BAB 1
Aku
tersenyum ramah pada pelayan yang saat ini sedang membawa semua barangku menuju
taksi yang telah kupesan sebelum aku tiba di kota terkenal ini. Salah satu kota
di amerika yang dikenal tak pernah tidur. Wow.
Aku tak pernah berpikir sebelumnya jika aku akan memulai hidup baruku di tempat
ini ‘lagi’. Selain dengan alasan karena salah satu dari orangtuaku berada di
sini, aku juga memiliki begitu banyak alasan mengapa aku lebih memilih untuk
pindah ke New York. Aku memberikan alamat rumahku pada supir taksi yang telah
dipesankan oleh Ayahku.
Aku
menghembuskan nafas dengan pelan, dalam hati aku berdo’a, berharap semua yang
akan terjadi selama aku tinggal di sini takkan serumit dulu. Dua bulan lagi aku
akan genap berusia dua puluh tahun dan kemungkinan kecil ibuku takkan datang
kemari untuk memberiku ucapan selamat. Menyedihkan sekali. Well, sebenarnya aku baru saja menyelesaikan kuliahku di fakultas
psikologi di kampus terbaik se-korea, Seoul National University. Aku adalah
gadis yang beruntung karena bisa lolos dengan mudah dalam setiap tes yang
diberikan sebelum aku resmi menjadi mahasiswa di sana. Dan merasa sangat senang
karena kampus itu adalah kampus terbaik di negara asal ibuku.
“Terima
kasih,” kataku pada supir taksi itu seraya memberikan beberapa dollar untuknya.
Aku menatap dengan senyuman tipis terukir di wajahku, aku tak percaya jika
sekarang aku kembali menginjakkan kaki ku di rumah ini. Rumah yang dulunya
menjadi tempat keluarga Pereira bernaung dengan kehangatan dan keharmonisan.
Aku menggelengkan kepalaku dan lantas melangkah dengan santai, menggeret koper
besarku, juga tas punggungku menuju rumah ayahku.
Pintu
rumah terbuka dengan lebar dan tanganku menggantung di udara karena belum
sempat menekan belnya. Wanita paruh baya di hadapanku tersenyum dengan lebar.
“Astaga, Nona muda, kau sudah sampai. Terima kasih Tuhan sudah melindungi Nona
muda,” ujar Sandra yang membuatku terkekeh. Dia adalah kepala pelayan di
rumahku. Dengan sigap dia membawa koper dan tasku ke dalam dan aku melangkah
dengan anggun memasukki rumah ini. Tak
ada yang berubah. Aku berujar dalam
hati, sesunguhnya aku memang sangat merindukan tempat ini, rumah masa kecilku. “Mari
Nona, saya sudah menyiapkan kamar, Nona, di atas.” Aku kembali menatap Sandra
dan menganggukkan kepalaku mengikuti langkahnya.
“Apa
Daddy sedang bekerja?” Aku bertanya pada Sandra yang berjalan di depanku. Aku
bisa melihat banyak perubahan yang terjadi padanya seperti kerutan tanda sudah
tua di wajahnya telah bertambah. Aku meninggalkan rumah ini saat aku berusia
lima tahun, dan sekarang aku hampir berumur duapuluh. “Ya, seperti biasa Tuan
sedang ada di kantornya sekarang dan mungkin akan pulang nanti malam. Apa ada
yang nona butuhkan?” Aku menatap sekelilingku, ini adalah kamarku dulu, dan
sekarang sudah didekorasi ulang hingga tampak sangat berbeda. “Mungkin kau bisa
membuatkanku makan siang, aku akan kebawah nanti, terima kasih.” Sandra
mengangguk hormat padaku dan lantas membungkukkan tubuhnya, berjalan keluar
dari kamarku.
Aku
menutup pintu kamarku, menghembuskan nafas pelan dan berjalan menuju tempat
tidurku, membanting tubuhku pada kasur berukuran king ini. Aku menatap kosong langit-langit kamarku. Tiba-tiba wajah
seornag pria terlintas dipikiranku, seorang yang akan sangat-sangat kurindukan,
seseorang yang masih menjadi alasan dari semua air mataku yang mengalir selama
ini. Tuhan, aku akan merindukan saat-saat bersama dengannya. Tapi, dia sudah
menjadi milik orang lain, dia bukan milikku lagi. Aku tak berhak merasakan ini
lagi untuknya. Bodoh, aku memang seorang gadis pengecut yang menyedihkan, aku
lari dari masalahku sendiri dan berharap dengan lari aku bisa menghilangkan
semua rasa sakit yang menghantuiku. Rasa kantuk mendadak menyerangku dan aku
memutuskan untuk istirahat sebentar lalu nanti aku akan menghabisi makan
siangku.
Aku
terbangun ketika sore menyingsing. Aku berlari kecil mengambil handuk dan jubah
mandiku lalu masuk ke dalam kamar mandi. Mungkin dengan berada dalam Jacuzzi
tercintaku aku akan kembali menemukan ketenanganku lagi.
Tiga
jam menghabiskan waktu bersama dengan busa-busa lembut dalam Jacuzzi-ku, aku
kembali keluar kamarku dan memutuskan untuk menghabiskan makan siangku yang
sudah dingin, ah sebut ini makan
sore. Sandra dan beberapa pelayan lainnya membungkuk dan tersenyum sopan
padaku. Sebenarnya, aku kurang suka seperti itu aku ingin tetap biasa saja.
Tapi, sudahlah lupakan saja. “Apakah Daddy sudah pulang?” Aku menyeruput jus
apelku sambil melirik Sandra yang berdiri di samping meja makan besar istana
ini, ada tiga pelayan yang berdiri tepat di belakangnya. “Belum, Nona. Tuan
akan pulang nanti malam.” Aku mengangguk pelan dan aku puny aide bagus untuk
menghilangkan kejenuhanku karena berada di dalam rumah sementara rasa lelahku
telah hilang tanpa bekas.
Aku
berdiri dari tempat dudukku dan berlari kecil menuju kamarku. Aku akan menemui
Mr. Pereira yang super sibuk itu di kantornya. Setelah mengganti pakaianku, aku
berjalan kecil menuju garasi mobil. Sebenarnya, aku sudah lupa jalan-jalan di
kota ini. Aku tak datang selama tujuh tahun lamanya dan sekarang mendadak aku
harus kembali kemari dengan keadaan tak terselesaikan di tempat yang
kutinggalkan.
Aku
tersenyum ramah pada resepsionis yang mengatur tamu untuk bertemu dengan
ayahku. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?”
“Tentu
saja, aku ingin menemui Mr. Pereira. Apa dia ada di tempat?”
Dia
tersenyum padaku, ah aku suka dengan orang yang ramah sepertinya. “Tentu, tapi
jika boleh saya tahu siapa nama Anda?”
“Nichole
Pereira,” ujarku sambil tetap menampilkan senyumanku untuknya. Aku melihat
keterkejutan yang kentara di wajahnya sebelum akhirnya dia membungkuk hormat
padaku. “Maafkan saya, Nona, saya sama sekali tak tahu jika Anda adalah putri
Mr. Pereira,” katanya kikuk dan itu membuatku terkikik. “Tidak masalah, apa aku
bisa menemui ayahku sekarang?”
Dia
mengangguk pasti dengan senyuman yang kembali muncul di wajahnya. Aku berjalan
masuk ke dalam sebuah ruangan yang tak asing lagi di mataku. Aku sering keluar
masuk tempat ini dulu, tentu saja ketika semuanya masih dalam keadaan yang
diberi nama ‘baik-baik saja’. Tapi, sekarang aku akan tetap berakting seolah
semuanya masih sama seperti terakhir kali aku menginjakkan kaki ku di sini.
Aku
tersenyum lebar saat pria paruh baya yang begitu kurindukan mendongakkan
kepalanya dan menatapku dengan wajah bahagianya. Aku berlari kecil
menghampirinya. “Oh Tuhan, Daddy, aku sangat merindukanmu,” ujarku memeluk erat
tubuh tegapnya di usia 47 tahunnya. “Me
too, Sweetheart.” Dia mengecup puncak kepalaku.
“Kau
jauh lebih tinggi saat terakhir kau berkunjung,” katanya dan aku terkikik dalam
pelukkan nyamannya. “Tentu saja, Daddy, aku sudah hampir dua puluh sekarang,
bukan dua belas lagi.” Dia tersenyum lebar.
Aku
melepaskan pelukkanku dan duduk di hadapannya. “Apa kau sibuk besok? Aku ingin
kau menemaniku ke rumah sakit tempatku akan bekerja.”
“Baby,
mengapa kau tak mau meneruskan perusahaanku? Kau tahu, aku tak memiliki yang
lain selain dirimu.” Aku tersenyum padanya. “Tidak, Dad. Aku hanya belum siap.
Suatu saat nanti aku pasti akan menggantikanmu menjalankan bisnis ini. Aku
janji.” Senyuman di wajah lelahnya mengembang dan itu membuat hatiku
menghangat. Meski pun aku memilikki keluarga yang tak utuh. Aku tetap mencintai
kedua orangtuaku.
“Baiklah,
aku akan dengan senang hati menemanimu besok untuk memulai pekerjaan barumu
sebegai ‘pengurus orang gila’.”
Aku
mengerucutkan bibirku saat mendengar perkataan tak enak di dengar itu. “Aku
bukan menjadi pengurus, Dad tapi sebagai seorang ahli untuk menyembuhkan,”
ujarku kesal dan itu membuatnya terkekeh. “Baik-baik, aku hanya bercanda,
Sweety. Aku akan pulang setelah menyelesaikan beberapa berkas lagi dan jika kau
ingin berkeliling, aku mengizinkanmu hanya saja kau harus mengingat jam
malammu.” Aku menatapnya protes. Hey, serius, aku sudah hampir dua puluh dan
masih memiliki jam malam? Itu konyol sekali.
“Ayolah,
Dad, seharusnya semua sudah berubah, di Seoul aku sama sekali tak memiliki jam
malam karena Mom sangat mengerti tentang aku, kalau begitu kau juga harus
melakukan hal yang sama, Dad. Aku tak ingin memiliki batasan sekarang karena
aku sudah dewasa.” Ayahku menggeleng pelan. “Tidak bisa, Sweetheart. Tidak ada
yang berubah di sini dan takkan pernah ada yang berubah. Aku akan tetap
memberikan jam malam dimana kau harus menepatinya atau kau akan mendapatkan
hukuman dariku seperti biasa. Batas malammu adalah jam 11 p.m. tak ada tawar
menawar lagi, kau akan tetap menjalankannya. Ini New York, bukan Seoul, ini
barat bukan timur, dan aku harus mengerti itu.”
Aku
menghembuskan nafas perlahan, dari dulu aku memang tak pernah menang darinya.
Dengan pasrah, aku mengangguk dan dibalas dengan senyuman lebar di wajahnya.
Setelah memelukny sesaat aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai melangkah
keluar ruangan ini. Kurasa, aku akan langsung ke rumah dan kembali
mengistirahatkan tubuhku untuk menghadapi dunia baruku besok.
Pagi,
yang baru di New York. Well, aku
merasa aneh saat mendapati ada senyuman yang bertengger di wajahku saat aku
membuka mataku dan merenggangkan otot-ototku. Aku lupa kapan terkhir aku bisa
semudah ini untuk tersenyum tanpa beban dan tanpa sebab. Ya, aku sudah lupa.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali sebelum melompat turun dari tempat tidurku
dan berlari kecil ke kamar mandi. Oh, ini hari pertamaku menjadi dokter ahli
jiwa dan aku sangat bersemangat untuk memulainya. Aku penasaran pasien jenis
apa yang akan kuhadapi nanti. Aku hanya berharap jika nantinya dia tak akan
menyusahkanku. Benakku memutar bola matanya.
Aku
selesai dengan rutinitas pagiku dalam waktu setengah jam lebih sepuluh menit
dan segera turun kebawah untuk sarapan bersama dengan pria yang paling kucintai
di dalam hidupku. aku tersenyum lebar saat menatap ayahku sudah duduk dengan
rapi di meja makan, dia pasti menungguku. Au mengecup pipinya dan duduk di
tempatku. Menu pagi ini, hanya sepotong roti bakar dengan selai cokelat
kesukaanku.
“Aku
bisa melihatnya, kau begitu bersemangat hari ini. Apa ini karena pekerjaanmu?”
Aku
mengulum senyuman. “Tentu saja, aku sangat bersemangat sekarang. Kau pasti
mengerti.” Dia mengangguk dan tersenyum padaku. “Aku mengerti. Cepat habiskan
sarapanmu dan aku akan menemanimu menuju rumah sakit tempatmu bertugas.”
Aku
mengangguk dan kembali fokus dengan sarapanku.
“Eh,
apa nama rumah sakitnya?”
Aku
kembali mendongak menatap wajah ayahku yang mulai ditumbuhi kerutan tanda
penambahan umurnya. “NYU Medical Center.” Suasana kembali hening ketika ayahku
membalas jawabanku hanya dengan anggukan kepala.
Wajahku
cerah ketika aku berhasil menapakkan kaki ku di lantai marmer salah satu rumah
sakit terbaik di New York. Mr. Pereira dengan senag hati merangkul bahuku dan
berjalan beriringan menuju resepsionis dan dia yang akan mengantarku menemui
kepala rumah sakit ini.
“Selamat
pagi, Ms dan Mr, apa ada yang bisa saya bantu?”
Aku
tersenyum padanya. “Aku Nichole Pereira, dokter baru yang diterima untuk
menjalankan tugas pertama di sini.”
Wanita
paruh baya itu tersenyum padaku. “Tentu saja, Anda sudah ditunggu, Nona. Mari
saya antar.”
Aku
mengangguk padanya. Lalu, kembali melanjutkan perjalan. Rumah sakit ini lebih
besar dari apa yang ada di dalam pikiranku sebelumnya. Dan ini tampak
mengagumkan. Wanita itu membawa aku dan ayahku menuju ke lantai paling atas
rumah sakit ini eh lantai dua puluh
untuk gedung utama dan mungkin bisa sampai lantai tiga puluh lima di gedung
kedua. Elevator berdenting tanda jika kami sudah sampai pada lantai paling atas
rumah sakit ini.
Aku
tersenyum pada wanita paruh baya yang telah mengantar aku dan ayahku dengan
senang hati sampai ke tempat yang kami cari. Aku menatap ayahku dan dia
tersenyum menyemangatiku. Aku memintanya untuk berjalan di depanku dan pintu
ruangan mewah ini terbuka, hal pertama yang kulihat adalah seorang pria yang
lebih tua dari ayahku berada di balik meja kerjanya. Dia mendongak dan
tersenyum padaku.
“Oh,
Ms Pereira, aku sudah menunggu kedatanganmu. Suatu kehormatan bisa menyambut
kedatangan salah satu dari mahasiswi paling membanggakan di Korea Selatan.
Silakan duduk.”
Aku
terkekeh pelan, dia sangat berlebihan. Aku menyatukan bokongku pada kursi empuk
di hadapannya dan di sampingku ayah masih di sana dengan setia. “Baiklah, aku
tak akan berbasa-basi untuk ini. Aku sudah memikirkan tentang kau dan pasien
pertama yang akan kau tangani. Well,
dia adalah pasien dengan gangguan paling berat selama aku menjadi kepala di
sini. Dia sedikit berbahaya, tapi aku mempercayakan ini padamu karena kurasa
kau adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya membaik dan kembali
menemukan hidupnya.” Mr. Joplin menjelaskan semuanya padaku dengan baik dan
kurasa aku harus sedikit waspada untuk yang satu ini.
Sebenarnya
dulu saat aku masih menjadi mahasiswi di Seoul, menjadi motivator seseorang dan
mengembalikan hidup padanya sudah menjadi tugasku. Tapi, mereka yang selama ini
kutemui bukanlah sesuatu yang berbahaya. “Ini adalah data dan nama dari
pasienmu.”
Aku
mengambil sebuah map berwarna biru dari tangan Mr. Joplin dan mulai membukanya.
Dua kata yang menjadi pusat perhatianku begitu melihat lembar pertama data ini.
‘Justin Bieber’.
Aku
kembali menutup map biru itu dan menatap Mr. Joplin yang menatapku bingung.
“Aku ini bertemu dengannya sekarang juga,” ujarku dan itu membuatnya tersenyum.
Dia mengangguk senang.
Ayahku
ada pertemuan bisnis dan itu membuatnya tak bisa bertahan denganku lebih lama
lagi. Itu artinya, sekarang aku sendirian mengikuti langkah Mr. Joplin yang
berada satu langkah di depanku. Dua kata yang sempat kubaca tadi masih terus
berputar dipikiranku. Jadi, aku akan dihadapkan dengan seorang pria yang
berbahaya? Aku selalu berdo’a kepadaNya untuk selalu melindungiku.
Langkah
kaki kami terhenti begitu saja di depan sebuah pintu besi dengan pengamanan
yang super ketat. Darahku mendadak berdesir saat menatap betapa ketatnya
penjagaan pada pasien yang satu ini. Pintu besi itu bahkan tak memilikki celah
untuk melihat bagaimana keadaan di dalam sana nampak sangat berbeda dengan yang
lain. Siapa pria itu sebenarnya?
Tangan
Mr. Joplin dengan lihai membuka kunci rumit pintu besi itu. Rasa gugup
menyerangku saat aku kembali mengikuti langkah kakinya memasuki ruangan dengan
bau antiseptic yang khas. Mataku menangkap tubuh seorang pria yang terduduk di
sudut ruangan ini dengan memeluk lututnya. Dia terlihat lebih dari kacau. “Hai,
Man. Bagaimana keadaanmu? Hari ini, kau kedatangan dokter baru setelah sepuluh
dokter yang gagal untuk merawatmu. Semoga kau bisa berteman dengannya.”
Mr.
Joplin menatapku dan aku mengangguk saat memahami arti dari tatapannya. Dia
langsung berjalan meninggalkan aku dan pria asing itu di ruangan tertutup ini. Aku
masih berdiri kaku di tempatku saat pria itu mendongakkan kepalanya. Tubuhku
semakin kaku saat bertemu tatap dengan mata hazel terangnya yang menatapku
kosong. Dari matanya, aku bisa melihat ada begitu banyak kesedihan di sana, ada
begitu banyak luka yang tak bisa ia tanggung sendirian.
Aku
berjalan mendekatinya, duduk di sebuah kursi yang berada tak terlalu jauh
darinya. Lalu, kembali memperhatikan wajahnya. Benarkah jika orang serapuh dia
adalah seseorang yang berbahaya? Kurasa tidak, mungkin dia hanya membutuhkan
seseorang yang bisa mengerti tentang keadaannya. “Hai, aku Nichole, dan aku
adalah orang yang akan membantumu untuk kembali menemukan duniamu yang hilang
dulu. Boleh aku tahu namamu?”
Dia masih menatapku
tanpa berkedip sedikit pun. Kekosongan yang menyedihkan membayang dengan jelas
di matanya. Aku menghela nafas saat tak kunjung mendapatkan jawaban darinya.
“Baiklah, jika kau tak ingin memberitahu namamu, mungkin kita bisa berkenalan
perlahan-lahan,” kataku kembali dan dia tak juga bergerak untuk merespon
perkataanku, atau mungkin mengedipkan matanya. Dia masih menatapku dengan
kosong. Justin. Justin Bieber. Siapa kau
sebenarnya? []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar