Senin, 29 Mei 2017

DEAD HOPES



Title                : DEAD HOPES
Author            : Valleria Russel/Heni Kurniyasari
Cast                : -   Wendy ‘Red Velvet’ as Choi Minah
-          Kim Seok Jin as himself
Genre             : Hurt, Romance, Drama, Alternate Universe
Length            : Oneshoot
Rated              : Teens-13
Disclaimer      : Cerita ini murni dari pemikiran saya sendiri. Jangan mengkopi apapun tanpa izin ya. Semua yang ada di cerita ini adalah milik saya kecuali tokohnya :) kalo ada waktu luang boleh kunjungi link ini btsfanfictionindonesia.wordpress.com/?s=valleria ada ff juga di sana. Terima kasih dan selamat membaca ya semua!!




─Cinta yang begitu besar, yang kumiliki untuknya dulu telah terkubur bersama dengan harapan-harapanku padanya. Ya, sudah tidak ada lagi yang tersisa.






“Bagaimana semua persiapannya? Apa orang-orang bekerja dengan baik?”
“Ya, Pak. Orang-orang bekerja dengan keras untuk ini dan kurasa semua persiapan telah selesai beberapa detik yang lalu.”
“Bagus. Kuharap kerja keras kalian semua akan terbayar nantinya dan bonus yang kujanjikan akan kuberikan besok langsung ke rekening kalian,” cetusnya.
Dengan senyuman manis aku membungkuk hormat pada bosku. Dia adalah wakil direktur Diamond Group, perusahaan tempatku bekerja satu tahun terakhir. Aku memang masih baru di sini, ditempatkan di bagian surat-menyurat dan diikut sertakan dalam persiapan pesta penyambutan pimpinan baru perusahaan membuat beban kehidupanku berkurang. Tentu saja, aku tidak hanya memikirkan hidupku saja, ada satu orang lagi yang harus kupikirkan. Anakku, Nayoung. Dia adalah malaikatku, aku bekerja keras hanya untuk dia. Putriku itu berumur 3 tahun bulan depan dan dengan bonus yang kudapatkan setelah pesta ini, aku yakin bisa membelikan hadiah dan merayakan ulang tahunnya kecil-kecilan.
“Minah, apa yang kau lakukan di sini? Cepat bersihkan dirimu dan kembali kemari, kita akan menyambut tamu-tamu kehormatan itu dengan senyuman manis sepanjang malam ini,” celoteh Hwayoung.
Dia adalah teman dekatku di kantor. “Tentu, aku akan mengambil baju gantiku dan bersiap-siap,” balasku.
“Eh apa kau mengajak keponakanku?”
“Tidak, Youngie. Aku tidak mungkin mengajaknya, dia akan kelelahan dan aku akan kesulitan mengendalikan sifat manjanya nanti.”
“Ya, aku mengerti. Aku sangat merindukan malaikat kecil itu. Kau memiliki seorang putri yang sangat cantik dan aku merasa iri padamu.”
Aku terkekeh mendengar ucapannya. Dia selalu mengatakan hal itu padaku. “Temukan priamu dan buat anak juga, maka kau akan kehilangan rasa irimu yang mendalam padaku,” ujarku.

Gaun ini adalah gaun kesayanganku. Ibuku mewariskan gaun cantik ini padaku karena katanya ini adalah gaun yang dikenakannya ketika dia dan ayah melangsungkan ulang tahun pernikahan ke lima. Berwarna cream lembut, melekat di tubuhku dengan sempurna, tanpa lengan, panjangnya menyentuh mata kakiku. Ya, setidaknya aku bisa tampil cukup bagus malam ini.
Sebelum keluar dari kamar mandi, aku meraih ponselku dari dalam tas kecil dan memutuskan untuk menghubungi Nayoung. Dia kutitipkan pada tetanggaku sejak tadi pagi. Karena terlalu sibuk aku jadi tidak sempat menghubunginya.
Eomma, dimana, Na lindu Eomma. Eomma tapan pulang?” (Eomma, dimana, Nayong rindu Eomma. Eomma kapan pulang?)
“Hai, Na, Eomma juga rindu padamu. Maafkan Eomma ya, Nak. Tidak bisa menemanimu seharian ini. Eomma pulang agak sedikit terlambat. Nanti Eomma jemput ditempat Aunty ya.”
Aku bisa merasakan jika sekarang putriku itu tengah memajukan bibirnya. Dia memang akan melakukan hal itu ketika sedang bad mood. “Ya, Na akan menunggu disini sampai Eomma pulang,” balasnya.
“I love you, Na.”
“Love you, Eomma.”
Aku memutuskan sambungannya dan membereskan barang-barangku lalu keluar dari kamar mandi. Aku siap untuk menyambut tamu-tamu penting itu malam ini.
Jika ada yang bertanya mengenai statusku dan bagaimana aku bisa memiliki anak di usiaku yang baru menginjak 23 tahun, ceritanya sangat panjang. Itu adalah kisah penuh luka dan drama, sejujurnya aku ingin sekali mengubur semua itu dan melupakannya, tapi usahaku belum membuahkan hasil apapun. Sekalipun begitu, aku tidak pernah menyesal mempertahankan Nayoung di sisiku ketimbang membunuhnya dan memilih keluargaku. Nayoung lebih berarti dari apapun juga.

March 3rd 2013
Ini adalah hari ulang tahun ke 19-ku. Senyuman lebar terukir di wajahku saat melihat ayah dan ibu membuka pintu kamarku dengan senyuman lebar di wajah serta teriakan cempreng mereka yang memenuhi kamarku. Unnie juga membawa tiga buah kotak berukuran cukup besar didepan tubuhnya hingga suaranya terhalang kotak-kotak itu.
“Happy birthday, My Dear. Hari ini kau berulangtahun yang ke 19 sejak kelahiranmu. Aku yakin kau sudah cukup dewasa untuk menentukan mana yang baik dan tidak baik untukmu. Kami sebagai orangtua hanya akan mengawasi dan memberi pendapat. Meski aku tetap berharap dapat menjadikanmu bagian dari perusahaan keluarga. Sebelum meniup lilinnya, buat permohonanmu.”
Aku tersenyum sendu pada ayah dan lantas memejamkan mata lalu membuat permohonan sederhana pada Tuhan di hari ulangtahun ke 19-ku ini. ‘Bahagiakan orangtuaku dan semoga mereka bisa menerima Seok Jin dengan baik. Aamiin.’ Setelah itu aku membuka kembali mataku dan meniup lilinnya. Unnie berteriak dengan heboh dan menyuruhku untuk membuka kado-kado yang kudapatkan.
Aku yakin hari ini akan selalu kuingat selama aku hidup.

Desember 7th 2013
Aku mematut penampilanku sekali lagi didepan cermin sebelum akhirnya meraih tas kecilku dan keluar dari kamarku untuk menemui seseorang yang telah menungguku di belokan dekat rumah. Jangan heran, ini sama seperti kisah klise lain yang sering kalian baca atau tonton. Yep! Aku adalah gadis yang berasal dari keluarga terpandang, sedangkan kekasihku hanyalah seorang penyanyi café biasa dan tentulah uangnya tidak akan mencukupi kebutuhan hidupku bahkan untuk satu minggu saja.
Ayah dan ibu tahu dengan siapa aku menjalin hubungan begitu juga dengan Unnie. Mereka tidak menyukai Seok Jin dan kurasa sampai kutub mencair mereka tetap tidak akan menyukainya. Bagi mereka, aku tidak pantas mendapatkan pria seperti itu. Harusnya aku bisa bersama dengan seseorang yang lebih sederajat agar hidupku terjamin.
Bukankah itu sesuatu yang klise dan kuno? Aku mencintai Seok Jin, orangtuaku tidak setuju dan memintaku untuk tidak menjalani hubungan serius dengan pria itu. Aku tidak bisa. Aku mencintainya. Itu saja. Lagipula aku bahagia sekalipun harus hidup miskin dengannya.
“Hei, sudah lama menunggu? Maaf ya. Mereka menanyaiku lagi,” ujarku.
Seok Jin terkekeh pelan. “Aku mengerti, Chagi. Malam ini, kita akan bersenang-senang.”

May 3rd 2014
Tubuhku bergetar dengan hebat saat mendapati dua garis merah pada alat tes kehamilan yang kubeli di apotik tiga jam yang lalu. Ini adalah alat keenam yang kugunakan dan hasilnya tetap sama. Air mata mengalir deras membanjiri wajahku. Tubuhku merosot jatuh dan tangisku pecah begitu saja.
Tidak, ya Tuhan! Aku tidak bisa. Ayah dan ibu akan marah padaku. Apa yang harus kulakukan. Aku mendengar Unnie mengetuk pintu kamarku dengan keras. Seperti tersadar aku bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, tanganku memunguti testpack yang berserakan di lantai kamar mandiku. Lalu menyimpannya di lemari kaca. Aku membasuh wajahku dengan air dan sedikit membenahi rambutku sebelum akhirnya berlari kecil menuju pintu.
“Minah, kenapa lama sekali dan… Hei! Ada apa denganmu?”
“Ah tidak ada, Unnie. Semua baik-baik saja. Kenapa Unnie mengetuk pintu kamarku?”
“Itu, aku ingin memberitahumu kalau ayah dan ibu telah memutuskan menunjukmu untuk berkenalan dengan anak dari klien bisnis mereka. Maafkan aku, Minah. Ini semua diluar dugaanku.”
“Unnie? Kenapa aku? Bukankah kau yang akan membantu ayah?”
“Iya, itu benar, tapi pria itu tidak menyukaiku, dia tertarik padamu. Kau tahu perusahaan sedang dalam keadaan yang tidak baik sekarang. Jadi, kami membutuhkan bantuanmu untuk masalah ini. Maafkan aku,” jelas Unnie.
Tubuhku kembali lemas dan air mata mulai menyeruak lagi mengaburkan pengelihatanku. “Tidak, Unnie. Aku tidak bisa. Aku… aku mengandung anaknya Seok Jin.”
Wajahku panas saat tangan kakakku terhempas dengan keras di wajahku. Aku yakin tamparannya membekas di pipiku.
“Kau gila! Apa yang ada di kepalamu itu, Minah! Perusahaan kita akan bangkrut dan kau bukannya menolong ayah dan ibu, kau malah menambah masalah mereka. Tidak sadarkah kau, kau adalah putri kesayangan ayah, dia melakukan segala hal untukmu, Minah! Tapi apa balasamu? Kau mau membuat dia mati cepat huh.”
“Maafkan aku, aku tidak menduga hal ini akan terjadi. Aku mohon, maafkan aku.”
Unnie menggelengkan kepala tak percaya dan lantas menarik tanganku dengan keras. Dia membawaku ke ruang keluarga. Disana ada ayah dan ibu, mereka sedang duduk dan meminum kopi seperti biasa. Suara Unnie mengheningkan suasana yang hangat. Dia meneriakkan jika aku tengah hamil anak Seok Jin dan itu adalah awal dari mimpi burukku yang sebenarnya.
“Anak tidak tahu diri! Kau telah mencoreng nama baik keluarga kita! Kami semua sudah mengingatkanmu untuk memutuskan hubungan dengan pria tak jelas itu, tapi kau tidak pernah mendengarkan! Hari ini, kau telah membuktikan jika kau bukanlah putriku. Kau bukan keturunanku. Aku mencabut semua hak-hakmu dikeluarga ini dan mulai detik ini juga kau sudah bukan lagi bagian dari keluarga Choi.”
Ayah…
“Kau sudah kehilangan semua hak-hakmu, Minah! Silakan pergi dari rumah ini dan jangan pernah tunjukan wajahmu di depanku lagi. Pergilah pada pria yang kau puja itu.”
Aku meninggalkan rumah dengan wajah basah karena air mata. Tanganku menggeret koper kecil milikku. Satu-satunya tujuanku saat ini adalah apartemen Seok Jin. Untuk sementara aku akan tinggal dengannya sampai menemukan tempat tinggal yang cocok.
Harapan yang telah susah payah kubangun lenyap tak bersisa saat melihat seorang perempuan yang membuka pintu apartemen Seok Jin untukku. Dia menatapku dengan pandangan merendahkan.
“Siapa kau?”
“Siapa kau?” balasku.
“Aku pacarnya. Jangan konyol! Sekarang, katakan padaku, siapa kau?”
Kakiku melangkah mundur saat mendengar kata ‘pacar’ keluar dari mulutnya. Aku meninggalkan semua harapanku pada pria brengsek itu, saat itu juga dan mengumpulkan semua tenaga yang masih kumiliki untuk mencari tempat tinggal.
Tangis dalam diamku masih mengiringi setiap ayunan kakiku. Hingga aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya. Dia menatapku dengan tatapan kasihan.
“Nak, kau baik-baik saja?”
“Bibi, apa kau tahu dimana aku bisa mendapatkan tempat tinggal untuk diriku sendiri di sekitar sini?”
“Ah kebetulan sekali, aku memang sedang mencari orang untuk menempati salah satu kamar kecil didekat rumah. Orang yang menempatinya baru saja pindah, jadi aku membutuhkan orang baru. Jika kau mau, kau bisa ikut aku sekarang. Tempatnya tidak terlalu bagus, tapi aku menjamin keamananmu di sana,” jelasnya.
Bibi Bokju membawaku ke kontrakan yang dia miliki, kebetulan tempat itu ada di ujung gang dekat rumahnya. Hari itu juga aku membayar uang sewa selama enam bulan. Minggu depan aku akan menerima pengumuman kelulusanku dan aku yakin aku akan mendapatkan beasiswa di Seoul University. Aku mengambil jurusan manajemen. Aku memang tidak pernah cocok dengan dunia bisnis. Meski nanti aku akan bekerja di bidang bisnis, aku akan ditempatkan di bagian belakang layar.
Rasa lelah menghampiri tubuhku bertubi-tubi setelah aku berhasil menata semua barang-barangku dan membersihkan kamar ini. Untunglah uang tabunganku sejak kecil serta uang di dompetku cukup untuk hidupku selama enam bulan ini. Aku akan mencari pekerjaan nanti.
~~~

Kehancuran hidupku tiga tahun lalu telah mengubah segala hal. Aku menjalani waktu-waktu berat itu sendirian. Mengandung dan melahirkan Nayoung. Aku menanggung semuanya sendirian. Seorang pria yang kupikir adalah penyelamatku dimana aku menggantungkan semua harapanku padanya ternyata berselingkuh dariku. Aku sudah ditipu mentah-mentah olehnya. Jika tidak karena Nayoung waktu itu aku mungkin sudah bunuh diri. Tidak ada gunanya lagi hidup ketika orangtuamu membuangmu dan kekasihmu menipumu. Nayoung telah menjadi satu-satunya alasanku untuk bertahan melawan semua keadaan. Untunglah Bibi Bokju mau menerima keadaanku saat kehamilanku mulai terlihat waktu itu. Aku mengambil cuti satu semester pertama hingga melahirkan dan mencoba melamar pekerjaan di sini. Aku masih kuliah sekarang, lebih tepatnya menunggu kelulusanku bulan depan. Aku akan naik jabatan nanti ketika menerima transkrip nilaiku yang baru.
Setidaknya dari semua hal, aku masih memiliki beberapa untuk disyukuri. Hwayoung dan aku berdiri bersampingan untuk menyambut para tamu. Senyuman manis tak pernah meninggalkan wajahku. Kami menyambut tamu-tamu itu dengan hangat sampai seseorang berjas hitam mahal dengan sepatu hitam mengilap memasuki pintu besar itu, memakuku ditempat. Hwayoung sama terkejutnya denganku, dia bahkan membuka mulutnya cukup lebar. Ya gadis ini memang mengetahui hal-hal yang telah kualami.
Demi Tuhan, aku telah bersembunyi dari pria ini sebaik yang kubisa! Apa yang dilakukannya di sini!
“Ya Tuhan, Minah! Maafkan aku, aku lupa jika aku melihat nama Kim Seok Jin terdaftar di kartu undangan vip.”
Aku menoleh pada Hwayoung dan dia menatapku dengan tatapan permohonan maafnya. “Kau! Gantikan aku, aku akan pergi dari sini, sebelum dia melihatku. Katakan pada bos kita, kalau putriku tiba-tiba saja sakit dan aku harus pulang untuk mengurusnya.”
“Baiklah, berhati-hatilah.”
Aku menghilang secepat mungkin dari ruangan itu. Melajukan motorku meninggalkan kantor. Sudah tiga tahun dan Tuhan mempertemukan dia denganku lagi hari ini. Aku sudah bersembunyi semampuku darinya. Aku tidak akan pernah mengganggu kehidupannya lagi.
Semua yang pernah menjadi milikku di masalalu telah kulepaskan tanpa terkecuali, termasuk Seok Jin dan harapanku padanya. Rasa sakit, penderitaan, luka, kekecewaan, kehampaan, tangis, serta kehancuranku akan tersimpan dan membekas selamanya di hidupku. Cinta yang begitu besar, yang kumiliki untuknya dulu telah terkubur bersama dengan harapan-harapanku padanya. Ya, sudah tidak ada lagi yang tersisa. Aku tahu selama tiga tahun sejak aku menghilang, dia berusaha mencariku kesana-kemari. Kemungkinan besar dia telah mengetahui apa yang sudah menimpaku dan mungkin juga dia tahu keadaanku. Tapi aku tidak ingin Nayoung mengenalnya. Putriku tahu dengan baik jika aku tidak suka membahas tentang ayahnya karena itulah dia tidak pernah menyinggung perasaanku.
Motorku terparkir di gedung apartemen tempatku tinggal. Aku mengangkat gaun panjangku dan berlari secepat mungkin masuk ke dalam sebelum orang-orang yang mengejarku tadi berhasil menangkapku.
“Aku benci permainan memuakkan yang kau buat selama tiga tahun ini, Minah! Hentikan semuanya dan kembalilah padaku!”
“Aku tidak akan pernah kembali.”
“Izinkan aku menebus semuanya, Minah! Aku meminta maaf padamu, tolong jangan biarkan sisa-sisa harapanku untuk kita mati begitu saja. Aku ingin mengenal putriku, aku ingin kita menikah dan memulai semuanya dari awal. Berhentilah bersembunyi. Minah, kembalilah.”
“Tinggalkan aku dan putriku, Seok Jin. Aku tidak akan mengizinkan dia menjadi bagian dari hidupmu. Harapanku telah mati untuk kita dan aku ingin kau tahu bagaimana rasanya ketika hal itu terjadi juga padamu. Ah aku belum mengucapkan selamat tinggal padamu dulu, aku akan mengucapkannya sekarang. Selamat tinggal, Seok Jin.”
“Minah! Aku tidak akan membiarkanmu lari lagi! Kau hanya punya dua pilihan. Menikah denganku atau kita akan memperebutkan hak asuh Nayoung dipengadilan.”
Mengingat dia sudah menjadi orang besar sekarang, tentu tidaklah sulit untuk mencaritahu tentang nama putrinya dan seperti apa dia.
“Bermimpilah terus, Seok Jin. Nayoung adalah putriku. Dia tidak membutuhkan seorang ayah brengsek sepertimu.”
“Minah…”
“Hentikan! Jangan buat aku melakukan sesuatu yang akan membuatmu menyesal. Jika kau berani mengganggu kehidupanku dan putriku, aku akan membawanya pergi jauh dan benar-benar menghilang dari hadapanmu. Jika kau tidak mau itu terjadi, pergilah dari sini dan biarkan aku dan putriku hidup dengan tenang.”
“Minah, aku mohon…”
Kakiku melangkah pergi tanpa sedikitpun membalikan tubuhku untuk melihatnya. Bagaimana rasanya, Seok Jin? Seseorang yang kau gantungkan harapan sebesar dunia padanya membunuh harapan itu begitu saja tanpa belas kasih? Sakit bukan? Aku sudah mengubur harapanku untuk kita bersama dengan kehancuran hidupku dulu dan aku tidak akan pernah berharap pada siapapun lagi. Tidak akan.



TAMAT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar