia menyentuh kulitku.
Akhir-akhir ini aku juga sering memimpikannya padahal selama ini aku tak pernah memimpikan siapapun dalam tidurku. Entahlah, ada kemungkinan aku menyukainya, tapi aku juga tak yakin dengan itu.
Aku menoleh ketika seseorang membuka pintu kamarku. Senyuman hangatnya menyebar memenuhi tatapan matanya indah itu.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Dengan santai ia berbaring diatas tempat tidurku.
“Memikirkan....”
"Justin." Robert duduk menatapku yang terpaku ketika dia memotong perkataanku.
“Kau sedang memikirkan Justinkan?” Alisnya naik turun menunggu jawabanku. Aku tak ingin mengakui kalau apa yang ia katakan benar-benar tak meleset sedikit pun.
“Kau mencintainya Elz.” Aku menatapnya sedikit tersentak mendengar perkataan spontan yang keluar dari mulutnya.
“Apa? Hey, jangan konyol, dia itu sahabatku.” Aku tertawa canggung, jujur sebenarnya aku sedikit gugup.
“Kau tak pandai berbohong. Kau tak perlu menutupi apapun dariku semuanya tergambar jelas dari tatapan matamu Elz, kau mencintainya. Persahabatanmu akan berubah.” Dia berjalan menghampiriku, membawaku dalam posisi berdiri.
“Mengapa kau tak jujur tentang hatimu? Membiarkan dia menyakitimu dengan memperkenalkan semua gadis yang ia kencani denganmu.” Matanya mengunciku membuatku tak mampu lagi mengalihkan apa yang sedang dia bicarakan saat ini.
“Aku...aku tak ingin mengakuinya, Rob. Kau tak mengerti tentang ini.” Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi dia mempereratnya membuatku merasakan perih.
“Aku mengerti tentang semuanya Elz, kaulah yang tak mengerti.” Tatapannya berubah tajam.
“Aku suka saat dia berkata bahwa ‘cinta adalah persahabatan’ maka persahabatan itu adalah bentuk dari sesuatu yang berbeda dalam cinta. Aku menjadi sahabatnya, tapi tak pernah mampu menjadi sosok cinta itu, Rob. Tak pernah mampu menjadi cinta itu.” Aku menghapus air mataku yang hampir jatuh dan meninggalkannya yang masih terpaku.


Bukan aku yang memilih jalanku. Aku tak pernah berdo'a agar aku jatuh cinta pada seorang pria yang berstatuskan sahabat karibku. Ini kehendak yang diatas. Banyak orang-orang diluar sana yang mengatakan bahwa ‘cinta adalah kebahagiaan tanpa syarat’, tapi untukku, semuanya terasa begitu sulit.
Untuk mencoba membuang dan tidak berpikir tentangnya satu menit saja itu sangat sulit.
Aku disambut hangat saat sampai di meja makan. Tak lama Robert duduk disampingku bergabung dengan keluargaku.
Robert adalah anak pengusaha tersohor di negeri ini orang tuanya berteman baik dengan orang tuaku. Jadi, wajar jika kami berteman dekat. Aku mengenalnya saat menghadiri pesta dansa kalangan atas dan iu terjadi secara tak sengaja. Waktu itu dia menabrakku dan menumpahkan minumannya ke salah satu gaun terbaikku. Awalnya aku sangat kesal dan rasanya ingin sekali untuk membentaknya, tapi aku tak pernah membentak siapa pun seumur hidupku dan aku juga tak tahu bagaimana caranya membentak orang. Sejak malam itu, aku kami berteman dan dia sering berkunjung ke istana Dad. Mungkin baginya ini adalah rumah keduanya.
Dan yang aku tak mengerti adalah mengapa secara tiba-tiba dia menanyakan masalah Justin. Selama ini dia tak pernah membahas Justin dan bahkan mungkin sangat enggan untuk membicarakan topik yang ada sangkutpautnya dengan Justin karena selama ini yang kutahu hubungan mereka tak begitu baik. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar