Jumat, 18 April 2014

LOVE #6



BAB 6
“You can't look back - you just have to put the past behind you, and find something better in your future.”
Jodi Picoult, Salem Falls






Pagi yang baru, aku tak pernah memikirkan ini sebelum aku bermimpi dengan sangat indah semalam. Well, untuk yang pertama kalinya ada seseorang yang begitu beruntung bisa memasukki mimpiku karena memang selama ini belum ada satu pun orang termasuk Siwon yang bisa memasuki mimpiku ketika aku merasa aku begitu mencintainya, tapi dia. Dia dengan mudah bisa masuk dan hadir dalam mimpiku dan mengusik tidurku dalam gelap, membawaku pergi ke tempat yang indah. Sekarang, aku jadi memiliki satu pertanyaan dalam otakku. Apa aku benar mencintai Siwon ataukah itu mungkin hanya perasaan sayang biasa atau mungkin itu hanyalah sebuah perasaan kagum dan takut kehilangan dan pilihan terakhir adalah hanya sebuah obsesi semu yang selama ini kupikir cinta?
Jujur, aku tak pernah merasa seperti ini, semuanya jadi lebih lengkap, bahkan ketika aku pergi begitu saja meninggalkan Seoul dan semua kenanganku di sana, aku tak merasakan pernah kehilangan sesuatu. Yang aku tahu, aku sedih dan aku tak ingin mengganggu kehidupannya lagi, apa lagi harus berhadapan dengan ibunya yang menurutku sangat menyebalkan. Lalu, hari ini, pagi ini, aku terbangun dengan senyuman di wajahku tanpa sadar dan mengingat kembali jika semalam aku telah bermimpi. Aku tertawa, mengejek, berlari di sepanjang pantai yang sepi dan tenang, bermain air, dan berciuman. Baiklah, bagian yang terakhir itu boleh di sensor. Bagaimana bisa aku bermimpi jika aku menghabiskan waktu bersama Justin di pantai dan saat itu menjelang matahari tenggelam?
Apa aku jatuh cinta padanya?
 Tidak. Aku tak mungkin jatuh cinta pada Justin, maksudku, dia hanyalah seseorang yang membutuhkanku untuk kembali menemukan hidupnya dan membuatnya merasa lebih baik tanpa harus menyakiti dirinya atau orang lain lagi. Dia memang tampan dan mempesona bahkan hanya dengan pakaian kusut rumah sakit, rambut berantakan, dan wajah kusutnya pun dia terlihat sangat tampan. Tak ada satu pun wanita yang mampu menolak pesonanya.
Benakku tersenyum malu-malu. Dan sedetik kemudian aku tersadar, jika Annelise adalah gadis yang sangat beruntung karena pernah memiliki Justin sebelumnya. Bahkan Justin beitu mencintainya. Anne adalah satu-satunya yang mendapatkan hati Justin. Atau mungkin aku masih memiliki kesempatan untuk mengisi dan mengukir namaku di hatinya juga?
Konyol, Nic. Sudahlah aku akan membelikan kemeja dan celana jeans untuknya dan lantas aku akan mengajaknya berjalan-jalan harinya. Tentunya, itu akan terjadi setelah aku mendapatkan izin dari mr. Joplin.

Mataku terpaku pada sebuah kemeja yang simpel dan kurasa akan cocok dengan Justin dan oh tidak aku benar-benar tak ingin memikirkan bagaimana penampilannya ketika dia mengenakannya nanti. Baiklah, jangan dipikirkan dan aku memutuskan untuk membeli kemeja itu. Beberapa menit yang lalu aku sudah berhasil menemukan jeans yang cocok untuknya.
Jangan pernah berpikir jika aku sedang merencanakan acara kencanku dengan Justin. Ini lebih enak disebut sebagai terapi. Aku akan mengajaknya kembali keluar dan melihat dunia yang telah ia tinggalkan yang telah berubah begitu drastis. Lalu, aku akan melihat perkembangannya, apakah ada respon yang membaik atau mungkin dia akan semakin memburuk.
Ah, aku hampir saja lupa menghubungi Andreas untuk sesegera mungkin menemukan informasi mengenai orangtua Justin karena aku ingin meminta bantuan mereka juga. Karena mereka turut andil atas apa yang telah terjadi pada Justin. Masa kecil Justin turut ambil bagian dari semua kefrustasian yang sekarang mengerumuni dirinya dan menutupi dunianya selama ini. Ditambah dia harus kehilangan gadis itu, itu adalah puncak dari semua yang terjadi padanya.
Aku berjalan masuk ke dalam ruang rawat Justin dan melihatnya sedang berbaring dengan tenang dan damai. Aku berjalan menghampirinya dan tanpa sadar senyuman sempurna terukir di wajahku. Entah untuk yang keberapa kalinya tiap aku ingat dia hari ini, mulai tadi pagi.
“Just,” lirihku.
Matanya terbuka perlahan dan langsung mengunciku seketika. “Kau datang?” Benakku tersenyum perlahan. Dia merindukanku. Benarkah? “Tentu saja, aku akan selalu menemanimu di sini Justin, sampai semuanya baik-baik saja dan kau akan segera bebas dari penjara ini.”
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat dan aku juga ingin kau membersihkan tubuhmu, lalu pakai ini,” ujarku dan mengecup dahinya pelan.
Aku membalikkan punggungku dan merasakan dengan jelas pergerakkan di belakangku dan juga langkah kaki Justin yang perlahan menuju kamar mandi, dia masih belum terbiasa untuk kembali berjalan dengan baik. aku mendapatkan iPhoneku dan mengirimkan pesan pada mr. Joplin jika aku akan mengajak Justin pergi keluar sebentar. Aku hanya akan mengajaknya untuk bersenang-senang.
“Bagaimana penampilanku?”
Aku memutar tubuhku dan itu dia bahkan jauh lebih sempurna dari pada yang ada dalam pikiranku tadi, harunya aku tak memikirkan dan membayangkannya. Dia terlalu sempuna untuk di bayangkan. “Perfect,” ujarku dengan mengangkat kedua jempolku.
Aku berjalan mendekatinya dan menggandengnya untuk berjalan bersamaku. “Baiklah, kita berangkat sekarang.” Aku bahkan terlalu bersemangat untuk pergi ketempat itu, memang memerlukan waktu yang lumayan lama, tapi tidak lebih dari tiga jam saja.

“Apa kita akan keluar New York?”
Aku meliriknya melalui sisi mataku. “Ini berada di pinggiran kota dan di sana nanti kita akan berbicara mengenai semua yang kau rasakan selama ini. Aku ingin tahu semuanya, dan aku akan membantumu untuk melepaskan bayangan itu dari dirimu sendiri. Karena semakin besar kau menyalahkan dirimu maka bayangan masa lalumu akan menerkamu semakin dalam. Cobalah, dan berusahalah, Justin. Aku juga akan membantumu semampuku.” Aku tersenyum manis padanya dan aku mendapatkan senyuman yang tak kalah manisnya mungkin dari senyuman yang ia berikan untuk Annelise. Aku akan membuatmu melupakan gadis itu Justin, kau akan mencintaiku suatu saat nanti. Aku yakin itu.
“Jadi, mengapa kau begitu bersi keras untuk membantuku sembuh?” Aku kembali meliriknya dan sesaat kembali menatap jalanan dengan fokusku.
“Tentu saja, kau adalah orang pertama yang harus kusembuhkan di kota ini. Jadi, aku akan membuat semua itu menjadi baik dalam waktu secepat yang aku mampu dan mendapatkan predikatku sebagai dokter yang berhasil nantinya,” ujarku penuh dengan senyuman bangga di wajahku. Ini adalah mimpiku sejak dulu dan aku akan lakukan apa pun untuk itu agar terwujud.
“Jadi, Justin, apa jenis musik kesukaanmu?”
“Tidak ada satu pun, aku bukan orang yang suka dengan hal menjijikkan seperti itu. Bagaimana denganmu?” Aku memutar bola mataku.
“Aku suka pop yang manis,” kataku dan dibalas dengan kekehan kecilnya. Serius, darahku berdesir saat mendengar suara kekehan manisnya itu. Ya ampun!
“Perempuan sekali,” cibirnya yang membuatku terkekeh. Ternyata dia memiliki sisi humor yang bagus. “Siapa penyanyi yang kau sukai?” Aku berdeham pelan.
“Celine Dion,” ujarku. Ya, aku sangat-sangat menyukai wanita itu. Suaranya benar-benar seperti suara dari surga. Dia wanita paling mengagumkan setelah ibuku tentu saja. Aku sudah suka padanya sejak aku kecil.
“Oh, itu manis sekali, tapi sebenarnya Celine Dion memang pilihan yang sangat bagus,” katanya. Aku tertawa mendengar perkataannya. Katanya dia tak suka musik, bagaimana dia bisa tahu jika itu pilihan yang bagus. Aneh sekali.
“Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu? Kau bahkan tak sama sekali suka musik kan?” Dia mengangkat bahunya acuh. “Hanya pendapat umum saja,” katanya. Aku menggelengkan kepalaku. Dia pria yang menyenangkan sebenarnya.
“Jadi, sekarang apa kau akan mengatakan padaku kemana kau akan membawaku pergi? Eh, dan sebenarnya, apakah ini legal?” Dahiku berkerut dan menatapnya dengan tatapan konyolku. Apa katanya? Legal? Aku tak berpikir jika dia akan mengatakan hal seperti itu. Itu membuatku tertawa lebih lebar dari sebelumnya.
“Tidak, aku ingin kau tahu dengan sendirinya nanti dan tentu saja ini legal, kau pikir aku sedang menculikmu dari penjara membosankan itu?” Dan aku mendengar lagi tawa itu untuk yang ke dua kalinya dan itu benar-benar sangat menyenangkan untukku. Dia terlihat senang dan muda. Sangat manis. “Tidak, hanya saja aku pikir ini untuk yang pertama kalinya aku melihat dunia ini setelah kejadian itu, kau yang pertama dan akan jadi satu-satunya,” katanya yang membuatku bingung. Apa maksudnya —pertama dan akan jadi satu-satunya?
“Aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelum kau datang dan masuk ke dalam duniaku begitu saja, aku takut jika kau akan lari setelah tahu semuanya tentang aku seperti orang-orang berseragam putih sialan lainnya. Dan itu juga berlaku untuk Goerge Brengsek Joplin itu. Aku sangat membencinya.” Aku menatapnya lama, dia terlihat sangat normal, tidak seperti kemarin sore saat dia menyakiti dirinya sendiri.
“Jadi, kau tak sama sekali membenciku?”
“Tidak, kau tidak takut padaku saat aku kehilangan semua kesadaranku, kau tidak lari saat melihat aku seperti kemarin dan kau tak takut jika saja saat itu aku menyakitimu. Kau membuatku kembali menemukan apa yang hilang dariku saat itu,” ujarnya. Aku tersenyum dalam diamku dan lantas memutar setir untuk berbelok menuju pantai di pinggiran kota. Tempat ini jarang dikunjungi dan aku sengaja membawa Justin kemari dan melihat sejauh mana dia mampu menyesuaikan diri kembali dengan alam yang sebenarnya, bukan melalui media atau hal-hal lainnya. 
Aku mengalihkan tatapanku padanya dan dia terlihat bingung. Aku terkikik kecil. “Kurasa kau tak ingin berada di dalam mobil ini lebih lama lagi. Ayo, Just.” Aku membuka pintu mobilku dan segera berjalan menghampiri Justin yang telah berhasil keluar dari mobil juga. Dia kembali seperti dia saat pertama kali aku bertemu dengannya waktu itu. Terlihat begitu frustasi dan menyedihkan. Aku menggandeng tangannya, menyelipkan jariku untuk mengisi jemarinya yang kosong. Dan lantas membawanya untuk berjalan bersamaku menuju tepian pantai.
Benar sekali, tempat ini sangat sepi, namun juga sangat nyaman dan indah. Aku bahkan rela bolos seharian jika aku berada di sini bersama Justin. “Kenapa kau diam? Katakanlah sesuatu, Just. Aku ingin kau kembali bercerita padaku tentang masa lalumu. Apa yang terjadi pada Justin kecil dulu?”
Aku merasakannya ketika tubuhnya menegang setelah mendengar pertanyaanku. “Kau tidak akan pernah senang jika mendengar bagaimana hidupku dulu, tidak akan,” lirihnya begitu pelan. “Aku tak akan tahu jika kau tak mengatakannya padaku, Just.”
Aku masih menunggunya untuk kembali berbicara namun dia hanya diam dan ini benar-benar tak sesuai dengan apa yang kupikirkan. Aku mencoba melepas tautan tangan kami dan kembali mendekat kearah pantai, namun Justin menggenggamnya dengan erat. Aku memutar kepalaku untuk menatapnya. Mencoba untuk membaca apa yang ada di balik tatapan matanya karena memang manusia banyak menyembunyikan pesan di dalam matanya, di balik binar-binar dan juga cahayanya. Justin terluka, dia memiliki sakit yang mungkin tak semua orang merasakannya dan bisa mengerti tentangnya. Dia ingin di dengarkan, dia ingin ada seseorang untuk tetap berada di mana dia berada, dia ingin ada yang membuatnya lupa akan rasa sakitnya sepeti dulu, saat masih ada Annelise di sampingnya, dia ingin hidup yang normal seperti yang lainnya, dia ingin bekerja, menikah, menjadi ayah. Dia ingin hidup itu, hidup yang sama dengan teman-temannya yang pernah datu kelompok dengannya dulu. Justin kecewa, dia ingin bebas dari dunia gelap yang selama ini memenjarakannya hingga dia lupa bagaimana caranya berjalan dengan baik.
Hatiku teriris saat melihat dirinya dengan bulir-bulir air mata yang siap untuk jatuh, tapi air mataku lebih dulu jatuh dari pada dia. Aku merasakan sakitnya hingga membuatku sulit untuk menemukan oksigen. Aku meremas tangannya memberitahunya jika aku sudah di sini untuk tetap berada di sampingnya. Untuk tetap menggenggam tangannya sampai nanti, ketika dia kuat untuk berjalan sendiri.
“Aku pernah datang ke mari bersama dengan Anne, aku ingat saat itu kami sedang merayakan dua bulan hubungan kami terjalin. Dia sangat bahagia ada di sini, katanya dia rela menyerahkan semua waktu yang dia milikki asalkan dia tetap bersamaku dan merasa bahagia di sini. Aku selalu berusaha untuk memenuhi semua keinginannya. Bagiku itu seperti sebuah kewajiban untukku.” Aku kembali merasakan hatiku diiris dengan sesuatu yang lebih tajam, membuatku menahan ringisanku. Cairan bening kembali jatuh dari mataku.
“Dia gadis yang sangat beruntung, bisa dicintai oleh seorang pria dengan begitu mendalam. Bahkan sampai saat ini aku belum pernah merasakan dicintai sedalam itu tidak untuk orangtuaku sekali pun. Dia gadis yang beruntung,” lirihku tanpa menatapnya. “Jadi, seharusnya kau menceritakan tentang masa kecilmu padaku,” sambungku setelah berhasil memperbaikki suaraku yang tampak aneh karena menahan tangis, aku tersenyum tipis padanya.
Justin masih menatap ke depan dan sesekali mengedipkan matanya, dia terlihat lebih tenang sekarang, aku jadi sulit mengerti, dia begitu cepat berubah maksudku perasaannya bisa dengan cepat berubah.
“Aku hidup di dalam keluarga yang tak sempurna, ayahku adalah satu-satunya orang yang perduli padaku selama aku hidup. Dan wanita itu, aku tak ingin menyebut namanya bahkan dalam pikiranku sekali pun, dia menghancurkan keluarga kecil yang kurasa utuh meski aku hanya bersama ayahku kala itu. Aku sangat membencinya, aku bahkan sangat ingin meledakkan kepalanya saat aku kembali bertemu dengannya, saat itu aku sedang menemani Anne berbelanja keperluan dapurku yang hampir habis. Dan aku melihatnya bersama seorang pria brengsek. Dia pelacur sialan, yang sudah menghancurkan hidupku dan juga seorang ayah yang begitu kucintai. Dan aku tak tahu di mana dia sekarang dan tak ingin tahu.” Aku berjalan dua langkah maju mendekati Justin dan melingkarkan tanganku di lehernya, mencoba untuk membuatnya lebih baik lagi.
“Apa yang terjadi pada ayahmu?” bisikku di telinganya.
“Malam itu, wanita jalang itu pulang bersama dengan seorang pria dan aku tak tahu apa yang terjadi karena aku ada di kamarku, kata ayah aku harus tetap di dalam kamar apa pun yang terjadi. Aku mendengarnya saat suara pecahan barang-barang kembali memenuhi rumah kami, saat semuanya tenang, aku beranikan diriku untuk membuka pintu kamarku dan berjalan menuju ruang tamu, tubuhku bergetar saat melihat sebuah pisau dapur menancap tepat di jantung ayahku,” aku menutup mulutnya dengan tanganku dankembali memeluknya dengan erat. Justinku yang malang. “Semuanya akan baik-baik saja, tenanglah,” bisikku di telinganya lagi saat tubuhnya bergetar dan aku tahu jika air matanya yang menggenang telah berjatuhan.
Aku tak menyangka jika dia memiliki hidup yang begitu menyakitkan, aku bisa mengerti jika kematian Anne merupakan puncak dari rasa frustasinya selama ini. []





 ANDREAS

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar