BAB
6
“You
can't look back - you just have to put the past behind you, and find something
better in your future.”
― Jodi Picoult, Salem Falls
― Jodi Picoult, Salem Falls
Pagi
yang baru, aku tak pernah memikirkan ini sebelum aku bermimpi dengan sangat
indah semalam. Well, untuk yang
pertama kalinya ada seseorang yang begitu beruntung bisa memasukki mimpiku
karena memang selama ini belum ada satu pun orang termasuk Siwon yang bisa
memasuki mimpiku ketika aku merasa aku begitu mencintainya, tapi dia. Dia
dengan mudah bisa masuk dan hadir dalam mimpiku dan mengusik tidurku dalam
gelap, membawaku pergi ke tempat yang indah. Sekarang, aku jadi memiliki satu
pertanyaan dalam otakku. Apa aku benar mencintai Siwon ataukah itu mungkin
hanya perasaan sayang biasa atau mungkin itu hanyalah sebuah perasaan kagum dan
takut kehilangan dan pilihan terakhir adalah hanya sebuah obsesi semu yang
selama ini kupikir cinta?
Jujur,
aku tak pernah merasa seperti ini, semuanya jadi lebih lengkap, bahkan ketika
aku pergi begitu saja meninggalkan Seoul dan semua kenanganku di sana, aku tak
merasakan pernah kehilangan sesuatu. Yang aku tahu, aku sedih dan aku tak ingin
mengganggu kehidupannya lagi, apa lagi harus berhadapan dengan ibunya yang
menurutku sangat menyebalkan. Lalu, hari ini, pagi ini, aku terbangun dengan
senyuman di wajahku tanpa sadar dan mengingat kembali jika semalam aku telah
bermimpi. Aku tertawa, mengejek, berlari di sepanjang pantai yang sepi dan
tenang, bermain air, dan berciuman. Baiklah, bagian yang terakhir itu boleh di
sensor. Bagaimana bisa aku bermimpi jika aku menghabiskan waktu bersama Justin
di pantai dan saat itu menjelang matahari tenggelam?
Apa aku jatuh cinta padanya?
Tidak. Aku tak mungkin jatuh cinta pada
Justin, maksudku, dia hanyalah seseorang yang membutuhkanku untuk kembali
menemukan hidupnya dan membuatnya merasa lebih baik tanpa harus menyakiti
dirinya atau orang lain lagi. Dia memang tampan dan mempesona bahkan hanya
dengan pakaian kusut rumah sakit, rambut berantakan, dan wajah kusutnya pun dia
terlihat sangat tampan. Tak ada satu pun wanita yang mampu menolak pesonanya.
Benakku
tersenyum malu-malu. Dan sedetik kemudian aku tersadar, jika Annelise adalah
gadis yang sangat beruntung karena pernah memiliki Justin sebelumnya. Bahkan
Justin beitu mencintainya. Anne adalah satu-satunya yang mendapatkan hati
Justin. Atau mungkin aku masih memiliki kesempatan untuk mengisi dan mengukir
namaku di hatinya juga?
Konyol,
Nic. Sudahlah aku akan membelikan kemeja dan celana jeans untuknya dan lantas
aku akan mengajaknya berjalan-jalan harinya. Tentunya, itu akan terjadi setelah
aku mendapatkan izin dari mr. Joplin.
Mataku
terpaku pada sebuah kemeja yang simpel dan kurasa akan cocok dengan Justin dan
oh tidak aku benar-benar tak ingin memikirkan bagaimana penampilannya ketika
dia mengenakannya nanti. Baiklah, jangan dipikirkan dan aku memutuskan untuk
membeli kemeja itu. Beberapa menit yang lalu aku sudah berhasil menemukan jeans
yang cocok untuknya.
Jangan
pernah berpikir jika aku sedang merencanakan acara kencanku dengan Justin. Ini
lebih enak disebut sebagai terapi. Aku akan mengajaknya kembali keluar dan
melihat dunia yang telah ia tinggalkan yang telah berubah begitu drastis. Lalu,
aku akan melihat perkembangannya, apakah ada respon yang membaik atau mungkin
dia akan semakin memburuk.
Ah,
aku hampir saja lupa menghubungi Andreas untuk sesegera mungkin menemukan informasi
mengenai orangtua Justin karena aku ingin meminta bantuan mereka juga. Karena
mereka turut andil atas apa yang telah terjadi pada Justin. Masa kecil Justin
turut ambil bagian dari semua kefrustasian yang sekarang mengerumuni dirinya
dan menutupi dunianya selama ini. Ditambah dia harus kehilangan gadis itu, itu
adalah puncak dari semua yang terjadi padanya.
Aku
berjalan masuk ke dalam ruang rawat Justin dan melihatnya sedang berbaring
dengan tenang dan damai. Aku berjalan menghampirinya dan tanpa sadar senyuman
sempurna terukir di wajahku. Entah untuk yang keberapa kalinya tiap aku ingat
dia hari ini, mulai tadi pagi.
“Just,”
lirihku.
Matanya
terbuka perlahan dan langsung mengunciku seketika. “Kau datang?” Benakku
tersenyum perlahan. Dia merindukanku. Benarkah? “Tentu saja, aku akan selalu
menemanimu di sini Justin, sampai semuanya baik-baik saja dan kau akan segera
bebas dari penjara ini.”
“Aku
ingin mengajakmu ke suatu tempat dan aku juga ingin kau membersihkan tubuhmu,
lalu pakai ini,” ujarku dan mengecup dahinya pelan.
Aku
membalikkan punggungku dan merasakan dengan jelas pergerakkan di belakangku dan
juga langkah kaki Justin yang perlahan menuju kamar mandi, dia masih belum
terbiasa untuk kembali berjalan dengan baik. aku mendapatkan iPhoneku dan
mengirimkan pesan pada mr. Joplin jika aku akan mengajak Justin pergi keluar
sebentar. Aku hanya akan mengajaknya untuk bersenang-senang.
“Bagaimana
penampilanku?”
Aku
memutar tubuhku dan itu dia bahkan jauh lebih sempurna dari pada yang ada dalam
pikiranku tadi, harunya aku tak memikirkan dan membayangkannya. Dia terlalu
sempuna untuk di bayangkan. “Perfect,”
ujarku dengan mengangkat kedua jempolku.
Aku
berjalan mendekatinya dan menggandengnya untuk berjalan bersamaku. “Baiklah,
kita berangkat sekarang.” Aku bahkan terlalu bersemangat untuk pergi ketempat
itu, memang memerlukan waktu yang lumayan lama, tapi tidak lebih dari tiga jam
saja.
“Apa
kita akan keluar New York?”
Aku
meliriknya melalui sisi mataku. “Ini berada di pinggiran kota dan di sana nanti
kita akan berbicara mengenai semua yang kau rasakan selama ini. Aku ingin tahu
semuanya, dan aku akan membantumu untuk melepaskan bayangan itu dari dirimu
sendiri. Karena semakin besar kau menyalahkan dirimu maka bayangan masa lalumu
akan menerkamu semakin dalam. Cobalah, dan berusahalah, Justin. Aku juga akan
membantumu semampuku.” Aku tersenyum manis padanya dan aku mendapatkan senyuman
yang tak kalah manisnya mungkin dari senyuman yang ia berikan untuk Annelise.
Aku akan membuatmu melupakan gadis itu Justin, kau akan mencintaiku suatu saat
nanti. Aku yakin itu.
“Jadi,
mengapa kau begitu bersi keras untuk membantuku sembuh?” Aku kembali meliriknya
dan sesaat kembali menatap jalanan dengan fokusku.
“Tentu
saja, kau adalah orang pertama yang harus kusembuhkan di kota ini. Jadi, aku
akan membuat semua itu menjadi baik dalam waktu secepat yang aku mampu dan
mendapatkan predikatku sebagai dokter yang berhasil nantinya,” ujarku penuh
dengan senyuman bangga di wajahku. Ini adalah mimpiku sejak dulu dan aku akan
lakukan apa pun untuk itu agar terwujud.
“Jadi,
Justin, apa jenis musik kesukaanmu?”
“Tidak
ada satu pun, aku bukan orang yang suka dengan hal menjijikkan seperti itu.
Bagaimana denganmu?” Aku memutar bola mataku.
“Aku
suka pop yang manis,” kataku dan dibalas dengan kekehan kecilnya. Serius,
darahku berdesir saat mendengar suara kekehan manisnya itu. Ya ampun!
“Perempuan
sekali,” cibirnya yang membuatku terkekeh. Ternyata dia memiliki sisi humor
yang bagus. “Siapa penyanyi yang kau sukai?” Aku berdeham pelan.
“Celine
Dion,” ujarku. Ya, aku sangat-sangat menyukai wanita itu. Suaranya benar-benar
seperti suara dari surga. Dia wanita paling mengagumkan setelah ibuku tentu
saja. Aku sudah suka padanya sejak aku kecil.
“Oh,
itu manis sekali, tapi sebenarnya Celine Dion memang pilihan yang sangat
bagus,” katanya. Aku tertawa mendengar perkataannya. Katanya dia tak suka
musik, bagaimana dia bisa tahu jika itu pilihan yang bagus. Aneh sekali.
“Bagaimana
kau bisa mengatakan hal seperti itu? Kau bahkan tak sama sekali suka musik
kan?” Dia mengangkat bahunya acuh. “Hanya pendapat umum saja,” katanya. Aku
menggelengkan kepalaku. Dia pria yang menyenangkan sebenarnya.
“Jadi,
sekarang apa kau akan mengatakan padaku kemana kau akan membawaku pergi? Eh,
dan sebenarnya, apakah ini legal?” Dahiku berkerut dan menatapnya dengan
tatapan konyolku. Apa katanya? Legal? Aku tak berpikir jika dia akan mengatakan
hal seperti itu. Itu membuatku tertawa lebih lebar dari sebelumnya.
“Tidak,
aku ingin kau tahu dengan sendirinya nanti dan tentu saja ini legal, kau pikir
aku sedang menculikmu dari penjara membosankan itu?” Dan aku mendengar lagi
tawa itu untuk yang ke dua kalinya dan itu benar-benar sangat menyenangkan
untukku. Dia terlihat senang dan muda. Sangat manis. “Tidak, hanya saja aku
pikir ini untuk yang pertama kalinya aku melihat dunia ini setelah kejadian
itu, kau yang pertama dan akan jadi satu-satunya,” katanya yang membuatku
bingung. Apa maksudnya —pertama dan akan jadi satu-satunya?
“Aku
belum pernah merasakan hal seperti ini sebelum kau datang dan masuk ke dalam
duniaku begitu saja, aku takut jika kau akan lari setelah tahu semuanya tentang
aku seperti orang-orang berseragam putih sialan lainnya. Dan itu juga berlaku
untuk Goerge Brengsek Joplin itu. Aku sangat membencinya.” Aku menatapnya lama,
dia terlihat sangat normal, tidak seperti kemarin sore saat dia menyakiti
dirinya sendiri.
“Jadi,
kau tak sama sekali membenciku?”
“Tidak,
kau tidak takut padaku saat aku kehilangan semua kesadaranku, kau tidak lari
saat melihat aku seperti kemarin dan kau tak takut jika saja saat itu aku
menyakitimu. Kau membuatku kembali menemukan apa yang hilang dariku saat itu,” ujarnya.
Aku tersenyum dalam diamku dan lantas memutar setir untuk berbelok menuju
pantai di pinggiran kota. Tempat ini jarang dikunjungi dan aku sengaja membawa
Justin kemari dan melihat sejauh mana dia mampu menyesuaikan diri kembali
dengan alam yang sebenarnya, bukan melalui media atau hal-hal lainnya.
Aku
mengalihkan tatapanku padanya dan dia terlihat bingung. Aku terkikik kecil.
“Kurasa kau tak ingin berada di dalam mobil ini lebih lama lagi. Ayo, Just.”
Aku membuka pintu mobilku dan segera berjalan menghampiri Justin yang telah
berhasil keluar dari mobil juga. Dia kembali seperti dia saat pertama kali aku
bertemu dengannya waktu itu. Terlihat begitu frustasi dan menyedihkan. Aku
menggandeng tangannya, menyelipkan jariku untuk mengisi jemarinya yang kosong. Dan
lantas membawanya untuk berjalan bersamaku menuju tepian pantai.
Benar
sekali, tempat ini sangat sepi, namun juga sangat nyaman dan indah. Aku bahkan
rela bolos seharian jika aku berada di sini bersama Justin. “Kenapa kau diam?
Katakanlah sesuatu, Just. Aku ingin kau kembali bercerita padaku tentang masa
lalumu. Apa yang terjadi pada Justin kecil dulu?”
Aku
merasakannya ketika tubuhnya menegang setelah mendengar pertanyaanku. “Kau
tidak akan pernah senang jika mendengar bagaimana hidupku dulu, tidak akan,” lirihnya
begitu pelan. “Aku tak akan tahu jika kau tak mengatakannya padaku, Just.”
Aku
masih menunggunya untuk kembali berbicara namun dia hanya diam dan ini
benar-benar tak sesuai dengan apa yang kupikirkan. Aku mencoba melepas tautan
tangan kami dan kembali mendekat kearah pantai, namun Justin menggenggamnya
dengan erat. Aku memutar kepalaku untuk menatapnya. Mencoba untuk membaca apa
yang ada di balik tatapan matanya karena memang manusia banyak menyembunyikan
pesan di dalam matanya, di balik binar-binar dan juga cahayanya. Justin
terluka, dia memiliki sakit yang mungkin tak semua orang merasakannya dan bisa
mengerti tentangnya. Dia ingin di dengarkan, dia ingin ada seseorang untuk
tetap berada di mana dia berada, dia ingin ada yang membuatnya lupa akan rasa
sakitnya sepeti dulu, saat masih ada Annelise di sampingnya, dia ingin hidup
yang normal seperti yang lainnya, dia ingin bekerja, menikah, menjadi ayah. Dia
ingin hidup itu, hidup yang sama dengan teman-temannya yang pernah datu
kelompok dengannya dulu. Justin kecewa, dia ingin bebas dari dunia gelap yang
selama ini memenjarakannya hingga dia lupa bagaimana caranya berjalan dengan
baik.
Hatiku
teriris saat melihat dirinya dengan bulir-bulir air mata yang siap untuk jatuh,
tapi air mataku lebih dulu jatuh dari pada dia. Aku merasakan sakitnya hingga
membuatku sulit untuk menemukan oksigen. Aku meremas tangannya memberitahunya
jika aku sudah di sini untuk tetap berada di sampingnya. Untuk tetap
menggenggam tangannya sampai nanti, ketika dia kuat untuk berjalan sendiri.
“Aku
pernah datang ke mari bersama dengan Anne, aku ingat saat itu kami sedang
merayakan dua bulan hubungan kami terjalin. Dia sangat bahagia ada di sini,
katanya dia rela menyerahkan semua waktu yang dia milikki asalkan dia tetap
bersamaku dan merasa bahagia di sini. Aku selalu berusaha untuk memenuhi semua
keinginannya. Bagiku itu seperti sebuah kewajiban untukku.” Aku kembali
merasakan hatiku diiris dengan sesuatu yang lebih tajam, membuatku menahan
ringisanku. Cairan bening kembali jatuh dari mataku.
“Dia
gadis yang sangat beruntung, bisa dicintai oleh seorang pria dengan begitu
mendalam. Bahkan sampai saat ini aku belum pernah merasakan dicintai sedalam
itu tidak untuk orangtuaku sekali pun. Dia gadis yang beruntung,” lirihku tanpa
menatapnya. “Jadi, seharusnya kau menceritakan tentang masa kecilmu padaku,”
sambungku setelah berhasil memperbaikki suaraku yang tampak aneh karena menahan
tangis, aku tersenyum tipis padanya.
Justin
masih menatap ke depan dan sesekali mengedipkan matanya, dia terlihat lebih
tenang sekarang, aku jadi sulit mengerti, dia begitu cepat berubah maksudku
perasaannya bisa dengan cepat berubah.
“Aku
hidup di dalam keluarga yang tak sempurna, ayahku adalah satu-satunya orang
yang perduli padaku selama aku hidup. Dan wanita itu, aku tak ingin menyebut
namanya bahkan dalam pikiranku sekali pun, dia menghancurkan keluarga kecil
yang kurasa utuh meski aku hanya bersama ayahku kala itu. Aku sangat
membencinya, aku bahkan sangat ingin meledakkan kepalanya saat aku kembali
bertemu dengannya, saat itu aku sedang menemani Anne berbelanja keperluan
dapurku yang hampir habis. Dan aku melihatnya bersama seorang pria brengsek.
Dia pelacur sialan, yang sudah menghancurkan hidupku dan juga seorang ayah yang
begitu kucintai. Dan aku tak tahu di mana dia sekarang dan tak ingin tahu.” Aku
berjalan dua langkah maju mendekati Justin dan melingkarkan tanganku di
lehernya, mencoba untuk membuatnya lebih baik lagi.
“Apa
yang terjadi pada ayahmu?” bisikku di telinganya.
“Malam
itu, wanita jalang itu pulang bersama dengan seorang pria dan aku tak tahu apa
yang terjadi karena aku ada di kamarku, kata ayah aku harus tetap di dalam
kamar apa pun yang terjadi. Aku mendengarnya saat suara pecahan barang-barang
kembali memenuhi rumah kami, saat semuanya tenang, aku beranikan diriku untuk
membuka pintu kamarku dan berjalan menuju ruang tamu, tubuhku bergetar saat
melihat sebuah pisau dapur menancap tepat di jantung ayahku,” aku menutup
mulutnya dengan tanganku dankembali memeluknya dengan erat. Justinku yang
malang. “Semuanya akan baik-baik saja, tenanglah,” bisikku di telinganya lagi
saat tubuhnya bergetar dan aku tahu jika air matanya yang menggenang telah
berjatuhan.
Aku tak menyangka
jika dia memiliki hidup yang begitu menyakitkan, aku bisa mengerti jika
kematian Anne merupakan puncak dari rasa frustasinya selama ini. []ANDREAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar