**
“…ketika tuhan tak menyatukan mereka dalam dunia yang fanna tapi, nama
mereka tetap dikenang dalam hati setiap pemilik jiwa...........”
Ku tutup novel romance yang baruku beli sekitar
seminggu yang lalu.
Aku seorang maniak novel ya, aku memiliki begitu banyak koleksi novel di kamarku.
Aku seorang maniak novel ya, aku memiliki begitu banyak koleksi novel di kamarku.
Ku pakai earbud-ku dan menekan tombol play pada
layar iPod ketika lagu My Heart is Broken kutemukan sebelum pada akhirnya kumasukkan
kedalam saku sweaterku. Musim dingin di London membuat tubuhku membeku padahal
aku sudah memakai jaket yang tebal, tapi dinginnya masih tetap menembus.
Aku memandang kearah yang berlawanan terlihat
seorang pria tersenyum melambaikan tangannya padaku. Sejenak aku teringat
kembali pada masa-masa silam sebelum masa sekarang.
“Apa yang kau pikirkan, Elz?” Aku tersenyum
mengenang dikala ada dua orang bocah yang berlari mengelilingi pantai Los
Angeles, membangun istana pasir dan mengucapkan sebuah pengharapan yang begitu
konyol sebenarnya.
“Hey, aku bicara padamu! Apa yang kau pikirkan
sampai wajahmu berseri-seri seperti itu?" Aku menatapnya, tatapan
bingungnya terpusat pada mataku menunggu sebuah kalimat yang akan kulontarkan
untuk menjawab pertanyaannya.
“Tidak. Hanya sedang mengenang masa kecil kita.” Dia
terkekeh ya kurasa wajar saja kalau dia tertawa karena menurutku hal yang kulakukan
itu terdengar sangat konyol. Tapi tak ada yang salah tentang mengenang kenangan
indah sebelum mata ini terpejam.
“Apa kau ada acara malam ini?" Tatapannya
menandakan sebuah keseriusan, mata hazelnya yang selama ini begituku kagumi.
“Tidak ada. Kenapa? Ah aku tahu, pasti kau ingin mengenalkan gadismu yang emm kebanyakan tidak waras padaku lagi ya?” Jariku berada tepat di depan hidungnya, tangannya menangkap tanganku dan menggenggamnya erat membuat rasa dingin yang sejak tadi mengelilingiku berkurang begitu saja seolah aku baru saja menerima mantra sihir Harry Potter.
“Tidak ada. Kenapa? Ah aku tahu, pasti kau ingin mengenalkan gadismu yang emm kebanyakan tidak waras padaku lagi ya?” Jariku berada tepat di depan hidungnya, tangannya menangkap tanganku dan menggenggamnya erat membuat rasa dingin yang sejak tadi mengelilingiku berkurang begitu saja seolah aku baru saja menerima mantra sihir Harry Potter.
“Ya aku ingin mengenalkanmu pada seseorang tapi,
aku yakin kau takkan kecewa. Kau pasti juga akan menyukainya Elz, dia sangat
manis dan aku yakin kalian akan menjadi teman dekat dalam waktu yang singkat.” Mimik
wajah pengharapannya membuat sensasi geli di dalam perutku ingin meledak.
“Baiklah, aku akan bertemu dengannya kuharap kau
tak mengecewakanku lagi kali ini, Just. Sekarang kumohon hentikan wajah
memelasmu itu karena aku tak mempan dengan wajah seperti itu. Malam ini, Aku
tunggu di Café tempat biasa pukul 7 p.m,” ucapku sebelum pada akhirnya dia
mengecup dahiku dan aku berjalan meninggalkannya.
Aku berjalan melewati lorong-lorong sekolahku.
Membayangkan lagi tentang konyolnya gadis yang dikenalkan Justin padaku. Kalau
tak salah namanya Eleanor Delvin. Aku tahu gadis itu karena keluarga Delvin
memiliki relasi bisnis dengan Dad. Aku ingat ketika dengan sangat bodoh dia
kakinya sendiri, tubuhny menabrak meja café dengan keras, tangannya menarik
meja itu berharap dia tak akan mendarat dengan ironis ke lantai café yang
dingin, tapi semuanya justru bertambah buruk saat meja itu malah ikut tertarik
bersamanya dan bummm spagetti, jus tomat serta saus tomat jatuh ke atas
kepalanya dengan sangat indah. Eleanor berlari keluar café dengan rasa malu
luar biasa tentunya, sungguh itu adalah tontonan yang sangat menghibur saat aku
harus menghadapi ujian kalkulusku keesokan harinya. Dan kembali ke Justin, dari
dulu, aku tak menghitung sudah berapa banyak gadis yang dia kenalkan padaku,
dia memintaku untuk menilai apakah gadis itu akan benar-benar pantas untuknya
atau tidak, tapi dia tak pernah menjadi seorang pria yang pandai memilih wanita
yang akan mendampinginya kelak.
Aku memiliki harapan besar pada gadis yang akan
dikenalkannya padaku malam ini. Aku harap gadis yang akan bertemu denganku
nanti bisa menjadi pendampingnya dan tidak bertingkah konyol dan sinting
seperti gadis-gadis sebelumnya.
Justin sahabatku yang konyol dan manis. Bawah
sadarku tersenyum malu-malu saat kalimat itu terlintas dipikiranku, tapi itu
memang kenyataannya.
“Elz, aku sudah menunggumu didepan cepatlah keluar kita akan menjemput kakakmu juga istrinya.”
“Elz, aku sudah menunggumu didepan cepatlah keluar kita akan menjemput kakakmu juga istrinya.”
Aku mempercepat langkah kakiku ketika mendapat
pesan singkat dari Robert.
“Hei, maaf lama menunggu.” Dia tersenyum hangat
padaku.
“Aku diberitahu Aunt, kalau Stef dan Cait tiba di
London siang ini.” Aku masuk ke dalam mobilnya.
“Ya, aku sudah sangat merindukan kakakku juga
kakak iparku itu.” Dia terkekeh sebelum akhirnya membawa mobilnya pergi
meninggalkan gerbang Oxford High School.
Jam pelajaran berakhir sekitar satu jam yang lalu,
tapi aku masih ingin memakai pakaian layaknya gadis remaja pada umumnya,
sebelum aku tiba di rumah ah istana
maksudku dan harus mengganti pakaianku dengan pakaian adat bangsawan Inggris.
Sejujurnya pakaian-pakaian itu membuatku sangat
tidak betah karena nafasku jadi sesak dengan banyak tali yang harus diikat di
punggungku dan juga korset yang harus kukenakan. Ya ampun, aku jadi sedikit
bingung mengapa Mom terlihat luar biasa nyaman dengan gaun menyebalkan itu
sedangkan aku tidak bisa terlihat sepertinya? Baiklah, lupakan masalah gaun
itu.
Hatiku berunga-bunga hari ini saat kembali
mengingat jika Stefan dan Caitlin akan kembali walaupun dalam waktu yang tak
akan lama karena telah memiliki dunia mereka sendiri sekarang.
Setelah tiga tahun lamanya, kakakku dan juga kakak
iparku itu tak pulang dari New York. Aku merindukan mereka karena kerajaan Mom
dan Dad sepi saat mereka tak ada. Aku tak pernah meminta terlahir dari seorang
ratu dan seorang raja. Bukan kemauanku untuk menjadi seorang putri bangsawan
inggris, walau terdengar indah dan menggiurkan tapi bagiku ini semua
membosankan.
Robert membukakan pintu mobilnya membantuku turun
dengan baik. Jalanan licin tak pernah bersahabat denganku sejak dulu. “Kau ada
acara malam ini?” tanyanya seraya mengaitkan jemari tangannya ke jemari
tanganku sebelum pada akhirnya memasukkan tangan kami ke saku sweaternya.
“Emm, kau mau menemaniku makan malam?” Aku
mengabaikan pertanyaannya, maksudku aku ingin dia ikut bersamaku malam ini.
“Tentu, aku milikmu princess.” Aku tertawa
mendengar perkataannya, tak biasanya temanku satu ini memanggilku seperti itu
**
Aku memeluk
hangat kedua kakakku, aku benar-benar merindukan mereka.
Stefan menikah dua tahun yang lalu dan sampai sekarang belum memberikanku seorang keponakan. Mungkin jika ada tangisan seorang bayi istana Daddy akan ramai.
Stefan menikah dua tahun yang lalu dan sampai sekarang belum memberikanku seorang keponakan. Mungkin jika ada tangisan seorang bayi istana Daddy akan ramai.
“Oh my god,
Elz kau berubah sekali. Terlihat jauh lebih menawan sejak terakhir kita
bertemu.” Aku menatap Cait jengkel, tentu saja itukan tiga tahun yang lalu.
“Kau ini, itukan tiga tahun yang lalu.” Kukembungkan
pipiku membuat mereka tertawa geli.
Astaga, ini sulit sekali. Aku selalu tidak bisa
melakukannya sendiri. Jadi, Nanny yang membantuku mengikat tali yang ada
dipunggungku agar gaun ini tak terlepas.
Aku mengambil laptopku dan melanjutkan sebuah
tulisan yang sedang aku rangkai sebagai bahan tugas yang nantinya akan kuartikan
ke dalam bahasa Spanyol.
Sejujurnya aku tak menyukai tingkah Justin
akhir-akhir ini, mungkin sekitar tiga bulan yang lalu, dia jadi lebih aneh dari
sebelumnya. Kelakuannya membuatku jengkel dengan selalu memperkenalkan 'para'
wanita yang berstatuskan kekasihnya padaku. Ya, aku tahu Justin memang tampan
dan dia juga sedang mencari seseorang yang tepat untuknya. Dan aku juga tahu
kalau Justin adalah playboy sekolah,
tapi bagiku dia pria terbaik setelah Daddy dan Stefan.
Sahabatku sejak kecil, dia juga teman
sepermainanku, membuatku tertawa di dekatnya menjadi sebuah rutinitas tetap
selama ini. Lambat laun semua yang ada dalam perasaanku berubah. Aku tak
mengerti mengapa jantungku begitu berpacu saat dia menyentuh kulitku.
Akhir-akhir ini aku juga sering memimpikannya
padahal selama ini aku tak pernah memimpikan siapapun dalam tidurku. Entahlah,
ada kemungkinan aku menyukainya, tapi aku juga tak yakin dengan itu.
Aku menoleh ketika seseorang membuka pintu
kamarku. Senyuman hangatnya menyebar memenuhi tatapan matanya indah itu.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Dengan santai ia
berbaring diatas tempat tidurku.
“Memikirkan....”
"Justin." Robert duduk menatapku yang
terpaku ketika dia memotong perkataanku.
“Kau sedang memikirkan Justinkan?” Alisnya naik
turun menunggu jawabanku. Aku tak ingin mengakui kalau apa yang ia katakan
benar-benar tak meleset sedikit pun.
“Kau mencintainya Elz.” Aku menatapnya sedikit
tersentak mendengar perkataan spontan yang keluar dari mulutnya.
“Apa? Hey, jangan konyol, dia itu sahabatku.” Aku
tertawa canggung, jujur sebenarnya aku sedikit gugup.
“Kau tak pandai berbohong. Kau tak perlu menutupi
apapun dariku semuanya tergambar jelas dari tatapan matamu Elz, kau
mencintainya. Persahabatanmu akan berubah.” Dia berjalan menghampiriku,
membawaku dalam posisi berdiri.
“Mengapa kau tak jujur tentang hatimu? Membiarkan
dia menyakitimu dengan memperkenalkan semua gadis yang ia kencani denganmu.” Matanya
mengunciku membuatku tak mampu lagi mengalihkan apa yang sedang dia bicarakan
saat ini.
“Aku...aku tak ingin mengakuinya, Rob. Kau tak
mengerti tentang ini.” Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi dia
mempereratnya membuatku merasakan perih.
“Aku mengerti tentang semuanya Elz, kaulah yang
tak mengerti.” Tatapannya berubah tajam.
“Aku suka saat dia berkata bahwa ‘cinta adalah
persahabatan’ maka persahabatan itu adalah bentuk dari sesuatu yang berbeda
dalam cinta. Aku menjadi sahabatnya, tapi tak pernah mampu menjadi sosok cinta
itu, Rob. Tak pernah mampu menjadi cinta itu.” Aku menghapus air mataku yang
hampir jatuh dan meninggalkannya yang masih terpaku.
Bukan aku yang memilih jalanku. Aku tak pernah
berdo'a agar aku jatuh cinta pada seorang pria yang berstatuskan sahabat karibku.
Ini kehendak yang diatas. Banyak orang-orang diluar sana yang mengatakan bahwa ‘cinta adalah kebahagiaan tanpa syarat’, tapi untukku, semuanya terasa begitu
sulit.
Untuk mencoba membuang dan tidak berpikir
tentangnya satu menit saja itu sangat sulit.
Aku disambut hangat saat sampai di meja makan. Tak lama Robert duduk disampingku bergabung dengan keluargaku.
Aku disambut hangat saat sampai di meja makan. Tak lama Robert duduk disampingku bergabung dengan keluargaku.
Robert adalah anak pengusaha tersohor di negeri
ini orang tuanya berteman baik dengan orang tuaku. Jadi, wajar jika kami berteman
dekat. Aku mengenalnya saat menghadiri pesta dansa kalangan atas dan iu terjadi
secara tak sengaja. Waktu itu dia menabrakku dan menumpahkan minumannya ke
salah satu gaun terbaikku. Awalnya aku sangat kesal dan rasanya ingin sekali
untuk membentaknya, tapi aku tak pernah membentak siapa pun seumur hidupku dan
aku juga tak tahu bagaimana caranya membentak orang. Sejak malam itu, aku kami
berteman dan dia sering berkunjung ke istana Dad. Mungkin baginya ini adalah
rumah keduanya.
Dan yang aku tak mengerti adalah mengapa secara
tiba-tiba dia menanyakan masalah Justin. Selama ini dia tak pernah membahas
Justin dan bahkan mungkin sangat enggan untuk membicarakan topik yang ada
sangkutpautnya dengan Justin karena selama ini yang kutahu hubungan mereka tak
begitu baik. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar