Minggu, 06 April 2014

LOVE #1



BAB 1



Aku tersenyum ramah pada pelayan yang saat ini sedang membawa semua barangku menuju taksi yang telah kupesan sebelum aku tiba di kota terkenal ini. Salah satu kota di amerika yang dikenal tak pernah tidur. Wow. Aku tak pernah berpikir sebelumnya jika aku akan memulai hidup baruku di tempat ini ‘lagi’. Selain dengan alasan karena salah satu dari orangtuaku berada di sini, aku juga memiliki begitu banyak alasan mengapa aku lebih memilih untuk pindah ke New York. Aku memberikan alamat rumahku pada supir taksi yang telah dipesankan oleh Ayahku.
Aku menghembuskan nafas dengan pelan, dalam hati aku berdo’a, berharap semua yang akan terjadi selama aku tinggal di sini takkan serumit dulu. Dua bulan lagi aku akan genap berusia dua puluh tahun dan kemungkinan kecil ibuku takkan datang kemari untuk memberiku ucapan selamat. Menyedihkan sekali. Well, sebenarnya aku baru saja menyelesaikan kuliahku di fakultas psikologi di kampus terbaik se-korea, Seoul National University. Aku adalah gadis yang beruntung karena bisa lolos dengan mudah dalam setiap tes yang diberikan sebelum aku resmi menjadi mahasiswa di sana. Dan merasa sangat senang karena kampus itu adalah kampus terbaik di negara asal ibuku.
“Terima kasih,” kataku pada supir taksi itu seraya memberikan beberapa dollar untuknya. Aku menatap dengan senyuman tipis terukir di wajahku, aku tak percaya jika sekarang aku kembali menginjakkan kaki ku di rumah ini. Rumah yang dulunya menjadi tempat keluarga Pereira bernaung dengan kehangatan dan keharmonisan. Aku menggelengkan kepalaku dan lantas melangkah dengan santai, menggeret koper besarku, juga tas punggungku menuju rumah ayahku.
Pintu rumah terbuka dengan lebar dan tanganku menggantung di udara karena belum sempat menekan belnya. Wanita paruh baya di hadapanku tersenyum dengan lebar. “Astaga, Nona muda, kau sudah sampai. Terima kasih Tuhan sudah melindungi Nona muda,” ujar Sandra yang membuatku terkekeh. Dia adalah kepala pelayan di rumahku. Dengan sigap dia membawa koper dan tasku ke dalam dan aku melangkah dengan anggun memasukki rumah ini. Tak ada yang berubah.  Aku berujar dalam hati, sesunguhnya aku memang sangat merindukan tempat ini, rumah masa kecilku. “Mari Nona, saya sudah menyiapkan kamar, Nona, di atas.” Aku kembali menatap Sandra dan menganggukkan kepalaku mengikuti langkahnya.
“Apa Daddy sedang bekerja?” Aku bertanya pada Sandra yang berjalan di depanku. Aku bisa melihat banyak perubahan yang terjadi padanya seperti kerutan tanda sudah tua di wajahnya telah bertambah. Aku meninggalkan rumah ini saat aku berusia lima tahun, dan sekarang aku hampir berumur duapuluh. “Ya, seperti biasa Tuan sedang ada di kantornya sekarang dan mungkin akan pulang nanti malam. Apa ada yang nona butuhkan?” Aku menatap sekelilingku, ini adalah kamarku dulu, dan sekarang sudah didekorasi ulang hingga tampak sangat berbeda. “Mungkin kau bisa membuatkanku makan siang, aku akan kebawah nanti, terima kasih.” Sandra mengangguk hormat padaku dan lantas membungkukkan tubuhnya, berjalan keluar dari kamarku.
Aku menutup pintu kamarku, menghembuskan nafas pelan dan berjalan menuju tempat tidurku, membanting tubuhku pada kasur berukuran king ini. Aku menatap kosong langit-langit kamarku. Tiba-tiba wajah seornag pria terlintas dipikiranku, seorang yang akan sangat-sangat kurindukan, seseorang yang masih menjadi alasan dari semua air mataku yang mengalir selama ini. Tuhan, aku akan merindukan saat-saat bersama dengannya. Tapi, dia sudah menjadi milik orang lain, dia bukan milikku lagi. Aku tak berhak merasakan ini lagi untuknya. Bodoh, aku memang seorang gadis pengecut yang menyedihkan, aku lari dari masalahku sendiri dan berharap dengan lari aku bisa menghilangkan semua rasa sakit yang menghantuiku. Rasa kantuk mendadak menyerangku dan aku memutuskan untuk istirahat sebentar lalu nanti aku akan menghabisi makan siangku.

Aku terbangun ketika sore menyingsing. Aku berlari kecil mengambil handuk dan jubah mandiku lalu masuk ke dalam kamar mandi. Mungkin dengan berada dalam Jacuzzi tercintaku aku akan kembali menemukan ketenanganku lagi.
Tiga jam menghabiskan waktu bersama dengan busa-busa lembut dalam Jacuzzi-ku, aku kembali keluar kamarku dan memutuskan untuk menghabiskan makan siangku yang sudah dingin, ah sebut ini makan sore. Sandra dan beberapa pelayan lainnya membungkuk dan tersenyum sopan padaku. Sebenarnya, aku kurang suka seperti itu aku ingin tetap biasa saja. Tapi, sudahlah lupakan saja. “Apakah Daddy sudah pulang?” Aku menyeruput jus apelku sambil melirik Sandra yang berdiri di samping meja makan besar istana ini, ada tiga pelayan yang berdiri tepat di belakangnya. “Belum, Nona. Tuan akan pulang nanti malam.” Aku mengangguk pelan dan aku puny aide bagus untuk menghilangkan kejenuhanku karena berada di dalam rumah sementara rasa lelahku telah hilang tanpa bekas.
Aku berdiri dari tempat dudukku dan berlari kecil menuju kamarku. Aku akan menemui Mr. Pereira yang super sibuk itu di kantornya. Setelah mengganti pakaianku, aku berjalan kecil menuju garasi mobil. Sebenarnya, aku sudah lupa jalan-jalan di kota ini. Aku tak datang selama tujuh tahun lamanya dan sekarang mendadak aku harus kembali kemari dengan keadaan tak terselesaikan di tempat yang kutinggalkan.

Aku tersenyum ramah pada resepsionis yang mengatur tamu untuk bertemu dengan ayahku. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?”
“Tentu saja, aku ingin menemui Mr. Pereira. Apa dia ada di tempat?”
Dia tersenyum padaku, ah aku suka dengan orang yang ramah sepertinya. “Tentu, tapi jika boleh saya tahu siapa nama Anda?”
“Nichole Pereira,” ujarku sambil tetap menampilkan senyumanku untuknya. Aku melihat keterkejutan yang kentara di wajahnya sebelum akhirnya dia membungkuk hormat padaku. “Maafkan saya, Nona, saya sama sekali tak tahu jika Anda adalah putri Mr. Pereira,” katanya kikuk dan itu membuatku terkikik. “Tidak masalah, apa aku bisa menemui ayahku sekarang?”
Dia mengangguk pasti dengan senyuman yang kembali muncul di wajahnya. Aku berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan yang tak asing lagi di mataku. Aku sering keluar masuk tempat ini dulu, tentu saja ketika semuanya masih dalam keadaan yang diberi nama ‘baik-baik saja’. Tapi, sekarang aku akan tetap berakting seolah semuanya masih sama seperti terakhir kali aku menginjakkan kaki ku di sini.
Aku tersenyum lebar saat pria paruh baya yang begitu kurindukan mendongakkan kepalanya dan menatapku dengan wajah bahagianya. Aku berlari kecil menghampirinya. “Oh Tuhan, Daddy, aku sangat merindukanmu,” ujarku memeluk erat tubuh tegapnya di usia 47 tahunnya. “Me too, Sweetheart.” Dia mengecup puncak kepalaku.
“Kau jauh lebih tinggi saat terakhir kau berkunjung,” katanya dan aku terkikik dalam pelukkan nyamannya. “Tentu saja, Daddy, aku sudah hampir dua puluh sekarang, bukan dua belas lagi.” Dia tersenyum lebar.
Aku melepaskan pelukkanku dan duduk di hadapannya. “Apa kau sibuk besok? Aku ingin kau menemaniku ke rumah sakit tempatku akan bekerja.”
“Baby, mengapa kau tak mau meneruskan perusahaanku? Kau tahu, aku tak memiliki yang lain selain dirimu.” Aku tersenyum padanya. “Tidak, Dad. Aku hanya belum siap. Suatu saat nanti aku pasti akan menggantikanmu menjalankan bisnis ini. Aku janji.” Senyuman di wajah lelahnya mengembang dan itu membuat hatiku menghangat. Meski pun aku memilikki keluarga yang tak utuh. Aku tetap mencintai kedua orangtuaku.
“Baiklah, aku akan dengan senang hati menemanimu besok untuk memulai pekerjaan barumu sebegai ‘pengurus orang gila’.”
Aku mengerucutkan bibirku saat mendengar perkataan tak enak di dengar itu. “Aku bukan menjadi pengurus, Dad tapi sebagai seorang ahli untuk menyembuhkan,” ujarku kesal dan itu membuatnya terkekeh. “Baik-baik, aku hanya bercanda, Sweety. Aku akan pulang setelah menyelesaikan beberapa berkas lagi dan jika kau ingin berkeliling, aku mengizinkanmu hanya saja kau harus mengingat jam malammu.” Aku menatapnya protes. Hey, serius, aku sudah hampir dua puluh dan masih memiliki jam malam? Itu konyol sekali.
“Ayolah, Dad, seharusnya semua sudah berubah, di Seoul aku sama sekali tak memiliki jam malam karena Mom sangat mengerti tentang aku, kalau begitu kau juga harus melakukan hal yang sama, Dad. Aku tak ingin memiliki batasan sekarang karena aku sudah dewasa.” Ayahku menggeleng pelan. “Tidak bisa, Sweetheart. Tidak ada yang berubah di sini dan takkan pernah ada yang berubah. Aku akan tetap memberikan jam malam dimana kau harus menepatinya atau kau akan mendapatkan hukuman dariku seperti biasa. Batas malammu adalah jam 11 p.m. tak ada tawar menawar lagi, kau akan tetap menjalankannya. Ini New York, bukan Seoul, ini barat bukan timur, dan aku harus mengerti itu.”
Aku menghembuskan nafas perlahan, dari dulu aku memang tak pernah menang darinya. Dengan pasrah, aku mengangguk dan dibalas dengan senyuman lebar di wajahnya. Setelah memelukny sesaat aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai melangkah keluar ruangan ini. Kurasa, aku akan langsung ke rumah dan kembali mengistirahatkan tubuhku untuk menghadapi dunia baruku besok.

Pagi, yang baru di New York. Well, aku merasa aneh saat mendapati ada senyuman yang bertengger di wajahku saat aku membuka mataku dan merenggangkan otot-ototku. Aku lupa kapan terkhir aku bisa semudah ini untuk tersenyum tanpa beban dan tanpa sebab. Ya, aku sudah lupa. Aku mengedipkan mataku beberapa kali sebelum melompat turun dari tempat tidurku dan berlari kecil ke kamar mandi. Oh, ini hari pertamaku menjadi dokter ahli jiwa dan aku sangat bersemangat untuk memulainya. Aku penasaran pasien jenis apa yang akan kuhadapi nanti. Aku hanya berharap jika nantinya dia tak akan menyusahkanku. Benakku memutar bola matanya.
Aku selesai dengan rutinitas pagiku dalam waktu setengah jam lebih sepuluh menit dan segera turun kebawah untuk sarapan bersama dengan pria yang paling kucintai di dalam hidupku. aku tersenyum lebar saat menatap ayahku sudah duduk dengan rapi di meja makan, dia pasti menungguku. Au mengecup pipinya dan duduk di tempatku. Menu pagi ini, hanya sepotong roti bakar dengan selai cokelat kesukaanku.
“Aku bisa melihatnya, kau begitu bersemangat hari ini. Apa ini karena pekerjaanmu?”
Aku mengulum senyuman. “Tentu saja, aku sangat bersemangat sekarang. Kau pasti mengerti.” Dia mengangguk dan tersenyum padaku. “Aku mengerti. Cepat habiskan sarapanmu dan aku akan menemanimu menuju rumah sakit tempatmu bertugas.”
Aku mengangguk dan kembali fokus dengan sarapanku.
“Eh, apa nama rumah sakitnya?”
Aku kembali mendongak menatap wajah ayahku yang mulai ditumbuhi kerutan tanda penambahan umurnya. “NYU Medical Center.” Suasana kembali hening ketika ayahku membalas jawabanku hanya dengan anggukan kepala.

Wajahku cerah ketika aku berhasil menapakkan kaki ku di lantai marmer salah satu rumah sakit terbaik di New York. Mr. Pereira dengan senag hati merangkul bahuku dan berjalan beriringan menuju resepsionis dan dia yang akan mengantarku menemui kepala rumah sakit ini.
“Selamat pagi, Ms dan Mr, apa ada yang bisa saya bantu?”
Aku tersenyum padanya. “Aku Nichole Pereira, dokter baru yang diterima untuk menjalankan tugas pertama di sini.”
Wanita paruh baya itu tersenyum padaku. “Tentu saja, Anda sudah ditunggu, Nona. Mari saya antar.”
Aku mengangguk padanya. Lalu, kembali melanjutkan perjalan. Rumah sakit ini lebih besar dari apa yang ada di dalam pikiranku sebelumnya. Dan ini tampak mengagumkan. Wanita itu membawa aku dan ayahku menuju ke lantai paling atas rumah sakit ini eh lantai dua puluh untuk gedung utama dan mungkin bisa sampai lantai tiga puluh lima di gedung kedua. Elevator berdenting tanda jika kami sudah sampai pada lantai paling atas rumah sakit ini.
Aku tersenyum pada wanita paruh baya yang telah mengantar aku dan ayahku dengan senang hati sampai ke tempat yang kami cari. Aku menatap ayahku dan dia tersenyum menyemangatiku. Aku memintanya untuk berjalan di depanku dan pintu ruangan mewah ini terbuka, hal pertama yang kulihat adalah seorang pria yang lebih tua dari ayahku berada di balik meja kerjanya. Dia mendongak dan tersenyum padaku.
“Oh, Ms Pereira, aku sudah menunggu kedatanganmu. Suatu kehormatan bisa menyambut kedatangan salah satu dari mahasiswi paling membanggakan di Korea Selatan. Silakan duduk.”
Aku terkekeh pelan, dia sangat berlebihan. Aku menyatukan bokongku pada kursi empuk di hadapannya dan di sampingku ayah masih di sana dengan setia. “Baiklah, aku tak akan berbasa-basi untuk ini. Aku sudah memikirkan tentang kau dan pasien pertama yang akan kau tangani. Well, dia adalah pasien dengan gangguan paling berat selama aku menjadi kepala di sini. Dia sedikit berbahaya, tapi aku mempercayakan ini padamu karena kurasa kau adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya membaik dan kembali menemukan hidupnya.” Mr. Joplin menjelaskan semuanya padaku dengan baik dan kurasa aku harus sedikit waspada untuk yang satu ini.
Sebenarnya dulu saat aku masih menjadi mahasiswi di Seoul, menjadi motivator seseorang dan mengembalikan hidup padanya sudah menjadi tugasku. Tapi, mereka yang selama ini kutemui bukanlah sesuatu yang berbahaya. “Ini adalah data dan nama dari pasienmu.”
Aku mengambil sebuah map berwarna biru dari tangan Mr. Joplin dan mulai membukanya. Dua kata yang menjadi pusat perhatianku begitu melihat lembar pertama data ini. ‘Justin Bieber’.
Aku kembali menutup map biru itu dan menatap Mr. Joplin yang menatapku bingung. “Aku ini bertemu dengannya sekarang juga,” ujarku dan itu membuatnya tersenyum. Dia mengangguk senang.

Ayahku ada pertemuan bisnis dan itu membuatnya tak bisa bertahan denganku lebih lama lagi. Itu artinya, sekarang aku sendirian mengikuti langkah Mr. Joplin yang berada satu langkah di depanku. Dua kata yang sempat kubaca tadi masih terus berputar dipikiranku. Jadi, aku akan dihadapkan dengan seorang pria yang berbahaya? Aku selalu berdo’a kepadaNya untuk selalu melindungiku.
Langkah kaki kami terhenti begitu saja di depan sebuah pintu besi dengan pengamanan yang super ketat. Darahku mendadak berdesir saat menatap betapa ketatnya penjagaan pada pasien yang satu ini. Pintu besi itu bahkan tak memilikki celah untuk melihat bagaimana keadaan di dalam sana nampak sangat berbeda dengan yang lain. Siapa pria itu sebenarnya?
Tangan Mr. Joplin dengan lihai membuka kunci rumit pintu besi itu. Rasa gugup menyerangku saat aku kembali mengikuti langkah kakinya memasuki ruangan dengan bau antiseptic yang khas. Mataku menangkap tubuh seorang pria yang terduduk di sudut ruangan ini dengan memeluk lututnya. Dia terlihat lebih dari kacau. “Hai, Man. Bagaimana keadaanmu? Hari ini, kau kedatangan dokter baru setelah sepuluh dokter yang gagal untuk merawatmu. Semoga kau bisa berteman dengannya.”
Mr. Joplin menatapku dan aku mengangguk saat memahami arti dari tatapannya. Dia langsung berjalan meninggalkan aku dan pria asing itu di ruangan tertutup ini. Aku masih berdiri kaku di tempatku saat pria itu mendongakkan kepalanya. Tubuhku semakin kaku saat bertemu tatap dengan mata hazel terangnya yang menatapku kosong. Dari matanya, aku bisa melihat ada begitu banyak kesedihan di sana, ada begitu banyak luka yang tak bisa ia tanggung sendirian.
Aku berjalan mendekatinya, duduk di sebuah kursi yang berada tak terlalu jauh darinya. Lalu, kembali memperhatikan wajahnya. Benarkah jika orang serapuh dia adalah seseorang yang berbahaya? Kurasa tidak, mungkin dia hanya membutuhkan seseorang yang bisa mengerti tentang keadaannya. “Hai, aku Nichole, dan aku adalah orang yang akan membantumu untuk kembali menemukan duniamu yang hilang dulu. Boleh aku tahu namamu?”
Dia masih menatapku tanpa berkedip sedikit pun. Kekosongan yang menyedihkan membayang dengan jelas di matanya. Aku menghela nafas saat tak kunjung mendapatkan jawaban darinya. “Baiklah, jika kau tak ingin memberitahu namamu, mungkin kita bisa berkenalan perlahan-lahan,” kataku kembali dan dia tak juga bergerak untuk merespon perkataanku, atau mungkin mengedipkan matanya. Dia masih menatapku dengan kosong. Justin. Justin Bieber. Siapa kau sebenarnya? []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar